Sudah sepi, anak-anak sudah tidur semua termasuk Lova yang biasanya kalau tidur siangnya lebih dari cukup, mulai tidur setelah larut malam. Entah bagaimana, tiba-tiba bayang-bayang Ratna melintasi benak yang penuh sesak oleh Mas Tyas. Kata-kata dalam suratnya kemarin, maksudku. Terlihat nyata di pelupuk mata, seolah-olah dia yang berbicara langsung, menggema di telinga. Oh, semua ini kesalahan Mas Tyas. Sampai hati sekali dia, melakukan semua ini padaku. Berbohong, berkhianat. Untuk apa? Untuk tetap terlihat powerfull di mataku? Ckckckck, lebih mengherankan sekaligus memprihatinkan lagi, dia juga tega berbohong pada Ibu.
Apa, Ibu salah apa?
Memang benar, kadang-kadang Ibu terlihat dingin dan sinis tapi itu kan, karena kesalahan kami juga? Kesalahannya, sebenarnya. Kenapa nekat ikut aku pulang dulu? Kalau tidak, tak mungkin kami menikah dalam waktu yang secepat itu. Dinikahkan secara paksa, untuk lebih tepatnya. Tak mungkin putus kuliah. Ya, wala
Ya, sudahlah!Biarkan saja Mas Tyas seperti itu. Tak ada gunanya juga aku emosional atau mengamuk sekalipun. Karena apa? Mas Tyas tidak akan pernah tahu itu. Iya, kan? Sekarang, lebih baik berpikir praktis dan realistis. Lebih kuat lagi berpijak pada kenyataan yang ada sesuram apa pun itu. Ibaratnya, harus berani menenggak walaupun lebih pahit berlipat-lipat dari pada brotowali. Benar? Ya. Nah, lebih tepatnya, bagaimana caranya bertahan hidup bersama anak-anak. Oh, mustahil aku menghentikan kehidupan hanya karena frustrasi dengan semua sikap jahat the Crazy Man. Bagaimanapun harus kuat dan tegar untuk mereka. Langit, Bumi dan Lova, mutiara-mutiara hatiku.Mungkin Mas Tyas sedang mabuk?Minimal kesadarannya terindah oleh tumpukan hutang yang segunung Merapi atau Ratna yang mungkin di matanya jauh lebih baik dari pada aku. Oh, mungkin dia juga masih frustrasi dengan usaha kolam lelenya yang bangkrut total dulu? Ah! Entahlah, aku tak tahu. Tak men
Resmilah sudah, mulai hari ini aku tidak punya ponsel lagi. Sudah hancur berkeping-keping di tangan jahat Mas Tyas. Tak habis pikir, apa maksudnya, coba? Kenapa harus dibanting? Kenapa suka sekali merusak barang-barang di rumah, seolah-olah semua itu datang begitu saja dengan jalan sim salabim aura kadabra. Ujug-ujug ada. Oh Mas Tyas, apa yang sudah merasuki jiwanya?Tahukah kalian, apa yang membuat aku bersedih hati? Itu satu-satunya ponsel yang aku punya. Apa Mas Tyas lupa? Jangankan untuk membeli ponsel, sedangkan untuk membayar uang sekolah anak-anak yang bulan depan saja masih berkabut rasanya. Semakin penasaran, sebenarnya dalam diri Mas Tyas itu ada otak dan hati tidak, sih?Tok, tok, tok!"Assalamu'alaikum, Mbak Ayung!" suara khas Dik Uji memberai benang kusut dalam otakku, "Bude, Mbak Lova …?"Sesegera mungkin aku meraih jilbab yang tergantung di balik pintu, memakainya. Memakai kaos kaki, meluncur dengan kekuatan b
Dari sorot mata Ibu aku tahu kalau dia menunggu jawaban alias kejujuran dariku. Tentu saja, aku sangat menghormati itu dan tanpa basa-basi lagi dalam bentuk apapun, aku memenuhi permintaannya. Apa, apa yang harus aku takutkan? Mas Tyas? Tidak perlu lagi."Lho, Bu … Ayung … Itu, warungnya sudah jadi lho, Bu." walaupun gugup, aku tetap berusaha untuk berbicara, "Alhamdulillah, Ayung buka celengan untuk modal."Ibu terlihat semakin bingung, seluruh kulit wajahnya berubah menjadi merah, "Lho, gimana to? Kata Tyas kamu mau pakek uang Ibu dulu? Gimana to ini, yang bener tuh siapa?"Sejujur-jujurnya kukatakan, aku jadi tidak enak hati. Begitu lagunya dia menghadapi Mas Tyas yang sudah berubah menjadi penjahat. Begitu percaya, padahal semua kata-katanya adalah dusta belaka. Oh, andai Ibu tahu, sudah empat malam Mas Tyas tidak pulang ke rumah. Ya dan andai Ibu juga tahu, kalau anak lelaki kesayangannya itu juga sudah berani bersikap jahat terhad
Rasanya sudah sangat lelah tapi tidak mungkin menyerah. Dua puluh juta atau berapapun itu, aku tetap harus mengusahakannya. Itu untuk biaya pendidikan anak-anak lho, mana mungkin menyerah begitu saja. Hanya saja masalahnya sekarang, Dek Puri sudah tidak jualan makanan lagi, sedangkan jualan online-nya juga sudah mau ditutup. Suaminya sudah menjatuhkan larangan katanya, karena baru dalam program hamil anak ke dua. Artinya, satu jalan usaha telah tertutup.Baru saja Dek Puri chat aku, sekaligus meminta maaf karena mendadak sekali memberi tahunya. Tentu saja, aku maklum. Bisa menerima. Namanya juga seorang isteri, harus nurut apa kata suami, bukan? Lagi pula, suami Dek Puri kan bertanggung jawab penuh? Jualan online atau pun makanan kan, hanya untuk pekerjaan sembilan saja. Iya, kan?To: Mbak AyungFrom: Dek Puri[Mbak Ayung, maaf banget ya, Mbak?][Sebenarnya aku nggak enak banget sama Mbak][Tapi gimana lagi, bapake udah nggak bolehin aku
