Bab 9 Cinta Buta Sang Kakak Ipar
"Bunuh saja aku ini, Abraham. Kau jahaat. Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Tidak ada gunanya lagi. Aku ingin mati saja." Air mata mengalir deras.
Tiba-tiba Abraham memelukku erat.
"Maafkan aku, Mera. Maaf. Hapus airmatamu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Kau tahu Mera, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Kau tahu siapa yang aku ceritakan sama kalian di taman pagi tadi? Itu adalah kamu. Kamu membuatku gila, Mera. Kau meninggalkan aku demi Brandy,"
Serasa sekarang apa yang ia bicarakan adalah omong kosong belaka. Aku jijik mendengarnya.
Rasa bersalahku terhadap Brandy kian menjadi-jadi. Rasa malu menggelayut di benakku. Tubuh ini, tubuh ini menjijikkan.
Secepat kilat ku ambil sebuah gelas di atas meja di sisi tempat tidur, dan kulemparkan ke arah Abraham.
"Brakk ...
Gelas itu pecah berkeping-keping. Darah mengucur dari kening Abraham. Aku tidak peduli. Mau dia mati sekalipun aku tetap tidak peduli.
"Mera, aku akan pergi sekarang. Namun ingat aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Maaf kalau tindakanku kali ini menyakitimu. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi,"
Tiba-tiba mataku tertuju pada gelas yang tadi kulemparkan pada Abraham. Kurasa tadi setelah minum air putih dari gelas itulah tubuhku mengalami reaksi yang tidak wajar.
Astaga, apakah gairahku tadi ada sangkut-pautnya dengan air minum dalam gelas tersebut. Kurang aj*r. Siapa yang melakukannya?
"Tunggu ...!"
Aku mengejar Abraham yang hampir saja keluar dari pintu, dan menarik tubuhnya kasar.
"Kau pasti menaruh obat perangs*ng dalam air minumku kan?" Nafasku naik turun.
"Ya" lelaki itu menjawab lantang.
Plak ...!
Sebuah tamparan kulemparkan pada wajahnya.
Wajah tampan itu terlihat memerah.
"Tampar juga pipi kiriku!" Abraham menyodorkan pipi kirinya.
Plak ...!
Tanpa tedeng aling-aling, telapak tanganku lagi-lagi melayang ke pipi yang ia sodorkan.
"Apalagi ingin kau lakukan padaku? Lakukan saja. Aku tidak akan melawan, Mera," ucap Abraham.
"Aku akan membun*hmu!" ucapku mengepalkan tangan.
"Kalau begitu, bunuhlah! Mati pun lebih baik bagiku, ketimbang harus memendam rasa kecewa yang kau gores di hati ini, Mera,"
Kuarahkan kepalan tanganku ke dadanya.
Gedebuk ...!
"Ah ...!" Abraham mengadu sembari memegang dadanya.
Buk ...!
Kuarahkan lagi kepalan tanganku ke bahunya.
Abraham meringis.
Kembali aku menyerangnya membabi buta.
Kali ini bogem mentah ku mengenai mukanya. Lagi-lagi pukulan itu membuat Abraham meringis kesakitan.
Namun kendatipun demikian tidak ada sedikitpun perlawanan yang ia lakukan padaku.
Cukup lama aku menyerangnya hingga tanganku mengalami kesakitan.
"Apa kah kau sudah merasa cukup?" Tanyanya.
"Kau mati sekalipun, aku belum merasa cukup," jawabku.
"Kalau begitu lakukan saja apa yang menurutmu pantas untuk membalas kelakuanku. Apakah kau sungguh tidak ingin melihat wajahku lagi?"
"Ya,"
"Baiklah kalau begitu, aku akan mengurus kepindahan ke luar negeri. Tapi harus tetap kau ingat, Mera. Waktu, tempat dan jarak, tidak akan bisa menjadi batas yang menghalangi perasaanku padamu,"
"Kau buta, Abraham,"
Tiba-tiba Abraham menangkap kedua tanganku. Matanya menatapku tajam.
