Share

Black Mirror (Indonesia)
Black Mirror (Indonesia)
Penulis: R. Wardani

Misi Pertama_Identifikasi Pemain: Lisa # Aku & Serenina

“Sa, kamu baik-baik saja?” tanya seorang gadis yang duduk di sebalahku dengan suara yang hanya bisa didengar oleh kami berdua. Ava terlihat cemas.

Aku hanya mengangguk setelah menghapus air mata sambil berusaha menampilkan ekspresi sewajar mungkin, meski nyatanya wajahku sekarang malah terkesan sangat kaku dan pasti aneh sekali, tapi setidaknya itu lebih baik daripada harus menunjukkan wajah menangis di depan banyak orang.

Aah, apa yang sedang aku lakukan, sih? Aku datang ke tempat ini karena menemani Ava sebagai perwakilan kelas yang mengikuti rapat bersama OSIS karena Amanda, si Ketua Kelas kami sedang absen hari ini. Ava memintaku datang dengan jurus andalan mata kucingnya hingga aku tidak mampu menolak lagi, dia berjanji kami hanya akan mengisi presensi kehadiran, duduk mendengarkan, lalu pulang.

Kami bahkan memilih kursi paling depan agar tidak melewatkan sedikit pun informasi tentang perayaan hari ulang tahun sekolah yang akan diselenggarakan bulan depan. Namun sekarang, situasi macam apa ini? Aku memang sangat ceroboh. Ya ampun! Aku bahkan terlalu malu untuk membuat alasan agar bisa keluar dari auditorium ini.

“Ayo, aku antar ke ruang kesehatan,” ucap Ava lagi sambil menyentuh pundakku.

Aku menggeleng sembari menunduk dalam. Huuuh, memalukan, ini sangat memalukan, tapi aku masih tidak bisa menahan air mataku.

“Apa ada masalah?” tanya seorang laki-laki yang entah sejak kapan sudah berdiri di depanku.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala setelah membereskan jejak basah di pipiku. Selama beberapa detik aku hanya bisa ternganga. Mataku silau menghadapi pemandangan indah yang seolah menjadi pusat dari pendaran cahaya terang yang memancar dan memenuhi ruangan ini.

Orang ini, Jovan Cakradara? Kak Jo yang itu? Dia bicara kepadaku? Ketua Osis SMA Cendekia yang sangat populer dan dipuja oleh seluruh siswi di sekolah ini. Murid teladan sekolah kami yang selalu dielu-elukan oleh para guru. Manusia yang katanya gambaran hidup dari kata "sempurna" sedang bicara kepada butiran debu seperti aku.

Dia memang terkenal sangat baik kepada semua orang. Bersikap ramah kepada salah satu siswa yang satu almamater dengannya adalah hal yang sangat wajar. Tapi masalahnya sekarang, orang itu tepat berada di depanku sembari sedikit merendahkan tubuhnya tepat ketika wajahku mendongak, membuat jarak di antara wajah kami menjadi terlalu dekat. Astaga! Aku bisa merasakan tatapan menusuk dari gadis-gadis di ruangan ini. Hawanya menjadi sangat dingin dan mencekam. Menakutkan.

“Boleh lihat kartu pelajarmu?” tanya Kak Jo sambil menengadahkan tangan kanannya tanpa berpindah posisi.

Aku merogoh ransel di pangkuanku, meraba isinya dengan sembarangan, karena mataku belum mampu berpaling dari senyum Kak Jo yang sangat nyaman untuk dilihat. Ini bukan seperti aku mendadak jatuh cinta karena ada pangeran tampan dan baik hati yang tiba-tiba bersikap ramah kepadaku, hanya saja keterkejutan ini sepertinya membuat gerak saraf motorikku melambat. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain menyerahkan benda pipih yang diminta Kak Jo dengan sikap seperti robot yang sudah berkarat.

“Carlise Kirania Nareswari dari kelas I-D, dengan siapa namamu dipanggil?” tanya Kak Jo setelah membaca nama yang tertera dikartu pelajarku.

Heh? Dia menanyakan namaku? Tapi, bagaimana ini? Memangnya siapa nama panggilanku? Siapa saja, tolong! Otakku tiba-tiba kosong.

“Lisa,” sahut Ava karena aku tidak kunjung memberi jawaban.

“Baiklah, Lisa. Jadi apa yang membuatmu terlihat begitu murung? Apakah ada yang membuatmu merasa terganggu di sini?” tanya Kak Jo masih dengan posisinya

yang belum berubah.

“Bukankah seharusnya kamu bergeser dahulu sebelum bertanya lebih lanjut? Atau aku mungkin akan terus mematung seperti ini. Masalah utamanya sekarang justru keberadaanmu.”

Kira-kira begitulah bunyi protes dari suara yang menggema dalam kepalaku yang tentu saja tidak mungkin bisa kuungkapkan.

“Katakan saja, siapa tau aku bisa membantumu sebelum rapat dimulai. Sepertinya masih ada waktu,” imbuh Kak Jo sambil memundurkan wajahnya yang tampan.

Ya Tuhan! Akhirnya oksigen di sekitarku kembali. Walau tidak menolak kenyataan atmosfir di sekitar kami masih terasa aneh dan dingin, setidaknya aku bisa bernapas dengan normal.

“Bukan sesuatu yang serius,” gumamku sambil berpaling agar tidak bertemu pandang dengan laki-laki itu.

Bukan maksud hati untuk bertindak tidak sopan karena menghindari kontak mata saat bicara dengan orang lain, hanya saja mengingat alasanku menangis beberapa saat yang lalu membuat rasa malu yang sempat aku lupakan kembali lagi. Aku tidak berpikir untuk bisa menyampaikan semua itu dengan jujur, apalagi ketika semua mata di ruangan ini sedang terfokus ke arahku. Ya ampun...yang benar saja! Jika ini adalah film kartun, aku yakin akan ada asap mengepul di sekeliling wajahku yang sudah memerah terbakar malu.

“Jika bukan masalah serius berarti tidak masalah untuk menceritakannya, kan.” 

Kak Jo tampak sangat penasaran. Wajah tersenyumnya masih bertahan, namun aku bisa menangkap sedikit tekanan dalam nada bicaranya. Astaga, aku mulai terintimidasi hanya sikapnya itu. Haruskah aku menjawabnya? Kenapa dia harus memaksa, sih? Aku tidak bisa terus menerus begini seperti ini.

Aku melirik Ava berusaha mencari pertolongan, namun gadis itu hanya meringis bingung sembari mengangkat bahu. Sudah kuduga hadir di tengah keramaian selalu mendatangkan masalah.

“Lisa,” panggil Kak Jo tampak menunggu membuatku menelan ludah kasar. Tenggorokanku menjadi sangat kering.

“Mo-Moza, meninggal,” gumamku ragu-ragu. 

Astaga! aku mengatakannya. Kenapa aku tidak bisa membuat alasan selain bicara jujur, sih? Rasanya aku ingin menangis lagi.

Ekspresi Kak Jo berubah setelah mendengar jawabanku, tatapan menodongnya melunak. Tangan kananan laki-laki itu menyentuh tengkuknya dengan salah tingkah. Suasana tegang dan sunyi di sekitar kami berubah menjadi sangat canggung seketika.

“Maaf, sudah memaksamu mengatakan hal yang menyakitkan,” timpal Kak Jo terdengar menyesal.

“Tidak apa-apa, sudah terlanjur kukatakan,” tukasku yang jadi tidak enak hati.

Jika meluruskan kronologi sebenarnya, seharusnya justru aku yang harus meminta maaf di sini karena telah membuat suasananya menjadi aneh. Terlebih tatapan semua orang ikut berubah mengikuti cara Kak Jo memandangku, aku yakin mereka tidak akan merasa baik-baik saja jika tahu kejadian yang sebenarnya.

“Kamu boleh menceritakannya jika itu membuatmu sedikit lebih baik,” ucap Kak Jo membuatku melongo.

Aku tahu dia bernat baik dengan menghiburku. Terlepas dari fakta yang terjadi, bukankah sebagai sosok yang memiliki kemampuan bersosialisasi dengan orang lain, seharusnya dia tidak menodongku dengan hal seperti itu di depan publik? Tidakkah seharusnya dia lebih peka tentang bagaimana cara memperlakukan orang yang sedang bersedih? Atau sebenarnya dia hanya suka ikut campur urusan orang lain? Entahlah. Apa pun itu, apa gunanya jika aku hanya bisa memprotes dalam hati namun. Kenyataannya aku malah mati kutu tidak tau bagaimana menanggapi ini dengan cara yang normal.

