Share

Chapter #4

Keesokan harinya, karena hari ini adalah hari minggu yang berartikan sebagai hari libur bagi Mia, Mia pun berniat bangun siang, namun ternyata ada yang merusak niatnya, ia adalah Radit.

Ketika Mia masih berada di alam mimpinya, Mia mendengar suara ketukan pintu yang tak kunjung reda. Awalnya Mia mengira suara ketukan pintu itu hanyalah mimpinya, namun karena ketukan pintu itu tidak kunjung reda, Mia pun segera membangunkan diri, dan ternyata ketukan pintu memang terjadi di dunia nyata.

Dengan perasaan kesal, Mia berjalan menuju pintu depan untuk membukanya. Mia bertanya-tanya siapakah yang membuatnya kesal sepagi ini. Saat sudah berada tepat di depan pintu, Mia segera membukanya, dan setelah itu sosok Radit dan Rangga langsung terpampang jelas di depannya. Melihat sosok Radit dan Rangga berada di depannya dengan tampilan yang sudah rapi sedangkan dirinya tampilannya sangat berantakan dan sangat tidak pantas untuk dilihat, Mia langsung menutup kembali pintu rumahnya. Namun sebelum pintu benar-benar tertutup rapat, Radit dengan cepat menggapai kenop pintu sehingga pintu tidak bisa tertutup rapat.

Melihat pintu tidak bisa tertutup, Mia akhirnya memilih menggeserkan dirinya, supaya dirinya tetap tertutupi. Setelah ia merasa tubuhnya sudah tertutupi pintu, dirinya bertanya, "Ada apa?" Mia berusaha menghilangkan suara seraknya.

Seperti yang sudah Mia duga, Radit tetap berusaha membuka pintu rumah Mia meskipun Mia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan pintunya supaya tidak bisa dibuka. "Kami ingin mengajakmu jalan-jalan," ujar Radit masih dengan tangannya memegang kenop pintu. "Lebih tepatnya aku." Lanjut Radit sambil menatap ke arah Rangga dengan tatapan kesal, namun Mia tidak bisa melihatnya karena dirinya masih sembunyi.

"Tapi aku masih belum siap-siap," Mia menghentikan ucapannya sebentar, lalu ia melanjutkannya. "Lagian kenapa nggak bilang dari kemarin kalo mau mengajakku jalan-jalan." Mia tidak bisa menyembunyikan perasaan kesalnya, ia sudah tidak peduli mau dianggap seperti apa oleh mereka berdua.

"Kita tunggu, kamu siap-siap aja dulu." Kali ini Ranggalah yang mengeluarkan suara, dan seketika itu juga Radit menyikut bahu Rangga karena dirinya merasa kesal posisinya diambil oleh kembarannya.

Mendengar suara Rangga dari balik pintu, Mia jadi lebih salah tingkah, padahal tadi saat Radit yang menjawab ucapannya, Mia tidak merasakan perasaan seperti ini, ia hanya merasa malu karena ia ketahuan belum mandi di jam segini. "Baiklah, tunggu sekitar 30 menit." Ucap Mia akhirnya.

Sebelum Rangga menyelanya lagi, Radit mendahuluinya. "Oke, 30 menit yaa," ucapnya. Melihat sikap kembarannya yang terlihat antusias, Rangga hanya bisa tersenyum sambil menatap Radit.

"Iyaa, lepasin dulu itu tanganmu dari pintu biar aku bisa siap-siap." Nada suara Mia terdengar benar-benar kesal, sangat berbeda dengan ketika ia menjawab ucapan Rangga. Radit menyadari perubahan itu.

"Oh iya, maaf." Jawab Radit sambil melepas genggaman tangannya dari kenop pintu. Mia pun dengan segera menutup pintunya dan berlari menuju kamarnya.

Sekitar 30 menit kemudian, dengan dandanan dan pakaian yang sudah rapi, Mia keluar dari rumahnya. Mia melihat ke sekeliling untuk mencari sosok Rangga dan Radit, namun Mia tidak bisa menemukan mereka berdua. Mia pun berniat untuk mencoba menghampiri mereka ke rumah mereka, namun baru 2 langkah Mia menuju rumah Rangga dan Radit, mereka berdua sudah keluar dari rumahnya.

