Home / Romansa / Bimbingan Panas Pemred Dingin / Hanya Ucapan Terima Kasih

Share

Hanya Ucapan Terima Kasih

Author: Komalasari
last update Last Updated: 2024-07-28 17:44:34

Justin tersenyum simpul. “Mungkin kau membutuhkan sedikit penyegaran,” ujarnya tenang.

“Penyegaran?” ulang Helena tak mengerti.

Justin meraih kunci motor dari meja. “Aku bersedia memberikan bimbingan gratis untukmu. Kita bisa membahas alur seperti apa yang sebaiknya kau pakai. Itu juga jika kau mau.”

“Lalu, bagaimana dengan Nona Sawyer?” tanya Helena ragu.

“Terserah. Aku memberikan penawaran ini karena kau meminta kompensasi atas waktu yang terbuang percuma. Akan kuberikan kau arahan. Seperti apa cara mengeksekusinya, di situlah letak kecerdasanmu sebagai penulis.” 

Helena tak segera menanggapi. Wanita muda bermata biru itu tampak bimbang. Bagaimana tidak? Ini merupakan penawaran menarik dan mungkin tak didapat semua penulis, yang berada dalam naungan GP Enterprise. 

“A-ba-baiklah. Aku menerima tawaran Anda, Tuan Cuthbert,” putus Helena yakin. 

Setelah mendengar jawaban wanita berkacamata itu, Justin mengambil secarik kertas dari wadah khusus. Dia menuliskan sesuatu di sana, lalu memberikannya pada Helena. “Datanglah pukul tujuh ke alamat ini.”

“I-ini … ini alamat siapa?” tanya Helena agak gugup. 

“Apartemenku,” jawab Justin kalem.

Ekspresi berlainan justru diperlihatkan Helena. Si pemilik rambut pirang itu terbelalak lebar. “Apartemen?” ulangnya tak percaya. “Kenapa harus di sana? Apakah tidak ada tempat lain?” 

“Kita bukan sedang bertransaksi. Tak ada tawar-menawar, Nona Roberts. Jika kau mau, silakan datang. Jika tidak, itu bukan masalah bagiku,” balas Justin, dengan pembawaannya yang tetap terlihat tenang. 

Helena terpaku beberapa saat. Dia bahkan tak merespon, saat Justin mempersilakannya keluar ruangan. Helena baru tersadar, saat Justin berdehem pelan. 

"Ah, maaf." Helena tersipu. Dia segera berpamitan dari sana. Bimbang menyelimuti hatinya, antara menerima tawaran atau lebih memilih berkutat dalam permasalahan tentang alur, yang bukan tidak mungkin akan kembali ditolak. 

Setibanya di flat sederhana yang disewa dengan harga terbilang murah, Helena segera merebahkan tubuh di kasur berukuran kecil. Tatapannya tertuju ke langit-langit ruangan. Sekilas, dia melirik jam digital di meja sebelah tempat tidur. 

Wanita dengan T-shirt putih longgar itu bangkit, lalu beranjak ke depan cermin rias. Helena menatap dirinya beberapa saat, kemudian tersenyum konyol.  “Kau jelek dan tidak menarik. Kau aman, Nona Roberts,” ucapnya, diakhiri tawa geli.

Tiba-tiba, rasa takut yang tadi sempat menggelayuti sirna seketika. Helena bersiul riang, seraya meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Tak mungkin dirinya menghadap Justin, dengan penampilan dan bau seperti tadi. 

Sekitar pukul tujuh lewat beberapa menit, Helena tiba di alamat yang dituju. Dia segera menemui resepsionis, mengatakan maksud kedatangannya ke sana. 

Petugas resepsionis mempersilakan Helena, setelah mendapat izin dari Justin. Dia menekan tombol teratas, sesaat setelah masuk lift. 

Tak berselang lama, pintu lift terbuka. Helena langsung disuguhi pemandangan luar biasa, yaitu ruangan apartemen mewah dengan segala hal yang membuatnya tampak mahal. 

“Ya, Tuhan,” gumam Helena, seraya melangkah keluar dari lift. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sesaat kemudian, tatapannya terkunci pada sosok tampan berkemeja putih, yang tengah berjalan menuruni tangga.

“Tuan Cuthbert,” sapa Helena sopan. 

Namun, Justin tidak membalas sapaan tadi. Pria tampan berambut cokelat terang itu hanya tersenyum simpul, seraya mengarahkan tangan ke sofa, mempersilakan Helena duduk. 

“Kupikir kau tidak bersedia datang,” ucap Justin. Dia berjalan gagah ke mini bar, di mana terdapat beberapa botol minuman. Justin memilih, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas kristal. Dia memberikan satu kepada Helena

“Terima kasih,” ucap Helena, saat menerima minuman yang disajikan Justin. Dia yang awalnya tenang, tiba-tiba kembali gugup. “Aku …. Kupikir ini tawaran yang sangat menarik. Lagi pula, aku ingin segera menyelesaikan kontrak dengan GP Enterprise,” jelasnya. 

“Kenapa? Apa kau tidak berniat memperpanjang kontrakmu?” tanya Justin, setelah meneguk minumannya. 

Helena menggeleng pelan. “Kurasa, selama Anda duduk di kursi pemimpin redaksi …. Oh, astaga.” Helena menggigit bibir bawah, setelah menyadari ucapannya barusan.

Namun, reaksi yang Justin perlihatkan justru di luar dugaan. Pria tampan bermata abu-abu itu tersenyum kecil, lalu kembali meneguk minumannya. “Apa aku terlalu menakutkan bagimu?” 

“Tidak. Bukan begitu,” bantah Helena, diiringi gelengan cukup kencang. 

“Lalu? Tidak apa-apa. Katakan saja.”

Helena jadi serba salah. “Um, aku ….” Wanita itu terdiam sejenak. “Apakah bisa langsung ke inti pertemuan ini, Tuan? Bagaimana caranya agar naskah yang akan kuajukan bisa menarik perhatianmu?” tanya Helena, dengan tatapan penuh harap. 

Akan tetapi, Justin justru hanya diam. Entah apa yang tengah pria itu pikirkan. 

“Tuan?” Setelah beberapa saat, Helena kembali menyadarkan pria itu dari lamunannya. 

Justin langsung menoleh. Menatap lekat Helena, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia tak peduli, meskipun telah membuat si wanita jadi salah tingkah. 

“Bagaimana?” tanya Helena lagi, berusaha menepiskan rasa tak nyaman atas tatapan aneh yang dilayangkan Justin. 

“Berapa usiamu?” Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Justin justru balik bertanya. 

“Aku? Um … usiaku 24 tahun,” jawab Helena ragu. 

“Apa kau punya kekasih?” 

“Kekasih?” ulang Helena, seraya mengernyitkan kening. “Apakah itu penting?” Dia balik bertanya.

“Tidak,” jawab Justin, seakan baru tersadar sepenuhnya. “Lupakan apa yang kutanyakan tadi. Aku hanya sedang tidak fokus,” kilahnya, lalu menghabiskan sisa minuman dalam gelas. 

Helena tak menanggapi. Dia memperhatikan bahasa tubuh Justin yang tampak aneh. Pria itu terlihat berbeda, dengan saat berada di kantor tadi sore. 

“Jika Anda sedang ada masalah … maksudku, kita bisa membatalkan pertemuan ini. Aku akan berusaha mencari alur sendiri, sesuai dengan yang sudah Nona Sawyer sarankan kemarin,” ucap Helena, bermaksud meraih ransel yang diletakkan di sebelahnya.

Namun, Justin segera menoleh, menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Dia menggeleng pelan, sebagai isyarat agar Helena tak pergi ke manapun. “Tidak apa-apa, Kau bisa tetap di sini,” ucapnya. “Aku sedang butuh teman bicara,” lanjut pria itu lagi. 

“Baiklah. Jadi, bagaimana?” Helena tak ingin berpikir terlalu jauh. Dia terus mengarahkan perbincangan pada jalur semestinya, yaitu membahas tentang alur cerita seperti yang diinginkan Justin. 