“Lisa, aku mengira kita sudah cukup akrab, tapi kamu hanya menangis sendirian tanpa mengatakan apa pun kepadaku. Rasanya mengecewakan, tahu. Jika sedang mengalami kesulitan, setidaknya Kamu bisa berbagi cerita denganku, loh.” Ava mendesah dengan mimik kecewa. Kenapa dia jadi terbawa suasana, sih? Ini akan semakin buruk.

“Jadi, apa Moza teman dekatmu?” tanya Ava menyambung kalimatnya sambil manautkan alis. Hei, apa-apaan ekspresi menyedihkan itu? Aku jadi semakin merasa bersalah.

“Dia...rekanku,” jawabku sedikit terbata sembari menatap Ava penuh isyarat berharap agar gadis itu memahaminya. Jika dilanjutkan siatuasinya bisa menjadi buruk. Kumohon mengertilah!

“Rekan? Rekan kerja? Atau, sesuatu yang lain?” tanya Kak Jo menyambar pembicaraan lagi. Ah, jadi ketua OSIS kita yang sempurna ternyata orang yang sedikit menyebalkan.

Ditambah dipandang dengan tatapan seperti itu lagi dan didukung oleh seluruh pasang mata yang turut menyimak pembicaraan kami. Rasanya aku ingin pulang saja. Aku tidak sanggup bertahan lebih lama lagi dengan suasana ini, kepalaku pusing, perutku mual, aku tidak melakukan apapun tapi sangat melelahkan dan membuat stress.

Aku mulai mengambil napas panjang untuk menenangkan diri dan membasahi bibirku yang terasa begitu kering. Aku ingin adegan ini segera berakhir sebelum aku tiba-tiba pingsan karena terlalu banyak tekanan.

“Mozarella, rekanku bertempur, dia harimau betina dengan bulu perak yang berasal dari Celestial Kingdom.” 

Aku menutup mata sambil menjawab pertanyaan Kak Jo dalam satu tarikan napas, dengan detail agar tidak ada pertanyaan lain lagi yang bisa membuatku benar-benar muntah sebelum berhasil menjawabnya.

Kira-kira, seperti apa reaksi mereka? Aku tidak sanggup membayangkannya, apalagi melihatnya langsung. Selesai sudah hari-hari SMA yang kumiliki, tidak ada masa depan untuk sisa dua setengah tahun yang harus kuhabiskan sebelum kelulusan. setelah ini aku bukan hanya murid penyendiri yang selalu terlihat murung, tetapi juga gadis aneh yang berbicara ngelantur di depan banyak orang.

“Mozarella?”

“Mkasudnya keju?”

“Harimau?”

"Aku tidak mengerti."

“Bertempur?”

“Bulu perak?”

Gumam kebingungan silih berganti terdengar simpang siur di telingaku. Sudah jelas akan seperti ini, kan. Ayolah...aku hanya ingin menemani Ava dan mengikuti acara ini dengan tenang, namun sekarang aku malah menjadi pusat perhatian dengan mengadakan sebuah pertunjukan konyol. Hiks, apakah tidak boleh pulang sekarang saja? Seluruh tubuhku rasanya dicabik-cabik rasa malu.

“Aaah, mohon maaf semuanya. Aku sebenarnya sudah tahu jika Lisa suka bermain game online, tapi aku tidak menyangka jika sampai seperti ini,” ujar Ava dengan senyum aneh, suaranya juga semakin memudar di akhir kalimat. Ekspresi canggungnya menunjukkan bahwa dia sudah menyadari sesuatu yang sangat sia-sia.

“Jadi yang mati adalah rekan harimaumu dalam game yang bernama Mozarella?” tanya Kak Jo menegaskan dengan mimik wajah yang sulit dideskripsikan

Lagi? Kenapa harus dilanjutkan, sih? Aku ralat, Kak Jo bukan sedikit menjengkelkan, namun ternyata sangat menjengkelkan. Sayangnya aku tidak punya pilihan selain mengangguk karena reflek mengiyakan pertanyaannya. Aku tidak bohong mengatakan bahwa kepalaku bergerak sendiri.