"Udah lama nunggu kita?" Rangga lagi-lagi mendahului Radit, dan Radit kembali merasa kesal pada Rangga. Mia bisa melihat Radit sedang menggerutu, namun ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Mia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya ke arah Rangga.

Radit melihat ke arah Mia dan Rangga secara bergantian. Lalu ketika Rangga juga membalas tatapan Radit, Radit segera memelototi Rangga. Rangga tertawa melihat Radit yang masih merasa cemburu padanya, namun itu membuat Rangga semakin semangat untuk menggoda Radit.

"Kenapa?" Tanya Mia bingung karena melihat Rangga yang tiba-tiba tertawa.

Rangga menggoyang-goyangkan telapak tangannya dan berkata, "Nggak papa,"

Meskipun Mia sebenarnya masih merasa heran dan ingin bertanya lagi, ia takut kalau ada yang salah dengan dirinya, namun Mia mengurungkan niatnya ketika Radit berkata sesuatu.

"Kalo udah selesai, ayo berangkat." Radit menghentikan percakapan antara Rangga dan Mia.

Mia tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya menjawabnya dengan anggukan. Respon yang diberikan Mia pada Rangga dan pada Radit terlihat sangat berbeda, namun kali ini Radit tidak seberapa menyadarinya.

Mereka bertiga memutuskan jalan-jalan tanpa menggunakan kendaraan pribadi, jadi mereka bertiga harus berjalan keluar gang terlebih dulu. Sepanjang perjalanan menuju depan gang, Rangga mengajak ngobrol Mia, Radit merasa kesal akan hal itu, namun ia juga merasa kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa bersikap senatural Rangga, ia merasa canggung dan salah tingkah saat bersama Mia, sangat berbeda dari biasanya, saat Radit menggoda Mia seperti dulu.

"Sebelumnya kamu kerja dimana?" Kali ini Radit memberanikan diri untuk mengeluarkan pertanyaan yang ditujukan untuk Mia.

Mia yang sebelumnya selalu menatap ke arah Rangga, segera menoleh ke arah Radit. "Di daerah Cibubur, lalu aku dipindahtugaskan kesini, jadi ya mau gimana lagi," Mia pun juga terdengar lebih santai sekarang daripada tadi.

Radit mengangguk-anggukan kepalanya. "Disana kamu tinggal sama kedua orangtuamu?" Tanya Radit kembali.

"Iya, makanya ketika aku baru pindah kesini mereka sangat kehilangan aku." Maksud Mia ingin bercanda, namun Rangga dan Radit menanggapinya serius.

Melihat suasana menjadi canggung karena candaannya, Mia berusaha tertawa supaya mereka berdua tahu kalau itu hanyalah candaan, namun tawa yang dikeluarkan Mia sangat kelihatan kalau itu adalah tawa yang dibuat-buat. Setelah itu baru Rangga dan Radit ikut tertawa, tapi bukan karena candaan Mia, lebih karena tawa dan ekspresi wajah Mia yang menggemaskan.

"Kalo kamu bawa kaca, coba deh lihat mukamu, lucu banget tahu," tanpa disangka-sangka kalimat itu keluar dari mulut Radit, dan Mia benar-benar tidak pernah menyangka Radit akan berkata seperti itu padanya. Melihat Rangga dan Mia sedang menatapnya dengan tatapan yang berbeda, Radit bingung harus merespon bagaimana.

"Kamu kenapa sih?" Tidak disangka-sangka pula Mia menanggapinya dengan serius, dirinya merasa Radit berkata seperti itu karena ingin menggodanya lagi, seperti biasanya.

