“A-apa? Ju-Justin Cuth-bert?” Helena menelan ludah dalam-dalam. Dia sadar betul. Ini pasti akan jadi akhir dari karier menulisnya.
“Ya,” sahut pria tampan dengan topi baseball itu kalem. “Hanya sebuah nama. Abaikan saja,” ujarnya tenang.
Namun, Helena jelas makin kehilangan ketenangan. Dia tertunduk, lalu diam-diam menoleh. Akan tetapi, kembali menyembunyikan wajah karena si pria ternyata tengah menatapnya. “Ah, baiklah,” ucap wanita muda itu pelan bernada keluhan. “Anda bisa menuntutku, Tuan Cuthbert,” ujarnya pasrah.
Namun, Justin justru tersenyum kecil menanggapi ucapan Helena. Dia mengalihkan pandangan ke depan, sambil mengusap-usap bulu anjing peliharaan yang duduk di sebelahnya.
“Shining Breeze,” ucap Justin pelan. Akan tetapi, nada bicaranya terdengar cukup menakutkan di telinga Helena. “Kalau tidak salah, aku membaca naskahmu beberapa hari yang lalu. Kisah Heidy McGraw dengan Sam Farley. Cukup menarik,” ucap Justin, masih dengan sikap tenangnya.
“Menarik, tapi Anda menolak dan menyuruhku merevisi total,” balas Helena, berusaha menahan rasa jengkel.
“Aku punya alasan tersendiri. Namun, bukan karena pemuja sensualitas. Apalagi hypersex,” balas Justin.
“Lalu?”
“Kupikir, Nona Sawyer sudah menjelaskan padamu.”
“Ya,” balas Helena singkat.
“Itu artinya, aku tidak perlu menjelaskan secara detail. Lagi pula, ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk membicarakan masalah pekerjaan. Aku kemari karena ingin menikmati sore yang indah dengan Dax,” ujar Justin, seraya kembali mengusap-usap anjingnya yang duduk tenang.
Helena mengembuskan napas pelan. Walaupun Nathalie sudah melarangnya membuat kegaduhan, tetapi dia merasa perlu meminta penjelasan. Padahal, Justin telah mengatakan tidak akan memberikan pernyataan apa pun saat itu.
“Aku masih penasaran,” ucap Helena, sesaat kemudian.
“Tentang apa?” Justin mengalihkan perhatian pada wanita berambut pirang tersebut.
“Tentang cerita yang sesuai dengan seleramu, Tuan Cuthbert.”
Justin tak segera menjawab. Dia menghentikan usapannya di tubuh Dax. Namun, tatapan pria tampan itu tetap tertuju ke depan. “Sudah kukatakan bahwa ini bukan waktu dan tempat yang tepat, untuk membahas masalah pekerjaan.”
“Tapi, kapan lagi aku bisa bicara secara langsung dengan Anda? Nona Sawyer melarangku melakukan ini. Namun, aku berpikir sebaliknya. Anggap saja sebagai kompensasi atas waktu yang sudah terbuang percuma, dalam menyelesaikan cerita yang Anda tolak.”
Justin menggumam pelan, lalu menoleh. “Jadi, kau ingin meminta kompensasi padaku, Nona Roberts?”
Helena jadi salah tingkah karena Justin menatapnya dengan sorot aneh.
“Baiklah. Jika kau ingin membahas ini secara langsung, akan kupenuhi keinginanmu. Temui aku besok selepas jam kerja di kantor,” putus Justin, seraya beranjak dari duduk. Dia memberi isyarat pada anjing peliharaannya agar mengikuti.
Helena terdiam sejenak. Wanita muda itu baru tersadar, saat Justin sudah menjauh beberapa langkah dari tempatnya berada. “Anda serius, Tuan?” tanya wanita muda itu, seraya berdiri dan menatap lurus ke depan.
Justin tertegun, lalu menoleh. Dia hanya menanggapi dengan anggukan samar, sebelum kembali melanjutkan langkah.
