Share

Chapter 7: Patient

Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.

Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”

Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.

“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.

***

Victor merangkul bahu Callie. Callie mendengar bisik-bisik dari rekan kerjanya. Mereka menebak-tebak hubungan antara Callie dan Victor. Callie hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia berdoa, semoga saat ini dirinya bisa menghilang dari hadapan semua orang. Dapat dipastikan setelah ini akan ada gosip yang menyebar di hotel.

Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.

Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”

Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.

“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.

***

Victor saat ini benar-benar menguji kesabarannya. Dia bertingkah seperti anak kecil yang kebutuhannya harus persis sama dengan yang ada di bayangannya. Callie sungguh akan terkena serangan jantung jika dalam dua jam ke depan masih berhadapan dengan Victor.

He’s fucking annoying.

“Apakah AC di sini rusak? Kenapa AC nya sama sekali tidak terasa? Bisa kah kau mengatur suhunya?”

Callie mencoba mengulas senyum terbaiknya. Dia tidak akan menyerah dengan Victor. Callie tak ingin lagi melihat wajah congak Victor karena berhasil membuatnya kesal. “AC ini sudah berfungsi dengan baik, Mr. Barnett. Mungkin Anda yang memiliki masalah,” ucap Callie dengan nada yang dirinya lembut-lembutkan.

“Kau menghinaku bermasalah?”

“Tentu tidak. Siapalah saya yang sanggup menghina seorang Barnett,” ujar Callie dengan senyum manis yang terlihat menjengkelkan bagi Victor.

“Ah sudahlah. Buatkan aku espresso. Kepalaku rasanya pecah dengan semua fasilitas yang memuakkan ini,” Victor duduk di sofa dengan wajah yang kesal.

Di sini kau lah satu-satunya yang memuakkan! “Baiklah, kan ku minta office boy untuk membelikan Anda espresso,” Callie menundukkan kepalanya dan memutar tubuhnya menuju pintu suite.

“Bukankah kau FOM manager di sini? Harusnya kau yang melayaniku. Kenapa meminta petugas lain?”

“Baiklah, saya akan belikan espresso di café terdekat.”

Callie mendengar Victor berdecak. “Ingatkan aku untuk meminta Nick memperketat perekrutan karyawan. Bahkan sekelas FOM manager pun sangat tidak berguna. Apa susahnya membuat espresso sendiri? Bukankah sudah ada bahannya di dapur,” gerutuan Victor membuat telingan Callie sangat panas.

Callie memutar kembali tubuhnya agar berhadapan dengan Victor yang sedang duduk dan kembali mengulas senyum yang terlihat sangat masam. Kesabarannya sudah mencapai limit. Callie perlu menyegarkan kepalanya sekarang. “Akan saya buatkan, Mr. Barnett,” Callie lalu menuju bar.

“Ingatkan aku untuk meminta Nick memperketat perekrutan karyawan. Bahkan sekelas FOM manager pun sangat tidak berguna. Apa susahnya membuat espresso sendiri? Bukankah sudah ada bahannya di dapur,” Callie mengulangi ucapan Victor dengan nada malas. “Cih, dia pikir dia yang paling berkuasa di sini? Dasar bossy,” gumam Callie sangat kesal.

“Ternyata aku juga mendapatkan fasilitas gerutuan? Fasilitas di hotel ini memang sangat menyedihkan. Nick benar-benar rugi telah membangun hotel ini dengan karyawan yang sama sekali tidak berpotensi,” Callie dikejutkan dengan Victor yang berada di belakangnya.

Callie segera membalikkan badannya dan tanpa sengaja kopi panas itu tumpah di tangan Victor. “Ah…” Victor mengerang merasakan panas air yang mengenai kulitnya. Kulit Victor yang berwarna tan memerah dan melepuh di beberapa bagian.

Callie langsung menarik tangan Victor dan membawanya ke wastafel. Callie mengaliri tangan Victor yang melepuh dengan air yang mengalir. Callie berkali-kali menggumamkan kata maaf pada Victor. Setelah itu, masih dengan tangan Callie yang menggenggam Victor, Callie mengobati tangan Victor dengan lembut. Dirinya juga membebat tangan Victor.

“Maafkan saya, Mr. Barnett. Saya sungguh tidak sengaja,” ucap Callie tulus. Walaupun Victor menyebalkan, namun Callie tidak mungkin membalas Victor dengan kekerasan seperti ini. Callie sungguh merasa bersalah.

“Fasilitas-”

“Demi Tuhan, Victor. Bisakah kau hentikan itu. Kau sungguh menjengkelkan,” ucap Callie tak tahan dengan ucapan Victor yang mengkritik tentang fasilitas hotel ini dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.

Victor mengangkat tangannya. “Baiklah. Tapi bisakah kau membelikanku makanan? Aku lapar.”

Callie mengangguk dan segera keluar dari suite Victor. Dia berjalan keluar kantor untuk membelikan Victor makanan di salah satu restoran terdekat di hotelnya. Sebenarnya, bisa saja Callie membelikan makanan di restoran hotel, tapi Callie yakin Victor akan protes jika dirinya benar melakukannya. Dari dulu, Victor memang rewel jika urusan makanan.