Mendengar respon dari Mia, Rangga langsung tertawa kecil. "Radit ngomong jujur, dia nggak lagi godain kamu kayak biasanya." Kata Rangga seperti mengerti apa yang ada di pikiran Mia saat ini. Rangga mengucapkannya dengan menatap ke arah Mia dengan tatapan yang bisa membuat cewek manapun meleleh. Mia yang sebelumnya juga balik menatap Rangga, dengan segera mengalihkan tatapannya, pipinya sudah mulai memerah, jadi dirinya tidak mau Rangga menyadarinya. Namun sepertinya yang menyadari akan perubahan warna pipi Mia bukanlah Rangga, tapi Radit.

Radit hanya bisa menghelakan napasnya. Rangga dan Mia masih sibuk dengan dunianya sendiri, mereka berdua sama-sama tidak menghiraukan Radit.

Mereka bertiga sudah sampai di depan gang, kini mereka hanya tinggal menunggu angkutan umum yang akan membawa mereka ke tempat tujuan mereka. Karena Mia tidak tahu dia akan diajak kemana, jadi dirinya hanya mengikuti Rangga dan Radit saja.

Tidak lama ketika mereka menunggu, Rangga berkata, "Itu dia," katanya sambil menunjuk sebuah angkutan umum berwarna biru yang sedang berjalan ke arah mereka.

Mia pun bersiap-siap untuk naik angkutan umum itu. Setelah angkutan umum itu sudah benar-benar berhenti di depan Mia, Mia pun berniat masuk duluan, namun Radit langsung menyenggolnya sehingga Mia hampir saja jatuh, Rangga yang melihat Mia mau jatuh dengan sigap meraih tangan Mia dan memegangnya dengan erat.

"Makasih," ucap Mia pada Rangga sambil tersenyum malu. Rangga membalasnya dengan senyum khasnya.

Radit sudah duduk dengan nyaman di dalam, ia bahkan tidak menoleh ke arah Mia ataupun Rangga lagi. Awalnya Mia duduk dengan memberi jeda yang besar dengan posisi Radit, namun Rangga menyuruhnya bergeser, jadi mau nggak mau Mia harus duduk bersebelahan dengan Radit. Mia melirik tajam Radit, namun sepertinya yang dilirik tidak menyadarinya, Mia pun mengenduskan napasnya kesal.

Sepanjang perjalanan, Mia hanya diajak bicara oleh Rangga, meskipun sekali-sekali Radit menyahutinya.

"Kemarin gimana kerjaannya?" Tanya Rangga membuka pembicaraan.

Mia tersenyum terlebih dulu sebelum menjawab. "Cukup baik, tidak separah waktu aku mendapat ceramah seharian," ucap Mia sambil tertawa.

"Kamu emang pantes dapat ceramah." Sahut Radit dengan suara yang pelan, tapi cukup mampu untuk didengar oleh Mia dan Rangga.

Ketika Mia sudah membuka mulutnya untuk mengomeli Radit, Rangga menyelanya. "Biarin, dia lagi nggak mood kali," meskipun Rangga yakin kalau tadi mood Radit sangatlah baik.

Mia pun mengurungkan niatnya. "Tapi doamu terkabul kemarin, aku mendapat pujian lagi dari atasanku, meskipun mungkin bagi orang lain itu bukanlah pujian yang patut untuk dibanggakan." Cerita Mia dengan nada yang menggebu-gebu.

Lagi-lagi Radit menanggapinya dengan sinis. "Kalo orang bilang kayak gitu berarti itu bukan pujian yang hebat."

Kali ini Mia tidak bisa menahannya lagi. "Kamu kenapa sih dari tadi kayak gitu terus sama aku," Mia bahkan melupakan fakta kalau mereka sedang ada di angkutan umum, ia hanya merasa kesal dan ingin segera meluapkan kemarahannya pada Radit.

Radit tidak menyangka Mia akan berteriak seperti itu padanya di tempat umum. "Emang aku kenapa?" Walaupun sebenarnya Radit sangat menyadari kesalahannya, tapi ia masih tidak mau mengalah.