“Ya, ampun,” gumam Helena, seraya kembali duduk. Wanita bermata biru itu kembali termenung memikirkan apa yang akan dibahas dengan Justin. Sang pimpinan redaksi, yang ternyata benar-benar tampan.
Hingga keesokan harinya, Helena masih belum merasa lega. Tak sabar dirinya menunggu jam kantor berakhir. Dia rela berdiri tak jauh dari gedung GP Enterprise, agar tak terlambat menghadap pria nomor satu di perusahaan penerbitan tersebut.
Beberapa saat berlalu. Waktu yang Helena tunggu akhirnya tiba. Dia segera merapikan diri, meskipun tak mengubah penampilan jadi lebih baik. Ya, Helena terlihat nyaman dalam balutan skinny jeans dan T-shirt longgar, dengan rambut digulung tak rapi. Seperti itulah dirinya.
Helena berjalan agak tegang menuju ruangan pemimpin redaksi. Saat itu, suasana di sana terbilang sepi karena sebagian besar karyawan sudah pulang. Wanita dengan tinggi 167 cm tersebut menggenggam erat tali ransel kecil, yang dicangklong di pundak sebelah kanan. Dia menarik napas dalam-dalam, sebelum mengetuk pintu.
“Masuk!”
Setelah mendengar suara Justin, Helena memberanikan diri memutar gagang pintu, lalu membuka perlahan. “Tuan Cuthbert,” sapanya agak ragu.
“Masuklah, Nona Roberts.” Justin menoleh sekilas, sebelum kembali pada laptop di hadapannya. Dia baru menutup alat elektronik itu, setelah Helena berdiri di depan meja kerjanya.
Justin menatap wanita dengan penampilan kurang menarik itu beberapa saat, sebelum mempersilakan duduk.
“Terima kasih, Tuan Cuthbert,” ucap Helena agak gugup. Dia meletakkan ransel kecilnya di pangkuan.
“Baiklah. Apa yang ingin kau sampaikan?” tanya Justin penuh wibawa.
“Um … tentang yang kemarin kita bahas. Masalah penolakan naskah cerita yang kuajukan,” jawab Helena. Dia berusaha keras terlihat biasa di hadapan Justin.
“Iya. Lalu?”
Helena terdiam sejenak, menatap heran pria berkemeja putih dengan lengan yang dilipat hingga tiga per empat. “Apanya yang ‘lalu’?
“Apa lagi yang kau inginkan?” tanya Justin serius.
“Kejelasan … maksudku … um ….” Helena tak tahu harus berkata apa. Dia agak kebingungan. “Begini, Tuan. Tiga cerita yang kuajukan sebelumnya, diterima baik oleh Tuan Flint McKenzie. Tak ada masalah sama sekali. Baik dari segi alur maupun penulisan.”
“Kau tahu siapa yang sekarang duduk di kursi pemimpin redaksi?” Pertanyaan yang diajukan Justin, mulai terdengar mengintimidasi.
Helena langsung mengangguk, meskipun rona tegang masih terlihat jelas dari wajahnya. Sesekali, wanita berusia 24 tahun tersebut membetulkan letak kacamata yang dikenakan.
“Aku rasa itu sudah jadi jawaban untukmu, Nona Roberts,” ucap Justin tenang. “Satu yang pasti, aku dan Tuan Flint McKenzie memiliki selera serta pandangan berbeda dalam menilai satu cerita utuh. Kau harus menerima kenyataan bahwa saat ini akulah yang menentukan, apakah ceritamu layak dicetak atau tidak.”
“Keputusanmu membuatku sangat tertekan. Anda mesti tahu, aku bekerja keras saat Nona Sawyer mengatakan cerita yang kuajukan harus direvisi. Banyak sekali. Hampir keseluruhannya sudah kurevisi. Namun, apa yang terjadi? Anda tetap menolak naskahku.”
“Kau sudah tahu jawabannya.”
“Anda mengatakan cerita yang kutulis cukup menarik,” bantah Helena, yang mulai terpancing.
