Antara Hormat dan Hasrat

Antara Hormat dan Hasrat

last updateLast Updated : 2025-11-07
By:  Jihan JayaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
6Chapters
12views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Aku istri seorang Mayor. Hidupku diatur oleh jadwal, aturan, dan suara langkah sepatu yang jarang pulang. Sampai aku mengenalnya: Arsa, bintara muda yang selalu datang setelah acara korps istri perwira. Sikapnya sopan, tutur katanya halus, tapi ada sesuatu di balik setiap hormatnya yang membuatku sulit bernapas. Kami tahu batasnya. Dunia kami penuh hierarki dan pandangan. Tapi setiap kali ia menatap, aku lupa cara berpura-pura tenang. Dalam diam, aku belajar bahwa yang paling menantang bukanlah melanggar perintah, melainkan menahan diri ketika cinta tumbuh di tempat yang seharusnya terlarang.

View More

Chapter 1

Di Bawah Bendera Kolonel

“Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan, Nara.”

Kalimat itu meluncur di udara seperti peluru kosong, tak menyakiti fisik, tapi memukul harga diri.

Kolonel Damar mengucapkannya di depan puluhan prajurit yang berdiri tegak di bawah matahari. Tak ada yang berani menoleh, tapi Nara tahu semuanya mendengar. Ia berdiri di sisi lapangan, tangan menahan payung yang tak perlu, wajahnya setenang porselen. Suaminya menatap lurus ke depan, seolah yang tadi dihardik bukan istrinya sendiri.

Tepuk tangan seremonial pecah sesaat kemudian.

Hanya formalitas, tapi bagi Nara, bunyinya seperti tepuk tangan untuk penghinaan kecil yang sah-sah saja.

Ia menunduk sopan, lalu melangkah mundur. Tanah basah setelah hujan, hak sepatunya terperosok.

Sebuah tangan menahan bahunya sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan.

“Hati-hati, Bu.”

Suara itu tenang, pelan, tapi cukup dalam untuk menembus segala kebisingan. Ia menoleh; seorang bintara muda, wajahnya bersih, seragamnya rapi tanpa cela. Nama di dada kirinya tertulis: Arsa Wijaya.

“Terima kasih,” katanya cepat, hampir berbisik.

Arsa mundur setengah langkah, memberi hormat, lalu kembali ke barisan. Namun bagi Nara, waktu berhenti di antara jarak itu, jarak yang terlalu dekat untuk disebut sopan, tapi terlalu jauh untuk disebut salah.

***

Siang merayap perlahan. Upacara selesai, dan para istri perwira berkumpul di tenda VIP, menunggu giliran berfoto. Nara menatap langit-langit tenda yang panas, mendengarkan tawa kecil para perempuan yang membicarakan tas, seragam, dan promosi jabatan suami mereka. Ia tersenyum seperlunya, tapi matanya kosong.

Di luar tenda, Arsa sibuk memindahkan kursi lipat. Gerakannya mantap, efisien. Ia bekerja seperti seseorang yang tahu arti tanggung jawab. Nara memperhatikan dari balik tirai tenda; bukan karena ingin, tapi karena matanya menolak berpaling.

“Kamu baik-baik saja, Bu?” tanya Letnan Sari, ajudan Damar.

“Baik,” jawab Nara.

Namun dalam hatinya, kata itu terdengar seperti dusta yang sudah fasih diucapkan.

***

Kolonel Damar menghampiri. Wajahnya tampan, keras, dan rapi, seperti semua yang selalu ingin ia kendalikan.

“Nara, aku harus ke ruang rapat batalyon. Pulang dulu saja. Sopir siap di luar.”

Ia tidak mencium tangan istrinya, tidak menatap lebih dari satu detik.

Semua ucapan mereka terdengar seperti protokol, bukan percakapan rumah tangga.

“Iya, Kolonel.”

Nara jarang memanggilnya dengan nama; pangkat lebih aman.

Begitu Damar pergi, udara di sekitarnya seakan kehilangan arah.

***

Di perjalanan pulang, Nara menatap keluar jendela. Lapangan mulai kosong, hanya beberapa prajurit yang masih membereskan perlengkapan.

Ia melihat Arsa sedang menutup tenda besar, kaus dalamnya tampak lembap menempel di punggung. Satu helai rambut di pelipisnya jatuh oleh angin.

Sopir menegur, “Ibu, mau langsung ke rumah dinas?”

“Iya,” jawabnya cepat, menahan diri untuk tidak menoleh lagi. Tapi matanya sempat menangkap pantulan di kaca, sosok Arsa yang berdiri tegak sambil menatap kendaraan yang menjauh.

***

Rumah dinas Kolonel Damar luas tapi dingin. Jam dinding berdetak dengan suara berlebihan. Nara menggantung blazer seragamnya di kursi, melepas topi, lalu duduk. Ruang tamu itu terlalu bersih, terlalu rapi, seperti panggung yang tak pernah dipakai.

Ia membuka tirai jendela. Dari sini, markas masih terlihat samar di balik pepohonan. Suara peluit latihan sore terdengar jauh, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

“Ini konyol,” gumamnya.

Namun tubuhnya sendiri tak percaya.

Bayangan tangan yang tadi menahannya kembali muncul di kepala.

Tidak ada yang istimewa, tidak ada kata manis, tapi ada sesuatu yang mengingatkannya bahwa ia masih bisa merasa, dan itu menakutkan.

***

Senja datang.

Cahaya oranye masuk ke ruang makan, menyentuh cangkir teh di meja.

Nara duduk di kursi sendirian, menatap uap yang pelan-pelan hilang.

Ia memikirkan kata-kata suaminya pagi tadi, “Kau tak perlu ikut kalau hanya menjadi gangguan.”

Mungkin Damar tak bermaksud jahat.

Mungkin baginya, disiplin adalah bentuk cinta yang paling jujur.

Tapi bagi Nara, cinta tanpa kehangatan hanyalah perintah yang panjang umur.

Ia menatap tangannya sendiri.

Jari itu sempat hampir disentuh seseorang yang bukan suaminya, dan anehnya, bagian itulah yang terus berdenyut.

Rasa bersalah menyelinap cepat, tapi rasa hidupnya juga ikut bangkit dari kubur yang lama.

***

Pukul delapan malam, Damar pulang.

Langkahnya berat, seragamnya masih wangi bensin.

“Istriku sudah makan?” tanyanya sambil menaruh topi di meja.

“Sudah,” jawab Nara lembut.

Ia menyiapkan teh tanpa diminta, meletakkannya di hadapan Damar.

“Terima kasih.”

Hanya itu. Tidak lebih.

Ketika Damar masuk ke ruang kerja, Nara berdiri lama di depan jendela.

Dari kejauhan, lampu-lampu markas masih menyala.

Ada suara anjing menggonggong, lalu sunyi lagi.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca: wajah sempurna, tanpa cacat, tapi matanya menyimpan sesuatu yang baru; kerapuhan yang hidup.

Di markas, semua orang belajar menahan diri.

Tapi malam itu, Nara baru sadar, yang paling sulit ditahan bukanlah keinginan, melainkan ingatan.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
6 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status