Mia terlihat sangat kesal dan sedang berusaha meredam kemarahannya karena dirinya masih berada di angkutan umum. Mia pun tidak menjawab omongan Radit, ia hanya mengalihkan tatapannya sejauh mungkin dari sosok Radit, bahkan Mia berniat menukar tempat duduknya dengan Rangga. Tepat sebelum Mia membuka mulutnya untuk meminta tolong pada Rangga, Rangga sudah peka terlebih dulu. Saat angkutan umum yang sedang mereka tumpangi berhenti, Rangga beranjak dari tempatnya dan segera menyuruh Mia berganti posisi.

Ketika Rangga sudah duduk kembali di sebelah Radit, ia berbisik pada Radit. "Katanya elo suka sama Mia," mungkin karena Mia sudah terlalu kesal, jadi bisikan itu tidak terdengar Mia.

Radit langsung menoleh ke arah Rangga dan meliriknya tajam. "Kata siapa?" Ucap Radit sambil mengerutkan alisnya.

Mendengar jawaban dari kembarannya, kekesalan Rangga menaik. "Kalo elo masih kayak gini sama Mia, kesempatan buat elo bakal hilang." Rangga mengucapkannya dengan suara yang sangat pelan.

Radit hanya menatap ke arah luar jendela tanpa menoleh ke arah Rangga sama sekali. Mendapat respon seperti itu dari Radit, Rangga hanya bisa menahan keinginannya untuk menjitak kepala kembarannya itu.

Mereka bertiga sudah sampai di tempat tujuan, ternyata Rangga dan Radit hanya mengajak Mia ke sebuah pusat perbelanjaan. Mia tidak langsung masuk, ia menunggu Rangga untuk masuk terlebih dulu, yang pasti Mia tidak sedang menunggu Radit. Setelah Rangga mengajaknya masuk bersamaan, barulah Mia melangkahkan kakinya kembali. Meskipun Radit masih tertinggal di belakangnya, Mia tidak menghiraukannya.

"Tinggalin gue aja gitu," sindir Radit.

Karena Mia dan Rangga sedang kesal pada Radit, jadi mereka berdua masih tetap melangkahkan kakinya tanpa ada niatan sama sekali untuk memperlambat langkah kaki mereka.

Radit menyadari kalau Mia dan Rangga sedang kesal padanya, tapi pikirnya, bukankah harusnya Raditlah yang marah pada Rangga.

Lalu secara tiba-tiba Mia menghentikan langkah kakinya. Mia menoleh ke belakang dan menatap Radit dengan tatapan garang. "Kalau gitu kamu jalan duluan aja, aku sama Rangga yang jalan belakangan." Kata Mia.

Meskipun awalnya Radit merasa bingung, tapi Radit pun akhirnya menuruti ucapan Mia. Melihat Radit menuruti ucapan Mia seperti itu, perasaan kesal Rangga perlahan hilang karena ia merasa gemas sendiri dengan tingkah Radit. Rangga tertawa kecil sambil menatapi Radit yang sedang berjalan di depannya.

"Kenapa?" Tanya Mia saat melihat Rangga tertawa.

Rangga mengalihkan pandangannya dari Radit ke Mia. "Bukan apa-apa," jawab Rangga sambil tersenyum penuh arti.

***

Sekitar 2 jam kemudian, setelah mereka bertiga merasa sudah mengelilingi semua tempat yang ada di pusat perbelanjaan itu, Mia mengusulkan untuk pulang.

"Kita makan dulu aja," kata Rangga ketika Mia mengajak pulang. Rangga melihat ke sekeliling untuk mencari tempat makan yang sekiranya bisa untuk didatangi mereka. Radit dan Mia hanya bisa berdiri di dekat Rangga dengan mengikuti arah pandangan Rangga.

Lalu tidak lama kemudian Rangga menunjuk sebuah tempat makan yang tidak terlalu ramai namun juga tidak terlalu sepi. "Kita kesana aja," ucap Rangga sambil menoleh hanya ke arah Mia, ia tidak menoleh ke arah Radit sama sekali.

Karena Mia paling tidak bisa untuk menyembunyikan perasaannya, jadi raut wajah malas-malasan Mia saat ini juga tidak bisa disembunyikannya. "Tenang, aku yang traktir," namun sepertinya Rangga menyalahartikan ekspresi wajah Mia.

Mia jadi malu karena dianggap seperti itu. "Bukan karena itu." Jawab Mia tegas.

Radit yang semula hanya diam dan hanya menunjukkan ekspresi yang datar, langsung menatap Mia dengan heran.

Karena merasa dirinya sedang ditatap oleh Rangga dan Radit, Mia melanjutkan ucapannya. "Aku bukan memintamu buat mentraktirku," ucap Mia lirih.

Mendengar ucapan Mia, Rangga langsung tertawa kencang. "Aku juga tahu lah," katanya di sela-sela tawanya. "Emang aku serius? Aku juga nggak serius mau mentraktirmu," meskipun sebenarnya Rangga benar-benar mau mentraktir Mia dan Radit, tapi ia ingin melihat kesalahtingkahan Mia.

Dan benar saja dugaan Rangga, dengan segera kedua pipi Mia memerah dan Mia langsung tidak berani menatap Rangga maupun Radit, namun ia tetap mengikuti langkah kaki Rangga yang sudah berjalan duluan di depannya. Radit yang baru melihat sedekat ini ekspresi wajah Mia yang seperti sekarang, semakin merasa gemas pada Mia, namun mau nggak mau Radit harus memendam perasaan gemas itu, ia hanya tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangannya dari Mia.

Mia bersama Rangga dan Radit sudah sampai di dalam tempat makan yang mereka tuju. Radit menemukan tempat duduk kosong duluan, jadi kali ini Raditlah yang memimpin di depan. Saat Mia akan duduk di sebelah Radit, Radit mendahului Mia dengan memegang kursi itu. Awalnya Mia mengira Radit bertingkah semaunya sendiri seperti biasanya, namun perkiraannya sangat salah, setelah menarik kursi yang tadi ia rebut dari genggaman Mia, Radit menatap Mia seolah-olah memberitahu untuk duduk disitu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Karena jarang mendapat perlakuan seperti itu dari Radit, dan Mia sudah sangat mengenal biasanya sosok Radit seperti apa, jadi Mia hanya bengong.

"Duduklah," Radit menggumam.

Mia langsung tersadar dari lamunannya setelah mendengar gumaman Radit. "Makasih," kata Mia lirih.

Mendengar Mia mengucapkan terima kasih padanya, perasaan Radit senang sendiri, padahal itu hanya hal yang biasa. Rangga yang sedari tadi melihat mereka berdua hanya bisa tersenyum penuh arti, perasaan kesal Rangga sudah benar-benar hilang sekarang.

***

Keesokan harinya, Mia kembali menjalankan kehidupannya yang sibuk, karena hari ini adalah hari Senin. Mia berniat untuk berangkat lebih pagi. Tiga puluh menit lebih awal dari biasanya, Mia sudah siap. Setelah memasang sepatunya, Mia keluar dari rumahnya.

Ketika Mia sudah berjalan cukup jauh dari rumahnya, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari kejauhan. Mia pun menolehkan kepalanya dan mencari asal suara itu. Setelah melihat ke sekelilingnya, akhirnya Mia bisa menemukan pemilik suara tersebut, ia adalah Radit, ia memanggil Mia dari depan rumahnya.

Dengan sedikit berlari, Radit menghampiri Mia. "Tunggu sebentar, aku mau mengantarmu." Kata Radit setelah dirinya sudah berada tepat di depan Mia dengan napas yang terengah-engah.

Mau nggak mau Mia menatap Radit dengan bingung. "Kenapa?" Tanya Mia.

Radit ikut bingung ketika mendengar pertanyaan Mia. "Emang aku harus punya alasan buat mengantarmu?" Balik tanya Radit.

Mia memiringkan kepalanya. "Bukankah memang harus," Mia masih penasaran dengan alasan Radit, karena ia takut Radit hanya ingin menjahilinya lagi.

Radit tidak berniat sama sekali untuk menjawab pertanyaan Mia dengan jujur. "Aku mau berangkat kuliah, kita kan searah," Radit berkelit.

Mia semakin menatap Radit dengan bingung. "Sepagi ini?" Tanya Mia.

Tahu kalau dirinya ketahuan bohong, Radit jadi tersipu dan salah tingkah. Lalu tanpa Mia sadari, Mia tertawa ketika melihat raut wajah Radit. Ketika menyadari dirinya tertawa geli seperti itu, Mia dengan segera menghentikan tawanya.

Radit semakin malu namun juga merasa senang karena dirinya akhirnya bisa membuat Mia tertawa selepas itu. "Ya udah kalo kamu nggak mau," ucap Radit tiba-tiba.

Dengan cepat Mia langsung membantahnya. "Bukan begitu maksudku,"

Radit yang sudah membalikkan badannya untuk berjalan menuju rumahnya, segera membalikkan badannya kembali menatap Mia. "Jadi kamu mau?" Radit tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.

"Pokoknya kalau kamu nggak aneh-aneh lagi, ya aku mau," Mia sudah mewanti-wanti Radit duluan.

Tanpa menjawab perintah Mia, Radit langsung lari menuju rumahnya untuk mengambil motornya, dan mengendarainya menuju Mia. Melihat respon Radit sesenang itu, Mia menjadi was-was kembali, tidak ada pikiran sama sekali di otaknya tentang alasan sebenarnya Radit sesenang itu.

Tidak sampai 5 menit kemudian, sosok Radit bersama motornya sampai di depan Mia. Dengan masih tersenyum lebar, Radit menyerahkan helm yang sudah ia gantung di motornya ke arah Mia, Mia pun langsung menerimanya. Mia naik ke motor Radit dengan berpegangan pada bahu Radit. Seketika itu juga Radit merasa darahnya berdesir dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Karena dirinya sedang berusaha menenangkan perasaannya, Radit jadi tidak kedengaran suara Mia yang mengatakan kalau dirinya sudah siap.

"Oh maaf," ucap Radit dengan suara yang sedikit bergetar.

Mendengar suara Radit yang bergetar seperti itu, Mia jadi khawatir. "Suaramu kenapa? Kamu sakit?" Tanya Mia polos.

Radit langsung tertawa mendengar pertanyaan polos Mia, dan karena itu juga perasaannya yang tadi sempat tidak karuan menjadi normal kembali.

"Aku serius," kata Mia.

Tawa Radit masih belum sepenuhnya hilang. "Bukan urusanmu," kali ini Radit tidak benar-benar berniat untuk jutek seperti itu pada Mia, ia hanya ingin menggoda Mia. Karena sudah lama Radit tidak pernah menjahili Mia lagi, entah kenapa perasaan Radit menjadi senang, namun bukan karena memang ia senang menjahili Mia, tapi karena ia senang melihat wajah menggemaskan dari Mia yang selalu dipasangnya ketika dijahili Radit.

"Aku turun kalo gitu," Mia merasa kesal karena ia merasa feelingnya benar, Radit hanya ingin menjahilinya.

Mendengar ucapan Mia, dengan cepat Radit menyalakan motornya dan melaju dengan cepat supaya Mia tidak bisa turun dari motornya. Karena dirinya tidak bisa turun, Mia pun akhirnya hanya bisa memukul pelan punggung Radit, namun yang dipukul malah mengeluarkan senyuman bahagia.

Selama perjalanan menuju kantor Mia, sesekali Radit mengajak ngobrol Mia, dan Radit jadi tahu kalau Mia benar-benar mencintai profesinya saat ini, dan itu juga yang membuat Radit semakin kagum pada Mia.

"Kamu udah semester berapa?" Kali ini Mia yang bertanya pada Radit.

Motor yang dikendarai Radit sedang berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. "Lima," Mia bisa merasakan kemalasan Radit saat menjawab.

"Rangga?" Tanya Mia lagi.

"Aku sama Rangga masuk kuliahnya duluan aku, jadi dia masih semester 3." Jawab Radit sambil kembali fokus mengendarai motornya.

"Kenapa nggak bareng?" Mia bertanya karena memang ia benar-benar penasaran.

