Leda masih juga berdiri di hadapan Chase, hanya saja kali ini Leda mulai gentar. "Kau tuli? Keluar dari rumahku, kau dipecat!"Seketika Leda terbelalak, sepertinya bukan begini yang direncanakannya. "Chase_""Mr Chase Navarell! Dan tidak usah menjelaskan apapun, kau sudah di pecat, keluar sebelum kau menyesal berurusan denganku!" "Kau yang akan menyesal, Chase! Kau yang akan menyesal! Apa kurang ku dibanding istrimu yang lusuh, tidak bisa dandan, kedodoran, hah? Kelebihannya hanya dia melahirkan anakmu! Aku juga bisa, hamili aku, aku akan memberikan keturunan sebanyak yang kau inginkan!" Rentetan kalimatnya Leda tembakkan sambil berjalan mundur karena Chase terus maju dengan sikap mengancam. "Tutup mulutmu wanita gila, jangan pernah menghina istriku." Begitu kalimatnya selesai, Chase langsung teringat masalah yang ada dan sadar bahwa ada kemungkinan Leda terlibat di balik semua yang terjadi. "Kau yang merancang semua ini?" Chase bertanya sambil mendekatkan wajahnya, nampak Le
Chase bersiap untuk pulang saat kembali ponselnya berdering. GRANDPA! 'Semoga ini tidak ada hubungannya dengan berita hari ini.' "Halo Grandpa?" "Aku tidak membesarkan mu untuk jadi pria kebanyakan, aku mendidik mu agar suatu hari kau bisa jadi pria pelindung keluarga besar mu dan keluarga kecilmu sendiri." "Grandpa_" "Kalau saja dari awal kau bilang terus terang, Grandpa akan cari cara lain untuk membesarkan cicit grandpa dan ibunya, Grandpa tadinya yakin kau mampu melihat jauh ke dalam hati wanita yang kalian bilang BUKAN WANITA YANG PANTAS untukmu! Omong kosong darimana itu? Hah?" "Grandpa, kasih kesempatan Chase untuk_" Berkali-kali Chase berusaha menyela akan tetapi Grandpa tidak pernah memberi kesempatan, nampaknya Grandpa begitu emosional sehingga tidak mau mendengarkan siapapun. "Memangnya siapa wanita yang pantas, bawa mereka ke sini, Grandpa akan bandingkan mereka dengan ibu Tri
Arnold mengusap wajahnya mendengar pertanyaan tajam dari Samantha. "Kurang 10 menit lagi kau tampil, bersiaplah." Arnold menerangkan dengan wajah serius. "Kau tahu, kau harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga kau bertingkah seperti pelindungku." Kembali mereka saling berpandangan, lalu Arnold memalingkan kepala sambil mengumpat."Lima menit lagi, Tha." Samantha mengangkat dagunya. "Aku tidak akan tampil sebelum kau bilang apa yang sebenarnya terjadi!" "Tha.." "Say it!" "Tha.." "Oh oke, kalau mau bermain lambat...silahkan, mari kita lihat siapa yang pegang bola saat ini." Samantha pun memilih kursi tunggal lalu duduk dengan santai, walau pun rasa gemuruh di dadanya tak juga mereda. "Ok, wajahmu muncul di surat kabar pagi ini, dan kini waktumu harus tampil." "Apa judul beritaku?" tanya Samantha yang reflek berdiri. Samantha bertahan ditempatnya walau pun Arnold berusaha mendorong dia untuk maju. "Nold? Apa judulnya?" Nampak Arnold ingin menendang se
