Setelah Callis membayar argo taksi. Callis dan Reis turun dan memasuki rumah sederhana mereka. Setahun yang lalu, Callis mengontrak rumah ini saat harganya sedang turun. Mungkin, jika pemilik rumah ini menerapkan harga normal, Callis tidak bisa mengontraknya. Namun pada saat itu, pemilik rumah membutuhkan pengontrak cepat karena dirinya harus cepat-cepat pindah ke luar kota bersama anaknya, atau entahlah. Callis tidak terlalu paham juga. Yang kuingat, pemilik rumah ini memberikan Callis potongan harga hingga 25%. Dan Callis seketika merasa mendapatkan durian jatuh.
Setiap Callis memasuki rumah, tak lupa Callis berdoa pada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi dengannya…
***
Reis menyentuh kelopak mataku dan aku refleks menutup mata. “Mata Mommy warnanya coklat. Kenapa warna mata Reis gini?”
"Warna mata Reis spesial. Jadi, kecuali di sekolah dan pergi sama Mommy, Reis harus pake kaca mata hitam ya,” ucapku.
Reis menelengkan kepalanya menatapku. “Kalo spesial harus dipamerin dong, Mom. Biar semua orang tau kalo Reis punya mata spesial.”
"Malah yang yang spesial yang harus dijaga. Nanti kalo dipamerin banyak yang iri. Reis nggak mau kan kalo matanya diambil orang?” Sebenarnya aku bergidik juga mendengarkan ucapanku sendiri. tidak bisa membayangkan bagaimana jika mata Ries betulan hilang. Aku menggelengkan kepalaku. Ngeri juga.
Dengan gemas Ries menutup kedua matanya dan menggelengkan kepalanya. “Nggak. Ries nggak mau, Mom. Nanti Ries nggak punya mata lagi.”
Aku terkekeh dan menarik turun tangan Ries. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengkhawatirkan bahwa ada orang yang akan mengenali mata Ries karena setahuku, perusahaan raksasa milik keluarganya belum memasuki pasar Indonesia—walaupun aku tidak terlalu yakin, mengingat aku bukan orang ekonomi yang memperhatikan pasar dan perekonomian di Indonesia. Semoga saja tidak pernah
***.
Victor berjalan dengan tenang melewati lobby gedung perusahaannya. Walaupun Victor tidak menunjukkan ekspresi apapun, aura yang melingkupinya tetap hitam. Bahkan, seketika lobby menjadi sunyi begitu Victor memasukinya. Para staf hanya berada menundukkan kepalanya, terlalu segan untuk menyapa Victor. Menurut para karyawan, Victor hanya memiliki tiga ekspresi, yaitu santai, dingin, dan tanpa ekspresi—walaupun tanpa ekspresi harusnya tidak termasuk dalam ekspresi, namun bagi Victor, tanpa ekspresi merupakan sebuah ekspresi. Dari ketiga ekspresi tersebut, yang paling menyeramkan adalah wajah tanpa ekspresinya.
Para karyawan tentu tahu betul alasan Victor berwajah seperti itu pagi ini. Victor merupakan pimpinan yang “sedikit” membebaskan pekerjaan karyawannya asalkan target bulanan tercapai. Oleh karena itu, mereka sangat betah untuk bekerja di sini. Walaupun target bulanan mereka tinggi, setidaknya mereka memiliki rekan kerja yang kompeten. Maka dari itu terget bulanan tidak terlalu menjadi momok yang mengerikan bagi mereka. selain karena kebebasan yang diberikan Victor serta partner yang kompeten, gaji yang dijanjikan juga di atas rata-rata gaji karyawan pada perusahaan lain. Bahkan, Victor tidak segan memberikan bonus kepada karyawannya apabila pencapaian jauh melampaui target.
Hanya satu hal yang harus ditekankan dan diwanti-wanti oleh karyawan The Barnett Group Inc. adalah jangan pernah berkhianat. Sudah menjadi rahasia umum jika Victor akan menghancurkan hidup karyawan yang berani berkhianat kepadanya. Victor sangat membenci pengkhianatan. Karyawan terakhir yang dipecat oleh Victor karena ketahuan korupsi sekarang menjadi pengangguran, padahal kejadiannya sudah dua tahun yang lalu. Tidak ada satu perusahaanpun di Sidney—bahkan perusahaan yang ada di Australia—yang mau menerimanya begitu mereka mengetahui bahwa orang tersebut merupakan mantan karyawan dari TBGroup Inc. yang telah dipecat secara tidak hormat. Victor memang tidak memenjarakan ataupun meminta ganti rugi kepada orang tersebut. Tapi Victor membuat mantan karyawan tersebut sengsara, bahkan untuk makan pun dia kesusahan.