Namun Radit menerimanya dengan kesimpulan yang berbeda, ia merasa Mia tanya-tanya terus karena ini menyangkut tentang Rangga, kalau itu tentangnya, Radit yakin Mia tidak akan sepenasaran ini.

"Tanya aja sama Rangga sendiri," Radit mengatakannya dengan ketus.

Mendengar jawaban Radit yang ketus. Membuat Mia kembali kesal pada Radit. Mia tidak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Radit, bagaimana bisa suasana hati Radit bisa berubah-ubah seperti itu. Terkadang Radit bisa sangat baik padanya sampai Mia sendiri heran dan merasa was-was, namun terkadang Radit juga bisa sangat menyebalkan seperti sekarang ini.

Setelah itu mereka berdua sama-sama diam bahkan sampai motor sudah berhenti di depan kantor Mia.

"Nanti kamu pulang jam berapa?" Nada suara Radit berubah menjadi lembut lagi, namun Mia merasa tidak mau tertipu lagi.

"Emang kenapa?" Mia membalas keketusan Radit tadi dengan menjawab pertanyaan Radit tidak kalah ketusnya.

"Aku mau jemput kamu," jawab Radit dengan entengnya seperti hal itu adalah hal yang biasa, dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Radit mengambil helm yang sudah dilepas Mia.

"Ngapain?" Karena Mia merasa sudah sering tertipu dengan kebaikan Radit yang hanya berlaku sekejap mata, jadi kali ini Mia harus lebih was-was lagi.

"Nggak boleh?" Radit menatap ke arah kedua mata Mia secara langsung.

Mendapat tatapan seperti itu dari Radit, Mia merasakan perasaan yang aneh. Baru kali ini Mia merasakan perasaan seperti itu saat berhadapan dengan Radit. Karena merasa jantungnya masih berdetak dengan aneh, Mia segera mengalihkan pandangannya supaya ia bisa menghilangkan perasaan itu.

"Gimana, mau nggak?" Radit kembali memastikan ke Mia. Nada suaranya terdengar sangat lembut, sangat berkebalikan dengan nada suara Radit biasanya.

Dengan menggoyang-goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri secara perlahan, Mia menjawab, "Mau,"

Radit langsung sumringah mendengar jawaban Mia. "Jadi kamu pulang jam berapa?" Tanya Radit kembali.

"Nanti aku kabarin," jawab Mia.

Tidak Mia duga, Radit malah tertawa kecil setelah mendengar ucapan Mia. "Emang kamu punya nomer aku?" Radit mengucapkannya dengan nada yang sangat bisa membuat cewek manapun bertekuk lutut, apalagi ditambah dengan tatapannya yang sedang menatap ke arah Mia.

Mia tidak langsung menjawabnya karena ia masih menyesali jawabannya, sekarang Radit jadi punya alasan untuk mendapatkan nomer Mia karena Mia sendiri. Namun setelah dipikir-pikir, Mia memutuskan memberikan nomer nya pada Radit. Setelah menyimpan nomer Mia, senyuman di wajah Radit belum menghilang.

"Hai," tiba-tiba sosok Lina muncul di sebelah Mia dan di depan Radit.

"Oh hai," jawab Mia kikuk.

Lalu Lina mengalihkan pandangannya ke arah Radit dan menatapnya dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi, kemudian ia menatap Mia kembali. "Pacarmu?" Tanya Lina dengan berbisik ke arah telinga Mia.

Mia membelalakkan kedua matanya ke arah Lina dan sesekali mencuri-curi pandang ke arah Radit karena ingin melihat reaksinya. Tidak seperti reaksi Mia, Radit meresponnya dengan tersenyum senang, pertanda ia juga mendengar bisikan Lina. Mia heran pada Radit karena Radit tidak berusaha menyangkalnya, tidak seperti Mia yang selalu menyangkalnya.

"Bukan." Jawab Mia kemudian dengan singkat. "Kamu masuk duluan aja," kali ini Mia mengucapkannya dengan berusaha mengeluarkan senyum ramahnya.

