"Biar aku bantu, Mas." Lia mendekati Adi yang tengah sibuk memasang dasi itu.
"Tidak perlu." tolak Adi ketus. Sebenarnya ia malas bersiap di kamar Lia. Tapi, ia terpaksa kesana karena istri pertamanya itu sedang tidak ingin melihat wajahnya dan tidak ingin dekat-dekat dengannya. "Kamu kenapa sih? Aku hanya ingin berbakti pada suami. Apa itu salah?" tanya Lia menatap lekat Adi. Adi diam dan ikut menatap Lia. Lia memberikan senyum manisnya dan ia mengambil kesempatan itu untuk meraih dasi yang ada digenggaman suaminya. "Aku ganti, ya?" tawarnya lembut. Adi masih diam. Ia tidak bersuara bahkan menggerakkan kepalanya menolak atau mengiyakan keinginan Lia. Lia tersenyum dan memasangkan dasi itu pada Adi dengan telaten. Adi melihat ke arah lain saat istri keduanya itu mulai memasangkan dasi. Andai itu Hafizah, ia pasti terus memandangi wajah Hafizah saat wanita itu memasangkannya dasi. "Mas," Lia membuka suaranya, memanggil Adi. "Hm?" "Kenapa tadi malam kamu pindah?" tanya Lia, terdengar nada suara yang hendak menangis. "Aku tidak bisa tidur di sampingmu," jujur Adi, menjawab ketus. Selalu saja begitu, bicara dengan Lia tidak pernah lembut sama sekali. Lia tersenyum getir. Ia mengangguk kecil karena mengerti. "Bolehkah malam ini tidak seperti itu, Mas?" "Kamu gak berhak ngatur." "Mas, aku sudah minta agar kamu memberi ruang sedikit saja padaku." Lia sedikit menjauh dari Adi karena dasinya sudah terpasang. Adi melirik singkat pada Lia. "Aku usahakan," Ada sedikit perasaan bahagia di hati Lia. "Aku ingin hamil," celetuknya. Adi langsung memberikan tatapan tajam pada Lia. "Jangan meminta aneh-aneh, Lia! Aku tidak ingin mendapatkan anak darimu!" kata Adi pedas. Lia menitikkan air matanya karena suaminya itu langsung menolaknya mentah-mentah. "Apa salahnya, Mas?! Itu kewajiban kamu sebagai suami untuk memberiku nafkah batin!" "Sudah aku katakan berulang kali, Lia! Aku terpaksa menikahi kamu dan jangan harap kamu mendapat nafkah seperti itu!" ah, semenjak memiliki dua istri, Adi sering marah-marah. Beruntung bukan Hafizah yang ia marahi. "Kamu harus adil, Mas!!" Adi memejamkan matanya sejenak. Ia benci mendengar kata adil itu. Ia membuang napas kasar dan memilih untuk pergi dari hadapan Lia. "Aku sudah berhenti haid, Mas. Malam ini masih jatahku tidur bersamamu," Adi menghentikan langkahnya saat mendengar perkataan Lia. Walaupun malam ini jatah tidur bersama Hafizah pun, ia tidak bisa tidur berdua dengan istri pertamanya itu. Ia harus menahan sampai kapan Hafizah tidak ingin melihatnya. "Tidur berdua, dan tidak melakukan apa-apa!" Di luar kamar Lia, Hafizah yang sudah siap itu hendak turun. Namun, langkahnya terhenti karena tidak sengaja mendengar pembicaraan antara suami dan madunya itu. Hafizah tersenyum kecut. Entah ia harus bahagia karena dicintai begitu hebat oleh suaminya, atau harus bersedih karena ia harus berbagi cinta suaminya itu. "Sebenarnya cara Mas Adi salah. Tapi, aku juga belum bisa membagi cinta Mas Adi untuk perempuan lain," gumam Hafizah lirih. Saat Hafizah ingin melanjutkan jalannya, tiba-tiba Adi sudah keluar dan ia menyapa istri pertamanya itu. "De," Hafizah melirik singkat dan memakai kaca mata hitam yang sengaja ia bawa itu. "Apa sih? Fizah gak mau dekat-dekat, ya? Awas kalau dekat-dekat," ujarnya ketus. Adi menghela napas panjang. Ia membiarkan Hafizah untuk turun terlebih dahulu. Setelah Hafizah sudah menuruni separo anak tangga, barulah ia turun dengan Lia yang mengekor