Luna terbaring di ranjang pasien, ia terserempet motor tadi, perawat tengah membalut kakinya, sementara Evan berdiri memperhatikan. Wajah cemasnya justru semakin membuat Luna benci pada pria bule itu.
"Cuma lecet sama sedikit terkilir aja, seminggu diperban, InsyaAllah membaik," ucap perawat yang kemudian pamit setelah mengobati Luna.
"Mau ke mana?" tanya Evan menghadang Luna yang berusaha turun dari ranjang itu.
"Pulang! Kamu gak denger tadi kalau aku cuma lecet aja?!" ketus Luna dengan raut wajah sinisnya seperti biasa.
"Tapi —" Belum selesai Evan menuntaskan kalimatnya, sebuah suara memanggil nama Luna terdengar, menarik atensi keduanya.
"Ya ampun, Nduk! Kamu gak pa-pa?!" Tari cepat mengusap wajah Luna dengan rambut yang berantakan itu.
"Kaki aku, Bu!" Tunjuk Luna dengan matanya.
Tari beringsut, memeriksa kaki kanan Luna yang sudah diperban.
"Ya Allah ... Kenapa jadi begini?!" risiknya seakan merasakan sakit anaknya.
"Cuma terkilir aja kok, Bu! Dia aja yang heboh bawa aku ke rumah sakit segala. Seharusnya juga diurut," omel Luna sambil mendelik tajam pada Evan.
"She got hit by a motorbike," sahut Evan, kedua tangannya beradu, memperagakan kejadian Luna tadi.
"Ck! Gak usah drama," decak Luna sebal.
"Aku cuma keserempet aja kok, Bu!" imbuhnya, mengalihkan tatapannya pada perempuan yang sudah melahirkannya itu.
Tari memegangi dadanya, napasnya naik turun tak beraturan, pikirannya kini fokus pada keadaan janin di perut Luna.
"Ibu panggil perawat dulu," katanya panik.
"Kenapa sih, Bu? Aku gak pa-pa kok," balas Luna bingung, reaksi ibunya terlalu berlebihan menurutnya.
Tari tak menghiraukan Luna, ia pergi mencari perawat, ketika ditinggal berdua, ia dapati Evan yang terus menatap ke arahnya. Luna membelalakan matanya, membuat Evan memalingkan muka, Luna tak melepaskan pandangannya, biar saja bule itu salah tingkah dibuatnya.
Tak lama perawat datang dengan Tari yang masih tampak cemas.
"Anak saya itu lagi hamil, Sus. Kalau jatuh begini apa gak bahaya?" kata Tari, khawatir dan panik menjadi satu, tergambar jelas di wajahnya.
"Oh, lagi hamil? Soalnya mbaknya gak bilang apa-apa tadi," ujar perawat itu, takut disalahkan.
"Ya karena saya ngerasa baik-baik aja. Ibu! Kan udah aku bilang kalau —"
"Shutt ... Wes toh, meneng wae!" hardik Tari lalu kembali fokus pada perawat itu.
"Apa gak bisa di USG gitu? Biar saya gak kepikiran," lanjut Tari.
"Maaf, Bu. Yang bisa USG hanya dokter kandungan. Kalau malem gini cuma ada dokter jaga. Tapi biar saya periksa saja," ucap perawat itu lalu meminta Luna berbaring.
Perawat mulai memeriksa perut Luna, menanyakan apakah ada keluhan? Ada bagian yang sakit? Dan tak lupa menanyakan usia kandungan.
"Sejauh tidak ada keluhan, saya rasa baik-baik saja, Bu. Tapi biar Ibu lebih tenang, bisa besok pagi datang untuk USG ya, Bu!" jelas perawat itu kemudian pamit pergi setelah Tari mengucapkan terima kasih.
"Kan, Ibu nih! Wong aku ndak pa-pa tapi kalian ini yang heboh!" omel Luna menatap bergantian pada ibunya dan juga Evan.
"Wes! Aku mau pulang." Luna turun dari ranjang pasien, Tari gegas memapahnya.
Luna menunggu di depan, sementara ibunya dan Evan masih berada di dalam untuk membayar administrasi.
"Sudah, Bu?" tanya Luna ketika ibunya muncul.
"Sudah, ini Nak Evan yang bayar. Katanya gak enak, soalnya bawa kamu ke rumah sakit ini kan keputusan dia," ujar Tari seraya mengulas senyum.
"Kenapa sih dia? Caper!" gerutu Luna.
Seketika Tari memukul tangan anaknya itu, "kamu nih! Harusnya bilang terima kasih."
"Ibu sama si Mbah sama!" Luna mengerucutkan bibir, lalu berjalan dengan menyeret kakinya.
Seandainya mereka tahu kalau Evan lah yang menjadi penyebab hari ini dirinya dihina habis-habisan. Pokoknya jangan sampai pria bule itu dekat-dekat dia lagi.
***
Pagi-pagi sekali Tari sudah membangunkan Luna, memintanya untuk segera bersiap, ia akan membawa Luna untuk melakukan USG di rumah sakit. Sebenarnya Luna malas tapi ia tak bisa membantah karena bisa panjang ceritanya kalau berdebat dengan ibunya itu.
"Ibu sudah bilang sama Pak Kades untuk pinjam mobilnya lagi, kaki kamu kan masih sakit kalau naik turun angkutan," jelas Tari ketika mereka berjalan ke rumah Pak Kades -Andik-, mobil beliau juga yang dipinjam Tari semalam ke rumah sakit.
Dari kejauhan, ibu dan anak itu melihat Evan yang tengah mengobrol dengan Bapak Kepala Desa, mereka pun saling menyapa setelah mendekat.
"Ini katanya, Evan yang mau antar kalian ke rumah sakit," ujar Andik sambil menyerahkan kunci mobil pada Evan.
"Loh, memangnya ke mana Bagus?" tanya Tari mencari sosok pegawai Andik itu, dia juga yang semalam mengantar Tari ke rumah sakit dan membawanya pulang.
"Bagus lagi saya suruh ke kecamatan, lagi banyak kerjaan," jelas lelaki berkumis tipis itu.
"Ya sudah, berangkat. Nanti semakin siang, semakin mengantri," ujarnya mempersilakan mereka pergi.
"Enggeh!" balas Tari kemudian berpamitan.
Evan cekatan membuka pintu depan mobil untuk Luna tapi perempuan hitam manis itu justru menarik ibunya.
"Ibu saja yang di depan," ucapnya lalu memilih duduk di kursi belakang.
"Kenapa sih, harus dia lagi, dia lagi?!" gerundel Luna sambil melipat tangan di bawah dada.
Tari berbalik, menengok ke arahnya, memberi isyarat dengan matanya agar bersikap lebih baik.
"Nak Evan, apa tidak merepotkan?" tanya Tari segan.
"Tidak sama sekali, Ibu! Saya senang bisa membantu," jawabnya kemudian mulai melajukan mobil Avanza silver itu, sebelumnya Evan sempat mencuri-curi pandang pada Luna melalui kaca spion tengah. Ia menyukai senyum Luna tapi melihat wajah Luna yang cemberut ternyata tak kalah menggemaskan.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit semalam Evan membawa Luna dengan motor orang yang menyerempetnya. Awalnya mereka sempat berdebat karena tak mau motornya dipinjam. Ia juga merasa tak salah karena Luna sendiri yang menyebrang asal tanpa lihat kanan kiri. Namun Evan sengaja mengoceh dengan bahasa Inggris, membuatnya bingung dan akhirnya menyerahkan motornya untuk dibawa Evan ke rumah sakit.
"Saya ambilkan kursi roda," usul Evan lalu menemui perawat untuk meminjam kursi roda.
Evan terlihat begitu semangat membantu Luna, ia meminta Luna segera duduk di kursi roda yang ia bawa.
"Gak ah, Bu. Kayak aku sakit parah aja," tolak Luna malu.
"Kaki kamu kan lagi sakit, jalan aja susah. Ndak usah ngeyel, ayo duduk!" perintah Tari tak mau dibantah.
Akhirnya Luna pun menurut, ia tahu konsekuensinya jika mendebat ibunya. Evan dengan senang hati mendorong kursi roda itu, Luna semakin jengah padanya.
Setelah mendaftar, mereka menunggu di depan ruangan sampai nomer antrian milik Luna dipanggil masuk. Evan juga yang mendorongnya masuk ke ruangan ibu dan anak itu.
"Ngapain sih dia masih di situ?" gumam Luna saat melihat melalui ekor matanya, Evan berdiri di dekat pintu.
"Jadi mau USG ya?" tanya dokter kandungan yang bernama Sofia itu.
"Iya, dok. Semalam anak saya ini habis keserempet motor soalnya," jawab Tari.
"Aduh ... Lain kali harus hati-hati ya apalagi hamil muda. Ayo, berbaring dulu." dokter Sofia mempersilakan Luna menuju ranjang yang tersedia.
