"Arumi,tolong temani suamiku untuk berbelanja! Stok makanan kita sudah hampir habis. Coba periksa lagi, apa saja yang harus dibeli!"
Perintah dari nyonya majikannya, sangat mengagetkan Arumi. Mana mungkin ia pergi berduaan satu mobil dengan tuan Dhafir. "Tapi nya!?", seru Arumi keberatan. Tentu saja ia merasa risih sekali berdekatan suami nyonya majikannya itu. " Jika kamu menolaknya,apakah kamu tega, jika saya yang belanja dengan kondisi seperti ini?" Maryam melihat ke pada Arumi dengan sorot mata yang menyedihkan, seolah olah minta dikasihani. Hati Arumi tercubit, tentu saja ia tidak tega melihat sang nyonya kepayahan membawa bobot tubuhnya yang subur itu. Seperti perempuan Arab pada umumnya, tubuh nyonya Maryam memang besar. Walau pun ia sedang sakit cukup parah namun bobot tubuhnya masih lumayan berat. Mungkin karena makanan yang ia konsumsi adalah makanan yang bergizi tinggi. "Sudah sana, susul suamiku, dia sudah di mobil!" Tak ada pilihan lain, Arumi mau tidak mau harus masuk ke mobil yang disopiri oleh tuan Dhafir sendiri, tidak ada sopir yang biasanya. "Duduklah di depan Arumi! Saya bukan sopirmu!" Gerakkan tangan Arumi berhenti di pegangan pintu mobil, ia tidak jadi membukanya, lantas menutup kembali pintu belakang dan beralih membuka pintu depan. "Pasang sabuk pengamanmu Arumi!" Suara berat dan tegas tuan Dhafir mengagetkan Arumi.Jantungnya berdetak dag dig dug, memompakan darah lebih cepat ke sekujur tubuhnya. Telapak tangannya berkeringat, dia risih, karena tidak terbiasa berduaan di dalam mobil dengan tuan majikannya. Pandangan matanya ia lemparkan ke luar jendela mobil, mengamati rumah kotak khas Arab dengan cat yang berwarna sama, bekejar kejaran seolah berlari ke arah belakang. Jika ia berbelanja dengan sopir, Arumi tidak pernah merasa sungkan. Mereka bebas berbicara walau kadang kadang si sopir suka bicara sedikit kurang sopan. "Turunlah! Kita sudah sampai!" Arumi sedikit kepayahan membuka sabuk pengaman, tanpa terduga tuan Dhafir mencondongkan tubuhnya yang besar ke Arumi dan membantu membuka sealtbelt yang kesulitan di buka oleh Arumi. "Astaga!" Arumi memekik dalam hati, jantung seolah melompat turun ke perut, saking terkejutnya ia atas perilaku tuan majikannya itu. Namun cepat Arumi menghilangkan gugupnya, setelah ikatannya terlepas, Arumi segera membuka pintu mobil dan menurunkan kakinya. Ia berjalan lurus tanpa melihat ke belakang karena ia yakin jika ia hanya sendirian masuk ke supermarket itu sedangkan tuan Dhafir menunggu di mobil. "Jangan lupa dahulukan kebutuhan istri saya, Arumi!" Jedar! Otak Arumi seperti meledak, suara berat itu tepat di liang pendengarannya di sebelah kanan. Ternyata tuan Dhafir sudah mensejajari langkah kakinya. Baru saja, tangan Arumi hendak.mengambil troler belanja, sudah keduluan oleh lengan kokoh milik tuan majikannya. "Fokuslah, dengan daftar belanjaanmu, biar saya yang mendorong kereta belanjaan ini". Arumi tidak membantah, ia mematuhi apa yang kata tuan Dhafir. Satu persatu ia memasukkan semua kebutuhan sesuai dengan catatan, sehingga troler itu nampak penuh oleh tumpukkan barang. Namun ada keriuhan yang terjadi di rumah majikan Arumi, tanpa Arumi ketahui. Nyonya Maryam menyuruh