dibelakang. "Aku bantu bawain tasnya, Mas?" tawar Lia yang hendak membawakan tas kerja suaminya itu. Karena fokus memperhatikan Hafizah, Adi menyerahkan tas kerja nya. Mereka bertiga sama-sama menuju meja makan untuk sarapan pagi. "Kalian duduk di ujung sana, ya? Aku lagi gak mau dekat-dekat Mas Adi," pinta Hafizah menunjuk kursi yang di ujung kiri. Dengan senang hati Lia mengajak Adi untuk duduk di kursi ujung kiri itu. Adi pun hanya patuh saja. Namun, tatapannya tidak pernah lepas dari Hafizah. "De, kamu yakin masuk ngajar hari ini? Bagaimana kalau mual lagi?" tanya Adi begitu khawatir. "Aku baik," sahut Hafizah singkat. "Kamu berhenti kerja aja, ya?" pinta Adi. Hafizah menghentikan kegiatan sarapannya. Ia menghela napas lelah. "Aku ingin mencari uang," "De, Mas masih sanggup menafkahi semua kebutuhan kamu." "Sekarang Mas punya dua istri yang harus dinafkahi," sindir Hafizah. Lia diam saja mendengarkan percakapan antara Hafizah dan Adi itu. Ia tidak ingin menyela dan membuat Adi semakin tidak menyukainya. Namun, Lia melihat ke arah Hafizah, madunya itu tidak sama sekali melihat ke arah mereka saat berbicara. "InsyaAllah, Mas masih sanggup, De." "Ah, tidak. Pengeluaran Fizah 'kan banyak. Apalagi sekarang sedang hamil, dan pasti lebih banyak pengeluaran. Jadi, Fizah harus tetap bekerja," kata Hafizah yang kembali sarapan. "Mas takut kamu kelelahan, Sayang." "Mas gak usah khawatir, Fizah bisa jaga diri kok." Adi menarik napas panjang. Istri pertamanya itu memang keras kepala dan sulit untuk diatur. Tapi, walaupun begitu, Hafizah orang yang baik. Ia keras kepala hanya tentang bekerja. Terbiasa mandiri sedari remaja, membuat Hafizah menjadi sosok pekerja keras. Jika seorang yang mandiri diminta berdiam diri di rumah, maka ia akan merasa cepat bosan dan hari berasa panjang. "Jaga diri baik-baik disekolah, De. Kalau kamu butuh sesuatu langsung kasih kabar sama Mas," "Bagaimana kalau kamu sibuk meeting?" tanya Hafizah. "Mas akan tinggalin meeting itu demi kamu," Hafizah menggeleng kuat. "Jangan seperti itu. Nanti rugi. Susah juga, ya kerja kantoran," pungkasnya. Adi terkekeh mendengar perkataan Hafizah. "Begitulah," ujarnya. "Mas mau saran dari Fizah gak?" "Saran apa?" "Saran pekerjaan yang enak dan menghasilkan banyak uang sama seperti keuntungan kantor juga," kata Hafizah nampak serius. Adi menatap istrinya dari jarak 2,5 meter itu. "Apa?" tanyanya ikut serius. Hafizah menunjukkan senyum lebarnya dan melirik Lia yang sedari tadi hanya diam saja. "Mas hamilin terus Lia, dan nanti anak-anaknya kita jual," saran Hafizah absurd. Mendengar perkataan Hafizah, Lia lantas menatap tajam madunya itu. "Apa maksudmu, hah?!" sentak nya. Hafizah terkekeh, dan membuka kaca matanya sedikit. "Apa? Katanya mau hamil, 'kan? Udah bagus aku kasih saran agar kamu bisa berhubungan dengan Mas Adi. Seharusnya kamu berterimakasih," celetuk nya dengan wajah songongnya. Lia menatap sinis Hafizah. "Anakmu aja yang dijual sana. Kan kamu udah hamil lebih dulu dari aku," sinis nya. "Lia!!" bentak Adi. "Mas Adi diam. Dengarkan saja pembicaraan Istri-istri mu ini, Mas." seru Hafizah. Sebagai sesama perempuan, ia tau apa yang dirasakan oleh Lia karena tidak dihargai oleh orang yang dicintai. "Tapi dia?" "Gak apa-apa, Mas. Fizah bisa lawan kok," Adi menghela napas pasrah. Ia akan diam sesuai keinginan istri tercintanya itu. Hafizah tersenyum. "Dengar, ya, Adik maduku, eh Mbak madu. Aku tidak akan menjual anakku karena