"Okey, habis ini kutemui. Dimana beliau?" tanya Hana yang masih di dalam toilet.
"Di ruang tunggu lantai bawah, Han."
Hana merapikan penampilannya, lantas bergegas menemui mama Alga yang ternyata datang bersama dengan suaminya, papa Alga.
"Tante, Om, maaf sudah membuat nunggu lama," ucap Hana seraya menyalami keduanya.
"Kok gak panggil mama dan papa lagi, Han?"
"Maaf, sudah gak berhak lagi soalnya sekarang Om, Tante. Oh iya, kalau boleh tau ada apa Tante dan Om ingin bertemu dengan Hana?"
"Han, maafkan kami ya, Sayang. Kami gak bisa berbuat apa apa dengan keputusan kakek. Kami juga memikirkan kondisi kakek. Kami benar benar minta maaf atas apa yang terjadi antara kamu dan Alga."
Hana menampilkan senyum termanisnya di depan kedua orang tua Alga untuk menutupi kesakitannya. "Mungkin memang ini yang terbaik buat Hana dan Alga. Alga bukan jodoh Hana, melainkan jodoh Sukma."
"Kami mohon ya, Sayang. Meskipun bukan kamu yang menikah dengan Alga, kamu tetap kami anggap sebagai keluarga, kamu berhak panggil kami dengan sebutan mama dan papa lagi seperti biasanya. Kamu sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, Sayang. Dan tolong jangan membenci kami atas apa yang terjadi ya!" Hana kembali mengangguk dan Anggi pun memeluk Hana begitu erat. Keduanya memang sudah sangat akrab, bahkan kerab kali yang dikira anaknya adalah Hana dibanding Alga. "Jangan berubah pada kami ya, Sayang!" mohon Anggi.
"In syaa Allah," jawab Hana dengan senyum tipisnya
"Mama sama papa datang ke sini mau memberikan undangan pernikahan Alga, acaranya minggu depan. Mama harap kamu bisa datang ya, kamu akan menjadi tamu spesial bagi kami dan bahkan bagi Alga."
"In syaa Allah ya, Ma."
"Kamu gak mau tanya keadaan Alga?" Hana menggeleng. "Dia bingung mencari tahu kabar tentang kamu, katanya kamu susah sekali dihubungi. Padahal dia ingin menghabiskan sisa hari sebelum menikah bersama kamu, Sayang." Hana tersenyum, tapi air matanya mengalir tanpa permisi.
"Ma, Pa, maaf bukan niat Hana untuk mengusir, tapi Hana harus kembali bekerja takutnya nanti Hana dipecat lagi." Alasannya, padahal yang terjadi Hana tidak kuat melihat papa dan mama Alga. Sakit banget rasanya.
"Oh iya, Mama sama papa yang minta maaf karena sudah mengganggu waktu kerja kamu." Lagi lagi Hana hanya tersenyum dengan lelehan air matanya. "Kami pamit ya, Sayang. Kapan kapan kalau Mama kangen kamu, Mama boleh menemui kamu di sini, kan?" Hana kembali merespon dengan anggukan kepala saja. Mereka pun pamit pulang pada Hana.
Seperginya orang tua Alga, Hana pun kembali ke ruangannya. Di sana Sindy rupanya sudah duduk manis menunggunya.
"Lo gak balik ke ruang kerja lo, Sin?" tanya Hana.
"Lo gak perlu terlihat sekuat ini, Han. Gue ini sahabat lo, pundak gue ada untuk lo bersandar kapan pun. Masalah jangan dipendam sendiri!" Hana pun langsung memeluk tubuh ringkih Sindy, lalu ia pun menceritakan semua yang terjadi pada hubungannya dengan Alga. "Kalau lo mau izin pulang duluan gak apa apa, gue izinkan ke kabag, Han."
"Gak apa apa, Sin. Gue masih bisa kontrol kok."
Sudah hampir dua minggu lamanya Hana tidak pernah komunikasi apalagi bertemu dengan Alga, dia terus menyibukkan diri agar terbiasa tanpa Alga. Kadang dirinya juga merindukan Alga, namun Hana berusaha tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya untuk menghubungi Alga. Sepulang kerja, Hana duduk di sofa yang biasa diduduki oleh Alga ketika datang ke apartnya. Apalagi kejadian panas pada malam itu juga bermula dari sofa sini. Tak terasa air matanya kembali menetes. Lantas, Hana mengambil undangan yang tadi diberikan oleh orang tua Alga, ditatapnya undangan itu hingga basah oleh tetesan air matanya, kemudian ia meremasnya.
