Share

Chapter 2: Mata yang Bercahaya

Ada pintu besar selebar tiga meter menghadang mereka. Pertemuan ini telah berakhir dan saatnya Istana Houston ditutup kembali. Isabel mempercepat langkahnya saat ia sadar sudah semakin sedikit orang di dalam Houston Hill. Dia tidak ingin terkurung lagi seperti sebelumnya, di tempat dimana hanya kesunyian yang menguasai. Seakan hidup di tempat yang hampa tanpa tanda kehidupan selain detak jantungmu sendiri yang terdengar, padahal kamu sadar di balik pintu utama Houston Hill masih ada puluhan bangunan lain yang diisi oleh napas manusia. Isabel menyebutnya dimensi berbeda dimana batas hidup dan ketiadaan ada di sana. Isabel tak ingin mengalaminya lagi, ketakutan yang menggerogoti mimpinya tetang dunia yang indah dan harapan tinggal satu-satunya, yakni ingin keluar dari sana. Hingga seberkas kilat seperti melintas dalam ingatannya, tentang apa yang dilakukannya saat itu. Tidak hanya duduk di sudut samping pintu utama, berteriak, kemudian mulai meneteskan air mata. Dia juga bermimpi tentang ia yang memijakkan kaki ke tangga spiral di sebelah kanan pintu utama. Tangga menuju lantai dua.

“Kamu juga ingin ke klinik?” Rin tiba-tiba bersuara dan sempat membuat Isabel tersentak.

Isabel tidak langsung menjawabnya. Dia penuhi matanya dengan raut wajah Rin yang menanti sesuatu, jawaban pasti dari Isabel. “Nanti, aku akan ke sana,” ucap Isabel terbata.  Dia masih terpikir kejadian hampir setahun lalu, di hari pertamanya di Slavidion dan untuk pertama kali pula masuk ke Istana Houston. Marry yang menemukan kesalahannya dan menghukumnya, tapi Isabel tak pernah menyangka bahwa Mrs. Marry akan mengurungnya di istana itu.

Nanar tatapan Isabel pada padang rumput di depannya, yang hijau di hari cerah itu. Pandangan yang mengikuti langkah Rin hingga sosok Rin menghilang di balik salah satu gedung Slavidion. Isabel masih yakin tentang niatnya mencari lembaran kertas yang terselip dalam memorinya. Tentang mayat yang misterius itu.

Baru saja berbalik, Isabel dikejutkan lagi. Kali ini oleh sorot mata biru Diran. Laki-laki yang bersandar di salah satu tiang penyangga di teras istana. Agak aneh karena matahari terlalu tinggi untuk bisa melihat Diran di waktu itu. Tapi, tidaklah aneh mengingat Diran yang memegang kunci istana. Diran sendiri yang mengatakan demikian. Setahun lalu, jika orang itu tak memeriksa ke dalam istana, Isabel akan terkurung lebih lama. Isabel bilang pada Diran, “Mrs. Marry menghukumku,”tapi laki-laki itu justru bilang, “tidak ada hukuman seperti itu, karena hanya aku dan Lady Vanvier yang punya kunci istana,”dan sepertinya Diran yakin bahwa pintu itu samasekali tak terkunci.

“Terima kasih atas bunganya,”ucap Isabel seadanya. Sekadar formalitas untuk saling menyapa.

<> 

Setengah berlari Isabel menyusuri koridor Istana, hingga jalan-jalan spiral yang bisa membawanya mengelilingi Slavidion. Isabel mencari kerumunan yang bisa membawanya pada dua mayat di Slavidion. Tapi, tampaknya itu sudah berakhir. Garis polisi hanya mengelilingi tempat kejadian kosong. Mayat itu telah dibawa.

“Maaf, apa Anda tahu siswa Slavidion yang meninggal itu? Siapa mereka?”tanya Isabel pada petugas polisi yang asyik menuliskan sesuatu di buku catatan kecilnya. Kata-kata Isabel cepat, dia hanya memanfaatkan waktu sebelum Marry Wolf ke kelas dan menyadari ketidakhadirannya.

Petugas itu memperhatikan Isabel dari ujung kepala hingga ujung kaki dan kembali ke kepala. “Sedang apa kamu di sini?”tanyanya.

“Anda tahu bagaimana kondisi mayatnya?”sasar Isabel.

“Bukan urusanmu. Kembalilah ke kelas, atau kami akan melaporkanmu ke gurumu!” ancamnya. Polisi itu meninggalkan Isabel begitu saja. Bias-bias kilatan kamera yang kemudian menghujaninya. Polisi lain yang memoto garis putih membentuk posisi korban saat ditemukan, mereka mati berdampingan. Isabel bertahan di posisinya sambil memandangi sepatunya yang menginjak rumput hijau halaman paling belakang di Slavidion. Tentang untuk apa mereka ke tempat itu? Gedung-gedung yang lapuk dimakan waktu, dirambati tanaman-tanaman hijau yang mengakar angker.

Dan mulai sekarang polisi-polisi itu akan menanyai seluruh siswa mengenai alibi mereka, dimana mereka tadi malam dan malam sebelum mayat Max MacAvoy ditemukan. Sekolah menjadi sangat sibuk dan anak-anak mulai menanyakan nasib mereka jika tetap berada di Slavidion. Max mungkin saja terserang virus yang belum teridentifikasi, atau binatang malam yang langka yang belum pernah masuk national geografi telah mengisap darahnya, atau dia memang dibunuh dan pembunuhnya masih berkeliaran di Slavidion. Hanya saja, Lady Vanvier tidak akan semudah itu mengambil keputusan, memulangkan seluruh siswa bahkan hanya untuk sementara. Ini masalah reputasi. Terlebih karena ujian akhir tahun segera akan dimulai.

<> 

Tepat jam sembilan tiga puluh saat Isabel kembali ke kelasnya. Marry Wolf sudah berada di depan kelas, matanya meneliti bangku-bangku kosong di baris nomor dua dari belakang di pojok kanannya. Bibir Isabel kelu mengingat ia harus berbohong untuk alasannya tidak berada di kelas waktu itu. Isabel berada di mulut pintu saat Mrs. Marry juga mengamatinya. Hentakan stiletto merah menggema kemudian. Mrs. Marry yang berjalan menghampiri Isabel. Hanya saja, seseorang menabrak Isabel dari belakang sebelum Isabel sempat mengatakan sesuatu.

“Maaf! Kami baru saja dari klinik. Sandra butuh teman!”kata Rin. Rin yakin Marry Wolf tidak akan berkomentar jika itu menyangkut Sandra. Korban keadaan yang mengerikan di Slavidion. Sekali wanita itu berkomentar, maka seisi kelas juga akan mengomentari satu hal, “Apa yang sedang terjadi?” bukankah semua penghuni Slavidion berhak tahu tentang itu? Tapi kepala sekolah dan pengikutnya belum menjelaskan apa pun, juga tentang hasil penyelidikan polisi. Bukan satu dua orang yang merasa hidup mereka dipertaruhkan. Lagipula tidak ada jaminan tinggal di asrama lengkap dengan peraturan jam malam baik untuk mereka. Karena alasan itulah, tentu saja Mrs. Marry tidak akan memberikan penjelasan apa pun.  Rin menarik tangan Isabel, membawanya kembali ke tempat duduk. Mrs. Marry membiarkan mereka lewat begitu saja, sebelum akhirnya dia membetulkan letak kacamatanya dan kembali membahas hal yang terdengar amat klise dari sifat pemarahnya, tentang etika.

<> 

Queen of Rose, dibalut cairan dalam vas kristal bening. Terpajang anggun di meja rias Isabel. Semakin merekah malam itu dan aroma harumnya menyebar ke seluruh ruangan. Kristal yang menyimpan bayangan Isabel, Rin dan Sandra dalam jarak berdekatan.  Sandra terbaring di ranjang Isabel, Rin merapikan selimut yang membalut gadis berambut pirang kemerahan itu. Ada pintu kaca besar menuju balkon di kamar itu, lampu kristal di atas plafon bergoyang saat Isabel menggeser pintu kaca dan membiarkan angin dingin menembus kamarnya. Dari atas sana, dia bisa melihat jalan-jalan hitam beraspal, berlapis rumput hijau dan gedung putih, semuanya membentuk jalur spiral. Dari kolam air mancur Houston Hill terdapat jalan beraspal membelah lingkaran spiral, ke utara menuju pintu gerbang, dan ke selatan menuju gedung tempatnya berdiri sekarang. Di sebelah timur titik pusat Slavidion, terdapat Istana Houston Hill dan di sebelah barat, perpustakaan tua menjadi bangunan termegah ke dua. Kabut tipis menyelimuti Slavidion saat itu.

“Semakin sepi saja,”Rin menghampiri Isabel. “Jika tidak salah, dua mayat siswa Slavidion ditemukan jauh di belakang sana,”mata Rin mengarah ke area yang tadi siang dikunjungi Isabel.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Polisi mendatangi Lisa tadi siang.”

“Untuk apa?”

“Mereka bertanya apakah kejadian ini pernah terjadi sebelumnya, juga tentang riwayat penyakit ketiga anak itu.”

