enjoy reading ... Jombang, 2 februari 2023
Kata pepatah, lebih baik mencintai dari pada dicintai. Karena itu sama dengan lebih baik memberi dari pada diberi. Tapi bagaimana jika hanya bisa mencintai tapi tidak pernah dicintai kembali? Bagi lelaki introvert, nyatanya aku lebih banyak tersenyum dan bisa berbicara dengan beragam konteks bila itu bersama Mbak Sasha. Karena dia yang membuat hatiku berbungah bahkan berdebar walau hanya berada di dekatnya. Perasaan hebat ini datang untuk pertama kalinya meski bermuara pada wanita yang keliru. Namun aku tidak menyesalinya karena jatuh cinta membuat hidupku berwarna dan merasa selalu ingin mendapatkannya.Namun, sebelum jatuh cinta ini menjadi bumerang karena Mas Kian telah menyimpan rekaman CCTV rumah, aku memberanikan diri mencarinya sebelum berangkat ke apartemen Risty. Aku tidak mau Mas Kian melihat ulah brengsekku karena telah lancang mencumbu istrinya. "Sial! Dimana Mas Kian nyimpen rekaman itu?!" Geramku. Tanganku bergerak tergesa-gesa membuka dan menutup laci meja yang ada
Brak!Usai menutup pintu unit apartemennya dengan tergesa-gesa hingga berbunyi keras, Risty menatapku dengan raut cuek. Bahkan ia tidak peduli dengan pakaian minimnya yang memperlihatkan dengan jelas lengan tangannya yang putih merit tanpa lemak itu. Rambutnya yang digerai bebas dengan bagian ujungnya di bentuk rol seperti rambut para noni-noni Belanda, membuat tampilannya begitu berkelas. Khas anak gadis jaman sekarang dari keluarga terpandang. "Santai aja lagi, Do." Ucapnya santai lalu berlalu ke dalam unit apartemennya. Aku hanya berdiri mematung sembari menatap kepergiannya. Dia benar-benar memiliki kehidupan bebas hingga tidak mengapa aku melihat bagian lekuk tubuhnya. Perempuan kaya nan berkelas macam apa dirinya ini? Bukankah sebagai seorang perawan dia seharusnya menjaga keindahan tubuhnya untuk seorang yang berarti untuknya? Bukan mengumbarnya dihadapanku yang hanya bertugas sebagai bodyguardnya saja?Pantas jika bodyguard sebelum aku tidak bisa menahan nafsunya untuk tida
Tangan Risty memukul kedua tanganku yang bertengger di kedua pundaknya lalu menyorotku dengan tatapan kesal bercampur marah. Bukan apa-apa, tapi secara reflek aku ingin melindunginya. "Apa-apaan sih lo, Do?! Lepasin deh!" "Lo nggak lihat Ziany ngejar kita, heh?! Belum lagi premannya yang bisa aja udah nungguin kita di depan pagar!" Ekor mataku menangkap sosok perempuan yang tidak kukenal namun memiliki selera gaya berpakaian yang sama dengan Risty. Kurang bahan dan sebenarnya ... memalukan! Dia berjalan cepat ke arah kami dengan rambut rebondingnya diterpa angin pagi setengah siang di area parkir motor apartemen Risty. Namun, sebelum dia mencapai tempat dimana aku dan Risty berdiri, dengan sigap aku segera melingkarkan kedua lengan hoodie hitam milikku ke perut Risty. "Rado! Apaan sih?!" "Bisa diem nggak?!" Tanyaku lirih namun tajam. Risty sedikit terhenyak ketika mendapatiku untuk pertama kalinya bersikap begitu tegas kepadanya. "Gue nggak mau bonceng cewek yang pakaiannya
"Gimana rasanya boncengan sama cewek cantik, seksi, dan tajir kayak Risty heh!?" Aku menoleh begitu pundakku ditepuk sedikit kencang oleh lelaki yang kutahu bernama Richard. Lelaki berkulit putih dengan wajah setengah bule yang hobi bermain basket sekaligus ketua BEM fakultasku. Sekilas dari yang pernah kudengar, dia pernah dekat dengan Risty namun belakangan ini anak-anak kerap membicarakan hubungan mereka yang telah kandas. Alasannya simple, Risty sudah merasa bosan dengan Richard. Seperti itulah Risty. Dia memiliki harta, kecantikan, dan otak yang tidak bodoh. Wajar jika banyak lelaki yang ingin menjadikan dia sebagai kekasih. Dan mungkin Richard tidak terima jika bunga seindah Risty ingin mengakhiri hubungan atas nama 'bosan'. "Sorry, gue nggak ada urusan sama lo." Ucapku datar. Aku segera menuruni motor sport hitam milikku. Tapi sebelum aku melangkah pergi, tangan Richard kembali meraih pundakku. Reflek aku menggunakan seujung tenagaku untuk melepaskan diri darinya. Bela dir