“Cukup bukan berarti benar-benar menarik, Nona Roberts. Itu yang perlu digarisbawahi,” tegas Justin.
Helena mengembuskan napas pelan. Dia harus berusaha mengendalikan diri, jika tak ingin makin dipersulit sang pimpinan redaksi.
“Aku sudah berusaha memberikan jawaban sehalus mungkin agar kau tidak merasa makin terpuruk. Namun, jika itu tidak membuatmu mengerti, biar kuperjelas lagi,” ucap Justin lagi, seraya beranjak dari belakang meja kerja.
“Sebenarnya, ide ceritamu sangat bagus. Namun, kebanyakan pembaca zaman sekarang tidak menyukai sesuatu yang terlalu berat. Mereka butuh hiburan. Sesuatu yang menjadikan membaca bisa jadi alternatif pengalihan rasa lelah. Itu artinya, kau harus menyajikan konten yang menyenangkan.”
“Jadi, ceritaku dianggap tidak menyenangkan?” Helena langsung berdiri, saat Justin berada di sebelahnya.
“Apa kau tidak tahu bagaimana caranya bersenang-senang?”
“Apa maksud Anda?”
Justin tersenyum sinis. "Justru sebaliknya, Agatha," bantah pria tampan itu yakin. "Seharusnya, aku mengambil keputusan ini sejak dulu. Bertahan dalam pernikahan bodoh, hanya membuatku jadi badut memalukan.""Kau sudah tahu perasaanku yang sebenarnya. Kenapa masih menganggap ini sebagai suatu kebodohan?" protes Agatha tak terima.Justin menggeleng pelan."Sudahlah. Satu yang pasti, aku akan mengurus proses perceraian kita. Dengan atau tanpa restu orang tua, sebaiknya kita menyudahi ini secara baik-baik," putus Justin, dengan nada bicara mulai tenang."Kau benar-benar keterlaluan!" sentak Agatha. Ucapan Justin membuat amarah dalam dirinya kian menjadi. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu dengan pelacur itu?""Tutup mulutmu! Kau yang pelacur!" sergah Helena tak terima. Dia mendekat, lalu mendorong Agatha hingga mundur beberapa langkah. "Jika kau mencintai Justin, seharusnya tunjukkan seberapa besar rasa cintamu. Namun, kau justru bersikap jual mahal dan berhar
Agatha yang sudah memiliki akses masuk ke unit tempat tinggal Justin, langsung memasuki lift dan menuju lantai teratas. Selama menunggu tiba di sana, wanita cantik berambut pendek tersebut terus mengepalkan tangan, demi menahan gejolak amarah dalam dada. Pikirannya tak keruan. Terlebih, setelah melihat rekaman video yang Grayson tunjukkan.Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Meskipun agak ragu, Agatha memaksakan diri melangkah keluar. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang terasa sepi.Agatha melangkah perlahan menyusuri koridor menuju kamar Justin. Dalam setiap ayunan kaki jenjangnya, wanita itu merasa tengah mendekati kematian mengerikan. Entah apa yang akan ditemui di ruangan pribadi sang suami.Setelah tiba di depan kamar, Agatha tertegun beberapa saat. Dia memutar handle pint
“Wanita lain?” cibir Agatha. “Aku membebaskannya dengan wanita manapun,selama tidak —”“Membebaskan?” Grayson menautkan alis, lalu berdecak pelan. “Agatha, Agatha. Kau ini bodoh atau apa?” ledeknya, seakan membalas telak cibiran sang mantan kekasih.Grayson makin mendekat. “Kau tahu siapa Justin? Dia adalah seorang cassanova. Bagaimana bisa kau membebaskan pria semacam itu untuk menjalani hidup semaunya, sedangkan kalian sudah terikat pernikahan? Astaga, Kekonyolan macam apa ini?”Grayson kembali berdecak pelan, diiringi gelengan tak mengerti. “Kau mencampakkanku hanya untuk menjalani hidup dalam kegilaan?” ujarnya heran. “Kau pikir bisa menaklukan Justin dengan cara seperti itu? Salah besar.”“Apa maksudmu?” tanya Agatha tak mengerti.“Justin membawa wanita lain ke apartemennya. Bukan cuma satu kali,” jawab Gr
