LOGINGilbert yang tak sengaja bertemu dengan Sheilla yang merupakan ibu tiri dari sahabat dekatnya , dan nekat untuk mendekatinya walau cinta mereka terhalang umur waktu dan status
View More“Tolong buka bajunya sekali lagi…” pinta Gilbert, suaranya hampir memohon, tangannya sudah menyentuh ujung dress Sheilla, jari-jarinya mengelus kulit pahanya yang halus.
Sheilla tertawa kecil, suaranya merdu tapi bergetar. “Anu… kamu terlalu nafsu ya…” katanya sambil memegang tangan Gilbert, tapi bukan untuk menolak justru menahan agar tidak terlalu cepat. “Habis… walaupun kamu ibu tirinya temenku, aku sangat mencintaimu,” ucap Gilbert tulus, matanya penuh api. Ia menarik Sheilla pelan hingga berdiri, lalu memeluk pinggangnya erat. Tubuh mereka menempel, panas, bergetar. Napas Sheilla terasa di leher Gilbert, hangat dan basah. --- "Gila, tugas besarnya bikin kepala mau pecah," keluh Gilbert sambil mengelap wajahnya dengan sapu tangan. Seta, sahabatnya, tertawa kecil sambil memasukkan laptop ke dalam tas ransel. "Makanya pas dijelasin tadi dengerin yang bener, Gil. Kamu dari tadi bengong aja." Gilbert menyikut lengan Seta pelan. "Ah, nggak juga. Cuma mikir mau mulai dari mana aja." Keduanya berjalan keluar kelas berbaur dengan mahasiswa lain. Cahaya matahari siang menyilaukan mata mereka begitu keluar dari gedung. "Ngomong-ngomong, kapan kita mulai ngerjain tugas besarnya? Deadline-nya tinggal tiga minggu lagi," tanya Gilbert. Seta berhenti sejenak, berpikir. "Gimana kalau sekarang? Langsung ke rumah gue aja. Kita bisa diskusi sambil ngerjain kerangka proposal penelitiannya." Gilbert mengangguk antusias. "Oke, deal! Gue ikut motor lu ya?" "Sikat!" Seta membuka gembok motor sport 150cc miliknya yang terparkir di area parkir fakultas. Gilbert dengan sigap sudah naik ke jok belakang. Mesin motor dihidupkan dengan sekali injakan. Motor melaju keluar dari gerbang kampus. Jalanan Jatinangor cukup ramai di siang hari. Kendaraan bermotor dari berbagai arah memadati jalan raya. Perjalanan menuju Dago memakan waktu sekitar empat puluh lima menit. Gilbert menikmati pemandangan kota Bandung yang dilewatinya. Gedung-gedung tinggi mulai bermunculan menggantikan sawah dan kebun. Seta mengerem motornya perlahan di depan sebuah rumah bertingkat dua dengan desain minimalis modern. Pagar besi hitam mengkilap berdiri kokoh mengelilingi halaman yang ditata rapi dengan rumput hijau terawat. Carport batu alam menampung dua mobil sedan mewah yang terparkir rapi. "Wah, rumah lu keren banget, Set," puji Gilbert takjub sambil turun dari motor. Seta tersenyum sambil melepas helm. "Biasa aja kok. Yuk, masuk." Pintu pagar otomatis terbuka setelah Seta menekan tombol interkom. Mereka berjalan melewati taman depan yang asri. Pintu utama rumah terbuka perlahan. Sosok wanita anggun muncul dari balik pintu dengan senyuman hangat menghiasi wajahnya. Gilbert seketika terpaku. Napasnya tercekat untuk sesaat. Wanita itu mengenakan dress rumah berwarna krem yang jatuh sempurna di tubuhnya. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat kehitaman tergerai indah melewati bahu. Kulitnya putih bersih dengan pancaran cahaya sehat. Yang paling membuat Gilbert terhipnotis adalah matanya sepasang mata teduh berwarna cokelat madu yang memancarkan kehangatan luar biasa. Senyumannya tulus, bibir tipisnya melengkung sempurna. Usianya mungkin awal tiga puluhan, namun pesonanya melampaui angka-angka itu. "Seta, sudah pulang? Ada teman juga rupanya," sapa wanita itu dengan suara lembut. "Iya, Sheilla. Ini teman kuliah aku, Gilbert. Kami mau ngerjain tugas bareng," jawab Seta santai sambil melepas sepatu. Gilbert tersentak kecil mendengar nama itu. Sheilla. Nama yang indah untuk sosok yang mempesona. "Selamat sore, Tante," sapa Gilbert dengan sedikit gugup sambil membungkukkan badan. Sheilla tertawa kecil, suaranya merdu. "Panggil Kak Sheilla saja. Aku masih muda kok." Pipi Gilbert terasa memanas. "Baik, Kak Sheilla." Sheilla membuka pintu lebih lebar. "Ayo masuk. Kalian pasti lelah setelah seharian kuliah. Duduk dulu di ruang tamu, aku buatkan kopi dan ambilkan camilan." Ruang tamu rumah itu luas dan mewah namun tetap terasa hangat. Sofa besar berwarna abu-abu empuk menghadap televisi layar datar berukuran besar. Lantai keramik putih mengkilap memantulkan cahaya dari lampu kristal yang tergantung di plafon. Aroma diffuser lavender menenangkan menyebar ke seluruh ruangan. Gilbert duduk dengan posisi agak kaku di ujung sofa. Matanya tidak sengaja terus mengikuti pergerakan Sheilla yang berjalan menuju dapur. Cara berjalannya anggun, setiap langkah terlihat begitu natural namun memukau. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas dan sepiring kue kering cokelat. "Ini kopinya masih panas. Hati-hati ya," kata Sheilla sambil meletakkan cangkir di hadapan mereka. "Terima kasih, Kak," ucap Gilbert sambil mengambil cangkirnya dengan hati-hati. Sheilla duduk di sofa tunggal di seberang mereka, menyilangkan kakinya dengan elegan. "Gilbert anak FEB juga seperti Seta?" Gilbert mengangguk sambil menyeruput kopinya. "Iya, Kak. Kami satu kelas di Manajemen. Kebetulan banyak tugas kelompok semester ini." Sheilla tersenyum manis. "Bagus kalau begitu. Saling membantu itu penting. Seta ini kadang suka malas-malasan kalau belajar sendiri." Seta cemberut mendengar ucapan ibu tirinya itu. "Sheilla nih suka banget nge-judge. Padahal aku rajin kok." Sheilla dan Gilbert tertawa bersamaan. Suasana yang awalnya sedikit kaku mulai mencair. Mereka mengobrol ringan tentang kehidupan kampus, mata kuliah yang diambil, sampai rencana setelah lulus nanti. Gilbert merasa nyaman berbicara dengan Sheilla. Wanita itu pandai menjadi pendengar yang baik, sesekali berkomentar dengan bijak dan humoris. Setelah ngobrol sekitar dua puluh menit, Seta bangkit dari duduknya. "Yuk, Gil. Kita ke kamar aja biar lebih fokus. Sheilla, makasih ya buat kopi sama cemilannya." Sheilla mengangguk sambil mengumpulkan cangkir-cangkir kosong. "Sama-sama. Kalau butuh sesuatu, panggil aja." Gilbert ikut berdiri, sedikit enggan meninggalkan ruang tamu. Matanya sempat bertemu dengan mata Sheilla sekilas sebelum ia mengikuti Seta naik ke lantai dua. Kamar Seta terletak di ujung koridor lantai dua. Kamarnya cukup luas dengan tempat tidur queen size, meja belajar panjang, dan rak buku yang penuh dengan buku teks dan novel. "Nah, ini laptopku. Kita mulai dari kerangka penelitian dulu ya," kata Seta sambil membuka laptopnya. Gilbert duduk di kursi sebelah Seta, mencoba fokus pada layar laptop. Namun pikirannya terus melayang. Bayangan wajah Sheilla yang tersenyum terus berputar di benaknya. Mata teduh itu, senyuman manis itu, suara lembut itu—semuanya terekam jelas di ingatannya. "Gil, lu dengerin nggak sih? Dari tadi gue jelasin lu malah bengong," protes Seta sambil menepuk pundak Gilbert. Gilbert tersentak. "Eh, iya. Maaf, Set. Gue cuma lagi mikir variabel penelitiannya." Seta menatapnya curiga. "Serius? Kok gue ngerasa lu aneh dari tadi?" Gilbert menggaruk kepalanya. "Nggak kok. Yuk lanjut!" Mereka kembali fokus pada tugas, meskipun konsentrasi Gilbert masih terpecah. Waktu berlalu tanpa terasa. Maghrib tiba ditandai dengan suara adzan dari masjid terdekat yang terdengar samar. "Wah, udah maghrib. Gue pulang dulu ya, Set. Besok kita lanjutin lagi," pamit Gilbert sambil membereskan tasnya. Seta mengantar Gilbert turun ke lantai bawah. Sheilla sudah ada di ruang tamu, baru selesai menyalakan lampu-lampu rumah. Cahaya kuning hangat menerangi setiap sudut ruangan. "Sudah mau pulang, Gilbert?" tanya Sheilla dengan ramah. Gilbert mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Tan. Udah maghrib soalnya. Permisi ya, Tan. Terima kasih sudah menyambut dengan baik." Sheilla berjalan mengiringi mereka menuju pintu depan. "Sama-sama. Hati-hati di jalan ya. Lain kali main lagi." Pintu terbuka. Angin malam yang sejuk langsung menerpa wajah Gilbert. Sebelum melangkah keluar, mata Gilbert tidak sengaja bertemu dengan mata Sheilla. Kali ini tatapannya sedikit lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Hangat, lembut, namun juga menggugah. Gilbert cepat-cepat memalingkan wajah, takut ketahuan sedang memperhatikan Sheilla terlalu lama. "Sampai jumpa, Tan," ucapnya pelan sebelum berjalan menuju motor Seta yang sudah siap di carport. Motor melaju meninggalkan rumah mewah itu. Jalanan Dago di malam hari ramai dengan lampu kendaraan dan gemerlapnya toko-toko. Angin malam menerpa wajah Gilbert, namun pikirannya tidak ada di jalan. Dalam hati, Gilbert bergumam pelan. "Gila sih ini , gua ngerasa ada yang ga beres , Nyokapnya Seta cantik banget?" Tanpa disadari, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Senyuman Sheilla terus berputar di benaknya sepanjang perjalanan pulang. Hangat, mempesona, dan entah mengapa terasa begitu istimewa.Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi
Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma
"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha
Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa
"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi
Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments