Sebentar lagi matahari tenggelam. Garis jingga harusnya semakin tebal saat itu, tapi Rin dan Isabel dinaungi tanaman-tanaman yang tidak mereka kenal. Semacam tanaman rambat, kemudian batang berduri dan daun-daun agak kemerahan. Bergumpal membentuk sebuah lorong. Tempat itu agaknya gelap sepanjang hari. Ada yang tidak mengizinkan cahaya matahari menembus benteng tanaman yang mungkin saja akan melukai mereka.
“Kamu yakin Diran lewat sini?”Rin menyembunyikan tangannya di balik jaket. Dia takut tangannya yang tak sengaja berayun akan tergores oleh ranting-ranting berduri. “Aku tak pernah tahu ada tempat seperti ini di Slavidion, dan entah berapa jauh lagi kita akan berjalan,” lanjutnya.
Isabel tidak menanggapi. Semuanya juga masih jadi misteri buatnya. Dia hanya sering melihat Diran datang dan pergi lewat jalan di belakang asrama perempuan. “Kita tidak akan tersesat, selama masih di Slavidion,”katanya.“
Kamu yakin? Apa tidak lebih baik kembali? Ini hampir malam.”
“Justru karena hampir malam kita di sini!”
Rin mengembuskan napas payah. Menyerah untuk membujuk sahabatnya.
Sebuah bangunan kayu menghadang mereka di ujung jalan. Bangunan dengan halaman yang cukup bersih dinaungi beberapa pohon menjulang. Dedaunan kering menghujaninya sepanjang waktu dan satu cahaya kuning menyala menembus celah-celah sempit bangunan itu.
"Percayalah padaku, kamu tak seharusnya mengetuk pintu itu,”Rin di jarak sekitar enam meter dari bangunan kayu. Sementara Isabel, dia terus melangkah maju. Tempat itu lebih mirip tempat persembunyian penjahat, bangunan tua yang entah siapa pemiliknya, yang mereka tinggal begitu saja. Atau pelan-pelan terdengar gemeretak suara lantai dari dalam setelah Isabel mengentuk pintu dua kali, wanita keriput yang kemudian menyambut mereka dengan lampu minyak seumuran dengan pemiliknya. Yang tiba-tiba saja akan merubah Isabel dan Rin menjadi katak karena mereka terlalu banyak bicara. Yang sebenarnya adalah, ketidakyakinan Rin tentang pria putih dan selalu terlihat bersih tinggal di tempat yang lebih pantas disebut gubuk tua dengan patahan-patahan kayu di terasnya, menciptakan lubang yang menganga. Untuk itu, Rin dan Isabel harus berhati-hati sekali lagi.
Dua ketukan memecah keheningan. Isabel tak ingin menambahnya lagi meski membuatnya menunggu agar pintu itu terbuka. Tangan Isabel saling menggenggam gelisah, Rin ada di belakangnya seraya mendekap tubuhnya sendiri. Hawa dingin yang memang sangat terasa. Isabel mulai ragu dengan niatnya barusan. Siapa tahu yang tinggal di dalam sana memang bukan orang yang ia cari.
Dan baru saja ingin pergi, pintu itu melebar tiga puluh derajat. Kepala Diran yang tampak dari sana. Mulut Isabel tertahan, hampir tak kuat menahan jantungnya yang berdetag cepat dan mempengaruhi juga pernapasannya. Isabel perlu menenangkan diri untuk mulai mengatakan maksudnya datang ke sana.
“Ada apa?” tanya Diran kemudian.
Mulut Isabel masih tak bergerak. Dia menggenggam rok Rin, berharap sahabatnya membantu menjelaskan sesuatu.
Diran memiringkan sedikit kepalanya, melihat seseorang di belakang Isabel yang memalingkan muka saat itu. Gadis yang ia kira tak terbiasa dengan laki-laki yang hanya mengenakan kaos oblong hitam dan celana jeans. Diran sempat memperhatikan tubuhnya saat itu, karena terlalu jelas Rin tak ingin memandanginya.
“O ya, perkenalkan, ini Rin!” Isabel akhirnya bersuara.
Rin hanya memalingkan wajahnya sebentar, sedikit melebarkan senyumnya dan memalingkan wajahnya lagi. Dia juga tidak mengulurkan tangannya. Sementara Diran, laki-laki bermata biru tetap mengarahkan pandanganya pada Rin tanpa ekspresi.
“Gadis-gadis datang ke tempatku… ada apa? Dan bukankah jam malam sudah diberlakukan. Akan sangat berbahaya kalian ada di luar,” jelas Diran sambil melebarkan pintu rumahnya. “Masuklah! Cari tempat dimana saja untuk kalian duduk.”