"Ya aku buta, Mera. Aku buta karena kau. Aku memang sudah g*la, gil* karena kamu," ucapnya dengan mata tajam namun berembun.
"Berpikirlah dengan waras, Abraham, tidakkah kau lihat, kalau aku ini adalah adik iparmu?" ucapku di tengah-tengah kepanikan.
"Kau adik iparku. Tapi kau menguasai hati ini, Mera," ucapnya dengan nada tertahan.
Bersambung...
Bab 123"Aku tidak peduli apa yang kakak katakan. Jika kakak ingin mengatakan aku egois dan ingin menyalahkan aku atas semuanya, maka aku tidak akan mencegah."Sikap Brandy benar-benar berubah hari ini. Hingga Abraham pun memilih diam. Ia sendiri tidak mengerti ada apa dengan sang adik.Apakah Brandy berkata seperti itu karena lantaran sakit hati? Atau ada hal lain yang melatarbelakanginya? Abraham tak tahu itu. Yang pastinya Abraham merasa prihatin.***Sedangkan Brandy sendiri meluncurkan mobilnya meninggalkan Abraham begitu saja. Ia sama sekali benar-benar tidak peduli lagi dengan Abraham.Kali ini ego benar-benar Brandy utamakan."Aku akan menemuimu Mera! Aku akan mengajakmu pulang!"Tengah meluncurkan mobil, ponsel Brandy kembali bergetar, seseorang menghubunginya.Dengan cepat brandy menjawab. Ia sudah tahu siapa sosok yang tengah menghubunginya saat itu."Ada apa, Kirana? Mengapa kamu kembali menghubungiku?""Mampirlah ke apartemenku, Brandy! Kita bicarakan masakah ini baik-bai
Bab 122 "Kau benar-benar sudah menduakan Mera Brandy! Mengapa kau lakukan ini?" Abraham berkata dengan sorot mata tajam. Brandy tak bisa berkata apa-apa."Maafkan aku, Kak! Aku akui jika aku salah. Tapi, tapi apakah Kakak tidak jika aku hanya khilaf melakukannya. Benar-benar khilaf, Kak." jawab Brandy.Brandy tak berani menatap pandangan dari kedua mata kakaknya yang terlihat benar-benar kesal."Bisa-bisanya kamu mengatakan jika kamu tengah khilaf, Brandy! Jika kamu khilaf, apakah mungkin kamu bisa melewati masa-masa khilaf itu hingga semalaman suntuk? Itu sama sekali tidak bisa disebut dengan khilaf, Brandy. Sesuatu bisa disebut dengan Khilaf, apabila hal tersebut terjadi dalam waktu yang cuma sesaat. Tapi yang kalian lakukan sama sekali tidak dalam waktu sesaat. Maka aku sangat tidak percaya jika kau sebut kelakuan kalian dengan sebutan khilaf."Brandy membisu. Memang benar apa yang diucapkan oleh sang kakak."Kak. Bagaimana kalau kita lupakan saja soal ini. Aku ingin segera m
Bab 121"Brandy! Kirana? Apa yang kalian bicarakan?" Abraham menghampiri keduanya.Keduanya sontak terkejut.Mereka menoleh."Kak Abraham? Se... Sejak kapan Kakak berada di sini?" Brandy benar-benar dibuat terkejut luar biasa."Aku berdiri di sini sejak awal kalian ada di sini. Aku mendengar semua perkataan kalian!""A... apa?" Brandy tergagap."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap wanita ini, Brandy?" Abraham menunjuk ke arah Kirana."A... apa yang kamu maksud? Aku tidak melakukan apapun?""Kalau kalian tidak pernah melakukan apapun, lalu apa yang kalian bicarakan barusan? Aku mendengar semua yang kalian bicarakan. Kalian tak bisa lagi berbohong!"Kirana gugup. Perlahan ia melepaskan pelukannya terhadap Brandy dan sedikit ia melangkah menjauh. Mukanya merah. Ada rasa malu menyelimuti perasaannya. Tapi entahlah, ada juga sesuatu yang membuat wanita itu malah bersyukur dengan adanya keberadaan Abraham di sana."Mungkinkah Kakak salah mendengar?" Brandy masih berusaha untuk berkilah.