Chase sibuk mempersiapkan malam spesial menyambut kedatangan istri tersayang.Sesorean Chase merasa seperti remaja yang baru jatuh cinta, rasanya ingin waktu cepat berlalu tapi juga ingin waktu berhenti...Plin plan kan? 'mungkin beginilah yang namanya jatuh cinta, irasional, nggak masuk akal,' Chase sibuk bermonolog dengan diri sendiri. Chase sudah mengatur makan malam romantis tapi tetap di rumah saja, dia sudah terlalu rindu dengan Samantha, kalau mereka makan di luar bakalan panjang waktu perjalanan pulang perginya, lagian dia membutuhkan istrinya sendirian tanpa ada orang lain tanpa ada interupsi apapun! Agar mereka bisa bercakap-cakap sepuasnya, sejujurnya, akan dicurahkannya isi hatinya lalu dia akan memulai rayuan, mengerahkan segenap kemampuan mautnya, kalau Samantha belum bisa mencintainya minimal mereka telah terhubung dengan sangat kuat secara fisik. Chase setelah berpakaian lengkap yaitu setelan formal untuk makan malam dan dia juga telah
"Sam..why? Kau sana rindunya deng..." Chase tidak melanjutkan kalimatnya sebagai gantinya dia mengacak-acak rambutnya. "Mungkin mulut kita berkata lain tapi tubuh kita lebih jujur dalam meneriakkan kerinduannya," kata Chase dengan wajah tersiksa. Samantha pun yakin ekspresinya tidak lebih baik dari Chase. Dia sampai ingin menangis saat merasa tubuhnya terpisah dari tubuh Chase.Akan tetapi dia tidak mungkin membiarkan keadaan kembali keluar dari jalur yang direncanakan, sudah terlalu lama dia menyembunyikan sebuah DUSTA. Malam ini semua harus berakhir....Berakhir bahagia? Berakhir duka?Dia hanya bisa menunggu..."Chase, ada yang harus kita bicarakan." Chase memandang Samantha dengan wajah suntuk. "Kau tahu kalimat itu yang paling dibenci seorang pria? Kalimat 'kita harus bicara' mengindikasikan ada sesuatu yang tidak beres!" "Memang ada yang tidak beres." Mereka berdua termenung sejenak. "Kalau tentang apa ya
"Apa yang nggak bisa terus?" "Ngomongnya." Terdengar helaan nafas lega dari sisi Chase. "Baguslah, harusnya memang bukan waktunya ngomong!" "Chaseeee." Teriakan Samantha tak bertahan lama karena dengan segera bibirnya mendapat serangan dari sang suami pura-pura. Tak berapa Chase menarik bibirnya dengan tubuh masih melekat. "Aku sudah kasih waktu lima menit, bahkan Dewa pun tidak akan tahan menunggu lama-lama dengan tubuh saling melekat begini, bicaralah dengan cepat, Sam." "Aku bukan mau bicara, aku mau mengakui sesuatu, aku ingin mengatakan bahwa selama ini aku telah.... kamu.........aku."Chase menegakkan badannya karena mendengar kalimat istrinya yang kacau balau kenapa Samantha sampai sebegitu nervous nya?"Hai santai, katakan ada apa?" Samantha segera melepaskan tangan Chase dari pinggangnya lalu dengan perlahan mundur. Saat kakinya menyentuh dinding, Samantha tahu itu sudah jarak terjauh yang bisa diupayakannya.
