Nama Titan kembali jadi sorotan media, tapi bukan karena prestasi. Artikel demi artikel membongkar "skandal lama" yang dibumbui tuduhan baru. Di kolom komentar, netizen berdebat. Ada yang membela, tapi lebih banyak yang menghakimi. "Cara mudah mendongkrak popularitas, artis tak tahu diri!" "Lihat, artis gagal kembali membuat sensasi." "Boikot Dewi Titan." Giselle tak lepas dari layar ponselnya, memantau berita. Setiap melihat satu komentar pedas, ia ingin menjerit. Tapi Titan hanya diam. Tidak menangis. Tidak marah. Justru itu yang membuat Giselle takut. "Mba Titan, kita harus klarifikasi. Atau paling tidak, posting sesuatu..." Titan hanya menatap kosong layar ponselnya. Kata-kata cacian dan hinaan memenuhi pikirannya. "Kalau aku jelaskan pun... siapa yang akan percaya?" Titan duduk bersandar di jok mobil. Titan lelah, pikirannya bercabang, bukan masalah skandalnya, justru masalah pertunangan Gallen yang membuatnya resah. Titan tetap datang profesional. Tapi, suasana
***** Rigel berdiri mematung di balkon. Tangannya menggenggam ponsel yang menampilkan artikel dengan headline yang tak asing. "Dewi Titan Kembali Tersandung Skandal Lama Bersama Rigel Adrian?" Matanya menyipit. Ia berbalik dan berjalan cepat ke dalam. "Mba Lyra!" Wanita itu muncul dari ruang kerja, seperti sudah tahu panggilan itu akan datang. Tenang. Seperti biasa. "Kamu yang melakukan ini?" "Kenapa nada bicaramu seolah terkejut? Sejak kapan kita pura-pura jadi orang baik?" "Kamu janji, Mba Lyra. Setelah Titan keluar dari manajemen, kamu bilang tidak akan ganggu dia lagi." "Kapan aku pernah menjanjikan itu," Lyra melangkah pergi. Rigel, menatap ponsel yang kini terasa lebih berat di tangannya. Titan... maaf. Sementara di tempat lain... Gallen dan Titan duduk bersimpuh di bawah, sedangkan Galaksi duduk di sofa. Mereka seperti tersangka yang sedang diinterogasi. "Ada apa ini Kak. Kenapa Dewi Titan ada di sini?" "Apa kalian punya hubungan?" "Apa kalian be
Hari konferensi pers pun tiba. Ruangan dipenuhi wartawan dari berbagai media, kamera-kamera sudah siaga mengarah ke satu kursi kosong di depan ruangan. Bisik-bisik memenuhi udara, sebagian mempertanyakan keberanian Titan, sebagian lain menunggu sensasi baru. Tak lama, Titan masuk. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam, tanpa riasan berlebihan, penampilannya mencerminkan kesungguhan. Ia menunduk sopan sebelum duduk. Sesaat, ia mengatur napas, lalu memulai. "Terima kasih atas kedatangan teman-teman media hari ini," ucapnya tenang. "Saya tahu, mungkin tidak semua dari kalian percaya pada saya. Tapi hari ini, saya di sini bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk menyampaikan kebenaran." Ruangan mendadak hening. "Selama ini saya diam. Ketika dikatakan menjalin hubungan settingan. Ketika dituduh menjadi selingkuhan, saya juga tetap diam. Tapi diam saya bukan berarti saya bersalah, saya hanya terlalu lelah untuk melawan." Napas Titan bergetar. Tapi, ia melanj