Dan pagi ini—seperti berita yang telah menyebar di grup obrolan mereka—kejadian dua tahun lalu terjadi lagi. Pengkhianatan. Bahkan lebih parah. Orang ini menjual informasi produk terbaru TBGroup Inc. pada perusahaan lawan sehingga TBGroup gagal mendapatkan tender. Karwayan-karyawan yang saat ini tengah membungkuk pada Victor bergidik ngeri membayangkan keadaan mantan rekannya nanti. Dengan sekali jentikan jari saja Victor dapat menghancurkann kehidupan seseorang. Bahkan desas-desus yang mereka dengar, Victor termasuk pada shadow market dan termasuk golongan mafia—walaupun tidak ada bukti valid yang telah menyebutkannya.
Victor berjalan dan masuki lift khusus untuk jajaran petinggi perusahaan. Biasanya, di dalam lift akan ada obrolan seputar investor baru ataupun tender-tender yang hendak mereka gaet. Tapi saat ini, Victor beserta petinggi perusahaan hanya diam dan tidak mengatakan sepatah katapun. Bahkan mereka bernafas dengan sangat hati-hati. Takut suara nafas yang mungkin saja mereka keluarkan akan mengganggu telinga Victor dan menyulut amarah Victor nantinya.
Setelah Victor memasuki ruangannya dan duduk di singgasananya. Victor menatap bawahannya tanpa ekspresi. “Panggil dia,” ucap Victor dengan nada datar. Seketika itu juga, semua bawahannya yang keluar dari ruangan Victor. Sekeluarnya mereka dari ruangan Victor, mereka baru bisa benar-benar bernafas dengan normal.
Tak lama, datang salah satu bawahannya dengan menyeret perempuan muda yang menangis ketakutan. Setelah menundukkan kepalanya pada Victor dan Victor yang memberikan isyarat agar dirinya keluar, karyawan yang tadi menyeret wanita itu keluar. Di ruangan Victor, tinggallah Victor dan wanita itu.
"Maaf, Tuan. Saya tahu saya bersalah. Tapi izinkan saya menebus semua kesalahan saya,” perempuan itu bersimpuh di samping meja Victor. Victor hanya menatap perempuan itu.
“Apa alasanmu?”
“Mr. Williams—direktur dari perusahaan lawan—menjanjikan pernikahan pada saya jika saya dapat membuat perusahaannya menang di tender ini. Ternyata saya dibohongi. Maafkan saya Mr. Barnett.”
“Kau tentu tahu pantangan di TBGroup bukan?” Tanya Victor masih dengan wajah tanpa ekspresinya.
Wanita itu mengangguk dengan air mata yang masih bercucuran. “Bukankah ini hanya tender kecil? Tender ini tidak mungkin dapat menggoyahkan perusahaan Anda. Tolong maafkan saya.”
Victor mengangkat alisnya. Bahkan setelah melakukan kesalahan, perempuan di depannya ini tidak merasa bersalah. Tender kecil dia bilang? Victor bahkan terjun langsung menjadi pemimpin di tender ini.
Victor mengambil ponselnya lalu mengutak-atik sebentar. Lalu dirinya menghadapkan layar ponselnya pada perempuan itu. Perempuan itu sangat terkejut. “Bagaimana jika video ini menyebar ke penjuru Sidney? Ah tidak, ke penjuru Australia?”
Perempuan itu menggeleng dan semakin memohon pada Victor untuk memaafkannya. “Saya akan keluar dari perusahaan ini, bahkan tanpa pesangon. Tapi tolong maafkan saya dan jangan disebar video tersebut,” pinta wanita itu.
“Bukankah ini hanya video kecil? Video ini tidak mungkin dapat menggoyahkan dirimu bukan?” Victor membalikkan kata-kata mantan karyawannya ini. Wanita ini menangis semakin sesenggukan. Pasalnya, video tesebut berisi tentang videonya pada saat bermalam di apartemen Mr. Williams dan juga video di mana dirinya mencuri data dan proposal TBGroup. Apabila kedua video tersebut menyebar, reputasinya benar-benar akan hancur.
“Dan juga, perusahaan ini akan memecatmu. Bahkan, mungkin tidak ada perusahaan yang mau menerimamu. Atau kau bisa meminta Mr. Williams untuk menerimamu di perusahaannya jika perusahannya masih stabil setelah video ini menyebar.”