Diskusi terus berjalan. Perbincangan mengalir begitu saja. Kecanggungan mulai tersingkirkan, berganti obrolan santai seputar novel. Sesekali, diselingi pembahasan lain yang tak kalah menarik.

Justin begitu paham dengan dunia kepenulisan. Itulah mengapa dia bisa menduduki kursi pemimpin redaksi. Tak bisa dipungkiri, ide serta pemikiran pria 31 tahun tersebut begitu luar biasa, sehingga membuka lebih dalam wawasan Helena.

“Baiklah, Tuan Cuthbert. Aku benar-benar berterima kasih, untuk semua penjelasan yang sudah Anda berikan. Ini akan sangat membantuku,” ucap Helena, setelah sesi diskusi selesai. 

“Itu bukan apa-apa. Aku harap, kau bisa mengeksekusi ide yang telah kita bahas tadi sesuai yang diharapkan."

Helena mengangguk antusias. “Terima kasih sekali lagi.”

“Hanya ucapan terima kasih?” tanya Justin, dengan tatapan aneh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bimbingan Panas Pemred Dingin   Love and Death

    Justin tersenyum sinis. "Justru sebaliknya, Agatha," bantah pria tampan itu yakin. "Seharusnya, aku mengambil keputusan ini sejak dulu. Bertahan dalam pernikahan bodoh, hanya membuatku jadi badut memalukan.""Kau sudah tahu perasaanku yang sebenarnya. Kenapa masih menganggap ini sebagai suatu kebodohan?" protes Agatha tak terima.Justin menggeleng pelan."Sudahlah. Satu yang pasti, aku akan mengurus proses perceraian kita. Dengan atau tanpa restu orang tua, sebaiknya kita menyudahi ini secara baik-baik," putus Justin, dengan nada bicara mulai tenang."Kau benar-benar keterlaluan!" sentak Agatha. Ucapan Justin membuat amarah dalam dirinya kian menjadi. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu dengan pelacur itu?""Tutup mulutmu! Kau yang pelacur!" sergah Helena tak terima. Dia mendekat, lalu mendorong Agatha hingga mundur beberapa langkah. "Jika kau mencintai Justin, seharusnya tunjukkan seberapa besar rasa cintamu. Namun, kau justru bersikap jual mahal dan berhar

  • Bimbingan Panas Pemred Dingin   Terlambat

    Agatha yang sudah memiliki akses masuk ke unit tempat tinggal Justin, langsung memasuki lift dan menuju lantai teratas. Selama menunggu tiba di sana, wanita cantik berambut pendek tersebut terus mengepalkan tangan, demi menahan gejolak amarah dalam dada. Pikirannya tak keruan. Terlebih, setelah melihat rekaman video yang Grayson tunjukkan.Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Meskipun agak ragu, Agatha memaksakan diri melangkah keluar. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang terasa sepi.Agatha melangkah perlahan menyusuri koridor menuju kamar Justin. Dalam setiap ayunan kaki jenjangnya, wanita itu merasa tengah mendekati kematian mengerikan. Entah apa yang akan ditemui di ruangan pribadi sang suami.Setelah tiba di depan kamar, Agatha tertegun beberapa saat. Dia memutar handle pint

  • Bimbingan Panas Pemred Dingin   Mencari Fakta

    “Wanita lain?” cibir Agatha. “Aku membebaskannya dengan wanita manapun,selama tidak —”“Membebaskan?” Grayson menautkan alis, lalu berdecak pelan. “Agatha, Agatha. Kau ini bodoh atau apa?” ledeknya, seakan membalas telak cibiran sang mantan kekasih.Grayson makin mendekat. “Kau tahu siapa Justin? Dia adalah seorang cassanova. Bagaimana bisa kau membebaskan pria semacam itu untuk menjalani hidup semaunya, sedangkan kalian sudah terikat pernikahan? Astaga, Kekonyolan macam apa ini?”Grayson kembali berdecak pelan, diiringi gelengan tak mengerti. “Kau mencampakkanku hanya untuk menjalani hidup dalam kegilaan?” ujarnya heran. “Kau pikir bisa menaklukan Justin dengan cara seperti itu? Salah besar.”“Apa maksudmu?” tanya Agatha tak mengerti.“Justin membawa wanita lain ke apartemennya. Bukan cuma satu kali,” jawab Gr

