Share

Black Finger (Indonesia)
Black Finger (Indonesia)
Author: Romaneskha

Chapter 1: Misteri Kematian Max McAvoy

Mayat laki-laki belasan tahun ditemukan di gudang belakang ruang seni lukis. Tubuhnya hitam mengering. Bekas cekikan melingkar di leher disertai beberapa titik luka. Hanya saja, ukuran jari yang mencekik korban sepertinya tidak biasa. Pembuluh darah korban juga kosong dari aliran darah. Namanya Max, anak kelas 2 Slavidion. Dia dikabarkan hilang sejak tiga hari lalu dan ditemukan sudah tak bernyawa lagi.

“Jika kamu tanya apa dia punya musuh atau tidak, aku tidak bisa menyebutkan daftar panjang yang menaruh dendam pada Max McAvoy,” Isabel menjumput satu buku yang tersusun di antara ribuan buku di perpustakaan Slavidion. Sandra, temannya, masih syok di ruang perawatan. Gadis berambut pirang itu yang pertama kali membuka pintu gudang dan menemukan Max di antara patahan kursi dan tumpukan kardus. Sandra berteriak dan tentu saja Isabel yang kebetulan berada di ruang seni lukis segera menghampiri Sandra.

Mayat itu seperti terbakar, tapi kulitnya tak rusak, hanya kering dan mengeriput. Semua orang yang melihat, menutup mulut dan menahan mual di perut mereka. Untuk waktu yang cukup lama, sosok itu hanya diperhatikan, tanpa seorang pun berani menyentuhnya. Tapi, bagi Isabel, mayat Max seperti sebuah sketsa dalam buku kuno. Gambaran yang pernah ia lihat di suatu tempat di Slavidion. Mungkin di perpustakaan atau mungkin juga di tempat lain. Terlalu banyak pertanyaan menggema tentang siapa yang membunuhnya kemudian. Apa kesalahan Max hingga dia harus mati mengenaskan dan yang paling menyita perhatian adalah bagaimana pembunuhan itu dilakukan?

“Kamu sudah menemukan bukunya?” Rin menetapkan pandangannya ke Isabel.

Isabel sempat tersentak dengan suara Rin saat itu dan mata sahabatnya seperti menyuarakan sesuatu, “Untuk apa kamu ikut campur dengan masalah ini?” Ya. Rin memang tidak punya niat membantu, dia hanya membolak-balik lembaran buku tanpa tujuan.

“Aku hanya penasaran,” jawab Isabel.

“Penasaran adalah ciri khusus makhluk cerdas sepertimu. Aku tahu itu. Tapi, ayolah! Menurutmu apa yang perlu dikhawatirkan? Kita tak pernah punya masalah dengan orang lain, di sini ada banyak sekali orang. Dan polisi, selama beberapa minggu akan berjaga di sini, bukan?”

Isabel coba mencerna kata-kata Rin. Dari sudut mana yang membenarkan siswa belasan tahun ikut berpikir tentang kasus pembunuhan. “Entahlah, perasaanku ini mungkin tidak biasa. Tapi, aku merasa khawatir,” jelas  Isabel.

Mata Isabel menembus luas ke balik jendela kaca berbingkai kayu jati tua. Istana Houston Hill yang menjadi nyawa Slavidion berdiri megah di antara bangunan-bangunan lain yang berjejer membentuk lingkaran spiral dengan kolam air mancur yang terletak di antara Istana Houston dan perpustakaan Slavidion menjadi titik pusatnya. Garis-garis jingga muncul di sebelah Barat, di atas gerbang Slavidion. Dan suara gagak yang bersahutan, tak pernah ada yang mengerti di mana sosok mereka. Hanya sesekali terlihat makhluk bersayap hitam itu bertengger di beranda asrama, dan itu pun tanpa kawanan mereka. Perlahan kabut malam akan datang seiring suara gagak yang tenggelam beralih ke pekikan serigala dan burung hantu.