Mengembalikan uang Risty yang telah kupakai? Yang benar saja! Uang dari mana lagi untuk mengembalikan uang Risty? Sedang aku saja bekerja untuk dia demi mendapatkan uang yang langsung kupergunakan untuk membiayai konsultasi kejiwaan dan penebusan obatku. Meski Mas Kian berlimpah harta, namun dia tidak pernah memberiku uang berlebih. Khawatir aku menggunakannya untuk hal menyimpang mengingat aku masih belum sepenuhnya sembuh dari gangguan kelekatan ini. Ucapan Kaika masih terus terulang di otakku hingga jam mata kuliah berikutnya. Aku yang biasa menunggu jam mata kuliah dengan menyendiri di atas gedung rektorat seorang diri ditemani semilir angin dan pancaran mentari di siang hari, akhirnya turun menggunakan lift menuju gedung fakultasku yang berada di sebelah gedung pusat kampus ini. Seperti biasa, Risty, Kaika, Greys, dan Livy akan duduk di satu bangku yang sama. Sedang aku selalu duduk di pojok, berseberangan jauh di belakang mereka berempat. Risty dan segala daya tariknya, mu
"An**ng lo! Rasain!" Helm full face-ku ditarik paksa hingga penguncinya terlepas secara kasar, bahkan daguku terasa panas terkena gesekannya. Kedua tangan dan leherku dipegang erat oleh tiga lelaki yang sama-sama menggunakan masker. Lalu satu lelaki berambut tebal sedikit pirang itu meninjukan tangannya yang telah terbungkus sarung tangan keras ke wajahku. Sebuah sarung tangan kaku yang dipakai untuk menghasilkan tinjuan dengan efek jera pada lawan. Hasilnya tidak mengecewakan. Dibawah terik mentari siang itu dengan sekali pukulan di pipi kiri cukup membuatku kesakitan. "Ayo lawan! Mana keberanian lo?! Banci!" Saat dia akan menghantamkan tinju keduanya ke wajah, aku sigap mengayunkan kaki kanan sekuat tenaga ke perutnya dengan tepat. Hingga ia terhuyung ke belakang. Skor 1-1. Hasil latihan di gelanggang bela diri mengajariku untuk menghasilkan pukulan yang tepat ketika berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Dan beruntungnya lagi, aku sudah meminum obat penenang sebelum be
"Aku nggak mau ke dokter dan nggak mau lapor polisi, Mbak." Ucapku dengan tetap memeluk pinggangnya. Kepalaku juga sangat nyaman berada di pangkuan dan menghadap perut Mbak Sasha. Justru aku ingin berlama-lama seperti ini dengannya. Kakak ipar yang sangat kucintai dan ingin kurebut dari genggaman Mas Kian, kakak kandungku. Perhatiannya adalah obat terbaik untukku yang memiliki gangguan kelekatan. Sebuah gangguan mental yang kuderita sejak kecil akibat ulah Papa bersikap kasar pada Mama yang dilakukan dihadapanku. "Do, apa yang udah mereka lakuin ke kamu ini termasuk tindak pidana. Mereka harus dilaporin!" "Ntar aja." Aku hanya tidak mau kesempatan berduaan dan bermanja-manja dengan Mbak Sasha di ruang tengah terganggu hanya karena masalah pelaporan. Bisa mendapatkan kehangatan dari dia itu jauh lebih utama dari sekedar rasa sakit di ragaku ini. "Tapi mereka bisa bikin ulah lagi kalau nggak dilaporin, Rado!" Ucapnya geram. Aku terkekeh pelan lalu melirik wajahnya yang nampa
Keringat dingin mulai membasahi kedua telapak tangan dan pelipisku. Sedang jantung berdegub lebih cepat dari biasanya. Kedua bola mataku berkedip cepat selayaknya ketahuan melakukan kesalahan berlipat. Siapa yang tidak merasa ketakutan ketika orang yang sangat dihindari dan ditakuti justru duduk menyejajari? Hal serupa juga aku rasakan, namun bedanya aku memiliki gangguan kecemasan yang bisa membuat rasa ketakutan ini lebih menonjol dan mudah diketahui oleh Mas Kian. Kami telah lama hidup bersama. Wajar jika ia merasa sikapku berubah bila sedang memiliki masalah yang tidak ingin kubagi dengan dirinya. Aku benar-benar tidak siap jika sekarang ia mengajakku memperinci kesalahan kemudian menjatuhkan hukuman. Mungkin Mas Kian tidak akan pernah memberiku ampunan. "Do, kamu kenapa?" Tanyanya sambil memegang sebelah pundakku. Tanganku bergerak pelan seperti akan melakukan peregangan otot, padahal ingin menyingkirkan tangan Mas Kian saja. Sungguh aku tidak nyaman bersisian dengannya.