Sungguh, walaupun pihak sekolah memberikan kelonggaran selama tiga bulan untuk kami melunasi tunggakan uang sekolah anak-anak tapi tetap saja tidak tenang. Rasanya seperti dikejar-kejar vampire atau yang lebih menakutkan dari pada itu. Selera makanku switch off begitu juga dengan kenyamanan tidur. Sering terjaga setiap malam atau malah tidak tidur sama sekali di sepanjang malam sampai lemas dan gemetar keesokan harinya. Bagaimana lagi? Saat ini, uang dua puluh juta bukan nominal yang sedikit bagiku. Jangankan segitu, dua puluh ribu saja sudah ngos-ngosan untuk mendapatkannya. Ibarat kata, sampai lolos tulang berulang dari tubuh."Ya, Mbak Ayung?" suara Limas di seberang sana terdengar hangat dan ramah membuat semangatku untuk meminta bantuan kian menguat di dalam jiwa, "Gimana Mbak, kata Dek Lesta kemarin nyariin aku, ya?"Terpaksa. Sejujur-jujurnya kukatakan, aku terpaksa meminta bantuan Limas. Tidak apa-apa lah, selama enam bulan ini tak menarik bag
Rasanya seperti mendapatkan jahitan lima belas di jalan lahir tanpa obat bius begitu menyadari siapa perempuan yang diajak Mas Tyas pulang. Tak salah lagi, dia itu Sari. Iya, Sari. Sahabat dekat aku selain Ajeng dan Dik Puri. Wah, Mas Tyas pasti sudah berstatus sebagai ODGJ, asli. Apa dia tidak tahu kalau Sari itu sahabat dekatku? Lihatlah, tanpa sedikit pun rasa malu mereka begandengan tangan, masuk ke ruang tamu. Oh, mungkin hati kiamat sudah semakin dekat. Mas Tyas bahkan tidak menyapa anak-anak sama sekali. Padahal Lova merangkak cepat untuk menyambutnya, lho. Tapi dia bergeming seolah-olah Lova bukan anak kami."Mas, tolong jaga Adek sebentar, ya?" kataku pada anak-anak, "Mama mau ketemu sama Ayah dulu. Ya?"Langit menarik tanganku, memandang dengan sorot mata penuh kekhawatiran, "Mama yakin?"Aku mengangguk, memejamkan mata. Membuka mata kembali dan memandangi anak-anak cintaku satu per satu. Yakin. Hatiku sudah yakin dan sekarang juga ha
Kali ini aku benar-benar hancur, berkeping-keping!Mungkin lebih hancur dari pada daratan yang dihujani rudal. Bagaimana tidak? Bukannya menyadari setiap kesalahan yang telah diperbuat, Mas Tyas justeru semakin gila. Bukti nyatanya, Sari. Tak pernah terpikir olehku kalau ternyata dia suka bermain perempuan. Tak sedikit pun terlintas dalam benak, setelah Ratna yang bagiku misterius, masih ada Sari. Aku semakin yakin, dalam tubuh Mas Tyas tak ada sesuatu yang bernama perasaan. Kalaupun ada, berarti perasaannya itu sudah tumpul. Jelas-jelas kami bersahabat dekat, masa Mas Tyas tak tahu? Buta mata hatinya, hanya karena nafsu.Ah, sudahlah!Takkan ada habisnya kalau membahas Mas Tyas dengan segala kegilaannya itu. Bahkan, sampai detik ini---tiga hari pasca kepulangannya bersama Sari---belum menghubungi aku sama sekali. Sungguh, sampai-sampai aku menyimpulkan kalau Mas Tyas sudah kumpul kebo bersama Sari. Apa lagi? Mustahil dia pulang ke rumah Ibu, karena tak ad
Apa, siapa yang jadi pengantin?Siapa yang menikah?Nyaris saja jantungku terlepas dari tempatnya dalam arti yang sesungguhnya, begitu mengalihkan pandangan ke depan. Di sana, di depan rumah Ibu berdiri tenda biru dengan janur melengkung sepaket lengkap dengan kelapa gading dan pisang di kanan kirinya. Ajaib, ini benar-benar ajaib. Sukses membuat otakku konslet dalam sekejap mata. Oh, rasanya aku ingin menjerit-jerit sambil mengacak-acak kerudung seperti orang gila."Udah bubar deh Ma, kayaknya?" seloroh Bumi membulat utuhkan kesadaranku, "Tapi siapa yang jadi manten ya, Ma? Aku ke sana duluan ya Mama, tanya sama Uti?'Sepenuh sadar, aku menahan Bumi. Menarik tangannya sebagai isyarat supaya dia tetap di sini bersamaku, "Mas Bumi, kita barengan saja. Sebentar, Mama parkir motor dulu di depan Masjid, ya? Yuk, temani Mama, yuk?"Sebagaimana yang biasa dia lakukan terhadapku, Bumi patuh. Menjajariku berjalan ke Masjid, tanpa berkata-kata. It