<> 

Hampir malam ketika Rin dan Isabel kembali menapaki kayu tua asrama, naik ke lantai tiga kamar mereka. Baru beberapa anak tangga terinjak, seseorang mendorong pintu asrama. Itu Sandra Gilbert. Dia terengah, matanya memancarkan ketakutan tak terkira.

“Aku senang bertemu kalian,” katanya pada Rin dan Isabel.

“Kami kira kamu tetap di klinik sampai besok?” bahas Isabel.

“Aku tidak akan kabur kalau saja Lisa tak meninggalkanku sendiri.”

Sandra menyusup di antara Rin dan Isabel. Kejadian pagi tadi membuatnya selalu waspada. Perempuan itu menjadi paranoid, selalu saja khawatir ada seseorang di belakang yang mengikutinya. Pelan-pelan akan membunuhnya dan akhirnya akan membunuh mereka semua.

“Tenangkan dirimu! Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa! Kami janji akan selalu bersamamu,” Rin menimpali. Dia tidak tahan melihat Sandra yang terus menggigil sambil menggigit ibu jarinya. Dalam hitungan semenit, dua tiga kali Sandra berpaling ke belakang. Saat di kamar pun, gadis itu ragu untuk menelentangkan tubuhnya. Dia takut dengan sudut-sudut hitam yang samasekali tak terkena cahaya. Sandra bahkan takut untuk membuka lemari pakaiannya.

Rin meletakkan tasnya di atas ranjang setelah memapah Sandra ke tempat tidur, sementara Isabel masih berdiri di mulut pintu kamar dua temannya itu. “Apa aku juga perlu tidur di sini?” tawarnya mengingat Sandra yang gelisah hanya karena Rin meninggalkannya ke kamar mandi.

“Hanya jika kamu merasa takut,” sahut Rin keluar dari kamar mandi.

Isabel tersenyum, ia mengerti maksud Rin yang mengira dirinya ketakutan tidur sendirian di kamar setelah ada kasus pembunuhan Max McAvoy. Hanya saja, Rin sepertinya lupa Isabel telah tidur sendirian di kamar terujung di lantai tiga hampir setahun lamanya dan kesendirian kadang justru membuatnya merasa nyaman.

<> 

Keesokan paginya,

Baru pertama kali Isabel melihatnya. Mawar-mawar itu mekar, mawar merah yang mengelilingi kolam Houston. Dia kagum dengan warnanya yang merah merekah. Itu bukan seperti mawar merah kebanyakan. Entah kenapa pesonanya menelan keindahan sekitarnya. Isabel tertegun dengan itu, dia bahkan lupa kelas etika sebentar lagi akan dimulai. Dan setelah bel masuk menyadarkannya, untuk sekali saja, Isabel ingin memetik mawar itu.

Isabel membungkuk, menjulurkan tangannya. Tapi, tiba-tiba,  “Hati-hati! Jarimu bisa terluka,” seseorang mengagetkan Isabel.

Tubuh Isabel menegak segera, dia berpaling ke belakang. Rambut brunette-nya terayun indah saat itu. Untuk selanjutnya, Isabel merasa bersalah dan ia gelisah. Diran, “Bagaimana bisa aku melupakannya?”batinnya. Orang itu yang setiap hari merawat batangan hitam yang semua orang pikir sudah tak ada harapan. Tidak ada yang menyangka bahwa batang yang miskin akan daun dan kaya akan duri itu adalah batangan mawar. Banyak yang menyebutnya tanaman paku yang mati dan mengering.

“Maaf,” ucap Isabel.

“Jujur saja aku tidak suka ada yang menyentuh bunga-bunga ini,”katanya sambil berpangku tangan menghadapi Isabel.

Isabel menunduk. Ia pikir ia pantas dimarahi kali ini, jelas terlihat Diran sangat menyayangi bunga-bunga itu.