Helena menatap aneh, lalu menggeleng kencang sebagai tanda penolakan. “Kenapa? Kau menjadi kekasih gelap kakak-ku. Apa susahnya menjadi kekasihku juga. Lagi pula, itu akan jauh lebih aman bagimu.”“Lupakan, Tuan Grayson. Aku tidak tertarik sama sekali,” tolak Helena cukup tegas. “Sebaiknya, biarkan aku pergi.” Helena memaksa membuka pintu. Dengan setengah berlari, dia meninggalkan ruangan Grayson. Melihat itu, Grayson langsung menyusul. Langkahnya yang jauh lebih lebar dibanding Helena, membuat pria itu diuntungkan. Dia bisa mengejar dengan mudah. “Tunggu, Nona Roberts,” cegah Grayson, seraya meraih tangan Helena. “Lepaskan aku! Kita baru bertemu, tapi Anda sudah berani bersikap seperti ini. Benar-benar kurang ajar!” maki Helena tak suka.“Baiklah. Baiklah.” Grayson langsung melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Helena. “Maafkan aku karena tidak bisa mengontrol diri,” sesalnya. “Kumohon.”“Aku tidak mengerti, apa yang Anda inginkan sebenarnya dengan mendekatiku?” “Kau s
Helena tersenyum sinis. “Maaf, Tuan. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapa pun,” tolaknya pelan, tapi cukup tegas.“Kenapa? Kau jatuh cinta pada kakakku?” “Itu bukan urusan Anda.” Helena berbalik, Dia bermaksud membuka pintu. Namun, lagi-lagi Grayson menghalanginya. Pria itu mencegah, tak membiarkan Helena keluar. “Jangan pergi dulu. Aku masih ingin bicara denganmu.”Helena menoleh, menatap malas adik Justin tersebut. “Aku menghormati Anda sebagai pemimpin redaksi yang baru, Tuan. Aku sangat berterima kasih, bila Anda menerima naskah terakhirku tanpa harus direvisi terlebih dulu. Namun, itu bukan berarti aku mau melakukan sesuatu yang lebih.”“Kau melakukan itu dengan Justin.”“Situasi kami berbeda, Anda tidak berhak ….” Helena seperti sengaja menjeda kalimatnya. Wanita muda itu tampak malas bicara lebih banyak. “Kumohon. Biarkan aku pergi.”“Kenapa? Apa karena Justin menunggumu di luar?” Grayson menatap Helena dengan sorot aneh. Adik kandung Justin tersebut mengembuskan napas ber
Helena langsung salah tingkah, mendengar tawaran dari Grayson. Wanita muda bermata biru itu memaksakan tersenyum, walaupun ada rasa tak nyaman dalam hati. Dia tak menghendaki apa pun dari adik Justin tersebut. “Bagaimana?” tanya Grayson memastikan, berhubung Helena tak juga menanggapi tawarannya. Pria tampan itu tersenyum kalem. “Tenang saja, Nona Roberts. Aku pria lajang. Tak ada apa pun yang perlu kau khawatirkan,” ujarnya dengan tatapan tak dapat diartikan. “Apa maksud Anda?” Helena berpura-pura tak mengerti. Raut wajah si pemilik rambut pirang itu sudah mulai tegang. Namun, ekspresi berbeda diperlihatkan Grayson. Dia tetap tenang, dengan senyum kalem yang menghiasi paras tampannya. “Aku yakin, kau memahami maksud ucapanku tadi,” ujarnya. Helena segera berdiri. Dia tidak ingin lebih lama lagi berhadapan dengan Grayson. Wanita 24 tahun itu bergegas menuju pintu keluar. Namun, Grayson bergerak sangat cepat menghadang di depan Helena. “Perbincangan kita belum selesai, Nona Robert