Isabel dan Rin tertegun saat masuk ke rumah itu. “Tidak ada tempat untuk duduk,” bisik Rin pada Isabel.
Diamlah!” spontan Isabel menyenggol bahu Rin.
Lampu minyak biasa, perapian dengan cerek berisi air mendidih di atasnya, radio tua, TV hitam putih dan buku abu-abu penuh debu memenuhi lemari yang sudah tak mulus karena rayap. Kaki-kaki penyangga berdecit saat Rin dan Isabel sama-sama menempelkan pantat mereka. Rin sempat berdiri lagi karena khawatir satu-satunya tempat yang bersih untuk diduduki, tempat tidur Diran, akan ambruk. Mereka menunggu Diran kembali. Diran meraih jaketnya yang tergantung di dinding, mengenakannya, dan kemudian entah apa yang ia tuangkan ke dalam gelas.
“Tidak perlu repot-repot,” ujar Isabel menyambut gelas yang disodorkan oleh Diran. Gelas dari tanah liat yang berisi air dan beberap lembar daun di dalamnya. Teraba hangat di telapak tangan Isabel. Hanya saja, dia tidak biasa minum minuman seperti itu. Walau akhirnya Isabel meminumnya juga. Rasa yang manis dengan aroma yang nyaman ia kira, tidak terlalu buruk untuk menghabiskannya. Sementara Rin, dia perlu menelan ludahnya beberapa kali sambil menatap ngeri ke dalam gelas. “Apa aku akan mati setelah ini?” lirihnya yang membuat Isabel dan Diran tersenyum.
“Maafkan dia!” ucap Isabel pada Diran.
“Tidak apa-apa,” Diran berjalan ke pintu belakang rumahnya. Kursi kayu yang ia bawa dari halaman belakang rumah itu. Duduk di hadapan Isabel dan Rin, sambil menyandarkan tubuhnya dan berpangku tangan, menyilangkan kakinya. “Ada apa?” tanyanya sekali lagi, siap mendengarkan dua gadis itu.
“Kami ingin masuk ke istana,” pelan Isabel.
Diran mengerutkan keningnya. Tapi, dia tersenyum lagi. “Tidak jera terkurung waktu itu?”
Isabel diam.
“Untuk apa?” tanya Diran lagi.
“Buku Isabel tertinggal di sana,” sela Rin.
Diran diam sejenak, memutar bola matanya ke kaki Isabel yang merapat dan tangannya saling menyilang gelisah.
“Kalian yakin buku kalian itu tertinggal di dalam istana?”
“Yakin!”sahut Rin lagi.
“Kalau begitu, besok pagi-pagi temui aku di taman. Kalau memang ada akan kukembalikan pada kalian,” Diran berdiri.
“Tidak bisa,” spontan Isabel.
Diran mengerutkan keningnya, mata birunya menyiratkan kecurigaan.
"Maksudku, biar kami yang mencarinya, tidak perlu merepotkanmu. Dan kalau bisa malam ini juga, soalnya aku perlu buku itu malam ini untuk menyelesaikan tugas.”
“Tapi, ini jam malam. Sudah kubilang mungkin akan berbahaya.”
“Malam ini baru kemungkinan, jika bukunya tidak ada, besok kami pasti mati ditangan Mrs. Marry,” sela Rin lagi.
“Baiklah. Aku akan carikan malam ini untuk kalian.”
“Berikan saja kuncinya pada kami, kami akan mencarinya sendiri,” Isabel menadahkan tangannya.”
Diran melihat tangan itu, pelan-pelan memutar pandangannya ke mata Isabel. Diran mendekatkan wajahnya pada gadis di depannya, ”Mau pergi atau tidak?” bisik Diran agak berat.
Buru-buru Rin menarik mundur Isabel, “Kami akan pergi,”katanya. Perempuan itu berbisik lagi ke Isabel, “yang selanjutnya…kita pikirkan nanti,”katanya.
<>
Diran memutar gagang pintu, membiarkan Isabel masuk duluan. Sesaat Diran ingin masuk ke Istana, Rin menahannya.
“Ada apa?” pertanyaan yang Rin yakin akan diucapkan Diran sekali lagi.
Isabel menerobos masuk di antara sisi pintu yang hanya terbuka sedikit. Badannya cukup ramping untuk melakukan itu. Rin masih menahan Diran yang berulangkali berontak. Menggenggam dua lengan orang itu. Tepat ketika Isabel tertelan penuh oleh Istana Houston, Rin mundur selangkah hingga pintu istana merapat. “Biarkan dia yang mencarinya,”ucap Rin seraya mempererat genggamannya pada Diran.
