Bimantara berjalan tertatih dengan tongkatnya melewati perkampungan. Beberapa penduduk kampung melihatnya dengan heran.
"Lihat saja! Bagaimana mau menjadi pendekar!"
"Impiannya terlalu tinggi! Yang bisa berguru di perguruan Matahari hanya orang-orang yang memiliki bakat kesaktian saja! Kalau dia?!"
Bimantara menahan kekesalannya pada umpatan penduduk yang didengarnya. Dia yakin kalau mereka yang mendorongnya ke lautan lah yang memberitahukan hal itu pada mereka hingga ejekan datang padanya. Dia selalu ingat pesan kakek Sangkala bahwa kesabaran akan memberinya kekuatan. Tiap kali dia bersabar maka kekuatan akan datang dari tiap cacian yang dia terima.
Saat hampir sampai di gubuk reyotnya, dia melihat ayahnya sedang menjemur bakul-bakul yang baru selesai dianyamnya. Bimantara segera berjalan ke arahnya dengan tongkat lalu memeluknya dengan erat.
"Maafkan aku, ayah!" Isak Bimantara.
Amarah di diri Naga Wali mendadak padam mendengar tangisan anak lelakinya. Bimantara semakin sesenggukkan dalam pelukannya karena kasihan dengan nasib ayahnya yang baginya sangat menderita. Kalau saja kakek Sangkala tidak menceritakan semuanya, dia tak akan sesedih itu melihat ayahnya yang dikhianati dan dibuang dari perguruan Matahari oleh sahabatnya sendiri.
"Lelaki sejati pantang untuk menangis! Hapus air matamu!" pinta Naga Wali yang mulai melunak.
Bimantara melepas pelukannya dan menghapus air matanya dengan tangannya.
"Benda di dalam peti itu adalah benda keramat. Jika dibuka, ayah khawatir akan ada musibah! Ayah tak bisa menyembunyikannya sembarangan!"
Bimantara hanya menggangguk. Dia tak ingin memberitahunya kalau dia sudah tahu semuanya tentang misteri dibalik isi dalam peti itu.
"Berhentilah menangis, ayah sudah memaafkanmu. Akan tetapi jangan diulangi lagi," pinta ayahnya sekali lagi.
"Iya, ayah," jawab Bimantara.
"Temuilah Tuan kepala kampung, dia sudah menunggumu untuk mengembalakan domba-dombnya."
"Iya, ayah."
Bimantara pun pergi dari sana. Sesaat kemudian suara gemuruh terdengar bersama teriakan-teriakan penduduk. Bimantara terkejut saat melihat angin puting beliung yang berputar bagai gasing menarik atap jerami rumah-rumah warga. Apakah ini yang dimaksud ayahnya yang khawatir ada musibah jika membuka peti itu? Jika memang benar, apa hubungannya? Bimantara bertanya-tanya dalam hatinya bercampur panik.
"Bimantara! Kemarilah!" teriak Naga Wali dengan panik.
Bimantara segera berlari ke arah ayahnya, namun angin puting beliung yang besar itu menarik ayahnya hingga membawanya ke atas bersama benda-benda yang hancur.
"Ayah! Ayah!" teriak Bimantara dengan sedih.
Angin puting beliung itu berputar menjauh, membawa ayahnya ke arah lautan. Bimantara mengejarnya dengan tongkatnya sambil berteriak-teriak.
"Ayah! Ayah!"
Kini angin puting beliung itu tiba di sisi jurang, lalu dengan cepat berbutar ke arah lautan. Bimantara terduduk di sisi jurang. Air matanya mengalir deras. Puting beliung itu telah membawa ayahnya pergi.
"Ayah!!!"
***
Bimantara menangis di dekat makam ayahnya. Kakek Sangkala berdiri di dekatnya, berusaha menahan kesedihannya.
"Ini semua salahku, Kek. Harusnya aku tidak membuka peti itu. Ayah bilang kalau peti itu dibuka akan terjadi petaka," Isak Bimantara.
"Ini bukan salahmu. Angin puting beliung tak ada hubungannya dengan peti itu," ucap kakek Sangkala menenangkannya.
Bimantara berdiri dengan tongkatnya sambil menatap wajah kakeknya.
"Ajari aku berenang, Kek! Ajari aku dasar-dasar bela diri! Aku yakin aku bisa meski hanya dengan kaki satu ini," isak Bimantara.
Kakek Sangakala bingung. Dia teringat kalau mendiang ayah remaja itu pernah mendatanginya untuk meminta bantuan mengawasi Bimantara agar jangan sampai terpengaruh untuk menjadi murid di Perguruan Matahari. Kemarin dia memang pernah menawarkan itu.
"Maaf, sekarang Kakek tidak bisa mengajarimu."
Bimantara heran, "Katanya kemarin mau mengajariku, Kek?"