“Bayangkan saja jika satu orang sepertimu menginginkan satu mawar, dan ada lebih dari tiga ratus perempuan di Slavidion sepertimu, apa yang harus kulakukan?” lanjut Diran berjalan melewati Isabel. Diran merendahkan tubuhnya, meraih batang mawar dekat akar dan memotong batang di bagian itu dengan gunting besar di tangannya.  Memotong durinya, sebelum akhirnya menyerahkan setangkai mawar itu pada Isabel.  

“Untukku?” heran Isabel.

Laki-laki bermata biru mengembuskan napas keras. Masih dengan ekspresinya yang datar dan terkesan tak ikhlas.

“Terima kasih,” ucap Isabel terbata. Sejauh ingatannya, Diran sangat misterius dan tak pernah bicara pada siapa pun. Peduli kamu menyapanya atau mengajukan sebuah pertanyaan padanya, dia tetap diam. Lebih dari itu, anak-anak Slavidion sebenarnya takut pada makhluk berkulit putih susu yang hanya muncul saat subuh dan petang hari. Mata biru Diran yang menyala dan bibirnya yang tipis merekah seakan habis minum darah. Tatapan mata itu membuatnya disangka seorang psikopat atau seorang yang punya hobi menggali kuburan di tengah malam dan mengangkut mayatnya untuk dijadikan bagian ritual. Orang itu selalu saja menyembunyikan matanya di balik helayan rambut cokelat bercahaya yang tertutup oleh kupluk jaketnya. Mimpi buruk ketika sorot mata itu hinggap padamu. Tapi, yang dirasa Isabel saat itu tidaklah begitu. Suara Diran terkesan lembut, dan sorot matanya masih menyorotkan pengertian.

<> 

Di kelas,

“Percaya tidak ini dari Diran?” bisik Isabel pada Rin dan Sandra. Isabel memperlihatkan setangkai mawar di tangannya.

“Kamu curi ini dari kebun dia?” Rin terbelalak.

“Sungguh. Dia yang memberikan ini padaku.”

Rin mengerutkan keningnya, dia memperhatikan lagi mawar yang dibawa Isabel, yang kini tergeletak pasrah di atas meja,”Kamu mau aku percaya?”

“Soal ini dari kebun Diran? Itu benar,”sahut Isabel.

“Bukan. Soal Diran yang memberikan ini padamu. Kudengar Queen of Rose hanya berbunga setahun sekali di musim semi. Tapi itu beratus-ratus tahun lalu saat pertama kali tanaman ini ditanam. Beberapa tahun belakang Queen of Rose tak pernah berbunga, kita beruntung bisa melihatnya tahun ini. Dan apa kamu percaya, bunga yang sekarang kamu pegang berasal dari akar yang sama dengan beratus-ratus tahun yang lalu?”

"Maksudmu, tanaman ini bahkan lebih tua dari nenek buyutku?”

“Benar. Makanya Queen of Rose sangat berharga.”

“Kamu pasti bercanda.”

“Ya. Anggap saja ini mitos. Tapi, jika kamu bisa mendapatkan bunga ini dari Diran, kamu tentu bisa tanya lebih banyak tentang mitos bunga ini sama dia. Dia kayak  orang gila ngerawat bunga yang nggak jelas nasibnya.”

Isabel dan Rin tertawa. Sementara Sandra, dia senyum seadanya. Yang satu ini begitu tak suka membicarakan soal mitos, cerita hantu membuat tangannya bergetar dan dia akan mengatakan “Stop”, saat cerita baru dimulai. “Jika bukan karena orang tuaku, aku tak akan masuk Slavidion,”katanya suatu waktu. Slavidion yang punya sejarah panjang dan sejarah punya banyak misteri yang sulit untuk dijelaskan. Bagi Rin dan Isabel, itu menarik, sekadar untuk dijadikan hiburan. Tapi, bagi Sandra, anak ini selalu saja berkata, “Bagaimana kalau itu benar?” dan atas pertanyaannya itu, tidak ada yang mampu menjawabnya.