Keberanian berbeda yang ditunjukkan Rin saat itu, saat dia menghujani Diran dengan pandangan matanya yang mengiba. Seakan meminta orang itu hanya menjatuhkan pandangannya di bawah cahaya mata Rin, hanya memikirkannya saja dan lupa yang terjadi di sekitar mereka. Memaksa Diran untuk berpikir tentang seseorang di hadapannya. Gadis berambut pendek dengan sudut mata yang tajam, bola mata hitam yang indah dan bibirnya yang tipis. Malam itu berbalut satin putih ringan dilapis sweater rajutan. Mini Dress yang memperlihatkan kakinya yang jenjang, hanya saja tingginya masih di bawah Diran. Diran perlu merendahkan punggungnya hanya untuk meraih bibir Rin dengan bibirnya.
Berharap Diran tenggelam dalam tarian kelopak mawar di bawah cahaya lembut sinar bulan, meski sebenarnya mereka berbeda dalam kesunyian Slavidion yang mungkin akan membekukan mereka. Angin lembut yang didatangkan Rin hanya dari pikirannya agar Diran merasa nyaman. Terus mematri Diran dengan kata-kata,”Bahwa satu-satunya yang kamu cintai adalah aku.” Tapi, Rin tidak siap ketika Diran mendekatkan bibirnya pada Rin. Detak jantungnya berpacu, membuat napasnya cepat dan keringat dingin membasahi tangannya yang mengepal pasrah. Hampir saja Rin mendorong orang itu. Tapi, dia tetap harus berkonsentrasi, setidaknya sampai Isabel keluar. Diran, pagi tadi masih menjadi orang asing buat Rin, ada ketidakrelaan hanya dengan sehari bisa membuat orang itu merenggut ciuman pertama gadis enam belas tahun. Tentang siapa laki-laki itu? Seberapa pantas Diran menikmatinya? Dan Diran akan segera melupakan kejadian itu setelah ia sadar. Lalu bagaimana dengan Rin, Rin ragu akan melupakannya begitu saja karena dia juga seorang manusia, gadis remaja biasa. Imajinasinya tentang cinta sangatlah indah. Hingga Diran mengedipkan matanya sekali, “Kamu pikir bisa menghipnotisku?”desahan Diran menyentuh pipi Rin dan membuat Rin merinding.
Diran menarik kepalanya menjauh. Untuk sejenak Rin bisa bernapas lega. Ia kira ia sudah mempelajari ilmu memanipulasi alam bawah sadar manusia dengan cukup baik. Dan Diran menjadi percobaan pertamanya.
Diran coba menggeser Rin dari depan pintu, tapi Rin tetap berkeras.
“Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?” Diran terlihat marah.
“Aku hanya ingin bicara?” ucap Rin. Dia kira perlu mengulur waktu sebentar lagi.
“Bicara?”
“Aku sebenarnya iri kamu memberi Isabel setangkai mawarmu?”
“Apa?” Diran agak heran.
Rin coba mengingat-ingat ekspresi gadis muda yang mencoba mengungkapkan isi hatinya pada seorang laki-laki yang mereka cintai. Bukanlah hal sulit bagi Rin. Gadis ini cukup pintar dalam berakting dan akrab dalam dunia teater, “Mungkin kamu bisa memberiku rangkaian mawar, yang diikat dengan pita merah muda dan dibungkus dengan jaring merah. Pasti sangat indah,”Rin bersikap manis.
...
Di sudut lain, Isabel memutar sudut kakinya hingga tiga ratus enam puluh derajad. Menyoroti sekelilingnya dengan senter berdiameter lima inchi. Ia ingat Rin pernah bilang Istana Houston Hill dibangun oleh seorang raja sebagai hadiah untuk puteri yang sangat dikaguminya. Puteri yang sangat menyukai malam dan seringkali menghujani dirinya sendiri dengan sinar bulan. Jendela kaca besar yang dibingkai dengan ukiran jati memenuhi ruangan itu. Memungkinkan cahaya bulan masuk leluasa. Isabel sebenarnya tak perlu menyalakan senternya saat berada dalam ruangan itu.
Keesokan harinya, Awan gelap bergerak cepat saat matahari harusnya mulai terlihat. Kabut pekat yang mengurangi jarak pandang menyelimuti Slavidion. Isabel, dia meraba-raba apa yang ada di balik kabut itu, selangkah demi selangkah menembusnya. Sisa-sisa badai tadi malam rupanya masih ada, tetes air yang menusuk keheningan menjadi pemandu Isabel. Butiran yang datang dari ujung ranting pohon maple, yang jatuh di atas kolam Houston. Diran berdiri di de
Rin duduk di anak tangga terbawah di lantai satu asrama. Dia baru saja ke kamar Isabel, mengetuk pintu beberapa kali dan Isabel tetap tidak mau membukakan pintu kamarnya. “Tinggalkan aku sendiri!” katanya. Dan kemudian hanya terdengar suara muntah-muntah dari gadis muda yang mengurung dirinya di kamar saat itu. Rin kira Isabel bukanlah orang yang bisa mengungkapkan isi hatinya begitu saja, dan yang mengganggu Isabel akhir-akhir ini telah membuatnya stress. Hanya saja, Rin tak pernah menyangka bahwa akan ada saat dimana mereka akan berada di tiga tempat berbeda, masing-masing sedang melamunkan sesuatu dan sejenak membuat Rin sedih. Saat tidak ada Isabel, setidaknya ada Sandra dan saat tidak ada Sandra, setidaknya Isabe
Di kamarnya, Isabel menekuk lutut seraya bersandar di sisi tempat tidur meghadap pintu balkon kamarnya yang terbuka. Dia mulai berpikir tentang yang terjadi dan kali ini ia harus percaya.
Beberapa bulan kemudian, Slavidion sepertinya berhasil keluar dari keterpurukan. Ketenangan kembali tanpa media dan polisi yang berkeliaran di halaman itu. Bukti-bukti tak cukup untuk mengatakan kematian Max, Diana dan France adalah kasus pembunuhan. Polisi hanya berkesimpulan yang terjadi pada ketiga orang itu sejenis penyakit baru dari sebab yang tidak diketahui. Karena korban hanya tiga orang, juga tidak ada indikasi penularan, polisi tidak bisa memasukkannya dalam kasus wabah berbahaya yang memungkinkan proses belajar mengajar dihentikan dan seluruh penghuninya dievakuasi. Slavidion tetap berjalan seperti biasa.
Hampir pukul tiga siang ketika teriakan anak-anak menggema dari kejauhan. Ketakutan anak baru yang ada dalam bayangan Isabel, seperti roti keju lembut yang masuk ke mulutnya diiringi aroma latte yang memanjakan hidungnya, dinikmati saat matahari ada di seperempat langit di sebelah barat. Benar-benar akan membuatnya merasa tak ada beban, walau dilakukan di atas penderitaan orang lain. Itu adalah bentuk kepuasan bagi seorang senior. Arti sebuah status yang tinggi dan kekuasaan. Dan tidak sebatas itu saja, banyak yang bilang rasa sakit yang junior rasakan menjadi kenangan yang tak pernah mereka lupakan kelak. Seperti yang dirasakan Isabel sekarang, perjuangan menyenangkan di hari itu, sedikit keinginan untuk balas dendam pada saat ini, tapi lebih menghargai kebersamaan. Saat ke
Keesokan paginya, Isabel duduk di bangku taman. Diran belum terlihat di permulaan terang saat itu. Isabel menikmati embun pagi yang mendinginkan paru-parunya, dengan sejauh telinganya membuka, hanya terdengar sayup hembusan angin. Isabel bisa membayangkan apa yang terjadi pada Max dan dua temannya di Slavidion. Tapi, ia pikir hal itu belum pernah terjadi sebelumnya di Slavidion. Catatan sejarah yang bilang begitu. Apakah itu tentang sepuluh tahun lalu, seratus, atau tiga ratus tahun lalu. Tidak ada catatan ten
Tiga kali ketukan yang terdengar oleh Isabel di pintu kamarnya, tidak membuatnya terkejut. Ada suara hentakan kaki menyentuh telinga dari mulut tangga koridor lantai tiga hingga hampir ke kamar. Isabel kenal bagaimana Rin berjalan, langkah kakinya yang cepat dan menghentak. Gadis enerjik. Suka bicara, tapi otaknya tak kosong. Dia masuk dalam kategori jenius. Jarang yang melihatnya belajar, dia lebih banyak menghabiskan waktunya berada di tengah banyak orang. Di kelas teater, dia bisa mengekspresikan dirinya begitu lepas, berteriak sesuka hati dan bergerak ke sana kemari. Tidak banyak yang tahu, “buku” adalah satu-satunya benda yang bisa menenangkan batinnya saat tidak ada siapa-siapa di dekatnya.