“Maksudmu Max dan dua anak itu… siapa?”

“Jadi kamu belum tahu? Apa itu juga yang membuatmu terlambat masuk kelas tadi pagi?”

Isabel diam.

“Salah satu dari kembar Albert dan Diana,” lanjut Rin.

“Diana?” Isabel hampir tak percaya. Meski tak terlalu akrab, Isabel tahu Diana. Dia tak punya masalah dengan siapa pun. Mereka pernah bicara beberapa kali, bukan masalah serius, tapi sikap baik Diana membuat Isabel menggelengkan kepala,”tidak mungkin,” katanya lagi. “Kenapa juga dia harus pergi sejauh itu?” kesal Isabel.

Rin berpaling ke Isabel, “menurutmu kenapa?” tanyanya. “Laki-laki dan perempuan bertemu di tempat gelap seperti itu?”

Isabel sedikit tersenyum, tentang yang ada di pikiran Rin yang coba disangkalnya, “tidak mungkin,” katanya.

“Apanya yang tidak mungkin?”

“Risikonya terlalu besar jika mereka ketahuan.”

“Makanya mereka memilih tempat itu. Tidak ada yang lewat sana dan tidak ada sorot lampu.”

Isabel membalik badannya, memunggungi pagar balkon. Sandra yang masih terpejam di tempat tidur yang diperhatikannya sambil berpikir tentang kemungkinan ucapan Rin. Slavidion tidak akan mengizinkan siswa-siswinya berpacaran. Itu sudah jadi peraturan. Tapi, soal cinta, tidak sedikit yang melanggar peraturan dan tidak sedikit yang akhirnya harus dikeluarkan karena masalah itu. Isabel tentu sadar, yang dikeluarkan akan baik-baik saja. Tapi kali ini, hukuman yang dibayarkan terlalu mahal untuk Diana.

“Jadi… kenapa mereka harus mati?” lirih Isabel.

Rin mengangkat dua bahunya, “entahlah”, katanya.

<> 

Hari berikutnya,

Sekali lagi, Isabel berhenti di dekat taman bunga Houston. Warna merah yang ditaburi kristal embun yang membuat Isabel tak pernah bosan memandanginya.

"Aku merasa bersalah meminta yang satu itu,” katanya pada Diran perihal setangkai mawar di kamarnya. Keegoisan yang menyisakan satu ruang kosong di antara batang-batang mawar lain.

“Pada akhirnya akan sama saja. Pada waktunya kelopak mawar itu akan berguguran dan fase hidup mereka akan berakhir. Peduli kamu mempertahankan dia bersama akarnya, atau kamu menaruhnya dalam vas bunga. Sangat singkat. Makanya, selagi bisa dinikmati, nikmati saja. Mawar-mawar ini tumbuh dengan sangat cantik, dia terus ingin terlihat indah. Dengan menikmatinya seperti ini, bukankah cita-cita mawar itu sudah tercapai.”

“Kamu bicara seakan-akan bunga-bunga itu pernah bicara padamu,”  Isabel tersenyum lebar. Dia tak pernah mengira bicara dengan Diran bisa sangat menyenangkan. Pria berkulit putih susu dengan mata birunya, saat itu berdiri di samping Isabel sambil berpangku tangan. Tatapannya lurus pada barisan bunga mawar di depannya. Pria cantik, bibirnya tipis memerah dan suaranya yang sangat lembut. Dua hal yang membuatnya tidak dikira sebagai perempuan adalah jakunnya yang besar bergerak turun naik dan dadanya yang rata. Mungkin saja dia penganut Transgender yang tetap mengakui identitasnya sebagai laki-laki, yang ingin juga karakter femininnya diakui. Pria seperti itu pantas dikagumi, tapi masih perlu pertimbangan untuk mencintainya.

“Sudah puas memandangiku?”

“Hah?” Isabel terperangah. Tak tahu sejak kapan Diran sadar Isabel terus memandanginya.

“Matamu itu…,” tunjuk Isabel ke wajah Diran.

“Apa?”

“Apa itu asli?”

“Memang kenapa?”

“Bercahaya, rasanya tak mungkin seperti itu.”

“Ini asli. Orang tuaku, kakekku sampai nenek moyangku punya mata seperti ini,”Diran membuka matanya lebar-lebar dan mengarahkan jari telunjuknya ke mata itu.

“Apa… kamu siluman? Keturunan anjing?”

“Apa? Anjing?”Diran mengerutkan keningnya.

“Bukan, ya? Aku tahu pasti bukan. Aku hanya bercanda.”