Tiga puluh menit berlalu dan Callie kembali ke suite Victor dengan membawa spagetti carbonara dan lemon mint tea kesukaannnya. Saat Callie menuju kamar Victor, terlihat Victor yang tertidur di ranjangnya. Dari wajahnya, Victor terlihat kelelahan. Daripada membangunkannya, Callie memilih untuk mengamati wajah Victor sejenak. Pada saat Victor sadar, Callie tentu tidak bisa menatap wajah Victor.

Tidak ada perubahan berarti dari Victor setelah tujuh tahun. Mungkin hanya wajahnya yang terlihat semakin tegas dengan kumis tipis yang belum dicukur. Dengan sekali lihat saja semua orang akan tahu bahwa Victor orang yang dingin dan bijaksana. Padahal, dari sikap dingin Victor, sebenarnya Victor sangat jahil bahkan kekanakan. Namun dengan wajah yang terpahat dengan sempurna ini mendukung Victor untuk membuat image yang susah didekati oleh orang lain.

Bukankah Victor adalah perwujudan nyata dari pemeran utama pria di novel remaja yang sering Callie baca? Tampan bak dewa Yunani, dingin seperti kutub utara dengan harta yang tidak habis hingga turunan ke tujuh nantinya. Di depannya, Callie melihat visualisasi sebenarnya.

Dengan penasaran Callie melirik jemari Victor. Ada helaan nafas lega yang tak disadarinya saat Callie melihat jari telunjuk Victor polos tanpa hiasan cincin. Callie lalu menggeleng. Kenapa dirinya merasa senang?

“Eungh…”

Callie segera mengenyahkan pikirannya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan Victor. Callie lalu kembali dengan membawa nampan setelah memindahkan spagetti carbonara dan lemon mint tea ke piring dan gelas. “Kau sudah datang,” ucap Victor dengan suara seraknya.

Victor lalu beranjak dari ranjangnya dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. “Cuma satu porsi?” tanya Victor dengan mata yang menyipit menahan kantuk.

Callie mengangguk dan meletakkan nampannya di meja. Victor menepuk sofa di sampingnya, mengajak Callie duduk. Callie akhirnya duduk dengan kikuk di samping Victor. Victor lalu menyandarkan kepalanya di bahu Callie. “Proyek resort ini memuakkan,” ucap Victor dengan nada mengeluh.

Dengan gerakan kaku Callie mengelus kepala Victor. Victor yang seperti ini sama dengan Victor yang dikenalnya tujuh tajun yang lalu. Setiap kali lelah Victor akan menyenderkan kepalanya di bahu Callie. Bahkan hingga tertidur di sana. Begitu juga dengan Callie.

Callie mendengar dengkuran Victor dengan samar. Callie lalu menepuk pipi Victor. “Victor, bangun. Makan dulu.”

Setelah beberapa saat Victor bangun dan hendak melepaskan perban yang melingkar di pergelangan tangan hingga jarinya. Callie segera menahannya. “Jangan dilepas,” ucap Callie menghentikan gerakan Victor.

“Kau pikir bagaimana aku makan jika jariku di perban? Oh shit, ini sungguh menganggu pergerakanku.”

Callie terlihat berpikir sejenak. “Boleh ku bantu?”

Victor sontak menatap Callie saat mendengar ucapan Callie. Dirinya berpikir sejenak. “Ya, harusnya memang kau bertanggung jawab tentang ini,” Victor lalu mendorong makanannya ke hadapan Callie dan menyampingkan duduknya agar dapat menghadap Callie.

Dengan ragu-ragu, Callie mengangsurkan makanan ke Victor. Victor membuka mulutnya tanpa komentar apapun. Jika seperti ini, Callista merasa seperti sedang menyuapi Reis. Walaupun tidak mirip, Reis dan Vector memiliki tingkah laku yang hampir sama. Pernah terlintas di kepala Callie jika mereka bertiga hidup bersama. Pasti akan menyenangkan dan merepotkan sekaligus. Namun dengan cepat Callie menepis tiap pikiran tersebut merasuki dirinya. Callie dan Victor tidak pernah bisa bersama.

“Callie…”

Panggilan dari Victor melempar dirinya pada kenangan tujuh tahun yang lalu. Callie selalu menyukai bagaimana cara Victor memanggilnya. Dan saat ini, Callie merasa rindunya sudah tertuntaskan. Sekuat tenaga Callie menahan senyumnya. Setelah semua yang dilaluinya hingga saat ini, nyatanya dirinya masih mencintai Victor.

“Callie,” panggil Victor sekali lagi.

“Eh, iya,” Callie menyadarkan dirinya dari lamunan. Sekaligus menyadarkan dirinya pada kenyataan. Selama Victor belum mau mendengarkannya, selama itu pula Victor hanya mendekatinya karena ingin membalaskan dendamnya.

Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.

Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.

“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status