Setelah mengolesi perut Luna dengan gel, ia pun memutar-mutar alat di atas perut Luna itu. Menjelaskan apa saja yang tertera di layar monitor, Tari begitu antusias memperhatikan, berbeda dengan Luna yang acuh, sejujurnya ia tak mau tahu menau tentang bayinya itu. Mungkin lebih baik kalau terjadi sesuatu pada kandungannya itu semalam.
"Itu papinya, sini! Mau lihat dedek bayinya gak?" dokter Sofia melambaikan tangan kepada Evan yang sejak tadi berdiri mematung di tempatnya.
Tari dan Luna terkejut, sontak keduanya melirik Evan yang tengah kebingungan sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Me?!"
****
Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Kan udah aku jelasin, Bu! Kenapa nanya lagi sih?!" sahut Luna sedikit ketus. Semua tentang Richo adalah luka lama yang sudah lama ia kubur dalam, mengungkitnya sama saja dengan mengorek luka itu, sakit rasanya karena mereka berpisah bukan karena keinginan masing-masing. Luna tak pernah membenci ibunya Richo, sejak awal memang cinta mereka yang salah, tumbuh dalam keadaan yang tidak tepat. Sungguh tak tahu diri kalau orang biasa seperti dirinya berharap mendapatkan pasangan kaya raya, terpandang seperti Richo. "Soalnya Ibu liat Richo itu perhatian banget sama kamu. Ya udah maafin Ibu kalau kamu gak suka bahas itu," sesal Tari, ia merasakan ketidaknyamanannya putrinya. Luna menggenggam tangan ibunya yang ditaruh di atas pahanya sendiri, ia menatap Tari yang sempat tertunduk tadi. "Gak perlu minta maaf, Bu. Aku cuma pengen fokus rawat anakku aja, aku gak mau kita bahas yang lainnya, yang gak penting," ujar Luna. "Iya, Lun." Angguk Tari. "Oh ya, ngomong-ngomong, katanya tadi kamu ud
"Ibu gak perlu khawatir, Evan itu udah punya pasangan," ujar Luna setelah mendengar penjelasan ibunya bagaimana ia bertemu dengan Evan. Helaan nafas berat ibunya dapat Luna rasakan beserta raut wajah lega yang terpancar. Setidaknya hidup Luna tidak akan terganggu dengan ocehan orang-orang tentang hubungannya dengan Evan, Luna bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. "Tapi —" Luna menjeda ucapannya. "Tapi apa?" Kening Tari berkerut. "Evan itu ternyata saudaranya Pak Richard, Bu. Jadi —""Kalau kamu tetap ngajar di sana, berarti kamu pasti ketemu terus sama dia?!"Luna menganggukkan kepala pertanda membenarkan pernyataan ibunya. "Terus kamu mau ambil keputusan apa?" tanya Tari setelah jeda hening tercipta. "Mau gimana lagi, Bu! Aku gak bisa terus kerja di sana," balas Luna dengan menghentakkan bahunya. "Kamu yakin? Apa kamu gak sayang? Apalagi liat anak murid kamu yang udah deket gitu, kamu gak kasian sama dia?!" Pertanyaan Tari yang menerus itu membuat Luna gamang. Luna tak
"A-aku ...""Evan!" panggilan dari arah belakang mereka membuat kedua lelaki itu menoleh. Erica cepat berlari, langsung merangkul lengan Evan, dia tampak bahagia bertemu dengan pemuda itu, senyum serta rona merah di pipinya menghiasi wajah cantiknya itu. "Ck! Kakakmu loh di sini, malah cowok lain yang jadi prioritas," ketus Richo memalingkan wajah sebal. "Apaan sih, Kak! Sama Kakak kan bosen, tiap hari juga ketemu di rumah." Erica menyenggol lengan kakaknya itu, sikap manjanya terlihat dan Evan tak suka itu. "Eh, kamu mau ke mana? Aku anter ya?!" Erica langsung membawa Evan menjauh. Richo hanya bisa menatap punggung keduanya sampai hilang dari pandangannya. Dalam hatinya masih mengganjal pertanyaan yang belum dijawab Evan, sebenarnya apa hubungan dia dengan Luna hingga membuat ibunya terlihat kesal tadi? "Aku harus cari tahu!" tekad dokter muda itu, melangkah pasti menuju ruang rawat Luna. Begitu sampai di depan pintu, ia berpapasan dengan Tari, Richo segera menunduk sopan, tak