sekarang hanya anak ini yang ku harapkan. Mungkin setelah lahiran aku akan meminta cerai sama Mas Adi," "Itu tidak akan terjadi!" kata Adi yang tak terima dengan ucapan Hafizah. "Yakin?" tanya Lia dengan senyumnya. Hafizah memegang dagunya nampak berpikir. "Tergantung juga sih," "Tergantung apa?" "Tergantung harta Mas Adi. Jika hartanya semakin banyak, aku bakal tetap jadi istrinya, haha.." tawa Hafizah. "Matre," cibir Lia. Hafizah mengecilkan tawanya saat mendengar perkataan madunya itu. Jika ia matre, untuk apa ia bekerja menjadi guru? Ia hanya suka bercanda. "Realistis, wahai maduku. Kamu pun memaksa Mas Adi menikahi mu karena memandang wajah dan hartanya, bukan?" tanya Hafizah dengan senyum tipisnya. "Jangan asal bicara!" sarkas Lia menatap Hafizah tajam. "Weyyy, santai, Mbak. Aku 'kan cuma nebak aja," Hafizah terkekeh sendiri. Adi tersenyum tipis karena istri pertamanya itu. "Fizah memang istimewa," batinnya."Pa! Bisa jangan desak Hafidz untuk menikah?" protes Hafidz menatap kesal ayahnya."Sampai kapan, hah?! Usiamu sebentar lagi memasuki kepala tiga dan kamu belum menikah juga?" ketus Pak Harmoko menatap Hafidz datar.Hafidz menggulirkan bola matanya malas. Beginilah sosok ayahnya, pemaksa dan keinginannya harus selalu dituruti. Untuk itu Hafidz lebih memilih untuk membeli rumah dan tinggal sendiri dari pada bersama kedua orang tuanya."Aku belum menemukan pasangan yang pas, Pa," jawab Hafidz berusaha santai."Bagaimana kamu bisa menemukan yang pas kalau kamu menginginkan Hafizah! Ingat, Hafidz! Hafizah itu istri dari Adi, dan mereka saling mencintai.." ocehan dari ayahnya itu sering kali ia dengar, hingga sudah membuatnya muak.Pak Harmoko tau kalau anaknya itu menyukai Hafizah. Karena memang Hafidz sendiri mengatakan padanya. Ia sebagai ayah selalu memperingati sang anak bahwa wanita yang disukai itu sudah bersuami."Pulang aja kalau Papa kesini hanya mau marahin Hafidz, bukan mau jen
Merasa di panggil, Pak Harmoko menghentikan langkahnya dan membalik badannya. Ia mengerutkan keningnya kala melihat sepasang suami-istri menghampiri dirinya."Assalamu'alaikum, Pak," ucap Hafizah saat sudah berada didepan Pak Harmoko."Walaikumsalam, Fizah. Ada apa?" tanya beliau to the point.Hafizah menggeleng kecil dan tersenyum. "Tidak ada, Pak. Apa anda pindah rumah?" tanyanya.Pak Harmoko menatap bangunan disamping nya itu dan menggeleng. "Ini rumah anak saya. Katanya dia sakit dan saya kesini untuk menjenguknya," pungkasnya.Hafizah menatap suaminya dan mereka saling pandang."Oh iya, Pak. Kalau begitu kami pamit pulang dulu," kata Hafizah sopan.Dengan kebingungan pak Harmoko mengangguk. "Iya, silakan."Hafizah dan Adi tersenyum. Mereka lantas pergi dari hadapan pak Harmoko yang masih menatap bingung kearah mereka.Di dalam mobil, Adi dan Hafizah saling berbicara. "Lumayan mengejutkan," ujar Hafizah pada suaminya itu.Adi tersenyum tipis. "Ini belum pasti, Sayang," Adi yang se
"Pak?" Putra kebingungan melihat atasannya itu datang dengan Lia."Urus dia, Put," pinta Adi dan langsung pergi menuju ruangannya.Putra yang kebingungan menurut saja. Ia bertanya lebih dulu pada Lia."Mau apa, Bu?" tanya Putra yang tetap hormat.Lia tersenyum dan memberikan map yang berisi kertas-kertas penting untuk melamar pekerjaan.Putra mengambil itu dan memeriksa sebentar. "Mari ke resepsionis dulu, Bu," ajaknya."Untuk apa? Langsung berikan id card saja, soalnya Mas Adi sudah setuju." kata Lia yang tidak ingin berlama-lama dengan menunggu konfirmasi dulu.Putra mengangguk patuh, namun tetap ke meja resepsionis untuk minta buatkan id card di divisi administrasi.Lia tersenyum senang. Sambil menunggu id card nya siap, Lia ingin ke ruangan suaminya dulu."Kantor Mas Adi mewah," batinnya menatap bangunan besar nan mewah itu. "Put, dimana ruangan Mas Adi?" tanyanya."Di lantai 15, Bu." jawab Putra jujur."Aku akan kesana, terimakasih," Lia langsung meninggalkan Putra yang tengah me