Hashtag "#WeStandWithTitan" mulai ramai. Dukungan datang perlahan, netizen mulai melihat bahwa mungkin Titan hanya korban, Titan tak seburuk yang dibayangkan. Giselle menghampiri Bos-nya dengan mata berkaca-kaca. "Aku bangga, Lihat Mba..." Titan hanya tersenyum, lelah tapi hangat. "Kita belum selesai, Giselle. Tapi paling tidak, aku sudah bisa bernapas lega." Rasanya beban dipundaknya menghilang. Konferensi pers itu bukan hanya menghapus tuduhan, tapi juga membuka jalan baru. Dalam hitungan hari, nama Titan kembali muncul di berbagai media, bukan sebagai bahan gosip, tapi sebagai aktris yang bangkit dari keterpurukan. Produser film mulai menghubunginya lagi. Tawaran bermain di drama prime time datang silih berganti. Ada juga ajakan menjadi peserta reality show dan pemotretan untuk majalah fashion ternama. Titan kembali sibuk. Pagi, ia menghadiri meeting proyek film. Siang, fitting kostum untuk sesi pemotretan. Malamnya, gladi resik untuk reality show yang akan tayang pek
Hari yang dinantikan Adhara tiba, akhirnya, Gallen akan menjadi miliknya, pikirnya kala itu, sebelum sesuatu yang besar akan terjadi. Kilau lampu kristal memenuhi aula mewah tempat acara pertunangan berlangsung. Undangan dari kalangan elite industri hiburan dan bisnis berdatangan. Semua mata tertuju pada pasangan utama malam itu, Gallen dan Adhara. Gallen berdiri tegap di sisi Adhara, mengenakan setelan jas abu gelap rancangan desainer ternama. Adhara, dengan gaun putih keperakan dan senyum sempurna, tampak seperti wanita paling bahagia malam itu. Saat cincin pertunangan disematkan, tepuk tangan menggema di seluruh aula. Kilatan kamera menyala bertubi-tubi. Media sosial mulai dibanjiri unggahan tentang "pasangan paling serasi tahun ini." Namun Gallen nyaris tak mendengar suara apa pun. Pikirannya melayang. Matanya sesekali melirik ke pintu masuk, entah berharap seseorang datang, atau sekadar ingin memastikan bahwa seseorang itu memang tidak akan muncul. Titan. Sementara it
"Akh…." Titania Selin terbangun dengan wajah bingung, mengamati ruangan sekitar yang begitu asing baginya. Selain itu, kepalanya terasa begitu pusing dan sekujur tubuhnya... sakit? Deg! "Baju siapa ini?" Gadis yang biasa dipanggil Titan itu terkejut kala menyadari tubuhnya kini dibalut kemeja pria berwarna putih. Ini jelas bukan miliknya! Pikiran Titan langsung kacau. Jangan-jangan semalam … dia? "Kamu sudah bangun?" Suara berat dan mendominasi dari pria yang baru saja keluar dari kamar mandi menyadarkan Titan dari lamunan. "Si... siapa kamu?" tanyanya gugup. Namun, pria tampan itu justru tersenyum sembari berjalan tanpa memakai baju mendekati Titan. "Wah, kamu membuatku sakit hati, setelah kamu membuatku bekerja semalaman, sekarang, kamu malah tanya aku ini siapa?" "Maksudmu, apa?" panik Titan. "Kamu, beneran tidak ingat?" Melihat Titan menggeleng cepat dan kebingungan, pria itu kembali berkata, "Apa kita ulangi lagi kejadian semalam, agar kamu ingat apa
Di sisi lain, Titan berjalan gontai. Kini, ia sudah berada di atap sebuah gedung. Gadis itu berdiri di pinggir dengan kedua kakinya gemetar. Titan takut ketinggian, tapi dia ingin cari angin untuk meredakan stress! Cari angin atau mau bunuh diri... "Kalau tahu di atas sini sedingin ini, aku pasti membawa jaket," gerutunya seraya memandang ke bawah. Namun, ia semakin ketakutan. "Kenapa gedung ini tinggi sekali, sih? Kalau aku jatuh ke bawah sana, bagaimana dengan tubuh seksiku ini? Kalau langsung mati, itu tidak masalah, tapi, kalau aku hanya terluka kemudian dirawat di rumah sakit, bukankah malah merepotkan orang," gerutunya. Kalaupun bunuh diri, dia tak mungkin menggunakan cara ini! Sayangnya, tingkahnya itu telah membuat seorang pria yang diam-diam tertidur di rooftop itu, terganggu. Galaksi pun beranjak lalu mengintip dari balik dinding. Namun, seketika dia terbelalak. "I...itu bukannya Dewi Titan?!" Sebagai fans, dia jelas khawatir jika artis favoritnya itu bunuh
Sementara itu...."Dari mana saja kamu, kenapa baru datang, Gala?" "Maaf Kak, tadi aku ada urusan penting." Galaksi menjawab sembari cengar-cengir. "Urusan penting apa? Palingan juga kamu tidur di atas seperti biasanya." Galaksi tersenyum kikuk seraya menggaruk kepala bagian belakang. "Ini, bukti yang Kakak inginkan." Tak lupa, ia meletakkan beberapa foto di meja. Gallen pun tersenyum miring sambil melihat foto-foto tersebut. "Bagus, tidak sia-sia aku nyuruh kamu." "Karena aku sudah melakukan pekerjaan dengan baik, boleh aku meminta sesuatu?" pinta Galaksi dengan senyuman. Gallen menaikkan sebelah alisnya, ia curiga dengan permintaan adiknya itu. "Katakan," jelas Gallen penasaran. Karena adiknya itu selalu meminta yang aneh-aneh. Tok...Tok...Tok…! Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian kedua kakak beradik itu. . "Ini Bos, berkas yang Anda minta," ucap Hamal Eris, asisten Gallen, sembari meletakkan beberapa dokumen yang dibalas anggukan olehnya. "Tadi, kam
Hari yang dinantikan Adhara tiba, akhirnya, Gallen akan menjadi miliknya, pikirnya kala itu, sebelum sesuatu yang besar akan terjadi. Kilau lampu kristal memenuhi aula mewah tempat acara pertunangan berlangsung. Undangan dari kalangan elite industri hiburan dan bisnis berdatangan. Semua mata tertuju pada pasangan utama malam itu, Gallen dan Adhara. Gallen berdiri tegap di sisi Adhara, mengenakan setelan jas abu gelap rancangan desainer ternama. Adhara, dengan gaun putih keperakan dan senyum sempurna, tampak seperti wanita paling bahagia malam itu. Saat cincin pertunangan disematkan, tepuk tangan menggema di seluruh aula. Kilatan kamera menyala bertubi-tubi. Media sosial mulai dibanjiri unggahan tentang "pasangan paling serasi tahun ini." Namun Gallen nyaris tak mendengar suara apa pun. Pikirannya melayang. Matanya sesekali melirik ke pintu masuk, entah berharap seseorang datang, atau sekadar ingin memastikan bahwa seseorang itu memang tidak akan muncul. Titan. Sementara it
Hashtag "#WeStandWithTitan" mulai ramai. Dukungan datang perlahan, netizen mulai melihat bahwa mungkin Titan hanya korban, Titan tak seburuk yang dibayangkan. Giselle menghampiri Bos-nya dengan mata berkaca-kaca. "Aku bangga, Lihat Mba..." Titan hanya tersenyum, lelah tapi hangat. "Kita belum selesai, Giselle. Tapi paling tidak, aku sudah bisa bernapas lega." Rasanya beban dipundaknya menghilang. Konferensi pers itu bukan hanya menghapus tuduhan, tapi juga membuka jalan baru. Dalam hitungan hari, nama Titan kembali muncul di berbagai media, bukan sebagai bahan gosip, tapi sebagai aktris yang bangkit dari keterpurukan. Produser film mulai menghubunginya lagi. Tawaran bermain di drama prime time datang silih berganti. Ada juga ajakan menjadi peserta reality show dan pemotretan untuk majalah fashion ternama. Titan kembali sibuk. Pagi, ia menghadiri meeting proyek film. Siang, fitting kostum untuk sesi pemotretan. Malamnya, gladi resik untuk reality show yang akan tayang pek
Hari konferensi pers pun tiba. Ruangan dipenuhi wartawan dari berbagai media, kamera-kamera sudah siaga mengarah ke satu kursi kosong di depan ruangan. Bisik-bisik memenuhi udara, sebagian mempertanyakan keberanian Titan, sebagian lain menunggu sensasi baru. Tak lama, Titan masuk. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam, tanpa riasan berlebihan, penampilannya mencerminkan kesungguhan. Ia menunduk sopan sebelum duduk. Sesaat, ia mengatur napas, lalu memulai. "Terima kasih atas kedatangan teman-teman media hari ini," ucapnya tenang. "Saya tahu, mungkin tidak semua dari kalian percaya pada saya. Tapi hari ini, saya di sini bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk menyampaikan kebenaran." Ruangan mendadak hening. "Selama ini saya diam. Ketika dikatakan menjalin hubungan settingan. Ketika dituduh menjadi selingkuhan, saya juga tetap diam. Tapi diam saya bukan berarti saya bersalah, saya hanya terlalu lelah untuk melawan." Napas Titan bergetar. Tapi, ia melanj
***** Rigel berdiri mematung di balkon. Tangannya menggenggam ponsel yang menampilkan artikel dengan headline yang tak asing. "Dewi Titan Kembali Tersandung Skandal Lama Bersama Rigel Adrian?" Matanya menyipit. Ia berbalik dan berjalan cepat ke dalam. "Mba Lyra!" Wanita itu muncul dari ruang kerja, seperti sudah tahu panggilan itu akan datang. Tenang. Seperti biasa. "Kamu yang melakukan ini?" "Kenapa nada bicaramu seolah terkejut? Sejak kapan kita pura-pura jadi orang baik?" "Kamu janji, Mba Lyra. Setelah Titan keluar dari manajemen, kamu bilang tidak akan ganggu dia lagi." "Kapan aku pernah menjanjikan itu," Lyra melangkah pergi. Rigel, menatap ponsel yang kini terasa lebih berat di tangannya. Titan... maaf. Sementara di tempat lain... Gallen dan Titan duduk bersimpuh di bawah, sedangkan Galaksi duduk di sofa. Mereka seperti tersangka yang sedang diinterogasi. "Ada apa ini Kak. Kenapa Dewi Titan ada di sini?" "Apa kalian punya hubungan?" "Apa kalian be
Nama Titan kembali jadi sorotan media, tapi bukan karena prestasi. Artikel demi artikel membongkar "skandal lama" yang dibumbui tuduhan baru. Di kolom komentar, netizen berdebat. Ada yang membela, tapi lebih banyak yang menghakimi. "Cara mudah mendongkrak popularitas, artis tak tahu diri!" "Lihat, artis gagal kembali membuat sensasi." "Boikot Dewi Titan." Giselle tak lepas dari layar ponselnya, memantau berita. Setiap melihat satu komentar pedas, ia ingin menjerit. Tapi Titan hanya diam. Tidak menangis. Tidak marah. Justru itu yang membuat Giselle takut. "Mba Titan, kita harus klarifikasi. Atau paling tidak, posting sesuatu..." Titan hanya menatap kosong layar ponselnya. Kata-kata cacian dan hinaan memenuhi pikirannya. "Kalau aku jelaskan pun... siapa yang akan percaya?" Titan duduk bersandar di jok mobil. Titan lelah, pikirannya bercabang, bukan masalah skandalnya, justru masalah pertunangan Gallen yang membuatnya resah. Titan tetap datang profesional. Tapi, suasana
Pengumuman resmi pertunangan Gallen dan Adhara menjadi headline di berbagai media. Foto elegan yang menampilkan keduanya dengan senyum bahagia tersebar luas, disertai pernyataan manis dari Gallen. "Aku percaya pada janji yang pernah diucapkan Kakekku, dan kini saatnya aku menepatinya." Di ruang rias sebuah studio syuting, Titan menatap layar ponselnya lama. Gambar pertunangan itu membuat dadanya terasa sesak. Ada bagian dalam dirinya yang mulai ia pahami, perasaan yang sejak lama diabaikannya. "Dia... bertunangan?" gumam Titan pelan, nyaris tak terdengar. Ada yang menusuk dihatinya, sakit, remuk perlahan kemudian hancur. Giselle masuk, membawa segelas kopi. Ia terdiam sejenak melihat ekspresi Titan. "Mba Titan... kamu kenapa?" Titan cepat-cepat menyimpan ponselnya dan berbalik menghadap cermin. "Tidak apa-apa," Titan mencoba tersenyum, meski tak sampai ke matanya. "Mba, ada berita heboh." Titan menunjukkan ponselnya pada Giselle, "Maksudmu, ini?" Giselle mengangguk
