Semua barang belanja ditaruh kasar dan digeletakan begitu saja oleh Tari, dadanya terasa meletup-leput, darahnya berdesir hebat. Ia tak habis pikir dengan perempuan yang sama-sama memiliki julukan seorang Ibu tapi dengan teganya menyakiti perasaan anak orang lain, yang mati-matian dia jaga mentalnya selama ini agar tetap mau berjuang untuk mempertahankan hidupnya yang sudah hancur.
"Bu! Wes toh, Buk. Aku juga gak pa-pa kok," ucap Luna menenangkan ibunya yang tengah dikuasai amarah.
"Seharusnya kamu gak cegah Ibu tadi, Lun. Biar Ibu jejelin sekalian mulutnya pake cabe," oceh Tari dengan kedua tangan yang bertolak di pinggang.
"Gak perlu gitu, Bu. Toh apa yang Ibu itu bilang, bener kok," lirih Luna sambil memainkan ujung bajunya, sementara wajahnya tertunduk.
Tari yang mendengar jawaban putrinya itu cepat menghampiri, ia raih dagu Luna dan wajah putrinya itu pun terangkat. Dia korban, tidak sepantasnya dia yang merasa malu dan terhina seperti ini.
"Nduk, kamu harus berdiri dengan kepala yang tegak. Jangan biarin orang-orang seperti mereka terus menghina kamu," ucap Tari penuh penekanan.
Luna menggeleng tegas, "gak bisa Buk, mana bisa aku begitu. Aku perempuan yang diperkosa dan sekarang hamil, bagaimana bisa aku tegakan kepala di hadapan orang-orang?!"
Tangis Tari seketika pecah, ia menarik Luna ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya berkali-kali, seakan tengah menguatkan dan memberikan dukungan moril pada putri satu-satunya itu.
"Kamu gak salah, Nduk! Bukan kamu yang salah." Suaranya bergetar, tenggorokannya terasa tercekat.
"Aku perempuan kotor, Bu! Tubuh aku ternodai sama orang yang bahkan aku gak tau siapa dia ..." Luna setengah menjerit.
Kasus Luna memang tidak bisa diproses karena ia sendiri tidak tau siapa yang telah meruda paksa dirinya, ia setengah sadar saat itu, ia memang sempat melihat samar pelaku saat berada di atas tubuhnya tapi entah apa yang dilakukan pria itu, tak lama Luna benar-benar tidak sadarkan diri bahkan sebelum sempat memberontak dan esok paginya tubuhnya sudah berada di dekat pantai dalam keadaan pakaian yang berantakan.
Luna berteriak meminta pertolongan, warga sekitar membantu membawa Luna ke kantor polisi, ia pun sempat divisum dan hasilnya memang benar dirinya telah diperkosa tapi sedikitnya jejak yang ditinggalkan membuat dokter dan polisi kesulitan mengidentifikasi pelakunya.
Tubuh Luna tiba-tiba terasa lemas, ia jatuh lunglai di lantai saat kembali teringat peristiwa mengerikan yang dialaminya empat bulan yang lalu, yang akhirnya memaksa Tari harus segera pulang saat tengah bekerja sebagai TKW di Malaysia.
"Bangun, Nduk! Kamu jangan berpikir seperti itu lagi, ada Ibu di sini," ucap Tari menguatkan.
"Kasihan bayi kamu juga nantinya, kamu harus kuat biar bayinya juga sehat," imbuhnya dengan suara yang sengau karena terlalu banyak menangis.
Luna menghapus kasar air mata yang membanjiri wajahnya, mengenyahkan rambut-rambut yang menempel karena air matanya itu.
"Bu, mumpung janin ini belum besar, kita gugurin aja ya, Buk?!" bujuk Luna setengah memaksa sambil terus menarik lengan baju ibunya.
Sudah tak terhitung Tari mendengar permintaan itu dari putrinya semenjak dua bulan lalu bidan menyatakan Luna tengah hamil dan usia kandungannya sudah 4 minggu. Terpukul, depresi, tentu saja itu yang dialami oleh Luna hingga ia ingin mati saja rasanya. Pernah nekat meminum obat dalam jumlah banyak, mengiris nadinya, menggantung diri dan yang terakhir ia mencoba menenggelamkan tubuhnya di pantai. Sejak saat itu Tari dan ibunya Minah berjaga bergantian setiap malam agar Luna tidak mengulang aksi-aksi nekatnya lagi.
"Jangan, Nduk! Bayi itu gak bersalah. Dosa besar kalau kamu menggugurkan dia." Geleng Tari.
"Kita rawat dan besarkan dia bersama ya?! Siapa tau kelak dia menjadi jalan kamu mendapatkan kebahagiaan," lanjut Tari mengusap rambut Luna penuh kasih sayang.