Lebih baik dia akhiri sampai di sini saja paling tidak dia masih bisa pergi dengan kepala tegak tidak sampai hancur habis-habisan walau kenyataannya jauh di dalam hatinya kesedihannya begitu nyata menikam jantungnya menimbulkan kerusakan luka yang dalam. Samantha berdiri di samping Chase. "Chase..." Chase memandangnya dengan sorot yang tidak menampilkan apa yang ada di hatinya. Datar.... Samantha berusaha menebak apa yang sedang Chase pikirkan. Marah? Sedih? Kecewa? Benci? Dia bingung yang dia tahu hanyalah Chase tidak bereaksi atas semua pengakuan dan penjelasannya yang disertai permintaan maaf. Samantha memberanikan diri berjinjit lalu menempelkan bibirnya ke bibir suaminya. Dingin! Bibir Chase sangat dingin. Samantha perlahan bermain dengan bibir Chase, seakan ingin menghantar kehangatan. Selang berapa lama, Samantha berhenti mencium walau tidak.mundur. "Aku ingin meminta maaf, aku ingin kau tahu bahwa kau...berharga bagiku." Chase meneg
Deg!Samantha kebingungan, nge-blank...'Aku yakin banget kan menuju rumah Mama, tadi aku punya alasan masuk akal, kenapa sekarang jadi nggak ada?' Samantha menarik nafas panjang...lalu ingat. "Oh, kan Samantha baru pulang dari Aussie, Ma." "Oh iya, Mama sampai lupa, ini langsung dari bandara ya, maklum Mama udah tua, Sam." Samantha diam saja, tidak membenarkan kalimat ibu mertuanya. "Maafkan Sam, Ma.' batin Samantha, dia merasa bersalah karena tidak bercerita secara utuh tentang apa yang terjadi. "Ma, Sam jemput Tristan dulu ya." "Yukkk.." Sedang mereka berjalan menuju kamar Tristan, Samantha mendadak teringat sesuatu. "Oh ya Ma, boleh Samantha titip ini, Ma?" Ibu mertuanya berbalik dan menatap apa yang Samantha pegang.Jam tangan! "Ini jam tangan siapa?" "Ini jam tangan ayahnya Tristan, Mam. Sejauh ini kami belum berhasil menemukan siapa pemilik jam tangan ini, jadi boleh titip dulu di Mama, mungkin Mama punya cara lain untuk menemukan siapa pemilik jam tangan ini, Ma."
Tidak adanya penolakan dari Samantha membuat gairah Chase naik secepat kilat, 'tubuh' nya membengkak sempurna. Chase makin menekankan tubuhnya, memeluk istrinya erat-erat seakan bisa meredakan gairahnya. "Sayang, masih ada yang ingin kau katakan?" tanya Chase, sejenak melepaskan ciumannya. Samantha menggeleng. "Aku dimaafkan?" Samantha kembali menggeleng. Chase terkejut. "Kita sama-sama salah, Chase. Tidak ada yang perlu dimaafkan." "Kita mulai awal yang baru ya, Sayang. Tanpa perjanjian! Selamanya kau adalah Mrs Navarell!" Kembali Chase melanjutkan cumbu rayu yang sempat terhenti. Chase selalu tahu bahwa istrinya bisa begitu cepat menaikkan gairah dan hasratnya. Akan tetapi hari ini sangat luar biasa hebat. Chase menurunkan tangannya dan meremas bokong Samantha, lalu menekan tubuh Samantha makin rapat dengan gerakan yang begitu sensual, hingga terdengar
Sepanjang hari irama Chase melambat, dia menghitung sisa waktu sampai ke pukul 12 malam, saat perjanjian berakhir."Bos, ada tawaran besar dari klien kita, line satu." "Bereskan." Chase langsung memberikan instruksi lisan kepada wakilnya. "Bro, nggak nanya sebesar apa?" "Bereskan, Lim." "Oke." Kembali Chase melihat dokumen di hadapannya, akan tetapi fokusnya sudah bercabang. Dia merencanakan untuk memberi perhatian dan waktu sepenuhnya bagi Samantha saat mereka telah bertemu dan menemukan kata sepakat nanti. Giliran Chase yang menelepon Salim. "Lim, kemari." Hanya selang sesaat Salim sudah mengetuk pintu ruangan Chase. "Gitu lah, Bro! Top! Apapun yang terjadi bisnis is number one! Aku sambungkan langsung dengan klien kita, ok?" Chase langsung mengangkat wajahnya. "Kau belum bereskan?" Giliran Salim yang bingung."Sudah, tapi nggak tuntas karena dia minta bertemu langsung dengan decision maker." "Kan aku udah kasih kamu wewenang khusus, Lim. Kamu tinggal bilang kan kalau