“Kenapa harus anjing, sifatnya penurut dan selalu disuruh-suruh. Aku benci pada anjing. Aku keturunan serigala,” tegas Diran.

Isabel tertawa hebat. Diran dengan ekspresi marahnya membuat Isabel tak mampu menahan tawa.

“Kenapa? Ada yang lucu?”

“Bagaimana mungkin kamu bisa mengaku keturunan serigala? Setiap hari kamu terlihat serius, dan sekarang kamu bilang kamu keturunan serigala. Aku benar-benar tidak menyangka.”

“Apa aku kelihatan berbohong?”Diran mengarahkan pandangannya ke mata Isabel. Isabel menghentikan tawanya. Diran yang ia lihat saat itu tetap seserius yang ia ingat tentang orang itu.

“Hah?” tanggap Isabel.”Jadi, kamu benar keturunan serigala?”  Isabel coba menahan tawanya kali ini dan mengakui secara bahasa bahwa laki-laki di depannya keturunan serigala. “Iya sich. Serigala memang seratus kali lebih berwibawa daripada anjing. Dia kuat, punya bulu yang indah, suara yang besar, buas dan terlihat gagah,”  lanjut Isabel.

Diran tersenyum. Tampaknya puas dengan pujian dari Isabel.

“Baiklah Tuan Serigala! Aku pergi!” Isabel mengatakannya, tapi dia belum beranjak dari tempatnya berdiri. Masih ingin melihat Diran saat itu, yang senyum sendiri dengan alasan tak terduga.

<> 

Tawa keras Rin terdengar dari balik piano di kelas musik. Dia berhasil lagi mengagetkan orang dengan cerita hantunya. Isabel menghampiri sahabatnya,

“Kamu, semakin akrab saja dengan serigala itu!”ucap Rin mengawali pertemuan mereka di pagi itu.

“Serigala?” Isabel menyimpan kata-kata itu dalam otaknya. Ia ingat bukan sekali Rin menggunakan istilah itu untuk menyebut Diran. Dan yang menggunakan kata “anjing”, hanyalah Isabel seorang. Tanpa permisi, Isabel menarik tangan Rin, membawanya agak ke pojokan. Gadis itu belum mengatakan apa-apa sampai mereka benar-benar menempelkan pantat mereka di kursi dan Isabel telah menyisipkan rambutnya di telinganya.

“Aku kira aku bermimpi,” antusias Isabel. “Tapi, kupikir tidak. Buku itu ada di Istana Houston Hill lantai 2.”

“Apa?” Rin hampir saja mengagetkan semua orang dalam kelas musik. Isabel berusaha menenangkannya, sementara ia sendiri terlihat waspada. “Kamu pernah naik ke sana?” tanya Rin berbisik.

Isabel diam. Dia tidak menyangkal sangkaan Rin.

“Dan kamu ingin ke sana lagi?”

“Aku mohon, bantu aku kali ini.”

“Kamu gila!” Rin berdiri, dia berjalan ke luar kelas.

“Tidak hanya aku yang gila. Semua orang dibuat gila karena kejadian ini. Sandra, kamu ingat tadi pagi dia berteriak ingin pulang? Ayolah! Isabel mengejar Rin.

“Tidak mau. Ini tidak ada hubungannya denganku dan tidak ada hubungannya juga denganmu.”

“Kenapa? Kamu takut dengan apa yang akan terjadi, soal cerita hantu dan mitos-mitos yang kamu umbar ke semua orang. Membuat mereka takut dan sebenarnya kamu juga takut?”

“Dengar! Anggap saja aku tak percaya dengan hal-hal semacam itu. Tapi, kamu perlu memahami mitos itu sebagai alasan mereka membunuh. Semacam, mereka perlu tumbal untuk sebuah ritual.”

“Aku tahu kamu pintar, aku bodoh untuk sejarah Slavidion. Lagi pula, apa kamu tak penasaran kenapa kita dilarang naik ke lantai dua istana. Mereka bilang bangunan di atas sangat rapuh dan berbahaya. Yang kulihat waktu itu, sangat berbeda. Dan kenapa Lady Vanvier memberlakukan jam malam, padahal baik malam kematian Max ataupun dua orang kemarin, banyak orang yang ada di halaman Slavidion. Polisi juga ada.  Kenapa mereka yang mati dan hanya mereka? Satu lagi, jika itu benar pembunuhan, apa kamu tak takut pembunuhnya ada di anatara kita?”

“Lalu? Bagaimana caranya kita masuk ke istana?”

“Diran. Dia yang memegang kuncinya.”

<> 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Isabel, kadang terlalu ingin tahu juga bisa membahayakan nyawamu..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status