Tanpa kusadari, Langit turun dari taxi dan berlari masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang tak pernah kami kunci. Langkah kakinya terdengar berlari menaiki tangga. Sekian detik setelahnya terdengar suara pintu terbanting dengan sangat keras dan menimbulkan suara gaduh.
Braaakkk …! Tanpa ampun, aku mendelik tajam menatap Mas Tyas. Semua ini gara-gara dia yang sering ingkar janji. Langit yang anak baik, penurut, pendiam dan cerdas pun jadi emosional dan kasar begini. Sudah begitu, bisa-bisa dia justeru menyalahkan Langit. Men-judge dengan kata manja, cengeng dan mudah patah hati. Apa tidak sadar, kalau kata-katanya yang tadi itu bisa menambah luka di hati Langit? Ckckckck, kupikir, setelah belasan tahun jatuh bangun dalam perjuangan hidup Mas Tyas akan menjadi pribadi yang dewasa. Kegagalan demi kegagalan, seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga, kan? Bukannya malah mengikatnya dalam sifat kekanakan dan egois seperti ini? Hemmmhhh, aku semakin tidak mengerti, apa yang telah merasukinya? "Pak, maaf ya, Pak …?" kataku pada supir taxi yang akhirnya ikut turun setelah Bumi dan Laut, "Kami nggak jadi pergi ke Grand Computer. Jadi, ganti biaya tunggu berapa ini, Pak?" Tidak enak rasanya, membatalkan orderan tapi bagaimana lagi? Kalau sudah begitu, butuh waktu berjam-jam untuk menenangkan dan membujuk Langit. Apalagi kalau sampai mengurung diri di kamar. Waaah, bahaya. Ya Allah … Apa Mas Tyas tidak bisa memahami ya, anak kalau sering menahan kecewa, marah dan sakit hati, akan seperti ini jadinya? Lama-lama bisa meledak seperti gunung berapi mengeluarkan magma. "Oh, monggo lah, Ibu badhe maringi pinten?"* Oh, silakan lah, Ibu mau ngasih berapa? Supir taxi berujar sopan, membuatku respect. "Ini Pak, asa kurangnya kami minta, ya?" kataku sambil mengangsurkan selembar uang dua puluh ribu kepadanya, "Makasih banyak ya, Pak?" Supir taxi yang usianya sekitar lima tahun di atasku itu tersenyum santun, menerima uang dariku dengan raut wajah tulus, "Nggih, sekedap, Bu!"* Ya, sebenatar, Bu! Siapa sangka, kalau dia akan berbaik hati dengan memberikan kembalian dari uang yang tadi kubayarkan? Sebenarnya aku sudah menolak karena memang itu tugasku sebagai pelanggan yang membatalkan orderan tapi dia memaksa. Katanya biar untuk beli jajan buat Lova. Rezeki tidak boleh ditolak, kan? "Sama orang lain saja, ramah … Lembut-lembut tapi coba sama suaminya sendiri, bawaannya pasti cerewet, bawel!" sindir Mas Tyas sambil melepaskan helm dan jaket, "Gajah di pelupuk mata nggak kelihatan, semut di seberang lautan kelihatan banget. Kayak gitu, aku ngusurin Ibu saja bilangnya ini lah, itu lah. Kalau cem---""Dasar, egois!" aku menyembur kasar setelah memastikan Lova masih terlelap dalam gendongan, "Sudaha salah nggak mau ngaku salah, nggak merasa bersalah!"***Seperti kejadian sebelumnya aku minta bantuan Laut dan Bumi untuk menjaga Lova di kamarnya. Karena masih tidur, aku membolehkan mereka menonton TV di ruang keluarga, depan kamar Lova plus kamarku. Hehe. Aku juga sudah berpesan, kalau dia bangun, jangan diipuk-ipuk atau diajak bicara tapi disusui saja. Botol susunya di samping meja, samping tempat tidur. "Soalnya Mama harus menenangkan Mas Langit dulu, ya?" aku memungkas bijak, "Kalau Mas Laut mau goreng French Fries juga boleh, buat teman kalian nonton TV. Mama nggak lama, kok." Semua anak kecuali Bumi, sudah kubolehkan memasak sendiri dengan catatan harus hati-hati dan waspada dengan yang namanya kompor, pisau dan semua peralatan memasak. Jangan sampai membahayakan diri sendiri dan keluarga. Untuk lebih detailnya aku memberi contoh dulu, "Misalnya tanpa sengaja Mama memecahkan gelas. Berarti harus segera membereskan pecahan gelasnya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Kalau perlu menggunakan kapas, untuk memunguti serpihannya. Biar nggak melukai keluaga yang lain. Lebih