Hafizah menatap mata suaminya dengan penuh kelembutan dan kepercayaan, tersenyum menguatkan ikatan cinta yang telah terjalin antara mereka berdua. "Kamu gak masalah Lia kerja di kantorku, De?" tanya Adi dengan nada gugup namun penuh harap."Aku percaya sama kamu, Mas," jawab Hafizah dengan lembut, meyakinkan suaminya bahwa kepercayaan itu adalah pondasi kuat dalam pernikahan mereka.Adi merasa lega, senyumnya semakin lebar seiring rasa syukurnya yang meluap. Ia meraih lengan istrinya, mengajaknya duduk di pangkuannya, dan memeluknya erat. "Terimakasih karena selalu percaya sama Mas, De," bisik Adi dengan penuh kasih sayang.Mereka berada di kamar mereka, menikmati kehangatan dan kedekatan setelah makan malam yang lezat. Hafizah membelai pipi suaminya, merasa bersyukur memiliki pasangan yang setia dan penyayang seperti Adi. "Dalam hubungan kuat, harus saling percaya, Mas," ucap Hafizah dengan tegas namun lembut."Iya, De," sahut Adi, menggenggam tangan istrinya dan mencium punggung tan
"Nunggu suamimu, Fizah?""Eh iya, Pak." sahut Hafizah yang sempat kaget karena tiba-tiba Hafidz sudah ada disampingnya.Hafidz tersenyum tipis saat melihat Hafizah menjauhkan diri darinya. Semenjak ia jujur akan perasaannya bulan lalu, wanita cantik berhijab itu sering menghindarinya."Kamu wanita kuat, Fizah," puji Hafidz.Hafizah tersenyum dalam tunduk nya. "Apa yang membuat saya lemah, Pak?""Madumu,"Hafizah terkekeh mendengar perkataan dari Hafidz. "Selagi cinta suami saya masih full, saya tidak akan lemah,""Laki-laki bisa memberikan cinta pada dua orang yang berbeda, Fizah,""Begitukah? Contohnya seperti anda, Pak?" tanya Hafizah bercanda."Hanya kamu,"Hafizah geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari Hafidz. Ia hanya berharap suaminya lekas datang dan ia bisa menghindari Hafidz.Hafidz menatap lekat Hafizah yang terus menundukkan kepala itu. Tidak pernah ia lihat Hafizah menatapnya jika sedang berbicara berdua. Dikatakan tidak sopan, tapi tutur kata Hafizah begitu lembut."
"Jangan capek-capek, ya, Sayang? Mas gak mau kamu sakit," kata Adi pengertian.Hafizah menghela napas dan menatap suaminya itu. Ia tersenyum dan mengusap lembut punggung tangan suaminya. Semenjak hamil, Adi selalu mengatakan hal serupa jika ia hendak ke sekolah."Iya, Mas, iya. Cerewet banget sih suaminya Fizah ini, eh sama suami Mbak Lia juga." Hafizah terkekeh saat melihat perubahan raut wajah Adi."Jangan sebut-sebut Lia, Sayang. Mas hanya cinta kamu,""Fizah juga cinta sama Mas."Adi tersenyum senang, ia membawa Hafizah dalam dekapannya. Dicium nya puncak kepala Hafizah.Hafizah menikmati pelukan dari suaminya itu. "Mas," panggilnya tiba-tiba."Iya?""Apa kamu tidak ingin mencaritahu siapa ayah dari anak yang Mbak Lia kandung?" tanya Hafizah yang penasaran.Adi melepaskan pelukannya dan menatap Hafizah lekat. "Jangan berpikiran aku diam karena membiarkan Lia terus menjadi istriku, ya, Sayang? Sejak awal, aku sudah memerintahkan Putra untuk memantau Lia. Aku harap secepatnya dapat