Share

Milna and The Geng

Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, sudah sebulan Farizka menghabiskan waktu mengajar di kelas 211. Sepertinya, dia tak sependapat jika kelas 211 harus menjadi kelas yang paling dihindari bagi rekan-rekan sesama guru. Justru, dari kelas paling pojok ini, dia sering mendapatkan inspirasi dalam mengajar. Membuat media pembelajaran yang baru atau kadang-kadang mendapatkan ide dalam membuat soal-soal untuk latihan siswanya.

Suasana kelas yang sepi, jauh dari hiruk pikuk siswa, menjadi alasan terkuat bagi Farizka untuk betah berada di dalamnya. Di samping itu, dia juga bisa fokus mengerjakan apa pun tanpa diganggu siapa pun.

Sama seperti hari Senin ini, jadwal mengajar Farizka penuh dari jam pertama sampai jam terakhir. Ditambah jam tambahan pembinaan olimpiade Matematika sampai sore. Dan malamnya, dia harus lembur membuat silabus pembelajaran.

Sebenarnya, jadwal lembur tidak harus dikerjakan di sekolah. Boleh saja dikerjakan di rumah asalkan besok pagi sudah selesai. Namun, Farizka memilih mengerjakannya di sekolah.

                       ***

Milna baru saja sampai di kantor guru sore itu dari memberikan les tambahan untuk anak kelas dua belas. Ruang guru tampak sudah sepi. Hanya ada Eka dan Rahma.

“Eh, kayaknya guru baru itu enjoy-enjoy aja di kelas itu.” Rahma mengawali pembicaraan.

“Iya nih Mil, dia sama sekali enggak ada takut-takutnya,” tambah Eka.

“Iya juga ya, aku mikirnya juga begitu. Padahal, ini sudah satu bulan dia mengajar di sana.” Milna menyahut.

Mereka bertiga diam sejenak tampak sibuk berpikir dengan pikiran masing-masing.

“Atau, jangan-jangan dia sebenarnya diganggu makhluk itu, tapi enggak mau cerita.” Eka mencoba menerka.

Bagaimana mungkin makhluk yang selalu mengganggu mereka bertiga bisa “pilih kasih” tanpa mengganggu Farizka?

“Bisa juga, sih. Tapi, hebat juga dia kalau sampai bisa memendam sendiri selama ini.” Milna menyahut.

Rahma memberanikan diri bertanya, “Sebenarnya, salah dia apa sih Mil? sampai kita kerjain kayak gini?” 

Makhluk cantik itu sudah lama bergabung di ruang guru dari awal mereka membicarakan guru baru itu. Sayang, ketiga guru itu tidak bisa melihatnya. Dia duduk di bangku pojok sambil menunduk. Seakan-akan mengingat masa lalu kelamnya selama bersekolah di sini. Dulu. Dulu sekali. Saat bersama teman-temannya. Eka ikut mengangguk. 

“Iya Mil, aku enggak tega kali sama dia. Kayaknya, dia baik kok. Semester depan, enggak usah minta ke ayah kamu buat naruh dia di kelas sana terus. Kasihan.” 

Makhluk cantik yang memakai seragam sekolah itu spontan menengok ke arah mereka bertiga. Menatap dengan mata merahnya. Penuh kemarahan. Penuh dendam.

Jadi, mereka berusaha mengerjai Farizka, pikirnya. Milna dan teman-temannya harus diberi pelajaran! 

Makhluk itu mengangkat tangannya dan dengan gerakan cepat menyenggol tangan Milna yang sedang memakai lipstik. Milna kaget dan langsung marah menyadari sebagian pipinya berlepotan lipstik.

“Ka, enggak usah nyenggol aku, dong. Kamu enggak lihat aku lagi pakai lipstik?” 

“Eh, dari tadi aku ngetik silabus. Kamu enggak lihat tangan aku di depan laptop?” balas Eka tak kalah sinis sambil mengangkat kedua tangannya.

Benar saja. Eka dari tadi sibuk mengetik, sedangkan Rahma duduk di depan Eka. Tidak mungkin Rahma yang menyenggolnya.

Makhluk yang duduk di sudut pojok kini telah berpindah berdiri di belakang Milna dan siap menjambak rambutnya.

“Aduuuh!” Milna menjerit kesakitan.

Eka langsung menghentikan acara mengetiknya.

 “Ada apa lagi sih Mil?”

“Kayak ada yang menjambak rambutku deh.” Milna masih mengelus kepalanya yang sakit.

Sementara itu, makhluk cantik itu tampak tersenyum sinis.

“Mending aku lembur di rumah aja kalau begini. Enggak konsen tahu di sini.” Rahma menjawab ketus.

Eka juga ikut-ikutan merapikan laptop dan memasukkannya ke tas.

 “Iya, aku juga ngerjain aja di rumah. Capek.” 

“Kalian berdua itu kenapa sih? Kalian temenin aku lembur di sekolah,” perintah Milna.

Sayang, perintah ketua geng sejak dua guru itu duduk di bangku SMP, tak digubris. Mereka berdua beranjak dari kursi masing-masing dan meninggalkan Milna sendirian.

“Eh, sejak kapan kalian berani membantahku?” Milna memegang kedua tangan temannya, mencegah keduanya pergi.

“Sejak sekarang, aku mengundurkan diri jadi anggota gengmu.” Rahma menepis tangan Milna.

Eka juga melakukan hal yang sama. 

“Iya, aku juga. Aku juga udah capek Mil. Aku juga resign dari geng.”

Mereka berdua kembali berjalan dan menghentikan langkah kaki sebelum sampai di pintu.

“Mulai sekarang, berhenti mengganggu guru baru itu.”