bagus lagi, kalau Mama hati-hati dan nggak memecahkan gelas." "Waaah, Mama ada French Fries, to?" Bumi terlihat excited, "Mau Mas, gorengin juga buat Mas Langit. Siapa tahu nanti ngambeknya ilang?" Laut tertawa kecil, lalu berjalan ke kulkas, mengambil Ftench Fries di freezer, "Ya usah, tapi kamu awasin Adek ya, Dek Bumi? Kalau nangis, bilang sama Mas. Eh, kamu kan udah bisa ngasih susu juga? Yippieee!" Aku menjawab pertanyaan Bumi yang tadi, "Kemarin Mama belanja ke Rejodani, Mas Bumi. Sekalian belanja beras, minyak, gula pasir … Masak sendiri lagi saja kita, biar nggak tergantung sama Ayah. Mama baru dapet transferan dari Tante Puri. Itu, Mama kan ikut menjualkan barang dagangannya?" Puri, sahabat dekatku selain Ajeng. Dia kos di selatan rumah kami. Bukan selatan persis tapi arahnya sebelah selatan. Berselang berapa rumah, ya? Empat rumah. Memang, belum lama kami saling mengenal tapi sudah langsung klik. Dia punya usaha kecil-kecilan di kosnya. Membuat kue kering, aneka jajan pasar dan berjualan handuk, sprei dan gorden online. Nah, aku ikut menjualkan semua dagangannya itu. Lumayan lah, bisa untuk tambah-tambah. Sebenarnya, bisnisku dengan Sari---sahabat dekatku juga---masih berjalan. Sari punya usaha aneka sambal home made tapi dikemas dengan higienis dan sudah mendapatkan izin produksi dari dinas kesehatan. Jadi, dulu itu---sekitar tiga tahun lalu---dia berkunjung ke rumah, menawarkan aneka produk sambalnya dan aku tertarik untuk ikut menjualkan. Nah, jadilah aku reseller-nya sampai sekarang. Lumayan kok, bisa untuk menopang kebutuhan pribadi. Hihi. Ya, aku kan juga punya kebutuhan, bukan hanya Mas Tyas dan anak-anak. "Yeee, aku seneng kalau Mama masak sendiri!" seru Bumi dan Laut menimpali, "Ya iya lah Dek, kalau sudah masak tinggal makan. Nggak usah nungguin Ayah yang nggak stabil. Hahahahha …!" "Sssttt …!" keras, aku memberi kode takut Lova terbangun, "Mama ke kamar Mas Langit dulu, ya?" ***"Pokoknya aku nggak mau balik ke pesantren lagi, Ma!" isak Langit terdengar sangat sedih, "Aku mau pindah sekolah saja, Mama!" isaknya lagi, meluruhkan seluruh air mata yang sedari tadi terbendung sempurna di pelupuknya, "Ya, Mama? Aku malu Ma, sama temen-temen!" Aku hanya bisa mendekapnya dalam pelukan, dengan air mata yang semakin deras melinang. Penyesalan, perasaan bersalah, kecewa, marah dan benci lagi-lagi berkecamuk di dalam hati. Mas Tyas. Semua ini gara-gara Mas Tyas. Oh, tidak! Mungkin semua ini karena aku yang sudah salah memilih suami. Aku yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Bodoh, mau saha ditipu.Ah! Sampai-sampai aku mengecewakan Mamak dan Bapak, mungkin Kastil, adik sewata wayangku juga. Bagaimana tidak? Aku belum lulus kuliah sewaktu itu terjadi. Masih ada beberapa Mata Kuliah yang harus kuambil lagi karena mendapatkan nilai C. Malah, ada satu Mata Kiliah yang belum pernah kuambil sama sekali. Skripsi juga baru mulai kususun, baru sampai di awal Bab II. Sebenarnya Mas Tyas pun tak jauh berbeda denganku. Lebih berat malah, karena dia menjalani KKN pun belum. Iya, Mas Tyas empat semester di bawahku. Usianya terpaut dua setengah tahun di bawahku. Tapi entah bagaimana, jalinan asmara itu seperti tak kuasa untuk dihindari. Setelah perkenalan singkat di perpustakaan daerah, kami semakin akrab dan dekat. Hingga suatu hari, tepat di hari ulang tahunku, dia melamarku dengan memberikan kado cincin.Sejujur-jujurnya kukatakan, aku tersanjung dalam kebingungan yang luar biasa. Dilema besar tapi tak bisa menghindar. Siapa sangka, kalau dia akan berubah drastis setelah berhasil menikahiku? Oh, rasanya benar-benar tertipu. Tersesat."Mas Langit istirahat di rumah dulu saja, ya?" kataku mengusulkan jalan tengah, "Nanti biar Mama minta izin Ustadz, ya? Kalau Mas Langit sudah nggak capek lagi, baru berangkat ke pondok lagi. Ya, Mas?""Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,