Share

Dasar Miskin!

Ah! Buat apa aku melamun berdiri menghadapi masalah yang kurang pasti. Ibuku tidak gila! Tapi terkadang dia suka memarahi kami tanpa sebab. Mungkin, karena aku tadi sempat menimbrung bersama tetangga dekat, dan kemarin baru pulang dari Toboali—kampung halamanku.

Tapi rasanya aku tidak percaya kalau ibu mertuaku ternyata memarahiku hanya karena berbincang dengan tetangga. Dia mungkin malu, waspada, dan cemas sendiri. Akhirnya kakiku memerintah untuk memasuki rumah.

Baru saja aku menutupi pintu, terdengar suara yang memecah rumah di depan. Aku sontak terperanjak, ketika suara adik iparku ikut campur.

“Bang, kenapa mama di rumah? Kayaknya dia bertengkar sama adikmu,” ungkapku khawatir. Kepalaku spontan menoleh mengarah si suami yang sedang berbaring di atas sofa tamu.

“Ah, biarin ajalah! Mereka kan emang sering kayak gitu.” Suamiku malah mengalihkan pembicaraan dengan gadget yang ada dalam genggamannya.

Aku harus menahan napas sejenak dan melangkah melewati dirinya. Aku tidak ingin ikut campur lagi dengan masalah ibuku yang sedang marah.

Tapi, hatiku tidak pernah tenang!

Ibu mendatangi kami dengan suaranya yang lantang. Kali ini lebih keras dan tidak memedulikan dunia melihat.

“Mana? Mana? Bagus ya, kamu! Bilang apa kamu tadi? Gila!!”

“Kau pikir kalau tidak ada orang gila ini kau bisa lahir? Hah!!”

“Enak saja ngomong kayak gitu!”

Aku beranjak, tepat dimana suamiku memandang wajahku yang menegang. Ada apa lagi??

“Ih, si mama ada-ada aja kalo udah malem begini! Pasti dah dia kek kerasukan lagi.” Abbas menjauh, melewati diriku sendiri untuk menyembunyikan si ibunya dari balik tirai jendela.

Rupanya ibu tidak sendiri, seorang lelaki menghampiri dirinya. Siapa lagi kalau bukan anaknya sendiri? Rafasya membujuk ibunya, suaranya agak merendah.

“Ma, malu. Ini udah malem. Lagian nggak ada kegunaan ngungkit masa lalu di depan umum.”

Suara Rafasya terdengar rapuh, mungkin dia mendesak ibunya agar penurut.

“Alah, bodo amat dah!”

Itu suara ibu mertuaku yang memberontak. Rasa kesalnya seakan tidak bisa ditahan-tahan.

Abbas terus mengintip, sedangkan aku hanya terpaku menatap suamiku yang akhirnya mengalah dari balik tirai jendela. “Ah, nggak bisa dibiarin!”

Aku baru saja melihat tingkah dan suara ibuku tadi petang, sekarang dia mulai lagi bertingkah di tengah malam. Baru saja jam sepuluh malam, dia mengamuk di depan rumahku. Rasanya aku sudah muak dengan tingkah ibu mertuaku yang selalul merengek dan memaki diriku dan suamiku.

Dia selalu berulang-ulang, entah datangnya bulan terang atau memang unek-uneknya tidak tersampaikan?

Akhirnya, Abbas keluar bersamaku dari pintu depan. Kami berdua memperhatikan keringat ibuku yang masih membuncah. Rupanya dia tidak akan mempan ditegur, Abbas memberi kode kepada Rafasya untuk membawa ibunya kembali.

“Aku orang gila! Ya, semua orang udah pernah ngomong aku gila, Kalo aku gila, kenapa kamu masih percaya sama aku? Hah!!”

Karena kesal, Abbas mulai melangkah untuk menyambut kedua tangan ibuku yang terus memekik.

“Ma, hentikan! Tidak malu apa? Sudah malem mulai ngeganggu orang lagi istirahat,” cecah Abbas memegang tangan kuat ibunya yang hendak memberontak.

Aku melangkah, menggeser kakiku agar lebih dekat dengan ibu mertua dan suamiku. Suaranya pecah, memekik telinga kami. Saya sudah tidak mendengar lagi apa yang dia katakan. Tapi aku mencoba meraba dan membujuk ibuku agar berhenti.

“Ma, mending kita balik ke rumah. Kita ngomong baik-baik, ayo.”

Tanganku sampai memegang lengan ibu mertuaku. Lantas, dia masih saja memberontak untuk bisa mengeluarkan segala unek-unek kepada orang lain. Mungkin, jika orang mendengar akan iba. Tapi dia tidak tahu kalau semua orang pasti akan mencaci maki dirinya.

