“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
"Mana Sera!? Mana istri mandul itu!?" Sera terkejut, tersentak kaget saat suara lantang nan keras sang ibu mertua di depan pintu kamarnya. Tidurnya terusik. Dia pun segera membuka mata dengan paksa dan terburu-buru memakai hijab. Sekarang sudah pukul 10 malam. Sudah waktunya bagi orang-orang untuk tidur, begitupun Sera. Namun, ibu mertuanya pasti tidak peduli. Sudah teramat sering Sera mendapatkan amukan dari mertua Sera yang dikenal pemarah itu. Gegas, Sera mengambil langkah dengan cepat untuk membuka pintu kamar.Di hadapannya, sudah berdiri Reva, sang ibu mertua, dengan berkacak pinggang. Di sebelahnya, Renal, suami Sera tengah menenangkan ibu kandungnya tersebut."Mama, jangan bicara seperti itu, itu istri Renal," ujar Renal membela sang istri."Alah! Lebay! Mama muak dengarnya!” bentak sang ibu mertua. Lalu, wanita tua itu menunjuk Sera lurus-lurus. “Kamu!”Sera terkesiap. Ia tidak mengatakan apa pun, menciut ketakutan."Kemasi barang-barang kamu sekarang!" perintah Reva memb
“Dasar wanita mandul!”Ucapan Renal dan ibunya masih saja terngiang di kepala Sera, meski beberapa hari sudah berlalu. Kata-kata itu menancap di hatinya dalam-dalam, entah kapan bisa dipulihkan.“Aku wanita tegar, aku kuat,” ucap Sera menyemangati dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam.Tapi, ya Allah, wanita itu kemudian membatin. Kenapa dia mandul? Apa yang telah Sera lakukan hingga diberi cobaan seperti ini?Rasanya sesak. Sera berusaha menyeka air matanya. Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Tidak, dia tidak boleh cengeng. Ini semua sudah kehendak Tuhan.Sera pergi ke kamar mandi, membasuh wajah agar terlihat lebih baik. Setelah itu, dia pergi keluar kamar dan menemui Rani.“Sera, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rani. Dia adalah ibu kandung Sera. Sera mengangguk, dia telah pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari yang lalu setelah perceraian terjadi.Ada banyak yang masih bisa Sera lakukan dalam hidup meski kini telah menjadi seorang janda. Dia tetap menj
"Ya Allah, aku akan dijodohkan oleh kedua orang tuaku? Bagaimana perihal kemandulanku?"Baru saja Sera mengatakan hal itu, ketukan pintu kamar terdengar. Sera yang tengah duduk di tepian ranjang lantas bangkit seraya membuka pintu tersebut."Sera kamu sungguh mau menerima perjodohan ini? Ini demi kebaikan kamu, pikirkan baik-baik," kata Sidik. Sera mengangguk. Dia sudah pikirkan matang-matang. Perihal kemandulannya, Sera pasrah dengan kehendak-Nya.Menerima perjodohan dan memulai pernikahan kedua adalah keputusannya. Sera harus bisa memilih jalan mana yang terbaik."Mas, kita tidak perlu memaksakan keinginan Sera," ujar Rani. "Mas tidak memaksakan. Mas hanya bertanya.""Sayang, apa kamu benar-benar menerima perjodohan ini? Mama ingin Sera menerima perjodohan ini dengan keinginan Sera sendiri. Bukan karena keinginan kami," ujar Rani."Sera siap, Ma. Sera mau," tegas Sera.Sedikit trauma dengan pernikahan, tapi Sera juga harus memikirkan kehidupan ke depannya. Bahwa pernikahan juga adal
4 bulan berlalu. "Hari ini pernikahan kamu dan Dika. Kamu harus bahagia setelah ini, Sera. Mama akan selalu dukung apapun yang menjadi pilihan Sera selagi itu membuat Sera bahagia," tulus Rani. “Semua baik-baik saja, Nak, kamu harus tenang,” ucap Rani memberikan kata-kata yang membuat hati Sera menjadi terisi. Sera membalas perkataan Rani dengan senyum lembut. Perempuan itu cantik sekali mengenakan gaun pernikahan dibalut hijab auranya semakin memesona. Pipi Sera bersemu merah. Dia malu di depan ibu kandungnya sendiri. "Kamu cantik dengan gaun ini, semoga pernikahanmu diberkahi Allah," doa Rani. "Amiin," sahut Sera. "Sera minta doa Mama," ucap Sera mencium punggung tangan Rani."Sejujurnya Sera sedikit takut, Ma," jujur Sera, karena perasaan trauma itu masih ada. "Kenapa? Dika anak yang baik, Nak," tutur Rani. "Itu hanya perasaan kamu saja." Sambung Rani. "Jangan berpikir aneh-aneh," kata Rani."Iya, Ma," ujar Sera. Mungkin yang dikatakan Mamanya ada benarnya kalau itu hanya pera
Sera terbangun seorang diri. Tidak ada sang suami di sampingnya. Atau bahkan sedari semalam Dika memang tak tidur satu ranjang dengannya. Sekarang sudah subuh, Sera bangkit dari kasur seraya menyibak dan merapikan selimut tebal itu. Sebelum mengambil wudhu, Sera mencari keberadaan Dika terlebih dahulu. Sera bermaksud meminta Dika juga untuk ikut sholat. Usai selesai merapikan selimut dan kasurnya itu, Sera segera bergegas meninggalkan kamar. Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dika di apartemen. Dika juga tidak meninggalkan surat atau pesan padanya. Dia sungguh tidak tahu ke mana Dika pergi. Kenapa Sera sama sekali tidak berguna sebagai istri? Untuk mengetahui keberadaan suaminya saja rasanya sulit. "Mas Dika pergi lagi tanpa sepengetahuanku...," ucap Sera. "Dia tega sekali bersikap kepadaku seperti ini," lirih Sera. "Di mana Mas Dika?" ucap Sera bingung. Menghela napas, Sera akan urus nanti setelah ia selesai sholat subuh. *** "Sayang, aku harus pulang, kita ketemu na
Seorang wanita membuka matanya perlahan-lahan lantaran mendengar bunyi alarm. Sudah pukul 6 pagi. Dia tidak menjalankan ibadah subuh karena tengah datang bulan, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sera meraih hijab yang tidak jauh dari posisinya. Ia segera memakai hijab tersebut. Sejak memutuskan menikah lagi dan di hari di mana ijab kabul itu berlangsung, Sera begitu menghargai pernikahannya, tidak menjadikan pernikahannya hanya sekedar pelampiasan karena kesepian atas gagalnya pernikahan yang dahulu. Keluarga Dika, khusus orang tuanya sudah sangat baik terhadapnya. Begitu mencintai kehadirannya. Lantas, Sera tetap harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, mengabaikan sikap kasar Dika yang setiap hari ia dapatkan. Berjalan keluar dari kamar, Sera sudah tak heran saat menemukan Dika tertidur di sofa tanpa selimut. Hanya dengan pakaian tidur, tangannya dalam keadaan posisi menyilang di atas dada. Langkah kaki Sera mendekat kepada pria itu. “Mas…” panggil Sera lembut.