Share

Hinaan Tetangga

"Matur nuwun!" ucap Minah mengambil dua plastik hitam besar di tangan Evan. 

Luna menyenggol lengan mbahnya, "dia gak bisa bahasa jawa, Mbah! Ngomong bahasa Indonesianya aja masih gagap."

"Huss! Ndak boleh kasar gitu," hardik Minah pada cucunya. 

"Terima kasih Nak Evan, lain kali saja ya mampirnya, ibuknya Luna ternyata gak ada di rumah," ucap Minah pada pria bule yang kulitnya sedikit kemerahan terbakar sinar matahari itu. 

"Iya Mbah," sahut Evan menunduk sopan. 

"Lun, bilang terima kasih iki loh, sebelum orangnya pergi," kata Minah pada Luna yang terus bersikap dingin. 

"Buat apa Mbah? Wong aku juga gak minta dibantu kok," tolak Luna kasar. 

Mata perempuan tua itu melotot, mengambil keranjang bambu dari tangan Luna kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkan Luna berdua saja dengan Evan. 

"Mau apalagi kamu di sini? Sudah pulang sana!" Usir Luna terang-terangan. 

"Nanti malam saya mau bertemu Ibu Tari, apa saya bisa berbicara dengan kamu juga?" tanya Evan yang selalu blak-blakan tanpa banyak basa-basi. 

"Buat apa? Saya gak ada keperluan sama kamu," ketus Luna sambil menaiki undakan anak tangga menuju beranda rumahnya. 

"Pertanyaan saya tadi belum dijawab," ucapnya lantang. 

Tanpa berkomentar lagi, Luna pun masuk ke dalam rumah, buang-buang tenaga menanggapi bule gila itu, pikirnya. Luna sengaja menutup pintu begitu keras agar Evan tahu kalau dirinya tak suka didekati olehnya. 

"Luna ... Kamu mau bikin mbahmu ini jantungan?" Minah mengusap dadanya, suara pintu yang keras tadi sampai terdengar hingga dapur. 

"Maaf Mbah," balas Luna pelan, karena terbawa rasa kesal pada Evan tadi. 

"Lain kali pelan-pelan saja," pesan Minah, ia sama sekali tak tahu maksud cucunya melakukan itu. 

"Oh ya, Mbah mau mandi. Kamu tolong angkat jemuran di belakang ya," imbuhnya memberi perintah. 

Mulut Luna tak berucap tapi kepalanya mengangguk lalu berjalan keluar melalui pintu dapur. Sedikit lahan kosong di sana dimanfaatkan untuk tempat jemur menjemur, mulai dari menjemur pakaian, padi, bahkan sisa nasi yang biasanya dijadikan untuk bahan cemilan. 

Baru menarik satu baju, terdengar obrolan tetangga di samping rumah, Luna berdiam di balik tanaman pucuk merah yang berjajar seperti pagar pembatas antara halaman belakang rumahnya dengan rumah tetangga. 

"Mosok si Luna itu mau deketin si Evan, gak tau diri banget ya dia?!" ucap Mbak Lastri yang rumahnya persis di samping rumah Luna. 

"Masa sih Mbak Las? Memang bener toh?" tanya Bude Winar, penjual kue keliling. 

"Saya liat dengan mata kepala saya sendiri, mereka ngobrol di depan tadi," ujarnya dengan nada nyinyir. 

"Apa dia gak tau ya kalau si Luna itu perempuan gak bener?" sahut Winar sinis. 

"Ya emboh! Mentang-mentang bule itu kenal ibunya karena ibunya itu bisa bahasa enggres, langsung dimanfaatin. Emang dasar perempuan murahan!" umpat Lastri kasar. 

"Eh! Mbak Las tau ndak? Banyak yang bilang kalau si Luna itu bukan diperkosa tapi jual diri, bilangnya aja begitu, buat nutupin aibnya yang hamil anak haram," bisik Winar tapi masih bisa didengar Luna dengan jelas. 

"Iyo, saya juga pikirnya begitu. Asalnya perawan tua kok ngaku-ngaku diperkosa. Dagelan!" Ia terkekeh diikuti Winar yang juga tertawa geli. 

Jleb! 

Kata-kata mereka bagai pedang tajam yang menusuk tepat ke jantung Luna. Ternyata seperti ini yang dikatakan sakit tapi tak berdarah. Lidah memang tak bertulang tapi bisa menghancurkan sekeping hati, seperti hati Luna saat ini, hancur berkeping-keping setelah mendengar ucapan tetangganya itu. Luna bergegas masuk dengan linangan air mata yang sudah membasahi pipinya, ia membekap mulutnya sendiri agar tak terdengar suara tangisnya. 

"Loh, mana bajunya Lun?" tanya Minah ketika melihat cucunya berlari ke kamar tanpa membawa apapun. 

Ia melongok ke halaman belakang, pintunya memang tidak sempat ditutup Luna barusan, ia memang tampak tergesa-gesa. 

"Jemurannya masih ada di sana toh? Jadi dia ngapain tadi?!" Geleng Minah, akhirnya ia yang menyelesaikan pekerjaan yang tadi ia serahkan pada Luna. 

Kedua perempuan yang tengah bergosip tadi cepat menutup mulut ketika melihat Minah di sana. Seketika mereka memasang wajah penuh senyum, menyapa orang tua itu padahal beberapa menit yang lalu baru saja menggunjing cucunya habis-habisan. 

"Kalau bukan karena segan sama si mbahnya, saya yakin si Luna itu udah diusir dari kampung ini," bisik Winar yang dibalas anggukan Lastri. 

***

Benar saja, selesai adzan isya, Evan datang ke rumah. Tari yang memang sudah dikabari akan kedatangannya itu, segera menyambutnya, mereka berbincang di teras rumah, duduk di kursi rotan yang menjadi tempat duduk di beranda rumah keluarga Luna itu. 

Luna sempat mengintip ketika keluar dari kamarnya, terbit rasa penasaran untuk mengamati tamunya itu dan saat itu juga Evan tanpa sengaja menatap ke arahnya, netra mereka pun bertemu. Evan reflek tersenyum, sementara Luna langsung berlari ke dapur, kesalnya bertambah pada pria yang sok baik dan ramah itu. 

"Saya sampai lupa belum buatkan minum, wait a minute," ucap Tari segera beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumah. 

"Kebetulan kamu di sini, Lun. Tolong buatin wedang jahe, nak Evan suka banget minum itu," pinta Tari pada Luna. 

Cepat Luna mengangkat bahunya, "Ibu aja!" tolak Luna dengan raut wajah malas. 

"Itu udah ada di teko, kamu tinggal panasin aja," kata Tari, ibunya memang rajin membuat minuman itu, di rumah selalu tersedia minuman kesehatan itu. 

Karena tak mau ribut dengan ibunya, Luna pun menurut, mengambil teko dan menaruhnya di atas kompor. Cangkir bening dengan pisinnya, disiapkan juga oleh Luna. 

"Nanti kamu anterin juga ke depan ya!" titah Tari sambil berbalik. 

"Ndak mau, Bu! Ibu tunggu aja, sebentar lagi juga panas," kata Luna, kali ini menolaknya dengan tegas. 

"Kamu ini kenapa? Sinis sekali mukanya dari tadi?!" tanya Tari terheran. 

Suara dentingan sendok yang beradu dengan cangkir terdengar nyaring kala Luna yang tengah mengaduk minuman itu, seketika menaruh sendoknya kasar. 

"Aku gak mau jadi bahan omongan terus, Buk!" tegas Luna. 

"Omongan? Omongan apa maksud kamu?" tanya Tari tak mengerti. 

"Keadaan aku yang kayak gini aja udah cukup bikin aku digunjing sana sini, Bu. Aku gak mau nambahin lagi kalau orang liat aku deket-deket cowok bule itu!" tutur Luna dengan wajah yang ditekuk. 

"Ibu bingung sama kamu, memang salah kalau cuma suguhin minuman ke tamu?" Kening Tari berkerut. 

"Tapi pandangan orang lain berbeda, Bu!" sentak Luna dengan suara yang meninggi, kata-kata tetangganya tadi terus terngiang hingga tanpa sadar ia membentak ibunya. 

"Luna! Kamu kenapa jadi gak sopan sama orang tua?!" Tari terbawa emosi. 

"Ibu emang gak akan pernah ngerti," ucap Luna kemudian bergegas pergi. 

"Mau ke mana kamu, Luna?" tanya Tari sambil sibuk mengejar Luna yang keluar rumah melewati Evan. 

"Luna!" teriak Tari penuh khawatir. 

"Saya saja yang mengejar," ucap Evan sigap. 

"Tolong bawa Luna pulang cepat ya!" mohon Tari yang tanpa sadar mencengkram tangan Evan begitu kuat. 

Evan hanya mengangguk lalu segera berlari mengejar, Luna tak terlihat sampai suara jeritan terdengar di seberang sana. 

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status