Bab 120"Kak aku serius, Mera hilang Kak. Dia pergi sambil membawa Keano. Bagaimana ini? Aku benar-benar bingung. Apa aku harus ke rumah orang tuanya sekarang? Atau... atau adakah dia menghubungi Kakak sebelum pergi?" tanya Brandy berharap-harap cemas."Sudah kubilang padamu Brandy, Mera tidak pernah menghubungiku sama sekali. Aku aja nggak menyimpan nomor kontak Mera, begitu juga dengan merah. Semenjak pernikahan kalian, Kami tidak ada kontak-kontakan lagi. Bagaimanakah bisa kamu berpikir kalau Mera menghubungiku. Sudah Kubilang padamu, jangankan menghubungiku, berbicara secara langsung aja sama aku Mera terlihat malas dan enggan. Tidakkah kau lihat dan tidakkah kau perhatikan jika dia benar-benar menjaga jarak denganku?"Fyuuh!Brandy mengalah nafas panjang.Brandy menyadari betul Apa yang diucapkan oleh kakaknya adalah benar. Selama ini ia tak pernah melihat Abraham dan merah berbicara serius. Kalaupun berbicara, mereka terkesan seperlunya saja.Brandy memutuskan untuk mengakhiri p
Bab 119 "Mera! Dimana dirimu sekarang?" Brandy nampak gelisah. Hatinya galau tidak menentu.Brandy mulai memikirkan kemungkinan yang tidak tidak terjadi pada istri dan putranya. Sekalipun pada awalnya Brandy meragukan Keano sebagai darah daging, tapi sepertinya kasih sayang yang terlanjur ia curahkan pada Keano begitu lengket dan benar-benar telah membentuk sebuah ikatan batin yang demikian kuat.Ya, Brandy mengakui ia mencintai dan menyayangi anak itu setulus hati."Keano, pulanglah, Nak! daddy merindukanmu?" Brandy berguman lirih dan tertahan. "Aku harus mencarinya! Dia istri dan anakku!" tekad Brandy.Brandy memutuskan untuk memberanikan diri menghubungi keluarga mera.Kembali Brandy sibuk dengan ponselnya, mencari-cari nama kontak yang bersangkut-paut dengan seseorang yang ingin ia hubungi.Brandy bingung melihat tak satupun ada seseorang yang bersangkut-paut dengan keluarga Lia di kontak ponselnya."Kemana larinya nomor kontak mertuaku?" Brandy merasa heran.Untuk memasti
Bab 118[Brandy, sesuai dengan apa yang kamu katakan aku melakukan apa yang aku inginkan. Tolong jangan cari aku! Karena ini adalah salah satu yang aku inginkan darimu!]Sebelum melangkah meninggalkan rumah, sebuah catatan dengan tinta hitam yang Mera torehkan di atas kertas putih sengaja wanita itu tinggalkan di atas Bantal di kamarnya.Sebelum beranjak Mera memperbaiki letak gendongan Keano."Jangan nakal ya, Nak! Sayang Mama." sebuah kecupan lembut mendarat di kening bayi mungil tersebut.Dengan langkah pasti, Mera melangkah meninggalkan rumah dan tanpa menolehkan kepala lagi.Sebuah taksi online yang sengaja ia pesankan dari sebuah aplikasi khusus telah menunggu di hadapan rumah. Tanpa bicara sepatah kata pun Mera naik ke taksi pesanannya.Mobil meluncur ke arah yang telah diberitahukan oleh Mera sebelumnya."Semoga saja kepergianku kali ini akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Semoga dengan ketidak adanya aku di sana akan membuat dua orang itu kembali akrab sebagaimana sed