“Ya Ampun, artinya sejak tadi kita berbelasungkawa atas kematian makhluk yang tidak nyata.” 

Sebuah suara menyela dari kerumunan orang-orang di ruangan ini. Aku tidak tahu suara itu milik siapa, yang pasti kalimat itu telah memancing yang lain untuk tertawa. Dia memang tidak nyata? Memangnya kenapa? Meski Mozarella memang hanya makhluk 2D, namun saat kehilangan ini ditertawakan rasanya kematian Mozarella menjadi semakin menyakitkan. 

Tapi apa gunanya tersinggung atas reaksi mereka? Lagi pula di mata orang normal, menangisi makhluk 2D memang sudah aneh sejak awal, jadi menerima reaksi seperti ini seharusnya tidak lagi mengejutkan. aku juga tidak berharap mereka bisa mengerti maupun memaklumiku. Kini aku hanya bisa menunduk semakin dalam, menyesali kedatanganku kemari dan menekan kesedihan yang kumiliki.

“Jika Mozarellamu berasal dari Celestial Kingdom, maka game yang kamu mainkan pasti Black Mirror. Bagaimana jika dimulai dengan mengumpulkan soul fragment dari Harimau putih lalu coba gunakan sihir kamuflase agar mereka telihat mirip. Harimau berbulu perak adalah piaraan langka, tapi mungkin untuk sementara Kamu bisa menggunakan trik itu agar tidak kesepian selama berpetualang. Siapa tahu kapan-kapan Kamu bisa mendapatkan jenis yang sama lagi,” tutur Kak Jo membuat kepalaku terangkat secara otomatis. Barusan itu, aku tidak salah dengar, kan?

Orang ini tampak sedang berpikir serius. Pemandangan itu sukses membuat semua orang terdiam, tidak terkecuali aku. Apakah dia juga seorang pemain? Black Mirror memang cukup terkenal tiga tahun terakhir ini, namun fakta jika seorang seperti Kak Jo bermain MMORPG adalah sesuatu yang bahkan tidak bisa muncul dalam bayangan ngawurku sekalipun. Maksudku, dia pasti sangat sibuk dengan tugasnya sebagai Ketua OSIS selagi menjaga nilainya agar tetap stabil dan tidak sempat untuk mengurusi kehidupan virtual di dunia maya yang menurut kebanyakan orang hanya akan membuang-buang waktu, kan.

“Bagaimana? Apa ide itu bisa menghiburmu?” tanya Kak Jo sambil tersenyum menatapku. 

Ekspresinya sungguh berbanding terbalik dengan wajah melongo semua orang dan belum bangun dari keterkejutannya.

“M-mungkin,” gumamku sambil meringis aneh. Orang ini membuatku sangat kewalahan.

“Baguslah kalau begitu, karena masalahmu sudah terpecahkan dan kebetulan juga sangat tepat waktu untuk kita memulai rapatnya. Jadi cerialah,” ujar Kak Jo ramah sambil mengacak poniku sebelum berlalu kekursinya.

Heeeh? Tunggu! Apa yang barusan itu? Aku hanya bisa terpaku sambil menahan napas, bahkan untuk berkedip saja aku tak bisa. Bulu kuduku berdiri tegak. Tampaknya ada seseorang yang baru saja menurunkan suhu pendingin ruangannya, karena udara di sini terasa jauh lebih dingin dan menusuk dari pada sebelumnya. Terlalu mencekam untuk kulewati hingga dua jam berikutnya.

******

Aku menebaskan pedang dengan membabi buta ke arah Cyclops yang tiba-tiba saja muncul di depanku. Siapa peduli jika dia adalah monster langka yang muncul secara random dalam kurun waktu beberapa bulan sekali, lagipula aku sudah memiliki dua Healer Chrysoprase yang lebih dari cukup untuk meningkatkan sihir restorasiku.