***
Menjelang siang Luna pun diajak Tari untuk berkebun, ibunya itu selalu melakukan segala cara agar Luna melupakan sedikit masalahnya.
"Lun, Ibu mandi dulu ya, habis itu Ibu ada keperluan jadi nanti kamu yang ke warung bantuin Mbah beres-beres," pesan Tari yang hanya dibalas anggukan Luna.
Seperti perintah ibunya, Luna pergi ke warung neneknya yang ada di seberang jalan, dekat dengan sekolah dan deretan pertokoan, di sana lah warung sederhana pecel pincuk Mbah Minah berada, hanya bangunan berdinding bambu tapi pembeli banyak mengantri.
"Mbah, sek toh. Aku makan dulu," kata Dimas yang melihat Mbah Minah sudah sibuk merapikan warungnya.
"Ya sudah, makan saja. Mbah juga nunggu dijemput kok, lanjut makannya, pelan-pelan, ojo kesusu!" pesan Mbah Minah sedikit tertawa saat Dimas mengunyah nasinya begitu cepat.
"Nanti biar saya yang bantu saja, Mbah. Saya juga ada perlu dengan Ibu Tari," kata Evan yang memang sedang makan bareng dengan Dimas ini.
"Owalah ... Ada perlu sama Tari toh, ya ayok bisa bareng nanti," sahut perempuan tua yang rambut putihnya terlihat dari bagian samping ciput rajut yang ia pakai.
Dari kejauhan Luna melihat warung si Mbahnya yang masih ada pelanggan, tidak biasanya, ini sudah jam tiga sore, siapa orang-orang yang telat makan siang itu?
"Luna!" panggil Minah pada cucunya itu, meski sudah tua tapi matanya masih awas, ia masih bisa melihat jelas sosok cucunya dari jarak yang cukup jauh.
Tak hanya penglihatannya, stamina Minah juga masih bugar meski sudah menginjak usia 60 tahun. Sudah berkali-kali Tari memintanya untuk berhenti berjualan tapi Minah enggan, marasa masih kuat dan kasian pada pelanggannya kalau nanti tiba-tiba warung pecel pincuk yang terkenal enak dan murah meriah itu tutup.
"Assalamu'alaikum, Mbah!" Luna mengucap salam sambil mencium tangan neneknya itu.
"Wa'alaikumussalam," jawab Minah dan Dimas kompak, lelaki yang sibuk makan itu juga reflek menjawab salam Luna.
Mendengar suara merdu yang menyapa daun telinganya, seketika membuat Evan menoleh, rupanya gadis manis yang berkenalan dengannya di pasar tadi. Melihat ia tersenyum seperti sekarang membuat jantung Evan tiba-tiba berdebar, sungguh senyumannya itu memikat hatinya.
"Mas bule! Cepat habiskan, gak enak si Mbah nungguin tuh," tegur Dimas yang menarik Evan kembali ke alam sadarnya setelah beberapa menit tadi hanyut dalam senyuman termanis yang pernah ia lihat.
Setelah menghabiskan makannya, Dimas sigap berdiri dari duduknya. "Berapa Mbah? Tadi saya pakai —"
"Udah ... Ndak usah. Kan tadi Mbah bilang sudah tutup cuma kebetulan masih ada nasi sama sedikit lauknya," potong Minah menolak menerima bayaran.
"Jadi gak enak nih, Mbah!" Dimas cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ah, wes! Mbah mau bersihkan," kata Minah mengambil piring dan gelas kotor bekas makan Evan dan Dimas.
"Sebagai rasa terima kasih, saya yang akan antar barang-barang, Mbah!" ucap Evan sambil meraih keranjang bambu dan kantung plastik yang sudah siap dibawa pulang.
"Gak usah! Kita bisa bawa sendiri," tolak Luna tegas, ia merebut kembali keranjang bambu yang sudah Evan bawa.
"Ndak pa-pa Lun, Nak Evan ini memang mau ke rumah, ada perlu sama Ibu kamu," timpal Minah yang tak keberatan Evan membantunya.
"Ibu ndak ada di rumah, Mbah!" sahut Luna sambil menoleh pada neneknya itu.
"Lain kali saja ke rumahnya," ketus Luna pada Evan kemudian berjalan terlebih dahulu.
"Loh, Lun! Tunggu si Mbah toh!" teriak Minah lalu terburu-buru menyusul.
"Loh, loh ... Mau ke mana kamu?" tanya Dimas saat Evan bersiap mengejar mereka.
"Kamu pulang saja!" kata Evan sambil berlari.
"Karepmu lah!" balas Dimas berteriak.
Setelah berhasil menyusul neneknya Luna itu, Evan mengambil plastik yang dibawa perempuan tua itu.