Chase bersama Salim sedang menghadiri gala dinner dari perusahaan rekanan yang cukup besar yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang lima. Chase mengupayakan datang karena mereka telah mengirim undangan sudah lama sekali. Mereka sedang duduk di meja undangan VVIP ketika sang pembawa acara mulai membuka rangkaian acara."Salim, kenapa acara baru dimulai?" Gumam Chase heran. Salim yang mendengar kalimat Chase hanya diam saja, memang Chase tidak tahu karena undangan Salim yang pegang. "Kau akan terhibur malam ini, duduk santai sajalah, Bos." "Tiga puluh menit lagi aku akan pergi.""Lhaaa, belum juga pegang tangan dengan Mr Ramji." "Kau saja yang tinggal, bilang mendadak aku ada urusan penting." Chase berusaha menahan diri, sebenarnya jangankan tiga puluh menit lagi, sebenarnya tadi Chase enggan untuk datang. Sejak Samantha pergi, hari hari hidupnya hanya dihabiskan dikantor, sendiri dengan dokumen, dikelilingi dinding-dinding kantor yang membisu, menghitung detik demi de
Bianca menatap wajah jelita sahabatnya yang sedang memandang dengan tanda tanya besar di matanya. Melihat temannya hanya diam saja, Bianca berinisiatif untuk mengorek isi hati Samantha. "Gimana pendapatmu setelah mendengar ceritaku?" Nampak Samantha menggigit bibirnya."Mungkin apa yang dilakukannya terdorong oleh tanggung jawab yang besar terhadap Tristan." "Wrong answer, pilih jawaban lain." Nampak Samantha sedang berpikir mencari jawaban lain. "Mungkin dia takut kakeknya marah?""Kau yang lebih mengenalnya, menurutmu dia takut?" Samantha menggeleng. "Kalau kau lihat wajahnya kau akan tahu seberapa dalam kesedihannya, itu yang mendorong dia melintasi samudra secepatnya." Samantha tidak menjawab, tapi anehnya kondisinya sudah jauh lebih baik dibanding saat Bianca datang."Kalau kau tanya apa yang memicu kesedihannya, hanya kalian berdua yang bisa jawab? Urusan ranjang terpanas? Gaya terheboh? Atau_""Bi, memangnya besok kamu nggak ada shooting film?" Samantha memotong untuk
"Kenapa? Apa Tristan sakit?" tanya Chase mengingat kebiasaan Samantha yang sangat cemas saat Tristan sakit. "Tristan sehat," jawab Arnold. "Istriku..apakah dia baik-baik saja?" Arnold tidak menjawab, dia memandang Chase dengan tajam."Tadinya tidak, tapi sekarang dia sudah baik-baik saja, aku katakan padanya di bumi ada berjuta-juta pria yang mau mati bagi dia."Chase maju dan langsung mengangkat kerah leher Arnold. "Samantha istriku, selamanya dia istriku!" "Kalau itu yang ada di benakmu, seharusnya yang keluar dari mulutmu bukan hal yang menyakitkan hatinya." Chase menggertakkan giginya menahan rasa marah, bukan kepada Arnold, lebih kepada diri sendiri karena kalimat Arnold seketika mengingatkan dia akan kebodohannya menyuruh Samantha pulang! "Kalian apa-apaan sih?" teriakan Bianca membuyarkan lamunan Chase.Segera Chase melepaskan cengkeramannya lalu berlalu meninggalkan kedua sahabat Samantha, dia berjalan dengan posisi bahu turu
