Share

Rapat Keluarga

Aku mengadakan rapat keluarga keesokan paginya, mewajibkan Mas Tyas untuk hadir, tentu saja. Tapi seperti biasa, dia mangkir. Tanpa alasan, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan uang dua puluh ribu di atas kulkas. Uang jatah belanja untuk sehari. Benar-benar handal, profesional. Bukan caranya meninggalkan uang, maksudku. Bukan jumlah uangnya juga yang membuatku mengelus dada tapi kepergiannya yang tanpa pesan maupun kesan. Padahal, baru saja dia menyakiti hati Langit dengan mengingkari janjinya untuk membelikan laptop sejak setahun yang lalu. Tapi tetap saja tidak merasa bersalah. Tetap saja angkuh dan sombong. Ada ya, anak manusia minus perasaan seperti dia? 

Hemmmhhh! 

Rasanya seperti membeli kucing dalam karung, sungguh. Oh, andai bisa memutar waktu kembali. Aku takkan sudi berkenalan dengan Mas Tyas walaupun dia bersimpuh di kakiku sekali pun. Walaupun dia memohon-mohon sampai menangis darah pun aku takkan peduli. 

"Ayah nggak pamit kan tadi, Mas Laut?" aku bertanya dengan menahan perasaan yang menggelegak di rongga dada, "Ada yang tahu, berangkat kerjanya jam berapa?" lagi, aku bertanya sambil menatap wajah mereka satu per satu. Ya, siapa tahu kan, mereka mendengar Mas Tyas berderap menuruni tangga atau menyalakan mesin sepeda motornya? Aku sibuk mengurusi Lova tadi, baru demam dia. Sejak semalam sih, sekitar jam sebelas. Mungkin kecapekan merangkak atau bermain bersama mas-masnya. 

"Aku denger Ayah nyalain mesin motor tapi pas aku turun, Ayah sudah nggak ada … Sudah berangkat. Terus aku lihat ada uang dua puluh ribu di atas kulkas. Mungkin untuk maem kita, Ma?" detail, Laut menjelaskan dan Bumi menimpali, "Aku cuma denger pas Ayah nutup pintu malahan terus aku tidur lagi!"

Sama sepertiku, Langit menyimak sambil memandangi kedua adiknya itu bergantian. Bersyukur sekali rasanya karena wajahnya sudah tak sekeruh tadi malam, sudah lebih bening dan segar lah. Tak terlalu jelas lagi gurat-gurat kekecewaan atau pun kemarahan di sana. Bahkan, sesekali kulihat dia tersenyum saat Laut atau Bumi membuat candaan atau kelucuan. 

"Ya sudah … Berarti ini rapat antara Mama dengan kalian saja, ya?" kataku meminta persetujuan, "Gimana, soalnya ini penting banget. Menyangkut masa depan kita sekeluarga." 

Sebenarnya aku hanya ingin meminta persetujuan Mas Tyas dan anak-anak untuk membuka warung jajanan anak di rumah. Tapi karena di sini sudah banyak warung, aku mau membuat segmen dagangan yang berbeda. Es lilin, nugget pisang dan nugget sayuran. Lumayan kan, bisa untuk uang jajan anak-anak di sekolah. Apalagi kan, Langit juga sudah mulai banyak kebutuhan di pondoknya. Laut juga, persiapan kelulusan SD. Ya, pokoknya semakin banyak lah, kebutuhan mereka. Sepertinya tidak cukup hanya dengan mengandalkan hasil menjadi reseller. Iya, kan? Sekalian memanfaatkan garasi yang belum juga berfungsi karena mobil impian belum juga terbeli, sih. Paling-paling untuk tempat sepeda motor, itu pun masih sisa banyak. Lagi pula kalau memang warung kami sudah berjalan nanti, bisa diparkir di depan teras atau di depan garasi mepet ke pagar, kan? Take it easy sajalah, pokoknya. 

"Ya udah, Ma." kata Laut dan Bumi hampir bersamaan, sementara Langit bergumam, "Ya nggak apa-apa, Ma. Ngelibatin Ayah juga belum tentu dia mau. Dari pada rungsing mikirin Ayah, mendingan kita jalan saja berempat."