koki keluarga untuk menyiapkan banyak masakan untuk sebuah acara yang akan diadakan nanti malam. Sebenarnya, ia menyuruh Arumi belanja itu hanya akal akalannya saja, agar gadis itu keluar beberapa jam dari rumahnya. Ada rencana besar yang sedang ia jalankan, walau hatinya terbagi dua. Satu hatinya menginginkan kebahagiaan untuk suami tercintanya, walau ia harus hanxur lebur untuk.itu. Dan satu lagi hatinya sebenarnya menolak, namun sekali lagi demi kekasih halalnya ia harus merencanakan semua ini agar, Dhafir tidak nakal.di luaran sana. Kesibukkan terus berlangsung, para pekerja sibuk mengikuti sesuai intruksi nyanya rumah. " Tinggal sedikit lagi!" Nyonya Maryam tersenyum.puas, semuanya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Sedangkan Arumi, masih terjebak di antrian kasir yang mengular. Tuan Dhafir dengan sabar ikut mengantri, berdiri tepat di belakang punggung Arumi. Gadis cantik berparas manis itu merasa sangat tidak.nyaman, tubuh bagian belakangnya menempel rapat pada tubuh bagian depan milik tuan majikannya. Harum tubuh tuan Dhafir menusuk tajam ke lubang hidung Arumi, dan gadis itu menikmati sensasi itu dengan sangat nyaman. Giliran Arumi makin dekat, saat kasir mulai menghitung belanjaan milik Arumi, tuan Dhafir tetap tenang, sama sekali ia tidak merasa terganggu dengan dorongan dari belakangnya. "Ayo!" Begitu selesai membayar, tuan Dhafir menyenggol bahu Arumi pelan, karena dilihatnya gadis itu dari tadi bengong saja. "Untung cantik!", bathin tuan Dhafir sambil tersenyum, ada yang mulai nakal bergerak liar di bawah sana. Dari awak peetama Arumi datang ke rumahnya, Dhafir sudah mulai kepincut melihat kecantikkan alami yang dimiliki oleh gadis itu. Untuk ukuran wanita Arab, gadis itu terlihat mungil, padahal jika di negara asalnya dia termasuk memiliki tinggi badan di atas rata rata. Dhafir sangat mencintai istrinya, Maryam! Perempuan bangsawan Arab yang ia nikahi itu juga sangat patuh padanya. Sayang sudah setahun ini Maryam menderita sakit kanker serviks stadium akhir, sehingga tidak mungkin lagi ia bisa melayani suaminya di atas ranjang. Namun Dhafir harus menekan perasaannya dan menahan hasratnya, setiap kali nafsu birahinya datang. Dengan berbagai cara Dhafir mengatasinya, namun tetap saja ia merasa tersiksa. Ternyata Maryam paham, hingga suatu hari ia menyatakan pada suaminya, jika ia mengizinkan sang suami menikah lagi, namun perempuannya itu harus Arumi. " Alhamdulillah! Ternyata kau mengerti penderitaan suamimu sayang!" Dengan erat ia memeluk wanita tercintanya itu, hatinya melamvung ke awang awang, ia bahagia sekali karena sebentar lagi ia bisa mengobati dahaganya, dan bisa mereguk sepuas puasnya nikmat madu dunia itu. Tes..tes..tes..! Air mata nyonya Maryam terus menetes, sepotong daging di raganya, yang disebut hati, miliknya, sedang dirajam, disayat sayat oleh sebilah belati kebahagian suami tercintanya. Ia mengerti betul, tidak mungkin menuntut suaminya untuk menjadikannya wanita satu satunya du hati suaminya. Ia juga sangat paham, betapa pria tampan nan rupawan itu menanggung siksa demi menjaga setianya pada Maryam, istri yang ia kasihi segenap jiwa. "Sayang, apakah kau tulus mengizinkan aku menikah