Ngomog-ngomong, Healer Chrysoprase adalah batu yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan sihir penyembuh sebanyak 30% dan tergolong item yang cukup langka, apalagi tidak ada batasan dalam pemakaiannya. Batu itu bisa selalu diaktifkan ketika status kehidupan pemiliknya kurang dari 5%. Para pemain akan rela begadang berhari-hari untuk mengintai dan memburu Cyclops demi drop item kelas S itu.

Tapi lupakan tentang hal keren yang baru saja kuceritakan. Saat ini aku hanya ingin bermain-main makhluk besar ini demi melampiaskan rasa kesalku kepada si kecil Lisa sore tadi. Aku juga sengaja menggunakan senjata kelas standart dan membiarkan dia beberapa kali menjatuhkanku untuk sekedar membuang-buang waktu.

Cyclops yang malang, dia harus menjadi objek pelampiasanku hanya karena muncul di waktu yang tidak tepat.

Sebenarnya aku sudah dua kali mengalahkan monster ini sendiri dan beberapa kali membantu petualang asing yang mengirim signal bantuan untuk menghadapinya. Intinya tidak sulit jika aku memang berniat untuk membuatnya tumbang, cukup dengan sekali tebas oleh Lightning Sword milikku pasti akan membuatnya hancur tak bersisa. Pedang pusaka dari Celesetial itu benar-benar mampu membelah dan membakar apapun yang disentuhnya, namun aku akan menyimpannya saja untuk hari ini.

Aahh, terserah saja bagaimana keadaan di sekolah besok, sekarang aku ingin berhenti memikirkan Lisa yang ceroboh, dan hanya akan mengamuk. Aku adalah Serenina, seorang petualang yang gigih, dan selalu bisa diandalkan dari wilayah Zephyr di Barat.

“Masih belum cukup.”

Aku berdiri untuk melakukan penyembuhan diri setelah monster itu melemparku dari ketinggian seratus kaki, dia benar-benar tanpa ampun ketika menghempaskanku di atas tanah yang keras dan tandus ini. 

Ngomong-ngomong, jika melihat pada peta maka aku sedang berada di tanah kosong daratan Barat Daya, wilayah merdeka bernama Sydvest yang dihuni oleh ras setengah manusia. Daerah ini merupakan batas teritorial antara kerajaan selatan Solum Empire dan Zephyr, kerajaan di barat yang sekaligus merupakan kampung halamanku. Sedikit perkenalan saja, kekuatan utamaku adalah tipe elemen angin.

“GHRRROOAARR.”

Cyclops di depanku semakin menggila, hentakan kakinya sudah meretakkan area di sekitar kami. Ketika aku bersiap untuk melompat dan menyerang matanya, tiba-tiba saja monster itu melebur menjadi debu dan menjatuhkan sebongkah batu berwarna hijau yang kusebutkan sebelumnya.

Ayolah ... aku masih belum puas bermain-main dengan monster manis ini, sungguh menyebalkan. Aku sedang berusaha keras mengembalikan suasana hatiku yang buruk agar kembali stabil, tapi di seberang sana ada seorang pemain sedang berdiri menggenggam pedangnya yang masih terhunus setelah mengakhiri kesenanganku dengan semena-mena dan membuat usahaku sia-sia. Mau bagaimana lagi jika sudah terlanjur menghilang.

“Aku tidak tau atas alasan apa sehingga memilih untuk berlama-lama tidak menghabisinya meski kamu bisa memusnahkan monster itu dengan sekali tebas. Tapi yang aku tau pasti, memubadzirkan item langka yang diinginkan banyak pemain hanya demi kepuasan diri sendiri adalah perbuatan yang tidak etis.”

Aku hanya berdecak membaca pesan panjang yang berisi ceramahnya di ruang obrolan umum dan membuat pemain lain ikut menyumbang berbagai komentar. Aku tidak kenal siapa orang ini, melihat respon pemain lain dan nick name yang digunakannya cukup familiar mungkin dia termasuk penghuni lama, aku juga tidak terlalu peduli, namun yang pasti juga kuyakini adalah bahwa dia tidak hanya bersikap seenaknya, tapi juga menjengkelkan. Hei! Siapa yang bicara sekarang? Seenaknya saja membahas etika. Bukankah sikapnya barusan juga tidak etis? Orang sepertinya pasti tidak menyadari itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status