Dokumen? Chase ngeri mendengar kalimat Bianca. Seketika Chase mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi Samantha. Chase memandang layar, dia sangat gelisah. Dia ingin sekali mendengar suara istrinya. 'Pleaseeee Sam! Please angkat, Sam.' Waktu terus berputar.... Detik demi detik terasa sangat lama hingga akhirnya telepon diangkat. Ada yang berdesir di dada Chase saat menunggu suara lembut yang dirindukannya. Chase senang sekaligus sedih, banyak sekali yang ingin dia katakan namun lidahnya kelu. "Chase?" Chase sampai tidak bisa berkata-kata, lehernya tersumbat. Bahkan iya kesulitan untuk menelan salivanya, pikirannya tiba-tiba kosong seolah ada sesuatu yang membuatnya takut, sebuah kata yang tak ingin ia dengar keluar dari bibir Samantha. "Chase?" kembali Samantha bertanya. Chase menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan istrinya. "Sayang....kamu di mana?" "Maaf aku sudah jauh, tapi kalau kamu mau mengirim dokumen perc_" "CUKUP, SAM! Tidak akan ada percera
"Mom?" "Hai, Sayang." Mereka saling berpelukan, lalu Chase mempersilahkan ibunya masuk, sebaliknya Chase turun dari teras menuju mobil ibunya. Chase membuka pintu..lKosong... Chase terdiam dalam posisi kepala tertunduk sambil memegang pintu dalam waktu yang cukup lama. Lalu dia berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di hadapan ibunya. Sambil menangkupkan kedua tangannya, Chase bertanya. "Samantha yang mengirim Mom ke sini?" Nampak raut keheranan di wajah ibunda Chase. "Mom, Samantha pasti marah karena kejadian kemarin, sampai dia mengirim Mom ke sini." Tidak terdengar jawaban apapun dari ibunya membuat Chase menegakkan badannya dan memandang ibundanya. "Betul kan, Mom?" Ibunda Chase menggelengkan kepala perlahan. Chase mengernyit melihat gelengan ibunya. "Istriku tidak pergi menemui, Mom?" tanya Chase dengan kecemasan yang kental mewarnai suaranya. Siapapun pasti bisa menangkap nada saya
Deg!Samantha kebingungan, nge-blank...'Aku yakin banget kan menuju rumah Mama, tadi aku punya alasan masuk akal, kenapa sekarang jadi nggak ada?' Samantha menarik nafas panjang...lalu ingat. "Oh, kan Samantha baru pulang dari Aussie, Ma." "Oh iya, Mama sampai lupa, ini langsung dari bandara ya, maklum Mama udah tua, Sam." Samantha diam saja, tidak membenarkan kalimat ibu mertuanya. "Maafkan Sam, Ma.' batin Samantha, dia merasa bersalah karena tidak bercerita secara utuh tentang apa yang terjadi. "Ma, Sam jemput Tristan dulu ya." "Yukkk.." Sedang mereka berjalan menuju kamar Tristan, Samantha mendadak teringat sesuatu. "Oh ya Ma, boleh Samantha titip ini, Ma?" Ibu mertuanya berbalik dan menatap apa yang Samantha pegang.Jam tangan! "Ini jam tangan siapa?" "Ini jam tangan ayahnya Tristan, Mam. Sejauh ini kami belum berhasil menemukan siapa pemilik jam tangan ini, jadi boleh titip dulu di Mama, mungkin Mama punya cara lain untuk menemukan siapa pemilik jam tangan ini, Ma."
Lebih baik dia akhiri sampai di sini saja paling tidak dia masih bisa pergi dengan kepala tegak tidak sampai hancur habis-habisan walau kenyataannya jauh di dalam hatinya kesedihannya begitu nyata menikam jantungnya menimbulkan kerusakan luka yang dalam. Samantha berdiri di samping Chase. "Chase..." Chase memandangnya dengan sorot yang tidak menampilkan apa yang ada di hatinya. Datar.... Samantha berusaha menebak apa yang sedang Chase pikirkan. Marah? Sedih? Kecewa? Benci? Dia bingung yang dia tahu hanyalah Chase tidak bereaksi atas semua pengakuan dan penjelasannya yang disertai permintaan maaf. Samantha memberanikan diri berjinjit lalu menempelkan bibirnya ke bibir suaminya. Dingin! Bibir Chase sangat dingin. Samantha perlahan bermain dengan bibir Chase, seakan ingin menghantar kehangatan. Selang berapa lama, Samantha berhenti mencium walau tidak.mundur. "Aku ingin meminta maaf, aku ingin kau tahu bahwa kau...berharga bagiku." Chase meneg