lagi?", tanya Dhafir hati hati. " Sangat, asal dia Arumi! Karena dia pasti mengizinkan aku untuk ikut memiliki anak kalian,vwalau sekejap sebelum aku pergi!", jawab Maryam dengan sebentuk senyum pahit untuk suaminya. "Pati sayang! Jika nanti anak itu hadir, milikilah sepuasmu, aku yakin Arumi pasti ikhlas berbagi denganmu!" Dhafir kembali menciumi wajah cantik dan sembab milik iatrinya itu. Terbayang olehnya sebentar lagi ia akan merasakan kenikmatan yang tiada tara. Seketika dunianya berwarna.Braakk..!! "Apa apaan ini Shiren?!" Ayahku melemparkan setumpuk kertas foto di atas meja makan, di mana saat itu aku sedang menikmati sarapan bareng adekku. Pagi itu, setelah sarapan aku akan segera berangkat ke sekolah. Namun kegiatan kami terpaksa berhenti karena ulah bar bar ayahku. Mataku melotot lebar, mana kala aku melihat beberapa fotoku bersama dengan Hendry berserakan. Bahkan ada beberapa foto yang menunjukkan jika kami bukan sekedar teman biasa. Di dalam foto itu kami begitu mesra, Hendry mengusap bibirku dengan tissu dan beberaoa foto saat aku memegang erat pinggang Hendry ketika berboncengan. Aku menggigil ketakutan, manakala aku melihat kilat amarah di mata ayahku. "Apa apaan ini? Pagi pagi sudah ribit!" Wajah heran ditunjukkan oleh ibuku saat beliau keluar dari kamarnya dan menuju ke arah kami. "Lihat anakmu!! Sudah kegatelan dengan jantan!", sembur ayahku dengan tatapan merendahkan. Ibuku melihatku lalu pandangan.matanya berganti ke atas meja.
"Shiren..!" Suara berat itu kembali.memanggil namaku. Aku bisa tahu siapa pemilik.suara ngebass itu tanpa melihat pemiliknya, Hendry Perkasa. "Jalan yuk!", pintanya. " Aku nggak bisa!", sahutku malas. "Ayolah! Aku yang traktir! Persetan dengan orang tua kita! " Hendry Perkasa menyeret tanganku ke parkiran. "Kita lewat pintu belakang untuk keluar, soalnya kara temanku tadi, mang sopir masih celingak celinguk menunggu kamu". Aku tidak.menyahut, ku biarkan eaja Hendry terus menyeret tanganku hingga memintaku untuk naik ke motornya. Jangan ditanya bagaimana situasi jantungku, sejak Hendry menyentuh lenganku, jantungku bergemuruh tidak karuan. Dentumannya menggila, seakan ingin menjebol rongga dadaku! Jujur, sudah lama aku menaruh hati pafa Hendry, cowok tertampan di sekolahku. Kami memang tidak satu kelas, kelas kami bersebelahan. Dainganku banyak untuk memperebutkan cinta dari Hendry, karena para gadis di sekolahku berlomba lomba menarik perhatiannya. Namun tak
"Shiren..!" Suara cempreng milik Nadira berasal dari bawah tangga. "Untuk apa bocah itu nongol pagi pagi? Bikin sebel!". Aku menggerutu, tapi tak ayal aku menyahut juga dengan suara tak kalah keras. Aku lalu turun melompati anak tangga. " Hey, kalian! Ini bukan hutan ya! Jangan jadi tarzan!" Ku dengar ibuku merepet sambil menata sarapan untuk kami di meja makan. "Wuih, sepertinya enak sekali itu tante!" Bocah manja tak tahu diri itu mepet ke tubuh ibuku dan memeluk tubuh ramping ibuku. Seolah olah ia mengklaim jika dia adalah anak kandung ibuku. "Duduklah!" Aku menggerutu di dalam hati ketika ku lihat ibu menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan telur ceplok di atasnya dan irisan timun. "Terimakasih tante, i love you tante. Tolong angkat aku jadi anak tante dan Shiren buang saja!", ujar Dira mskin kurang ajar dan tak tahu diri. Ia melirik aku dengan sadis namun kemudian ia tersenyum mengejekku. " Santai Shiren, cuma bercanda kok! Tapi jika betul, aku akan la