Kakek Sangkala pergi meninggalkannya. Bimantara heran. Esoknya Bimantara kembali datang saat Kakeknya sedang sibuk membelah kayu bakar.
"Kek, tolong ajari aku, Kek!" pinta Bimantara dengan memelas.
Kakek Sangkala cuek saja.
"Sekali Kakek bilang tidak akan tetap tidak," jawab kakek Sangkala.
Esoknya Bimantara datang lagi dengan wajah memelas. Kakeknya geram.
"Kau ini memang susah! Jika menginginkan sesuatu harus sampai dapat! Jika penasaran sesuatu harus tahu jawabannya!"
"Makanya ajari aku, Kek. Kalau kakek tidak mau mengajari aku, aku akan selalu memohon ke kakek sampai kakek mau mengajariku," ancam Bimantara.
Kakeknya menghela napas pasrah. Akhirnya mengangguk juga. Mungkin hanya itu yang bisa membuat cucunya tenang dari kematian ayahnya. Kakek Sangkala tahu kalau cucunya tak akan pernah bisa menjadi murid di perguruan Matahari. Semalam dia sudah merenunginya lama. Bimantara tak memiliki bakat kesaktian. Tak ada tanda-tanda yang terlihat dari dirinya. Meski ayahnya dulu seorang pendekar. Karena jalan menuju perguruan itu adalah bakat yang diberikan oleh alam. Bimantara pasti tak akan mampu menyeberangi lautan walau dia sudah bisa berenang. Jadi, jika dia belajar pun tak akan bisa membuatnya untuk menjadi murid di sana.
Akhirnya kakek Sangkala mengajari Bimantara dasar-dasar ilmu bela diri di atas bukit sana. Kadang membawanya ke sungai untuk melatihnya berenang. Satu rahasia lagi yang belum dibongkar kakek padanya. Dahulu kakeknya pernah menjadi murid di perguruan Matahari. Dia hanya menguasai tiga tingkatan ilmu. Dia dikeluarkan dari perguruan karena melakukan pelanggaran di sana. Dia pun dikembalikan lagi ke kampung dan tidak bisa menyelesaikan belajar ilmu bela diri sampai tingkat ke tujuh.
"Kau harus menyatu dengan tongkatmu jika mau menguasai dasar-dasar ilmu bela diri ini," ucap kakek Sangkala pada Bimantara. Mereka sedang latihan di halaman gubuk reyotnya di atas bukit.
"Maksudnya, Kek?" tanya Bimantara bingung.
"Jadikan tongkatmu menjadi bagian dari tubuhmu. Kau harus menjaga tongkatmu dari lawan sama seperti kau menjaga kakimu yang satu," jawab kakeknya.
"Oh begitu!" ucap Bimantara yang sudah mengerti.
"Sekarang ikuti kakek! Kakek akan mengajarkan jurus kuda-kuda. Jadikan tongkat itu sebagai kakimu yang sebelah!"
"Baik, Kek!" ucap Bimantara dengan semangat.
Kakek Sangkala pun mencontohkan gerakan kuda-kuda silang belakang, silang depan, kuda-kuda belakang, tengah, samping dan depan.
"Sekarang ikuti kakek!"
"Siap, Kek!"
Bimantara pun mencoba menjadikan tongkatnya sebagai pengganti kaki kirinya yang tiada. Namun karena susah, dia kerap terjatuh dan mencobanya berkali-kali, namun sampai senja tiba, Bimantara belum juga berhasil menyatukan tongkatnya dengan dirinya. Kakek Sangkala menyuruhnya pulang dan memintanya untuk melanjutkan esok hari.
Malamnya Bimantara datang lagi ke gubuk kakeknya. Kakek Sangkala heran.
"Kenapa malam-malam begini ke sini?"
"Mau lanjut belajar ilmu bela diri, Kek," jawab Bimantara sambil tersenyum.
Kakek Sangkala geram, "Kan sudah kakek bilang, belajarnya besok pagi!"
"Aku tidak bisa tidur kalau belum menguasai menyatu dengan tongkat itu, Kek," jawab Bimantara.
Kakek Sangkala meraih balok kayu lalu bersiap memukulnya. Bimantara lari terbirit-birit dengan takutnya.
"Dasar cucu nakal! Kalau Kakek bilang besok ya besok!
Bimantara sudah menghilang dari pandangan matanya. Kakek Sangkala menghela napas. Bimantara akhirnya latihan sendiri di depan gubuk reotnya ditemani api yang menyala dari kayu bakar yang sengaja dinyalakannya untuk penerangan.
"Ayo tongkat! Kau harus menyatu denganku! Kau bagian dari tubuhku. Tentu kau akan mengerti bagaimana menjadi diriku!" ucap Bimantara pada tongkatnya dengan penuh semangat.
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti