Ya, aku malah memalingkan wajah. Kakiku malah menghindar dari hadapan suamiku dan memasuki kamar dua anakku. Mereka sudah berbaring di atas tempat tidur masing-masing. Sebentar lagi mata lelah mereka akan tertidur pulas.
“Mama buatin susu dulu, ya.” Aku menatap lurus ke arah Elvina yang hanya meranggul tidak menyahut dengan kata.Kakiku akhirnya dengan semangat menuju ruang dapur untuk membuatkan susu untuk si kecil. Si kecil yang nantinya akan beranjak sekolah. Aku tidak boleh jadi ibu yang berpura-pura bodoh akan hal itu.Satu botol yang cukup untuk si kecil yang sedang termangu diam. Aku menyodorkan untuknya seorang. Sementara abangnya—Fathan berbaring memeluk guling kesukaannya. Guling yang sudah berusia sepantarnya. Dia menyukai guling itu semenjak kecil.Tidak ada yang boleh menukarnya dengan guling yang lain, tetapi tetap boleh dicuci agar bersih. Putra sulungku itu memang sangat cerewet. Dia tidak suka berbau, tidak suka ada kotoran yang melekat di gulingnya. Nanti dia pasti akan merengek untuk meminta dicuci.“Tidurlah, setelah itu mama juga mau tidur.” Aku ikut jadi rewel karena si kecil masih menggerak-gerakkan kakinya, menendang-nendang ke arahku. Tapi sebelah tangannya memegang kuat botol susu yang hampir setengah badan.Kepalanya sesekali meranggul, tetapi kaki dan tangan tidak pernah berdiam diri. Apalagi mulutnya sangat aktif untuk berkata banyak.Mataku hampir redup, sesekali jemari sebelah kananku terus menepuk bagian paha si kecil. Tampaknya dia benar-benar ingin tertidur setelah tepuk hangat menempel dan berulang-ulang. Hari ini sangat melelahkan dan menyusahkan.Baru saja aku kembali kemarin, tapi hari ini aku benar-benar digilakan oleh mereka semua. Ibu mertuaku yang tidak suka dengan keadaan keluargaku di sana. Dia begitu sensitif dengan cerita keluargaku.Aku juga tidak berani mengajak sepupu-sepupuku datang ke rumah. Kelak, pasti akan ada alasan untuknya marah-marah. Itu sudah pernah terjadi dan terus berulang-ulang. Dia tidak ingin aku memiliki teman, saudara yang sering berkunjung, apalagi orang yang datang ke rumah tanpa adanya basa-basi.Akhirnya pikiranku sempat jatuh, lalu melirik ke arah Elvina yang sudah tertidur. Tangannya melemah, bibirnya berhenti untuk menyedot ujung karet lembut.Aku menarik botolnya dengan pelan, lalu beranjak untuk membersihkannya. Malam telah mengurungku pada kenangan buruk. Antara suami yang kasar dan ibu mertua yang suka marah.*** Cerahnya matahari ketika aku ingin bersiap-siap pulang dari bekerja. Sekolah dasar adalah pilihanku untuk bekerja. Aku hanya lulusan D3 perguruan tinggi sebatas harapan. Menjadi guru honorer yang katanya akan ditiadakan.Ah! Aku tidak akan peduli lagi dengan masalah seperti itu. Mataku melihat mereka semua telah berlalu dan menyapaku.“Ibu.”“Ibu Haira, kami pulang dulu.”Hampir seluruh murid sekolah ini ramah denganku, aku bahkan tidak pernah memarahi mereka semua. Sifatku yang ceria dan hangat membuat mereka nyaman belajar bersamaku. Aku bangga, aku pun berharap akan menjadi seorang guru panutan mereka.Kakiku mengguyur jalanan menuju parkiran di ujung tepi dinding. Salah satu rekan perempuan menyapaku sambil memakai helm.“Ra, kamu langsung pulang nih? Nggak ikut ma kita ke rumah pak kepala sekolah?” tawar rekanku itu.Dia Elina, temanku mengajar. Tapi dia berbeda denganku, dia adalah guru yang berdedikasi karena golongan yang tinggi. Menjadi pegawai negeri sipil adalah pilihannya menatap di sini. Aku ingin sekali seperti dirinya. Tapi belum saatnya aku sampai, mungkin suatu hari nanti.“Ah, lain kali aja.”Jawabanku dengan senyuman. Hari ini aku memang sedikit diam karena tujuanku untuk ke Toboali mengunjungi pamanku.Aku muak dengan mereka semua! Jadi, aku harus menyiapkan beberapa keuanganku untuk digerakkan kembali.“Ya udah, hati-hati Ra!”Elina telah menduduki sepeda motornya hingga meninggalkanku. Walau dia termasuk orang yang memiliki golongan lebih tinggi dariku, tetapi dia termasuk orang yang dekat denganku. Ramah dan baik orangnya.Sekarang giliranku, aku harus bersiap menuju tempat itu walau harus kutempuh puluhan kilometer. Aku tidak peduli.Beruntung, pamanku bekerja di salah satu bagian kabupaten Koba. Dia termasuk pegawai negeri sipil yang ada di perkantoran kabupaten. Aku lebih dulu menghubunginya dengan pesan singkat. Jadi aku hanya menempuh perjalanan sekitar satu jam menuju daerah itu.Rasanya tak singkat ketika aku harus melewati rintangan kecil ini. Setidaknya aku harus berjuang untuk menggapai keinginanku. Hartaku tidak akan kupendam lagi, yang akhirnya untuk kugerakkan supaya lebih meluas.Satu jam berlalu di jalanan.Terpampang jelas di muka bangunan kebupaten kota. Aku memarkir sepeda motor sambil melirik ke segala arah.Tak sadar, kalau di ujung penglihatan seorang pria sudah menantiku. Beliau melambai di bawah keteduhan pohon. Seorang paman yang bersedia menunggu ketika waktu berkunjung dadakan. Aku pun segera turun dari sepeda motor, menaruh helm di dekat kaca spion. Kemudian aku melangkah mendekati sang paman.Di sana, dia tersenyum untuk menungguku. Dialah salah satu keluarga yang paling dekat denganku. Paman yang memiliki nama Gani Ancala. Pria yang tadinya menyerahkan aset keluargaku secara tersembunyi.Beberapa tahun lalu, aku masih menyimpannya agar tidak diketahui orang banyak. Hari ini, aku akan berani untuk membuka jalan agar namaku dapat dirahasiakan.“Om, aku pengen gerakkin usaha.”Tubuhku sudah di depan mata paman. Di bawah pepohonan taman yang tumbuh tidak terlalu tinggi. Tapi masih memberi kami keteduhan. Pamanku segera mendekat lalu menepuk bahu sebelah kananku.“Kalau kamu pengen ngomong ini, mending kita makan siang dulu yuk!” ajak pamanku menarik bahuku agar tergerak.Aku tidak mungkin menolak, apalagi perutku sedang kosong. Jika pulang agak terlambat sedikit pun tidak jadi masalah. Yang penting, aku bisa bersama sang paman untuk membicarakan lebih lanjut tentang pelarian usaha rahasiaku nanti.“Kebetulan Haira juga laper, Om.” Aku sedikit mengeluarkan senyuman agar suasana hati kami saling berbicara antara paman dan keponakan.Tidak jauh dari sana, hanya menyeberangi jalan menuju pinggiran rumah makan padang. Kami harus memesan terlebih dahulu. Baru setelahnya kami menunggu sajian itu datang.“Nasinya pakai ayam bakar, ya.” Pamanku mengacungkan jemarinya mengarah tepat etalase yang di sana ada banyak pilihan ayam.“Aku juga sama,” timpalku.“Ayo!”Pamanku Gani segera memutuskan untuk mendekati meja yang sudah disediakan. Aku dan paman bersitegang untuk membicarakan soal keuangan.“Kamu yakin?” Pamanku seolah-olah tidak percaya kalau aku ingin memulainya.“Yakin, Om. Aku udah ngga bisa nyimpen aset itu, kalau bisa ya harus dikembang.” Aku menimpali ucapan pamanku. Percaya diri dan harus melakukan apa yang aku inginkan.Aset yang terpendam tidak seharusnya dibiarkan berlama-lama. Harus tetap mengalir beriringnya waktu berjalan. Apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika sedikit itu tidaklah perlu.“Baiklah, nanti paman bantu kamu. Tapi ingat! Jangan sampai keluargamu tahu kalau perusahaan itu milik kamu. Paman cuma berharap buat ngajaga amanah dari mama kamu.”Aku meranggul sambil mengacungkan ibu jari. Itu tandanya aku setuju! Di saat bersamaan, makanan sudah sampai di atas meja kami.Namun, apakah rahasia di antara kami tetap aman?
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih