Retno selalu saja memandangi Cindy tanpa lelah, bahkan hingga pembelajarannya pun selesai. Dia pun berniat untuk bisa keluar bersama dengan gadis itu. Dia pun sengaja berlama di ruangan, pura-pura berkemas. Dia dengan sengaja membiarkan siswanya keluar lebih dulu. Dia ingin menunggu Cindy keluar kelas agar bisa berbarengan dengannya.
Sayang, dua pasang mata yang menatap cemburu itu sadar dengan Retno. Namun, guru itu tidak habis ide untuk segera meminta siswanya keluar kelas. Dia menyuruh Gilang membawakan buku tugas siswa untuk diantar ke ruangannya.Sementara Kesya yang menyadari itu, ia menahan diri dan gengnya untuk menunggu keluarnya Retno dari ruangan. Sembari menunggu, Kesya mengarahkan pandangannya pada Cindy yang masih belum menyadari ada orang yang mengintainya, terus saja membereskan peralatannya di atas meja.Lama Retno berdiri di depan menanti pujaan hati. Dia pun menyadari Kesya belum beranjak dari tempat duduknya.Sorot mata Retno mengarah pada Kesya. Dia merasa gadis itu tahu niatnya, karena beberapa bulan lalu. Saat Kesya mengatakan cinta padanya, Retno tanpa sengaja berucap bahwa Cindy adalah gadis incarannya. Al-hasil saat ini, dia sadar tidak ada peluang untuk bisa mendekati Cindy dan mengajaknya makan bersama. Retno membuang nafas kasar sambil melotot pada Kesya yang tersenyum tipis padanya. Gegas dia pun melangkahkan kaki keluar kelas dengan rasa kecewa di hatinya.Kesya tersenyum penuh kemenangan, melihat kepergian Retno dengan ekspresi menyedihkan. Dia pun bangkit dari tempat duduknya, dan mulai mendekati Cindy.“Woiiiii.” Kesya berteriak dan memukul meja di depan Cindy, membuat gadis cantik ini terkejut dan menghentikan seketika aktivitasnya."Dasar, perempuan penggoda. Berapa banyak lagi lelaki yang kamu goda, hah?” teriak Kesya penuh amarah. "Aaakkhhh ...," ringis Cindy menahan sakit di kulit kepalanya akibat tarikan dan cengkraman Kesya di rambutnya.Sakit yang tiada kira itu membuat Cindy menangis dan ingin segera melepasnya. Namun, dia tidak berani melawan Kesya. Apalagi sadar statusnya hanya siswa penerima bantuan yang juga disponsori orang tua gadis yang tengah menyiksanya itu.Cindy hanya bisa menangis, berharap penderitaannya saat ini segera berakhir dan tiada lagi amarah dari Kesya untuknya. Karena dia tidak sanggup lagi untuk terluka."Ingat yah, perempuan penggoda. Sampai lu matipun, gue akan tetap membenci lo, nyiksa lo seperti ini. Dan ... tidak akan pernah ada kata maaf. Paham,” bisik Kesya di telinga kanan Cindy.Gadis mungil itu mengangguk pelan. Cindy hanya menuruti dan mengiyakan perkataan Kesya yang menatapnya sembari membesarkan kedua pupil matanya. "Oh ya. Satu lagi, gue sebenarnya bakalan lebih kejam nyiksanya. Tapi beruntung aja sih lu, kalau bukan karena lu disukai Pak Retno sialan itu. Mungkin saja, tangan dan kaki mulus lu saat ini sudah terukir cantik oleh pisau-pisau indah kita." Kesya dengan emosi melepaskan cengkramannya, membuat Cindy lekas memegangi kepalanya yang sakit.Kesya pun mengibaskan tangannya, menghapus aroma shampo dari rambut Cindy yang membuatnya jijik. Dia pun berjalan ke tempat duduknya kembali untuk duduk sebentar. Lalu, menarik nafas panjang kembali melangkahkan kaki jenjangnya keluar kelas. Menoyor dengan sangat kencang kepala Cindy saat Kesya melewati gadis itu, lalu tersenyum dan memerintahkan kedua temannya untuk melakukan hal yang sama.“Rasain tuh,” ucap Nada yang terakhir melakukannya. Dan dia sedikit lebih kencang, hingga mendengar begitu keras kepala Cindy yang terbentur meja.Sepeninggal mereka, Cindy hanya bisa menangis terisak. Berharap penderitaannya segera berakhir.“Ma, Pa, Kak Nindy. Cindy capek seperti ini. Bawa Cindy pergi bersama kalian.”Gilang yang sudah keluar lebih dulu karena ditugaskan Retno, terlihat mencari seseorang di kantin sekolah. “Cindy kok nggak ketemu yah,” pikirnya bingung dan terus melangkahkan kakinya mengitari kantin tersebut.Ya, siapa lagi yang dicari kalau bukan Cindy, gadis pujaan hatinya. Semenjak cintanya diterima Cindy, jika tidak ada kesibukan masing-masing, mereka selalu melewatkan waktu jam istirahatnya bersama.“Haduh, Cindy di mana sih. Kok nggak ketemu juga daritadi,” ucapnya dan memilih mengantri dideretan siswa untuk mengambil makan siangnya.Selepas mendapat makanannya. Gilang melangkah menuju tempat duduk yang kosong berada di pojok kanan. Tidak beberapa lama, gadis yang ditunggu datang. Dia pun lekas menghampiri Cindy yang tampak lesu."Kamu ke mana sih, cantik? Dicariin daritadi nggak ada,” tanyanya bingung.Cindy tidak menjawab, dia hanya tersenyum manis menatap kekasih hatinya. Lalu pamit untuk ikut mengantri dengan siswa lain yang belum mendapatkan makanan. Setelah mendapat ma
Sebuah gedung tua, berdiri kokoh di tengah hutan belantara. Seorang gadis cantik berkacamata hitam tengah melangkah memasuki gedung tersebut. Setiap ruangan dengan minim pencahayaan, dia tembus dengan langkah anggunnya. "Mr. P!!" ucapnya pada dua pria bertubuh besar yang berada di depan ruangan, menjaganya dengan ketat. Tanpa membalas, keduanya membuka pintu itu dengan lebar. Gadis itu kembali melangkah setelah sebelumnya menghentikan langkah untuk menghidupkan sebatang rokok yang dibawanya. "Haiii gadisku," ucap pria paruh baya, meletakkan gelas kopi yang baru dia seruput isinya. Gadis itu hanya mengangkat tangannya sekilas, lalu meletakkan sebuah foto di atas meja yang berada di sebelah kiri pria itu. Sembari tersenyum, dia berucap mission succes. Pria paruh baya itu tersenyum getir, melirik sekilas foto dan merasa puas dengan foto tersebut. Lantas Mr. P kembali tersenyum padanya, mengangguk kecil sembari bertepuk tangan memberi pujian."I Like You, Yuna. You're the best. Perfe
Setelah satu jam Cindy mengerjakan pekerjaannya. Dia merasa tubuhnya sangat lelah dan segera mengistirahatkannya, untung saja semua pekerjaannya sudah beres hingga dia bisa bersantai sejenak. Cindy yang memang bergantung pada pekerjaan ini, bekerja tanpa henti agar bisa digaji lebih tinggi oleh Wina, sang pemilik toko. Dia juga menjadi karyawan amanah sang pemilik toko, makanya dia sering diberikan makanan gratis oleh Wina karena jujur dan sangat membantu. Cindy menyeka keringat yang membanjiri keningnya. Kedua tangannya aktif mengibas untuk menghilangkan hawa panas di tubuhnya, setelah bekerja cukup keras. "Huufff, lelahnya," ucapnya sembari mengibas baju kausnya, menyenderkan tubuhnya di bangku kasir. Terdengar pintu kaca toko itu dibuka pelan. Cindy lekas berdiri, saat melihat pelanggan masuk ke tokonya. Dia menundukkan kepala sedikit. "Selamat datang," ucapnya sembari tersenyum ramah pada pelanggan yang wajahnya belum terlihat olehnya. Cindy begitu ramah melayani setiap pelan
Cindy panik kala pekerjaannya yang baru saja diselesaikan, justru kembali dikacaukan teman-teman kelasnya. Dia gegas menuju Kesya, untuk menghentikan kekacauan yang diperbuat mereka. Dia takut jika buk Wina nantinya marah padanya, hingga membuat dirinya harus kehilangan pekerjaan yang menggantungkan kehidupannya. "Stop, stop, hentikan semuanya. Kalian tidak boleh mengobrak-abriknya. Tolong, jangan seenaknya di sini." Cindy berteriak mencoba menghentikan. Namun, sayang, mereka yang memang sengaja berbuat demikian. Mengabaikan ucapan, dan larangan dari Cindy. Justru mereka semakin menjadi-jadi dengan kelakuan mereka. Cindy menguatkan dirinya untuk berani melawan mereka, dia memegang tangan Kesya. "Kesya, cukup. Hentikan semua ini," teriak Cindy. Sang empu nama seketika menghentikan kegiatannya. Dia melihat ada tangan mencengkram pergelangan tangannya. Lalu, mengalihkan pandangannya pada si gadis yang memegang tangannya itu. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Kesya mendekati menatap Cind
Cindy mati kutu dibuatnya. Tatapan ketiga gadis kaya keturunan bangsawan, bangsa di atas awan itu, bak menusuk jantungnya. Apalagi, bisikan roh halus jelmaan manusia, Kesya Alvionita, berisi tentang sebuah ancaman. Membuat bulu kuduk Cindy merinding. "Jawab cepat," sentak Kesya memberi ultimatum dari tatapannya. Kesya sibuk sendiri melihat Cindy yang diam membisu. Dia sedikit takut pada Retno yang bisa saja menjadi ancamannya saat ini. Sementara Tania dan Nada hanya diam, memperhatikan di belakang Kesya."I-iya, Pak. Mereka ke sini cuma belanja kok," jawab Cindy gugup, sembari tangannya menyeka keringat yang membendung keningnya. Sadar Cindy ketakutan, Retno melirik tidak percaya pada Kesya, lalu kedua temannya yang mematung. Dia menarik nafas panjang, menghempaskannya kasar. "Ya sudah, kalau kalian sudah selesai membeli apa yang kalian mau, pulang lagi ke rumah kalian," ucap Retno dengan tegas sembari terus berdiri, berkacak pinggang memperhatikan murid-muridnya.Kesya mencebik k
Malam pun tiba, Yuuna terbangun dari tidurnya. Dia yang sebelumnya berniat berpesta ria setelah sukses dengan misinya, membatalkan semua itu, dan memilih untuk istirahat di rumahnya. Kesadarannya belum terkumpul full, Yuna kembali merebahkan tubuhnya. Tiba-tiba perutnya keroncongan, Yuna yang masih mengantuk, terpaksa bangun. Dia melihat sekeliling rumahnya gelap, hanya lampu dari luar yang merambat masuk ke celah jendelanya. "Mmmhhh." Yuna menggeliat manja, dia meraih ponselnya di atas nakas.Dilihatnya jam telah menunjukkan pukul 8 malam. "Akkkhhh sial," umpatnya dan bangkit.Yuna pun gegas turun dari kontrakan barunya untuk mencari makanan. Berjalan menyusuri gang-gang kecil, dengan sorotan lampu jalanan yang sedikit redup, dan mengerjap. Tiada rasa takut dalam dirinya akan terjadi bahaya yang menimpanya. Sudah lama Yuna berkeliling di lingkungan itu. Namun, belum juga dia dapati tempat untuk dia bisa mengisi perutnya yang sudah memberontak untuk diisi. "Arrgghh, masa di lingku
Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Waktunya untuk Cindy kembali ke rumahnya. Gadis cantik itu pun bersiap-siap untuk pulang ke tempat tinggalnya, membereskan semua roti pemberian Wina padanya dengan berbagai rasa. "Bagus lah, bisa untuk beberapa hari. Lagian kadaluwarsanya masih seminggu lagi," ucap Cindy, senang bukan main.Wina tadinya hendak membuang roti yang hampir kadaluwarsa itu. Namun, Cindy yang melihatnya mencegahnya. Meminta semua roti itu untuk dia bawa pulang ke rumahnya. "Buk, Cindy pulang dulu yah, makasih banyak buk, rotinya Cindy pulang dulu," ucapnya berpamitan pada Wina yang membalasnya dengan tersenyum ramah. Cindy pun gegas melangkahkan kakinya agar sampai di rumahnya yang cukup jauh dari toko. Berulang kali Cindy menguap, matanya begitu mengantuk. Namun, dia tetap harus bertahan karena belum mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dia pun menatap kantong plastik yang ada di dekapannya. "Syukurlah, roti ini bisa sampai besok sore. Lumayan, ngirit uang jajan," ucap C
Mobil sedan hitam itu berhenti di sebuah jembatan yang berada di pemukiman kumuh di pinggiran kota. El pun menghentikan mobil mereka sekitar 100 meter dari mangsanya. "Lo nggak usah ikut campur," tegas Yuna dengan tampang serius. Yuna pun turun, membiarkan El diam di dalam mobilnya, karena ini adalah tugasnya seorang. Tidak membutuhkan orang lain dalam menjalankan misinya."Sombong," ucap El dalam hati, mendengar temannya itu tidak membutuhkan dirinya. Yuna mendekati pria itu pelan dan hati-hati. Pria berjaket hitam, dengan sepatu sport yang dikenakannya, tampak menemui seorang pria paruh baya di bawah jembatan. Pria yang di kawal dua bodyguard di belakangnya, serta dua bodyguard lagi di mobil belakangnya. Clengok ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat transaksi mereka. Pria itu memberikan apa yang diinginkan si pria paruh baya tersebut. "Okey, pastikan setelah ini rencana kita berhasil. Kalau tidak maka ...." Kata-kata pria itu terhenti tepat saat peluru menjebol t