"Gal, terima kasih," Titan memeluk Galaksi yang baru saja datang. "Terima kasih untuk apa?" tanya Galaksi bingung. Titan mengurai pelukannya. "Lihat, namaku sudah hilang di pencarian teratas, pasti kamu yang melakukannya," Gadis itu memperlihatkan ponselnya. Berita tentang dirinya dan Rigel, hilang begitu saja. Tanpa jejak. Tak lagi bisa di akses. "Tapi, Aku tidak-" "Sudahlah, aku akan bersiap-siap," Titan pergi dengan wajah ceria, senyumnya terus mengembang. Ia beruntung, Galaksi menjadi managernya. Sedangkan Galaksi, masih bingung, karena bukan dia yang melakukannya. Titan sibuk menghafal dialog. Hari ini syuting adegan penting bersama Rigel Adrian, satu ruangan, satu scene penuh, dan tidak ada jalan untuk menghindar. Saat Titan masuk ke studio, Rigel sudah menunggunya. Pria itu mengenakan kemeja putih kusut, seolah disengaja untuk memunculkan kesan 'bad boy' di depan kamera. "Selamat pagi, Dewi Titan," sapanya, nada suaranya sinis. Titan hanya mengangguk ding
Pagi itu, Titan duduk di ruang makeup, memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Trending topic di sosial media dipenuhi namanya, lagi. Kenapa hidupnya tak bisa tenang. #TitanRigelReuni #TitanComeback #CintaLamaBersemi Tangannya bergetar. Ini tidak seharusnya terjadi lagi. Bukan cinta. Bukan reuni. Ini luka. Giselle mendekat, meletakkan segelas kopi di meja tanpa banyak bicara. Ia tahu, apapun yang dikatakannya tak akan meredakan amarah Titan saat ini. "Aku harus bicara dengan Orion," gumam Titan lirih, suaranya menahan emosi. Titan beranjak. Galaksi yang baru saja datang menghalangi, "Tunggu, Dewi Titan!" Titan kembali duduk. "Kamu, sudah lihat beritanya, kan?" Galaksi mengangguk pelan sambil berjalan menghampiri. "Jangan terpengaruh dengan berita itu. Saatnya kamu membuktikan kepada mereka, siapa Dewi Titan," Tatapan Galaksi menguatkan artis berusia 25 tahun itu. Galaksi benar. Kalau ia terpengaruh dengan berita receh ini, tandanya ia belum siap bangk
Titan kembali ke ruangannya, memperbaiki riasan. Gadis itu, menatap cermin di depannya. Senyumnya sempurna, lipstik merah merona menghiasi bibirnya, namun matanya... tetap saja menyiratkan kegelisahan. Jemarinya mengepal erat di pangkuan. Di luar, para kru mulai sibuk menyiapkan adegan. Titan tahu, sebentar lagi ia harus satu frame dengan Rigel. Tak ada tempat untuk lari. Giselle mendekat, menyerahkan naskah. "Ini," ucapnya lirih. Gadis berkacamata mata itu berdiri di sebelah Titan, menunggu reaksi Bos-nya setelah membaca naskah. Ada kekhawatiran. Titan membaca sekilas. Matanya terhenti di bagian naskah yang mempertemukan karakternya dengan karakter Rigel, sebuah adegan intens, penuh emosi. Titan menarik napas panjang. "Tidak apa-apa, Giselle. Ini cuma pekerjaan," katanya sambil memasang senyum paksa. Semua ini karena sutradara Orion. Sepertinya, pria itu sengaja mengundang Rigel menjadi cameo, tapi, entah apa tujuannya, hanya Orion yang tahu. Dalam hati, Titan tahu, ini be