Milna menahan napasnya yang tersengal-sengal. Kaget dengan pengakuan kedua temannya barusan. Apa dia tidak salah dengar? Dia sadar memang dia sangat keterlaluan. Namun, sama sekali tidak pernah terpikirkan bahwa dua temannya itu akan meninggalkannya. Dua sahabat dari SMP, SMA, bahkan kuliah sampai masuk dunia kerja kini tiba-tiba meninggalkannya. Tidak ada yang sekuat mereka berdua saat berteman dengannya. Kalau bukan berteman dengan mereka berdua, Milna akan berteman dengan siapa? 

Meski Milna adalah anak kepala sekolah di sini, sifat sombongnya membuat teman-teman guru menjauhinya. Semua orang tahu itu. Itulah sebabnya tak banyak yang mau berteman dengannya, kecuali Eka dan Rahma.

Makhluk cantik itu masih mengamati Milna.

Milna mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan ruang guru. Saat sampai di pintu, seseorang menabraknya.

“Maaf,” ucap orang itu. Tak lain adalah Farizka.

Milna mendongak, menatapnya penuh benci. Kenapa pada saat seperti ini harus muncul wajah Farizka? Guru baru itu. Meski baru, semua orang dibuat menyukainya. Termasuk ayahnya yang tak lain adalah kepala sekolah di sini.

Tatapan kebencian Milna bisa dirasakan Farizka, tetapi Farizka membalas dengan senyum.

“Lain kali, kalau jalan pakai mata!” ujar Milna ketus.

Farizka diam saja dan sibuk membantu membereskan beberapa berkas Milna yang terjatuh. Tanpa mengucapkan terima kasih, Milna berlalu pergi.

Farizka menggelengkan kepala. Meski bukan pertama kali mendapatkan perlakuan seperti ini dari Milna. Dari pertama kali pindah, sebenarnya dia tahu bahwa Milna tidak menyukainya. Entah untuk alasan apa.

Melihat ruang guru sepi dan sudah tak ada siapa pun, Farizka memutuskan mengerjakan lanjutan silabusnya di ruang guru. Dia membuka laptop dan mulai mengetikkan beberapa kalimat. Namun, baru satu halaman terselesaikan, entah karena kelelahan atau apa, dia tertidur. Farizka merasakan seseorang membelainya. Begitu menenangkan.

                      ***

Farizka menyusuri lorong lantai dua. Hari masih siang, tetapi sekolah sudah sepi. Dia terus berjalan. Tiba-tiba, terdengar jeritan anak perempuan dari kelas pojok. Farizka mempercepat langkah kakinya. Jeritan itu makin jelas. Jeritan meminta tolong atau jeritan kesakitan. Entahlah. Suara itu berasal dari kelas 211.

Farizka mendapati tiga anak perempuan sedang mengeroyok satu temannya. Sesama perempuan. Gadis itu terpojok. Terisak-isak. 

Farizka menghardik. “Hentikan!”

Akan tetapi, tak ada satu pun dari mereka yang mendengar Farizka.

“Enaknya kita apakan, Mil?” Salah satu dari pengeroyok bertanya kepada temannya.

Sepertinya, anak yang dipanggil “Mil” adalah ketua gengnya. Dia masih menjambak rambut siswi yang menjadi korbannya kali ini.

“Kali ini cukup. Kuperingatkan terakhir kalinya, jangan menggoda Brian!” ucapnya sambil membenturkan kepala korbannya ke tembok.

“Hentikan! Cukup!” Farizka berusaha melerai mereka. 

Karena ucapannya tak juga didengar, Farizka berusaha memegang tangan sang penjambak. Namun, tangannya seperti menembus tangan itu. Tak dapat menyentuh.

Mereka bertiga pergi dan mengunci kelas. Kelas paling pojok.  Farizka tidak habis pikir apa yang terjadi. Kenapa mereka bertiga tidak dapat melihatnya?

Anak perempuan itu tetap menangis. Rambut panjang dan poninya juga berantakan. Beberapa kancing bajunya copot. Baju seragamnya basah, sepertinya bekas siraman dari ketiga anak tadi. Sementara itu, isi tasnya berhamburan ke mana-mana.

“Kamu tidak apa-apa?” Farizka memeluk anak itu.

Rasa iba muncul. Anak itu diam. Meski berantakan, Farizka dapat mencium wangi parfumnya yang begitu kentara. Seperti wangi bunga-bungaan. Entah aroma melati, kenanga, atau kamboja.

Farizka merasakan bahunya digoyang-goyang dengan keras. Samar-samar, terdengar suara.

“Farizka, bangun.”

Makin lama, suara itu makin jelas. Farizka membuka matanya. Sesuatu yang pertama kali terlihat adalah wajah Angga.

Melihat sekelilingnya, Farizka baru sadar bahwa dia tertidur di ruang guru.

“Udah, ayo pulang” ajak Angga sambil membantu membereskan beberapa buku Farizka yang masih ada di atas meja.

“Belum selesai. Nanggung, bentar lagi,” pinta Farizka.

Angga mengernyitkan alisnya.

“Bukannya udah dicetak? Mana lagi yang belum?”

Farizka mengamati kertas cetakan yang dipegang Angga. Ada silabus atas nama Farizka Anastasia, berjumlah tiga puluh halaman.

Perasaan, tadi dia baru mengetik satu halaman di ruang guru. Kenapa sekarang sudah selesai semua? Sudah dicetak, lagi.

Farizka bengong mengamati Angga.

“Makasih, ya, Angga,” Farizka mengira Anggalah yang membantu menyelesaikan dan mencetak tugasnya.

Angga membalas dengan sebuah senyum meski tidak tahu Farizka berterima kasih untuk apa. Mungkin karena dia membangunkannya tadi.

Sementara itu, makhluk cantik itu hanya tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status