  • Bimbingan Panas Pemred Dingin   Terungkap

    Helena menatap aneh, lalu menggeleng kencang sebagai tanda penolakan. “Kenapa? Kau menjadi kekasih gelap kakak-ku. Apa susahnya menjadi kekasihku juga. Lagi pula, itu akan jauh lebih aman bagimu.”“Lupakan, Tuan Grayson. Aku tidak tertarik sama sekali,” tolak Helena cukup tegas. “Sebaiknya, biarkan aku pergi.” Helena memaksa membuka pintu. Dengan setengah berlari, dia meninggalkan ruangan Grayson. Melihat itu, Grayson langsung menyusul. Langkahnya yang jauh lebih lebar dibanding Helena, membuat pria itu diuntungkan. Dia bisa mengejar dengan mudah. “Tunggu, Nona Roberts,” cegah Grayson, seraya meraih tangan Helena. “Lepaskan aku! Kita baru bertemu, tapi Anda sudah berani bersikap seperti ini. Benar-benar kurang ajar!” maki Helena tak suka.“Baiklah. Baiklah.” Grayson langsung melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Helena. “Maafkan aku karena tidak bisa mengontrol diri,” sesalnya. “Kumohon.”“Aku tidak mengerti, apa yang Anda inginkan sebenarnya dengan mendekatiku?” “Kau s

  • Bimbingan Panas Pemred Dingin   Rencana Jitu

    Helena tersenyum sinis. “Maaf, Tuan. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapa pun,” tolaknya pelan, tapi cukup tegas.“Kenapa? Kau jatuh cinta pada kakakku?” “Itu bukan urusan Anda.” Helena berbalik, Dia bermaksud membuka pintu. Namun, lagi-lagi Grayson menghalanginya. Pria itu mencegah, tak membiarkan Helena keluar. “Jangan pergi dulu. Aku masih ingin bicara denganmu.”Helena menoleh, menatap malas adik Justin tersebut. “Aku menghormati Anda sebagai pemimpin redaksi yang baru, Tuan. Aku sangat berterima kasih, bila Anda menerima naskah terakhirku tanpa harus direvisi terlebih dulu. Namun, itu bukan berarti aku mau melakukan sesuatu yang lebih.”“Kau melakukan itu dengan Justin.”“Situasi kami berbeda, Anda tidak berhak ….” Helena seperti sengaja menjeda kalimatnya. Wanita muda itu tampak malas bicara lebih banyak. “Kumohon. Biarkan aku pergi.”“Kenapa? Apa karena Justin menunggumu di luar?” Grayson menatap Helena dengan sorot aneh. Adik kandung Justin tersebut mengembuskan napas ber

  • Bimbingan Panas Pemred Dingin   Bekerja Sama

    Helena langsung salah tingkah, mendengar tawaran dari Grayson. Wanita muda bermata biru itu memaksakan tersenyum, walaupun ada rasa tak nyaman dalam hati. Dia tak menghendaki apa pun dari adik Justin tersebut. “Bagaimana?” tanya Grayson memastikan, berhubung Helena tak juga menanggapi tawarannya. Pria tampan itu tersenyum kalem. “Tenang saja, Nona Roberts. Aku pria lajang. Tak ada apa pun yang perlu kau khawatirkan,” ujarnya dengan tatapan tak dapat diartikan. “Apa maksud Anda?” Helena berpura-pura tak mengerti. Raut wajah si pemilik rambut pirang itu sudah mulai tegang. Namun, ekspresi berbeda diperlihatkan Grayson. Dia tetap tenang, dengan senyum kalem yang menghiasi paras tampannya. “Aku yakin, kau memahami maksud ucapanku tadi,” ujarnya. Helena segera berdiri. Dia tidak ingin lebih lama lagi berhadapan dengan Grayson. Wanita 24 tahun itu bergegas menuju pintu keluar. Namun, Grayson bergerak sangat cepat menghadang di depan Helena. “Perbincangan kita belum selesai, Nona Robert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status