Aku berusaha menahan suara kerasnya yang menyayat hatiku secara bersamaan.

“Eh, kamu tahu nggak mama kamu dulu ngomong apa sama aku? Katanya aku nggak pantas pakai hijab, udah berdosa nggak usah sok suci. Terus, dia juga bilang uangnya kasih ke kamu aja biar aku nggak usah belanja. Enak bener!!”

“Dasar miskin!!” Ibuku dengan katanya cukup menekan batin.

Ibu mertuaku tampaknya masih merasa kesal dan mengungkit masa lalu. Padahal, ibuku sudah tiada dan pasti tidak akan kembali ke dunia ini.

Resah! Telingaku rasanya sudah panas mendengar omelannya selama ini. Akhirnya aku muak! Aku pun berbalik membentaknya.

“Oke, mama nggak usah lagi liat aku sebagai menantu atau anak! Aku juga udah muak. Aku punya perasaan, jangan cuma gara-gara mama kalah di masa lalu mama jadi berontak sama aku. Aku bagaimana harus lagi? Semuanya udah aku kasih ke mama, tapi mama jadi berontak dan menginjak harga diriku.”

Aku mundur, keringat dinginku menjadi basah. Abbas ikut menoleh mengarah ke wajahku. Kedua tangannya malah melepas dan melapisi salah satu tangannya ke pipiku.

Plak!

Satu tamparan cukup keras ke arahku. Wajahku jadi malu dari hadapan ibunya.

“Kak Abbas, cukup!” pekik Rafasya. Si adik laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya dari sang ibunda. Dia malah mendekati si kakak yang sudah berani memukul wajahku lagi.

Aku terpaksa menahan panasnya tamparan yang melekat di pipi kananku. Rasanya benar-benar muak! Di antara ibu yang berontak dan suami yang kasar.

“Kau itu nggak tahu diuntung! Bukannya malah ngeredain suasana malah jadi ngerepotin.” Abbas menunjuk-nunjuk ke arahku.

Jemarinya memanas, amarahnya cukup naik. Tapi Rafasya memaksa kakaknya untuk mundur, dan membawa pergi ibunya dari depan halaman rumah kami.

“Nah, syukurin! Enak kan rasanya dipukul?!” Ibu mertuaku meledek dengan napas geram, bercampur emosi yang masih terpendam.

Aku melirik pelan mengarah ke dua arah yang berbeda. Karena kesal, saya jadi berbalik dan tidak mengacuhkan keduanya. Kakiku seakan geli, tapi aku tetap memaksakan kuat untuk menempuh tujuan pintu rumah.

Tatapanku seakan jatuh tidak akan menoleh ke arah suamiku yang lagi-lagi tangan utama. Tapi telapak tangan masih menempel erat pipi kananku. Dua anakku jadi pengaruh besar dari kekerasan rumah tangga.

Tapi aku berusaha menahan air mata agar tidak jatuh membasahi pipiku. Aku masuk dan membiarkan kedua anakku tidur sendiri. Aku mengunci di kamar, lalu meneteskan buir air mata. Betapa sakitnya harus mendengar masa lalu mendesakku untuk melakukan hal yang lebih baik.

Padahal, selama ini aku sudah memberikan seluruh kebaikan dan harga diri demi mertuaku. Nanti suamiku, dia selalu enteng.

'Aku harus bermain dengan uangku selama ini. Akan kutunjukkan pada mereka kalau aku bukan orang miskin lagi.'

Dalam hatiku mulai bertanggung jawab atas hartaku selama ini yang terpendam. Mataku berkelebat, sinar menatap ke arah depan. Air mata yang basah ini menjadi sangat mengering karena tekadku menggeliat untuk menjadi maju.

'Aku harus membuktikannya.'

 

“Ma, Mama!”

Panggilan untuk diriku, tidak kusahut karena kalut. Kesalnya masih berkepanjangan. Mataku masih basah karena lendir di antara beningnya bola mata.

Tapi, suamiku terus mendesakku untuk memintaku membuka pintu.

Dur! Dur! Dur!

“Mama, bukain cepet! Kenapa sih pake ditutup segala?!”

Suara suamiku terdengar muak! Akhirnya sulit memaksa untuk membuka pintu kamar. Dengan kasarnya, dia mendorong gagang pintu agar tidak ditutup olehku lagi. Dia berpikir kalau aku pasti akan menutupnya kembali.

“Jangan keseringan, awas ya!” ancamnya saya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status