Share

Siswi Bangku Pojok

Keesokan harinya, Farizka mendapatkan panggilan dari Pak Yajid, sang kepala sekolah. Dia mendapatkan pujian karena sebagai guru baru mengumpulkan tugas silabus untuk pertama kali. Farizka dianggap mampu memberi contoh kepada guru lain terutama para senior karena memiliki disiplin waktu yang tinggi dalam mengerjakan tugas. Namun, imbas dari itu semua, dia mendapatkan tugas tambahan untuk membuat silabus kelas sebelas. Sebenarnya, tugas ini bukan tugasnya, melainkan tugas Bu Milna.

Farizka keluar dari ruang kepala sekolah dengan tertunduk lesu. Harusnya, nanti malam dia bisa sekadar untuk beristirahat sejenak dari aktivitas lembur.

Sementara itu, setelah Farizka keluar, Milna keluar dari salah satu ruang dari ruangan kepala sekolah. Ruang kepala sekolah ini memang memiliki tiga ruang. Ruang untuk tamu, ruang kerja, dan satunya ruangan kosong.

“Harusnya, kamu bisa mencontoh si Farizka,” ujar Pak Yajid.

Milna mengerucutkan bibir.

 “Heran, deh. Enggak Ayah, enggak Eka, enggak Rahma, kenapa semua suka sama dia? Apa istimewanya dia?”

“Kamu tidak bisa bersikap seperti ini terus, Mil. Kamu sudah bukan anak-anak lagi. Bahkan, sekarang kamu sudah jadi guru. Jangan kekanak-kanakan.” Pak Yajid menanggapi.

Tanpa mengucap kata apa-apa. Milna membanting pintu tempat kerja ayahnya. Meninggalkan ayahnya dengan bersungut-sungut. Untung suasana sekolah belum begitu ramai. Jadi, tak banyak yang memperhatikannya.

                   ***

Koridor kelas itu terlihat sama dengan koridor kelas-kelas sebelumnya. Suasana langit senja memancarkan cahaya remang-remang di sepanjang koridor kelas yang Farizka lalui. Sesampainya di ujung kelas, cahaya matahari sore itu tidak dapat menembus.

Farizka membuka kedua pintu lebar-lebar kemudian menyalakan lampu agar kelas menjadi lebih terang. Dia meletakkan tas di atas meja lalu duduk dan bersiap membuka laptop untuk mengerjakan tugas membuat silabus.

Tiba-tiba tercium bau wangi bunga-bungaan yang begitu menyengat. Sepertinya Farizka pernah mencium wangi parfum ini. Parfum itu sangat tidak asing.

Tiba-tiba dari arah pintu, seorang siswi perempuan berambut panjang dan berponi dengan kaki berbalut sneakers melangkah ke dalam kelas.

Seingat Farizka, sekarang hari Senin. Kenapa siswi itu memakai sepatu berwarna putih? Atau jangan-jangan tadi sudah mendapatkan sanksi dari bagian kesiswaan karena penampilannya jelas mencolok dan tak mungkin luput dari bagian kesiswaan.

“Permisi Bu, apa saya boleh ikut Ibu lembur di sini?” ucapnya sambil tersenyum dan langsung duduk di bangku pojok terdepan. Persis di depan Farizka.

Meski aneh, seorang siswi masih berkeliaran di sekolah jam sekarang, lebih aneh lagi ada seorang siswi sendirian mengerjakan tugas di ruang kelas.

Farizka kemudian mengangguk sambil tersenyum, “Oh silakan kalau kamu mengerjakan PR di sini, biar Ibu ada temannya.”

Siswi itu kembali tersenyum kemudian mengeluarkan buku Matematika dari dalam tas.“

Kalau Ibu berkenan, saya dengan senang hati mau menemani Ibu lembur di sini setiap hari.”

“Setiap hari? Memangnya, orang tua kamu mengizinkan?” tanya Farizka memancing.

Siswi itu menyibakkan poninya ke samping, dari sana dapat terlihat dengan jelas oleh Farizka sebuah luka. Lebih tepatnya bekas luka. 

“Orang tua saya di luar negeri Bu. Di sini, saya cuma tinggal dengan Bibi.”

Farizka bangkit dari kursi dan berjalan menghampiri siswi itu. Kini, Farizka duduk di sampingnya. Dia baru ingat siswi ini adalah siswi yang selalu duduk di bangku pojok belakang saat pelajarannya.

Ya, Farizka sekarang ingat. Siswi ini yang pertama kali tersenyum manis saat menyapanya mengajar pertama kali di kelas 211 ini.

Karena penasaran, Farizka akhirnya bertanya juga.“

Maaf ya, kalau boleh tahu, luka di kening kamu itu kenapa?” ujarnya sambil berusaha menyentuh kening siswi itu.

Akan tetapi, entah kaget atau apa, siswi itu mundur sesaat, tak mau disentuh.

“Oh, ini terbentur tembok, Bu.” 

Sekelebat bayangan siswi yang di-bully dan berakhir dengan kepalanya yang dibenturkan ke tembok dalam mimpi Farizka beberapa hari yang lalu tiba-tiba berseliweran.

Farizka makin penasaran.

 “Terbentur tembok? Kok, bisa?”

Siswi itu melihat ke luar jendela, matanya kini terpejam. Sepertinya, mengingat-ingat sesuatu yang begitu menyakitkan.

 “Dibenturkan teman-teman saya, Bu,” ungkapnya.

Deg! 

Kenapa ceritanya sama dengan mimpiku? Ah, mungkin ini hanya sebuah kebetulan. Farizka berusaha menepis dugaannya.

“Kamu cantik, sepertinya juga rajin. Ibu yakin masih banyak teman baik yang mau berteman sama kamu.” Farizka berusaha menghibur.

Siswi itu menunduk dalam. 

Farizka jadi salah tingkah dengan ucapannya barusan. 

“Maaf kalau ucapan Ibu menyinggung kamu.”

Siswi itu makin menunduk. Lirih, begitu lirih Farizka dapat mendengar tangisnya. Farizka membiarkannya menangis. Sepertinya, siswi itu sangat kesepian, tidak punya teman. Bahkan, mungkin di rumahnya sendiri dia juga kesepian. Buktinya, dia lebih nyaman mengerjakan PR di sekolah daripada di rumahnya.

Mereka berdua kini sama-sama terdiam. Farizka mengenyahkan pikiran buruk itu dan mengalihkan pandangan ke luar kelas.

Mungkinkah anak ini korban bully teman-temannya dan juga broken home?

Farizka merasa bertanggung jawab atas ketidaknyamanan suasana di antara mereka berdua saat ini.

“Kalau mau cerita atau curhat, kamu bisa cerita ke Ibu. Anggap Ibu seperti kakakmu sendiri.” 

Siswi itu menatap ke arah Farizka. Sorot matanya tajam. Bola matanya berwarna hijau kebiru-biruan. Bukan karena softlens, melainkan asli. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Farizka. Aroma parfum yang berbau bunga-bungaan tadi jelas sekali. Kali ini, Farizka tidak salah. Aroma itu bukan dari wangi melati, kenanga, maupun kemboja, melainkan kantil. Ya, bau bunga kantil.

Tiba-tiba, bulu kuduk Farizka meremang. Jantungnya berdegup kencang. Sementara itu, kepala gadis itu tetap rebah di bahunya. Ketika mencoba membelai rambut hitam siswi itu, Farizka menemukan rontokan rambut di tangannya. Rambut-rambut panjang itu tersangkut di antara jari jemarinya. Anehnya, rambut panjang itu bukan berwarna hitam, melainkan berwarna putih. 

Degup jantung Farizka makin tak menentu.

Tiba-tiba, gadis itu bangkit dari sandaran Farizka. Dia mengemasi buku-bukunya. Sekilas, Farizka membaca buku panduan Matematika untuk kelas sepuluh itu.

Firasat tidak baik kembali menyeruak di hati Farizka. Buku panduan Matematika untuk kelas sepuluh milik siswi itu menggunakan kurikulum lama. Kurikulum itu terakhir dipakai lima tahun yang lalu saat guru Matematikanya masih Pak Betrand. Sementara itu, Pak Betrand sudah meninggal pada tahun yang sama karena serangan jantung.

Semua siswa di sekolah ini wajib membeli buku sesuai dengan arahan guru. Harusnya, siswi ini memiliki buku panduan yang sama dengan buku Farizka karena sesuai dengan kurikulum terbaru.

Bukankah dia juga ikut dalam kelasku dan selalu duduk di bangku pojok? Berarti, dia siswiku juga. Lalu, untuk apa dia mengerjakan PR? Aku tidak pernah memberikan PR untuk anak-anak.

Farizka mulai merasakan berbagai kejanggalan. Dia melirik siswi itu yang sudah berdiri. Farizka ikut berdiri agar siswi itu bisa keluar.

“Saya pulang dulu ya Bu.” ujarnya kemudian berlalu pergi.

Farizka tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya meskipun sudah berusaha bersikap setenang mungkin. 

“Ya, hati-hati, ya,” balasnya dan dalam hati berharap agar siswi itu tidak bersalaman dengannya.

Untungnya, siswi itu segera berlalu pergi meninggalkan kelas 211. Hawa dingin menekuk tengkuk. Farizka memegang tengkuknya yang terasa dingin meskipun AC di kelas ini jelas-jelas mati. Cepat-cepat, dicarinya ponsel dari dalam tas. Berusaha menelepon penjaga sekolah yang bertugas pada malam hari. Tiba-tiba, telepon terputus karena mendadak tidak ada sinyal.

Aneh. Barusan jelas-jelas sinyalnya 4G.

Farizka cepat-cepat mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan ruang kelas 211. Kurang istirahat menyebabkannya berimajinasi macam-macam. Ya, dia yakin ini hanyalah imajinasinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status