Aduh, aku sampai deg-degan mendengar jawaban Langit. Rasanya begitu dalam, begitu besar. Sedih, lho. Karena kan, berarti kepercayaan Langit pada Mas Tyas sudah mulai memudar. Duh, ini masalah berat, bukan main-main. Bukankah seorang anak yang sudah berkurang rasa percayanya pada orangtua, akan mencari figur yang lain yang lebih bisa dipercaya menurutnya. Iya, kalau figur itu orang baik, kalau tidak? Wah, bahaya. Ini warning untukku dan Mas Tyas wajib tahu. 

"Memangnya ada apa sih, Ma?" Laut bertanya sambil mengernyitkan dahi, "Mama kenapa?" 

Aku tersenyum simpul, meminta mereka lebih mendekat padaku lagi. Bukan apa-apa. Ini rahasia keluarga yang tak perlu didengar oleh penyadap dalam bentuk apapun apalagu hacker. Eh! Entahlah, apa itu istilahnya? Orang yang suka mengintip ke dalam rumah karena rasa penasaran yang menggebu di dalam hati. Hehe. 

***

Langit mendekatiku dengan wajah lesu. Aku yang sedang berusaha menidurkan Lova langsung meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai kode untuk memelankan suara. Langit mengangguk, duduk di kursi dengan sangat hati-hati, kelihatannya. 

"Ada apa, Mas Langit?" setengah berbisik tapi penuh perhatian aku bertanya, "Nanti ya, kalau Adek bobok, kita berangkat beli laptop? Adek biar dijaga Dek Laut sama Dek Bumi."

Tak ada sepatah kata pun terlontar dari mulut Langit, jadi aku mencuil ujung dagunya penuh sayang, "Jadi kan Mas Langit, beli laptop?" 

Sejujur-jujurnya kukatakan, kalau sekalian beli laptop Langit, modal untuk membuka warung juga mepet. Kalaupun ada dana cadangan, ya tidak seberapa. Jangankan tiga kali lipat seperti teori bisnis, ada dana cadangan saja sudah sangat bersyukur. Tapi, yaaa, bagaimana lagi? Mas Tyas seperti itu, malah semakin kelam. Semakin egois dan kekanakan, yang jelas. Fine, dia mau menjaga dan merawat Ibu di rumahhya, silahkan tapi jangan lupakan kami. Itu saja. 

"Jadi, Ma." jawab Langit dengan mimik wajah serius, "Tapi biar Ayah saja yang beli. Kan, Ayah yang sudah janji sama aku, bukan Mama?" 

Jlep, plaaasss!

Menyadari apa yang ada dalam benak Langit, aku nyaris menjerit histeris. Untung sadar kalau menggendong Lova yang sudah tertidur lelap dalam gendonganku. Wah, tidak apa-apa sih, kalau Langit mau menunggu Mas Tyas menepati janji. Itu artinya uang yang tadi kuanggarkan untuk membeli laptop bisa kugunakan untuk modal buka warung. Berikutnya, yang paling penting, Langit masih mempercayai Mas Tyas, kan? Eh! Itu tadi bukan kalimat patah hati, kan? Bukan patah hati dibalik kebahagiaan, kan? 

"Mas Langit nggak apa-apa nunggu Ayah bisa beli?" sedikit khawatir aku bertanya sambil menjajarinya duduk di kursi ruang tamu, "Jadi, nanti Mas Langit berangkat ke pondok, kan?" 

Diam. Langit tak memberikan jawaban meskipun hanya secuil kecil kata, membuatku semakin khawatir. Tapi karena ucapan seorang ibu sama dengan doa yang dipanjatkan, aku tak berani menanyakannya pada Langit. Cukup di dalam hati saja dan semoga semua itu berakhir di ruang kekhawatiran saja, tidak lebih. 

"Besok saja ya, Ma?" kata Langit pada akhirnya, memukul-mukul hatiku dengan sangat kerasnya, "Aku pingin ngomong sama Ayah dulu." 

Karena kekhawatiran semakin membesar di rongga dada aku mengatakan ini padanya, sambil memasang wajah serius, "Lah, ayahmu saja malah gitu, kok. Mbok udah to Mas Langit, balik ke pondok saja nanti sore ya, biar Mama yang nganterin. Mau bawa oleh-oleh apa, biar Mama beliin … Mau sangu makanan apa, kita belanja, yuk?" 

Nol besar! 

Bukannya menanggapi atau bagaimana, Langit malah berlari menaiki tangga, meninggalkanku dalam keadaan yang sangat semrawut. Khawatir, takut dan bingung campur aduk menjadi satu, sungguh. Ugh, ingin rasanya menyeret Mas Tyas pulang, biar dia tahu apa yang terjadi di rumah!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status