SEMUA KUMPUL DI HOUSTON HILL SEKARANG, Nara hampir terpeleset saat berlari ke dalam kelas dan secara tiba-tiba harus menghentikan gerak kakinya di atas ubin yang licin. Isabel, Rin dan Sandra melupakan sejenak soal Diran dan mawarnya. “Ada apa?” pertanyaan pertama hinggap di benak Isabel dan juga siswa-siswi Slavidion tentang Houston Hill. Istana yang jarang terbuka itu hanya digunakan saat ingin mengumpulkan seluruh siswa Slavidion, seperti upacara di awal tahun ajaran. “Kecuali ada hal yang benar-benar penting, ini tidak akan terjadi,”ujar Sandra dengan suaranya tak bertenaga.

<> 

Itu Mrs.Marry, anak-anak lebih suka menyebutnya Marry Wolf. Wanita paruh baya yang seharusnya mengajar etika di kelas Isabel saat itu. Serigala betina dengan bibir besar yang diwarnai lipstick merah menyala, seakan siap menelan sesuatu. Marry Wolf tak pernah lepas dari tongkat kayu hitam di tangannya. Yang terayun setiap saat ke telapak tangannya. Wanita itu lebih mengerikan dibanding cerita hantu yang tersebar berabad-abad di Slavidion. Ia berdiri di belakang Lady Vanvier, kepala sekolah Slavidion. Vanvier siap dengan pengeras suara di depan mulutnya. Semua tahu Vanvier tidak akan bicara sebelum Marry mengatakan “Silakan”. Maka sebelum itu, Marry Wolf akan berkeliling ke sudut-sudut Istana Houston untuk memastikan tidak ada yang bersuara, bergerak, bahkan untuk menggerakkan bola mata.

“Akan diberlakukan jam malam,” Lady Vanvier mengucapkan sesuatu yang mengubah keheningan menjadi gumaman. Kata displin terlupakan begitu saja dan kehadiran Marry Wolf seakan tak berarti.

Ditemukan dua lagi yang terbunuh di halaman belakang gedung di lapis ketiga Slavidion. Akses tempat yang cukup jauh dari pusat kegiatan Slavidion mengingat komplek Slavidion yang amat luas. Lapis ketiga berarti halaman rumput yang berbatasan langsung dengan pagar besi hitam yang memisahkan Slavidion dengan dunia luar. Gedung-gedung yang ada di sana adalah gedung tua kosong tak terpakai. Kabar itu memang tidak didengar Isabel dari Lady Vanvier, tapi dari orang yang berbaris di sampingnya. Hanya saja mereka tidak mengatakan bagaimana kondisi mayat itu. Atau mungkin mereka yang tidak tahu. Lady Vanvier dan semua petugas sekolah pasti tak ingin berita ini tersebar keluar, juga agar anak-anak tidak panik. Tapi, kecepatan informasi untuk berpindah dari satu orang ke orang lain, melebihi kemampuan seorang Vanvier menahannya. Di luar gerbang Slavidion, media telah menanti Lady Vanvier untuk bicara.

“Sandra!” suara Rin menggema di Houston Hill. Isabel berbalik terkejut. Sandra terkulai tak berdaya di pangkuan Rin. Keringat dingin membasahi tubuh muda itu. Gadis itu pingsan dan anak-anak segera menggotongnya kembali ke klinik. “Dia sakit semenjak kematian Max McAvoy. Sepanjang malam tadi dia juga mengigau,” jelas Rin dengan kerutan di dahinya. Isabel bisa mengerti apa yang dikatakan Rin. Gadis berambut pendek yang kini mulai menggigit ujung ibu jarinya, bukan karena takut, tapi sedang memikirkan sesuatu. “Bahwa ini bukan kejadian biasa,”lanjut Rin. Rin dan Isabel saling bertatapan. “Apa yang akan terjadi kemudian?” Rin mulai mengakui kekhawatiran Isabel sebelumnya.

<> 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
openingnya keren ya!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status