Wanita ini bahkan tidak yakin akankah Mr. Williams akan menerimanya. Pasalnya, setelah pengumuman pemenang tender, Mr. Williams sama sekali tidak dapat dihubungi. Dan benar juga kata Victor, perusahaan milik Mr. Williams tergolong masih baru. Setelah skandal ini menyebar, tidak ada jaminan bahwa perusahaan milik Mr. Williams masih bertahan. Lantas, bagaimana kehidupannya selanjutnya?
“Kau boleh keluar!” Ucap Victor. Dia terlalu sibuk untuk mnegurusi tangisan dan drama wanita ini. Harusnya dia tahu, bekerja dengannya harus jujur. Victor memang bukan orang suci, tapi dia sangat membenci pengkhianatan, entah itu pengkhinatan di dunia pekerjaan ataupun pengkhianatan di kehidupan pribadinya. Bukankah memang tidak ada orang yang suka dikhianati?
“Mr. Barnett, bisakah Anda memaafkan saya. Bukankah saya memiliki andil yang besar untuk perusahaan ini?” Pinta wanita ini mencoba menego pada Victor.
Wajah datar Victor terlihat menyeringai. Seringaian itu semakin menambah seram wajah tampan Victor. “Kontribusimu memang sangat besar…”
Ucapan Victor tentu membuat mantan karyawannya ini menaruh setitik harapan pada dirinya. Mungkin saja, Victor akan mempertimbangkan kembali dirinya begitu tahu bahwa ia memiliki kinerja yang baik dalam bekerja. Itu pikirnya.
“… untuk membuat perusahaan ini kalah tender,” lanjutan ucapan Victor tentu menjadi bumerang baginya. Tentu saja dia tahu, sudah tidak ada lagi harapan baginya untuk tetap hidup tenang di Sidney, atau bahkan dia tidak bisa agi hidup tenang di Australia.
Victor mengutak-atik ponselnya dan langsung saja, dua video yang menampakkan jelas wajahnya sudah tersebar di seluruh media sosial di Australia. Wanita ini benar-benar lemas. Hancur sudah. Semua reputasinya sudah hancur. Victor sama sekali tidak merasa kasihan kepadanya. Victor lalu menghubungi satpam untuk menyeret wanita ini keluar dari ruaangannya.
Setelah dirinya sendirian di ruangannya, Victor mengambil gelang emas simple dengan satu liontin bintang di tengahnya. Mata Victor menggelap saat menatap gelang ini. Victor sangat membenci pemilik gelang ini, tapi dia tak ingin memusnahkan gelang ini. Bagi Victor, pemilik gelang ini merupakan pengkhianat terbesar dalam hidupnya. Tujuh tahun lalu, Victor merasa dikhianati dengan sangat. Saat ini, mungkin Victor akan menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya pada pemilik gelang ini.
Setiap kali ada pengkhianat di perusahaannya, dirinya selalu mengingat pemilik gelang ini. Wajah polos—sok polos—itu menghantui pikirannya. Sangat menjijikkan jika dirinya harus dibayangi wajah ular itu. Victor menggenggam gelang itu sebelum melemparkan membali gelang tersebut ke dalam laci paling bawah meja kerjanya.
Tangannya mulai menghubungi Dave, salah satu mafia sekaligus temannya, yang biasa membantunya menangani masalah Victor yang selain masalah perusahaan. Victor memang berteman dengan mafia kejam ini, namun Victor sama sekali tidak terlibat dalam shadow market.
"Dave, cari wanita itu. Callista Efigenia.”