“Harusnya namaku yang tertulis di undangan ini, bukan nama Sukma, Ya Allah.” Hana lepas kontrol, dia membanting semua benda yang ada di hadapannya beserta semua foto dirinya dan Alga yang ada di apartnya. Hana berteriak kencang seraya mengacak rambutnya asal. Namun, detik kemudian perutnya tidak enak. Hana pun berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Meski Hana rasa isi perutnya sudah kosong, tapi mualnya masih kerasa banget sampai tubuh Hana lemas. Sepertinya dia ingat sesuatu, buru buru dia melihat kalender dan menghitung jadwal tamu bulanannya. Dia melupakan bahwa sudah dua bulan lebih dirinya tidak datang bulan. Tangan dan tubuh Hana pun bergetar, takut bila mana yang tidak dia inginkan terjadi. Secepatnya Hana harus memastikan. Dia membenahi penampilannya untuk pergi ke apotek terdekat. Setelah apa yang dia butuhkan sudah di tangan, Hana pun kembali ke apart. Dia ingin cepat cepat tahu hasilnya. Tak menunggu lama, setelah membaca step by step cara pemakaiannya, Hana pun langsung mempraktekkannya. Setelah menunggu beberapa detik, dengan harap harap cemas Hana mengeceknya. Dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapannya. Hana pun mencoba sampai 3 kali untuk memastikan, dan semua hasilnya sama, garis dua. Hana langsung mendudukkan tubuhnya di dinginnya lantai kamar mandi, rasanya kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuhnya, lunglai tak bertenaga.
“Cobaan apalagi ini, Gusti? Aku hamil? Padahal ayah dari janin yang aku kandung ini akan menikah dengan perempuan lain dalam hitungan beberapa hari lagi, Gusti. Apa yang harus aku lakukan, Gusti? Aku tak sanggup menerima kemarahan dan kekecewaan dari orang tuaku. Dan aku pun tak bisa meminta pertanggung jawaban dari Alga. Persiapan pernikahannya pasti sudah 90 persen dan aku gak jadi orang jahat yang menggagalkan pernikahannya itu, pasti akan sangat beresiko bagi kesehatan kakek Umar. Apa aku sanggup menjalani ini semua? Atau aku gugurkan saja janin ini?” Hana meringkuk memeluk kakinya sendiri sambil meremas benda kecil bergaris 2 tersebut. Saat ini dia benar benar rapuh, terlalu berat cobaan yang menimpanya. Sampai tak terasa Hana ketiduran di kamar mandi sampai pagi.
Matahari mulai menampakkan diri dari sela jendela kamar mandi dan langsung mengenai tubuh Hana. Hana terbangun dengan wajah sembam. Tubuhnya yang tidur dengan posisi tidak semestinya membuatnya bangun dalam keadaan pegal pegal. Hana mengingat apa gerangan yang membuatnya sampai tertidur di kamar mandi dan ia pun menemukan jawabannya dari benda kecil yang tergeletak di depannya. Dengan prustasi Hana berjalan gontai menuju kamar. Sepertinya kehancuran hidupnya akan berawal dari sini. Satu hal yang ada di pikiran Hana sekarang, menggugurkan janin yang dikandungnya mungkin adalah solusi terbaik.
“Aku pastikan anak anak kita nanti akan bangga dan sempurna memiliki ibu sepertimu, Istriku.”“Dan anak anak kita bisa beranggapan seperti itu pada ibunya karena hadirmu yang selalu menyempurnakanku, Suamiku.”“Terima kasih, sudah mencintaiku tanpa peduli jarak dan waktu. Kalau bukan kamu yang aku cintai, aku gak tahu apa orang lain itu bisa tetap mencintaiku diketidak pastian diriku yang menghilang. Aku pun sulit untuk membayangkan hal itu.”“Kamu juga, ‘kan? Kamu mencintaiku tanpa peduli jarak, waktu, serta dimensi koma yang kamu selami kala itu.” “Kamu lebih hebat dan lebih setia, Sayang. Kamu yang setiap saat menapaki bumi dengan lalu lalang lelaki yang jelas jelas sudah mengisi hari harimu, tapi sedikit pun kamu tidak goyah dengan kehadirannya. Kamu kuat mempertahankan cinta kamu tetap untukku. Kamu hebat, sangat hebat.” Alga membingkai wajah Hana dengan kedua telapak tangannya. “Tentang aku, saat itu aku tebujur kaku yang bernapas saja bergantung pada mesin. Andai papa dan mama
“Aku bisa merasakan denyut lemah itu sedang kesakitan saat ini.” “Denyut lemah?” “Iya, yang di dalam sana,” tunjuk Sindy pada dada Aris. “Kenapa kamu bisa tahu?” “Cinta benar benar buta ya, sampai kamu tidak sadar ketika tadi kamu mengutarakan isi hati kamu pada Hana, aku berada tepat di samping tubuh Hana, tubuh yang sebenarnya ingin kamu bersamai seumur hidupnya.” “Oh maaf, aku kira kamu –“ “Cenayang? Tentu tidaklah. Aku manusia biasa, yang bisa mendengar dan melihat atraksi dan interaksi orang orang di sekelilingku.” “Bukan gitu, aku kira kamu melihat wajahku begitu mengenaskan, terlalu nampak jika aku sedang berduka di atas kebahagiaan orang yang aku cintai.” “Kamu cinta atau sayang dia?” “Aku mengakui getaran cinta itu saat bersamanya, aku merasakannya. Bahkan ketika tadi aku ajak ia berbicara pun masih sama rasanya.” “Kamu percaya bahwa cinta itu bisa hilang sedangkan rasa sayang itu tidak akan bisa hilang?” “Kenapa bisa begitu? Bukannya cinta itu sudah pasti sayang se