"Biar saya saja, Mbah!" ucapnya lalu kembali berlari mengejar Luna.
"Pelan-pelan, nanti kamu bisa terjatuh," ucap Evan setelah berhasil menyetarakan langkahnya dengan Luna.
Perempuan yang mengikat ekor kuda rambut panjangnya itu seolah tak peduli, ia tak menghiraukan Evan, terus berjalan dan semakin mempercepat langkahnya. Evan tetap mengikuti, membuat Luna akhirnya jengah.
"Pergi kamu! Nanti jadi omongan orang-orang kalau kamu dekat saya." Usir Luna kasar.
Bukannya menurut, Evan justru tersenyum, ia senang karena Luna mau berbicara dengannya.
"Kamu gak paham yang saya bilang?" bentak Luna.
"Apa kamu mau jadi pacar aku?" Alih-alih menanggapi Luna, Evan justru mengajukan pertanyaan konyol.
"Wong edan!" desis Luna.
****
Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Kan udah aku jelasin, Bu! Kenapa nanya lagi sih?!" sahut Luna sedikit ketus. Semua tentang Richo adalah luka lama yang sudah lama ia kubur dalam, mengungkitnya sama saja dengan mengorek luka itu, sakit rasanya karena mereka berpisah bukan karena keinginan masing-masing. Luna tak pernah membenci ibunya Richo, sejak awal memang cinta mereka yang salah, tumbuh dalam keadaan yang tidak tepat. Sungguh tak tahu diri kalau orang biasa seperti dirinya berharap mendapatkan pasangan kaya raya, terpandang seperti Richo. "Soalnya Ibu liat Richo itu perhatian banget sama kamu. Ya udah maafin Ibu kalau kamu gak suka bahas itu," sesal Tari, ia merasakan ketidaknyamanannya putrinya. Luna menggenggam tangan ibunya yang ditaruh di atas pahanya sendiri, ia menatap Tari yang sempat tertunduk tadi. "Gak perlu minta maaf, Bu. Aku cuma pengen fokus rawat anakku aja, aku gak mau kita bahas yang lainnya, yang gak penting," ujar Luna. "Iya, Lun." Angguk Tari. "Oh ya, ngomong-ngomong, katanya tadi kamu ud
"Ibu gak perlu khawatir, Evan itu udah punya pasangan," ujar Luna setelah mendengar penjelasan ibunya bagaimana ia bertemu dengan Evan. Helaan nafas berat ibunya dapat Luna rasakan beserta raut wajah lega yang terpancar. Setidaknya hidup Luna tidak akan terganggu dengan ocehan orang-orang tentang hubungannya dengan Evan, Luna bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. "Tapi —" Luna menjeda ucapannya. "Tapi apa?" Kening Tari berkerut. "Evan itu ternyata saudaranya Pak Richard, Bu. Jadi —""Kalau kamu tetap ngajar di sana, berarti kamu pasti ketemu terus sama dia?!"Luna menganggukkan kepala pertanda membenarkan pernyataan ibunya. "Terus kamu mau ambil keputusan apa?" tanya Tari setelah jeda hening tercipta. "Mau gimana lagi, Bu! Aku gak bisa terus kerja di sana," balas Luna dengan menghentakkan bahunya. "Kamu yakin? Apa kamu gak sayang? Apalagi liat anak murid kamu yang udah deket gitu, kamu gak kasian sama dia?!" Pertanyaan Tari yang menerus itu membuat Luna gamang. Luna tak
"A-aku ...""Evan!" panggilan dari arah belakang mereka membuat kedua lelaki itu menoleh. Erica cepat berlari, langsung merangkul lengan Evan, dia tampak bahagia bertemu dengan pemuda itu, senyum serta rona merah di pipinya menghiasi wajah cantiknya itu. "Ck! Kakakmu loh di sini, malah cowok lain yang jadi prioritas," ketus Richo memalingkan wajah sebal. "Apaan sih, Kak! Sama Kakak kan bosen, tiap hari juga ketemu di rumah." Erica menyenggol lengan kakaknya itu, sikap manjanya terlihat dan Evan tak suka itu. "Eh, kamu mau ke mana? Aku anter ya?!" Erica langsung membawa Evan menjauh. Richo hanya bisa menatap punggung keduanya sampai hilang dari pandangannya. Dalam hatinya masih mengganjal pertanyaan yang belum dijawab Evan, sebenarnya apa hubungan dia dengan Luna hingga membuat ibunya terlihat kesal tadi? "Aku harus cari tahu!" tekad dokter muda itu, melangkah pasti menuju ruang rawat Luna. Begitu sampai di depan pintu, ia berpapasan dengan Tari, Richo segera menunduk sopan, tak