“Jangan sungkan, Callis. Tidak mungkin kalian selamanya tinggal di unit. Suatu saat kalian pasti membutuhkan rumah. Oleh karena itu, lebih baik kalian memilih rumah secepatnya. Aku akan merasa sangat sedih karena kalian menolak hadiah pernikahan dariku.” Callis semakin merasa bersalah saat mendengar ucapan terakhir Abraham. Bukannya ingin menolak, Callis hanya merasa sangat tidak enak jika menerima hadiah semahal itu. “Aku akan mendiskusikannya dengan Victor terlebih dahulu, Mom, Dad.” “Aku selalu setuju dengan pilihanmu, Callie. Semua keputusanmu adalah keputusanku juga.” Callis ingin mencakar mulut Victor yang tersenyum usil di sebelah sana. Bukannya membantu, Victor malah semakin mendorongnya. Lihat saja nanti, Callis pastikan bahwa Victor akan tidur di luar. *** Victor beserta keluarganya memasuki rumah yang menjadi kado pernikahannya. Rumah ini sangat luas bagi Callis. Namun, jika dibandingkan dengan mansion milik keluarga Abraham tentu tidak ada apa-apanya. Callis memang mem
“Yow! Kedua sahabatku sedang bercengkrama tanpa mengajakku.” Nick menyenggolkan bahunya kepada Victor dan Dave dengan wajah cengengesan.“Sudah lama kita tidak bertemu,” ujar Dave pada sahabatnya itu.“Yah, Si Diktaktor itu memaksaku untuk mengurus cabang di Indonesia setelah dia memaksa untuk mengambil alih cabang itu sebelumnya,” sindir Nick pada Victor. “Aku membutuhkan banyak adaptasi saat di sana,” keluhnya.Victor hanya meliriknya malas. Dia sangat paham bahwa Nick sangat suka mendramatisir semua hal. “Wow! Siapa wanita cantik yang sedang bersama istrimu itu, Bro?” tunjuk Nick pada Meghan.“Alihkan tatapanmu dari kekasihku, atau akan ku keluarkan bola matamu dari tempatnya, Nick.”***Callis dan Victor saat ini sudah berada di kamar pengantin. Tubuh Callis terasa sangat lelah, namun Callis merasa sangat puas. Pesta pernikahan yang dijalani nyatanya sangat jauh lebih menyenangkan dibandingkan yang pernah diimpikannya. Victor sangat bersungguh-sungguh saat dirinya berkata bahwa a
Tanpa bantahan, Callis bergerak ke arah Victor dan menyandarkan kepalanya ke dada Victor. Tangan Victor juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus rambut wanitanya. “Tadi katanya ingin membahas tentang pernikahan kita?” tanya Victor untuk membuka percakapannya. “Sebentar.” Callis segera beranjak dan mengambil tabnya yang dia simpan di meja yang berada di sudut kamar. Setelah mendapatkannya, Callis kembali ke posisi awal. “Tanpa mengingat pilihanku, aku ingin kau memilih dekorasi serta hal lain yang kita butuhkan untuk pernikahan kita.” Cassie menyodorkan tab yang sudah menayangkan beberapa pilihan itu pada Victor. Malam itu dihabiskan oleh sepasang suami istri, yang akan kembali menikah, dengan diskusi. *** Waktu berlalu dengan cukup baik. Baik Callis maupun Victor, mereka akhirnya menyiapkan pernikahan ini dengan bersungguh-sungguh. Hari besar yang dinantikan akhirnya datang juga. Saat ini, Callis sedang mempersiapkan dirinya untuk pemberkatan. Isabella, sang ibu, serta
Dengan pelan, Callis menggerakkan kepalanya hingga tatapan mata mereka saling berbalas. “Tidak perlu meminta maaf, Vic. Yang terpenting, tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Callis mengucapkannya dengan nada bergetar karena harus menahan tangisannya.“Aku ingin memulai semuanya dengan benar, Callis.”Ucapan Victor membuat Callis harus mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud Victor.“Ayo kita melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Mulai dari persiapan pernikahan, pemberkatan, hingga resepsi. Aku ingin melakukan semuanya denganmu. Aku ingin merasakan menjadi kekasih yang menunggu pasangannya untuk fitting baju. Aku ingin melakukan foto pra-nikah, aku ingin mengucapkan janji untuk selalu menjadi saksimu di hadapan Tuhan dan aku ingin memiliki foto pernikahan yang dapat dipajang di ruang tamu. Bahkan jika kau mau, aku juga ingin melakukan rangkaian budaya pernikahan seperti yang biasanya Mom ceritakan padaku saat aku kecil. Aku ingin m
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa ketiganya. Namun, hanya Callis yang membalas sapaan mereka. Baik Victor maupun Reis hanya diam dan berjalan lurus. Callis menggelengkan kepalanya melihat Victor dan Reis yang bergandengan tangan meninggalkannya di belakang. Callis sengaja memperlambat jalannya dan benar dugaannya. Victor dan Reis terlalu fokus pada jalan di depannya tanpa mempedulikan sekitar. Begitu kedua lelaki berbeda generasi itu hendak mencapai lift, Callis mempercepat langkahnya agar keduanya tidak sadar bahwa dirinya sempat terhindar.Dasar dua lelaki sok keren, gumam Callis dengan sedikit kekehan.Adam yang sudah menunggu di samping lift para petinggi segera menekan tombol pada lift agar terbuka. “Selamat siang, Tuan Barnett, Tuan Muda Barnett… dan Nyonya Barnett.”Callis berdecih dan masuk ke lift bersama ketiganya–Victor, Reis, dan Adam. Callis sangat tahu bahwa Adam sedang mengejeknya dan itu membuatnya kesal. Callis ingin sekali memukul lengan Adam. Nam