“Mana ada calon? Belum ya.” “Lah yang selalu kamu posting itu siapa?” “HTS-an doang mah,” jawab Sindy seraya mengerucutkan bibirnya. “Ya cepet diresmikan dong!” “Udah lost contact.” “Kok bisa?” “Udah ah jangan bahas itu, aku lagi gak mau sedih di hari pernikahan kamu loh.” “Ututu, sini sini peluk, Sayang!” Hana pun memeluk Sindy sambil menepuk nepuk pelan bahunya. “Han, selamat ya! Sudah bahagia kan dengan seseorang yang selama ini kamu inginkan?” Tiba tiba Aris mendekati Hana seraya menjabat tangan Hana. “Makasih banyak, Ris.” “Aku juga ucapkan terima kasih untuk kamu. Karena kamu sudah mengajarkan banyak hal padaku, Han, terutama tentang ikhlas untuk melepas. Tentang arti mencintai tanpa memiliki serta terkait makna lebih mementingkan hati yang cintai untuk menjemput bahagianya meski bukan denganku ia melanjutkan jalan hidupnya. Kamu juga mengajarkan dan membuktikan ada semesta bahwa ternyata cinta bisa habis pada satu orang, Han,” ungkap Aris sesuai apa yang ada dalam hati
Tidak salah jika Bali sering kali dinobatkan sebagai tempat paling romantis di Indonesia bahkan juga telah diakui oleh dunia. Tak heran jika dream wedding Hana adalah Bali. Hari yang ditunggu tunggu kini telah tiba, yaitu pernikahan Hana & Alga. Keduanya menggelar resepsi pernikahan di sebuah taman yang begitu indah yang diapit oleh dua pantai pasir putih yang memang sudah menjadi salah satu favorit wedding venue dengan pemandangan beachfront. Tidak banyak tamu undangan, hanya kurang lebih 200 orang saja. Hanya orang orang terdekat dari kedua keluarga juga dari teman teman Alga dan Hana.Akad nikahnya dilaksanakan pagi hari di semi outdor yang berlokasi di satu tempat yang sama, namun berjarak. Akan tetapi masih dengan pemandangan pantai yang menenangkan, menjadikan acara sakral tersebut menjadi lebih khidmat dan syahdu secara bersamaan.“Wahai ananda Alga Mahardika, tangan yang saat ini kau genggam itu adalah tangan dari seorang ayah dari calon pengantin wanitamu, Hana Camilla. Yang s
“Gak apa apa dong. Nanti aku bantuin kamu urus café di sela aku pantau kantor yang di Jakarta. Sambil menunggu waktu setahun itu, sekalian kita nanti bangun café juga di Jakarta ya. Biar café kamu punya cabang.”“Seriusan?”“Pernah aku gak serius dengan apa yang aku ucapkan sama kamu?” Hana menggeleng. “Semoga gak ada halangan aja biar semua terealisasikan dengan baik ya, Sayang.” Keduanya pun mengaamiinkan. “Aku tahu, memiliki café dengan menu per-dessert-an adalah impian kamu sejak dulu. aku masih ingat semua mimpi yang pernah kamu bilang ke aku. Jadi, aku gak mau dengan hadirnya aku, dengan hidupnya kamu bersamaku nantiny, itu akan menghalangi semua mimpi kamu, Sayang. Aku bahkan akan selalu support semua yang kamu impikan selagi itu baik.”“Ah … terharu aku tuh.” Hana pun langsung memeluk tubuh laki laki yang sangat dia cintai itu.“Oh iya, aku malam ini tidur sama kamu boleh gak sih?”“Mana boleh? Kamu tidur sama Al aja.”“Kamu gak kangen aku?”“Kangen, tapi gak harus tidur berdua
“Aku harus merebut cinta anak kita agar bisa mencintaiku sepenuhnya,” ucap Alga kemudian.“Kamu mau merebut dia dari aku? Aku yang hamil, aku yang melahirkan, aku yang kasih ASI, aku juga yang ngurus bahkan bergadang jagain dia, terus kamu datang datang mau merebut dia dari aku? Oh tidak semudah itu Ferguso!” Hana ngomel seraya mendorong dada Alga.“Heiii … bukan merebut dari kamu, Sayang. Tapi maksudku, aku mau menggantikan sosok laki laki itu dari hati anak kita. Aku gak mau ya dia lebih sayang ke orang lain timbang ke aku yang notabennya adalah ayah kandungnya,” jelas Alga.“Ish kirain.” Satu kecupan langsung Alga layangkan di bibir Hana. Lelaki itu gemas melihat wanitanya ngomel. “Gak sopan ih,” protes Hana.“Sopan aja lah, lah wong sudah pernah buat anak aja.” Hana pun langsung melayangkan cubitan di perut Alga. “Auuu … sakit tahu, Sayang.”“Biarin ah,” sewot Hana.“Kalau kayak gini, aku bawaannya pengen ngajak kamu ke KUA sekarang aja deh.” Hana hanya mencebikkan bibirnya saja.“