Lina sempat melirik sekilas ke arah Radit sebelum ia masuk ke kantor duluan meninggalkan Mia yang masih berdiri di depan Radit yang belum ada niatan untuk menghilangkan senyuman bahagianya.

"Kenapa kamu tidak berusaha menyangkalnya?" Ujar Mia dengan nada kesal.

"Buat apa disangkal," jawab Radit dengan menaikkan kedua alisnya dan tersenyum jahil.

Mia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena dikiranya Radit sedang menjahilinya seperti biasanya. Merasa sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan Mia pada Radit, jadi ia pamit untuk masuk ke kantornya. "Aku masuk," ucapnya.

"Okee," Radit melambaikan kedua tangannya ke arah Mia dengan riang, namun Mia tidak membalasnya, Radit jadi merasa diabaikan, namun itu tidak membuat perasaan bahagianya menghilang begitu saja.

***

 Radit sudah sampai di depan kantor Mia beberapa menit sebelum waktu pulang Mia. Radit menunggu kemunculan Mia dengan sabar.

Tidak lama kemudian, Radit bisa melihat sosok Mia berjalan menuju ke arahnya. Radit langsung membenarkan kemejanya yang tadi terlihat kusut, entah kenapa dirinya merasa gugup. Ketika Mia sudah berada di dekatnya, tanpa berkata apapun, Radit langsung menyerahkan helm yang tadi pagi Mia pakai ke arahnya, dan Mia langsung menerimanya tanpa berkata apapun.

Setelah memastikan Mia sudah duduk dengan benar di belakangnya, Radit langsung menyalakan motornya dan motor dengan segera melaju.

"Udah nunggu lama?" Mia memecah keheningan di antara mereka berdua.

Radit menggelengkan kepalanya. "5 menit-an kali," jawabnya dengan sedikit mengencangkan suaranya supaya Mia bisa mendengarnya dengan jelas.

"Aku tadi dipanggil atasanku dulu waktu mau pulang." Kata Mia dengan suara yang seperti biasanya, sehingga Radit tidak terlalu mendengarnya.

"Apa?!" Teriak Radit karena memang jalanan lagi ramai jadi suaranya bercampur dengan suara motor dan mobil yang sedang melintas di dekat mereka.

Mia malah tertawa mendengar teriakan Radit. "Aku tadi dipanggil atasanku dulu waktu mau pulang." Mia mengulangi ucapannya dengan sabar dan berusaha meninggikan suaranya.

"Ohh, iyaa nggak papa." Ujar Radit sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Setelah itu keheningan kembali terjadi di antara mereka. Mia berkali-kali berdehem, maksudnya memberi kode pada Radit supaya Radit bisa memecah keheningan itu, karena Mia merasa dirinya tidak bisa. Radit sendiri juga sebenarnya mendengar suara deheman Mia, namun ia masih mencari-cari topik pembicaraan.

"Cuma kamu yang dipanggil?" Kali ini suara Radit kembali normal karena motor sedang berhenti menunggu lampu merah berganti warna menjadi hijau.

Awalnya Mia tidak paham arti dari pertanyaan Radit, namun setelah dicerna lebih lama lagi, baru ia tahu maksudnya. "Nggak, sama temanku," Mia berhenti sejenak, lalu ia melanjutkan, "Teman yang tadi ketemu sama kita di depan kantor."

"Oh yang ngira aku pacarmu," goda Radit. Motor sudah kembali melaju.

Mia memukul pelan punggung Radit. "Ngapain sih pake diingetin lagi," katanya.

"Emang kenapa? Kamu nggak suka?" Radit sebenarnya hanya iseng bertanya seperti itu.

Namun tidak disangka-sangka Radit, Mia malah menjawab, "Iya."

Seketika itu juga jantung Radit serasa seperti mencelos, kalau tahu Mia akan membenarkan pertanyaannya, ia tidak akan menanyakan hal itu. Radit tidak menjawab ataupun mengatakan apapun lagi ke Mia, dan Mia sendiri juga tidak menyadari perubahan yang ada di diri Radit sekarang, jadi Mia hanya ikut terdiam sepanjang perjalanan menuju rumah mereka.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status