Callis masih setia mengelus punggung Reis yang masih sesenggukan di dadanya. Bahkan, Reis duduk di pangkuan Callis karena masih tidak ingin lepas dari ibunya. “Nangisnya udahan dong, sayang.” Callis mencoba melepaskan pelukan Reis padanya.Pelukan Reis terlepas. Callis akhirnya dapat melihat wajah Reis yang memerah sebab tangis. Bahkan, mata Reis masih basah karena air mata yang belum kering. Air mata Reis kembali menetes saat menatap wajah ibu yang sangat dirindukannya.“Gantengnya Mommy jadi jelek soalnya nangis mulu,” ledek Callis dengan mengelap wajah Reis yang basah karena air mata dan keringat. “Reis kangen banget sama Mommy,” rengek Reis dengan kembali memeluk Callis, tapi tidak seerat tadi. “Mommy juga kangen banget sama anak Mommy yang paling ganteng ini.”“Mommy, aku laper banger,” rengek Reis yang dijawab dengan kekehan oleh Callis.***Callis dan Reis sampai di Four Season, salah satu restoran yang berkolaborasi dengan TBGroup. Sejak mereka hidup dengan Victor, lelaki it
Callis! Ini bukan pengalaman pertamamu! Jangan berlaga seperti orang suci! Teriak Callis dalam hatinya.Akan tetapi, tidak bisa. Callis tidak bisa mengontrol dirinya. Victor dan posisi mereka yang terbilang cukup intim membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya. Kaki Callis terasa sangat lemas seperti jeli. Namun, dirinya tidak akan terjatuh dan membuatnya malu.Tuhan! Tolong hamba, jerit Callis.“I love you, Baby Girl.” Belum sedetik Callis mencerna ucapan Victor, bibir Callis langsung menjadi sasaran Victor.***Callis terbangun saat dirinya merasa pelukan hangat yang semalaman telah memanjakannya menghilang. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang ternyata sudah terang. Callis terlambat bangun!Callis segera beranjak dari tidurnya begitu sadar bahwa dirinya sudah sangat terlambat untuk bangun. Kepala Callis sontak terasa pening karena berdiri dengan cepat dari tidurnya.“Hi, dear. Jangan terburu-buru. Reis sudah berangkat ke sekolah diantar oleh ma
Callis dan Victor berjalan beriringan. Setelah sampai di unitnya, Victor segera memasuki kamar pribadinya untuk membersihkan tubuh. Callis berdiri di tengah ruang tamu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Callis ingin membersihkan dirinya. Namun, kamar yang digunakan selama di sini adalah kamar utama, dengan kata lain kamar Victor. Rasanya, Callis akan merasa canggung jika masuk ke kamar tersebut tanpa permisi. Lama tidak tinggal di unit Victor membuat Callis menjadi asing padahal tidak ada yang berubah dari tempat tinggal Victor tersebut.Tak lama, Victor keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Callis. Victor sudah mengganti tuksedonya dengan pakaian yang lebih santai. Rambut Victor terlihat sedikit basah dan berantakan. Ketampanan Victor meningkat berkali-kali lipat dengan penampilan tersebut.“Kau tidak ingin membersihkan diri?” tanya Victor dengan heran.“Aku… Um… Aku.” Callis bingung harus bagaimana untuk menyuarakan kecanggungannya.“Aku akan keluar sebentar.” Victor men
Callis menitipkan belanjaannya di tempat penitipan. Setelah itu, dirinya bergerak untuk menuju ke tempat di mana Victor menunggunya. Di sana, terdapat Victor yang sedang menikmati ice cream dengan tenang, sangat kontras pemudi yang menatap Victor dengan menunjukkan ekspresi tertarik yang ketara.“Cih.” Callis berdecih melihat segerombolan pemudi itu. Di umur segitu, mereka harusnya fokus belajar. Bukannya malah nongkrong tidak jelas di kafe. Lagi pula, apakah mereka tidak sadar jika Victor terlihat jauh lebih tua dibandingkan mereka. Atau malah mereka mencari lelaki seumur Victor untuk dijadikan ayah gula?Sebelum menghampiri Victor, Callis memasang senyum yang sangat manis. Dirinya lalu bergerak dengan riang mendekati Victor. “Ah, maaf sekali, Sayang. Karena menungguku, kau harus menunggu di sini dengan bosan,” ujar Callis dengan manja. Tak lupa, Callis juga membubuhkan satu kecupan di pipi kanan Victor.***Victor mengernyitkan alisnya saat melihat gelagat aneh dari Callis. “Apa yan