Kini mereka bertiga sudah duduk.di bangku beton di sudut halaman rumah. Dengan gaya penuh perhatian, untuk mencari muka orang tuanya Arumi, Bakhtiar menyusun makanan yang ia bawa tadi. Lalu ia menyodorkan kepada ayah lalu ibunya Arumi. "Silahkan dimakan pak, bu! Mumpung masih panas!" Sebenarnya Arsyad tidak.suka dengan cara Bakhtiar terhadap mereka. Pria tua itu tahu, ada maksud tersembunyi dan licik di balik kebaikan yang dipertontonkan oleh anak muda itu. "Motor baru bro..?" Seorang pekerja menyusul mereka sambil membawa sebungkus nasi padang. "Pinjam, punya teman", elak Bakhtiar. Ia tidak enak dengan orang tua Arumi. Ia takut mereka mencurigainya karena sudah tidak memegang amanah dari Arumi. " Punya teman atau punya temaannn?", kejar Rusli, nama pemuda yang bekerja di rumah pak Arsyad. "Wuiih, motor siapa ini? Merah menyala abangku!" Seseorang yang bernama Benu, ikut bergabung. "" Itu kan motormu Bakhtiar? Tadi malam aku melihat kau berboncengan dengan p
"Wuuiiih, motor baru nih pak Mandor!" Pujian penuh kekaguman meluncur dari mulut Mamad. Matanya takjub memandang motor besar berwarna merah menyala, begitu ngejreng menyilaukan karena paparan sinar matahari. "Bakhtiar, gitu loh!" Pria di atas motor itu menepuk dadanya dengan angkuh. Dengan polosnya Mamad mengitari motor merah itu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara decakan. "Ck ck ck, hebat kau ya!" Sambil mengitari ia mengelus elus bodi motor itu. "Apa sih, norak tahu!", dengkus Bakhtiar risih, karena para pekerja sudah mulai memasuki tempat itu. " Dari mana duitmu untuk beli ini? Jangan jangan kau korupsi ya?!", tanya Mamad menuduh. "Sembarangan kau! Sana kerja! Jangan.menyebar rumor tak sedap, bisa ku pecat kau!", ancam Bakhtiar penuh tekanan. Jarum jam terus bergerak, sudah menunjukkan angka delapan lewat, sudah mulai waktunya untuk bekerja. Setelah mengultimatum temannta itu, Bakhtiar menghubungi seseorang di ujung sana. " Cepat diantar ke proyek b
"Silahkan mandi nyonya, mari saya bantu!", ujar Arumi sopan. Maryam mendengkus tak suka, baginya suara lembut Arumi hanyalah kedok belaka demi mencuri simpatinya saja. Jika ia mampu saat itu juga ia ingin menendang Arumi jauh jauh darinya. " Cepat urus aku seperti biasa, karena kamu adalah pelayanku! Tetap pelayanku! Persetan dengan Dhafir! Persetan dengan kehamilanmu! Karena anak.itu anakku dan Dhafir, yang cuma dititipkan di rahimmu saja! Setelah ia lahir, kau akan aku usir dari rumahku dan kembalilah ke negaramu saja!" Mendengar omelan majikannya tentu saja Arumi bingung sekaligus terpancing emosinya. "Nyonya, aku akan mengurus nyonya dengan baik, tolong jangan membentak saya! Jika nyonya tidak suka dengan saya, nyonya bisa meminta tuan Dhafir memecat saya!" Namun ia berusaha keras untuk menekan emosinya agar tidak membalas ocehan receh nyonya Maryam. "Tak perlu berpikir terlalu keras dan terlalu jauh nyonya! Saya takut nyonya ngedrop, bukankah nyonya sedang sakit? Haru