Bab 95"Aku tidak bisa membiarkan ini, Evan sudah benar-benar kelewatan," ujarnya menggerutu. setelah Anya mendapat kabar penolakan dari perusahaan tempat di mana ia hendak menjatuhkan lamaran. Tapi sayangnya Evan justru meminta asistennya Roy untuk mengawasi setiap gerak gerik Anya. Sampai-sampai Evan bisa menolak lamaran kerja Anya, sekalipun itu tidak berada di perusahaan Evan sendiri. "Aku tidak akan memaafkanmu Evan," lanjut ujar Anya. Sangking kesalnya, Anya memutuskan untuk menemui Evan hari itu juga. Sampai ia berangkat ke perusahaan Evan. Tapi sayangnya setibanya di perusahaan Evan, Anya justru tidak bisa bertemu dengan Evan. Kata mereka para pegawai Evan, Evan sedang keluar kantor. Anya awalnya tidak percaya, sampai ia mencari keberadaan mobil Evan di parkiran. Tapi benar saja, Anya tidak menemukan adanya mobil Evan. "Mungkinkah Evan keluar? Terus, aku harus bagaimana? Masak iya aku harus menemui Evan di rumahnya? Malas ah ketemu dengan dua wanita yang menyebalkan itu,"
Bab 96 - Luka yang Tak Kunjung Sembuh Sarah terdiam. Matanya berkaca-kaca menyaksikan amarah putrinya yang meluap seperti bendungan jebol. Ia tahu betul, Anya sudah terlalu lama memendam luka. Luka yang terus digores oleh mereka yang mengaku mencintai, tapi justru mengambil segalanya. “Anya... cukup, Nak. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan terus membenci,” ucap Sarah lembut, tapi penuh ketegasan. Ia menggenggam bahu Anya, mencoba menenangkannya. Namun Anya menepis pelan tangan ibunya. Air matanya mengalir deras. “Bagaimana bisa aku memaafkan, Ma? Dia ambil Kenzo dariku! Sekarang bahkan pekerjaanku pun dia halangi. Apa Evan pikir dia Tuhan yang bisa mengatur segalanya?” Suara Anya meninggi. Napasnya memburu. Wajahnya merah karena amarah yang meluap. Sarah menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan saatnya menasihati panjang lebar. Tapi ia juga tahu, membiarkan Anya terbakar dalam dendam hanya akan menghancurkannya lebih dalam. “Evan memang salah... sangat salah. Tapi kamu j
Bab 97 - Jejak Luka yang MengangaEvan masih duduk di balik kemudi mobilnya, memandangi klinik yang kini seolah menelannya bulat-bulat. Detik demi detik berlalu seperti tetes air yang menghantam kesabarannya. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya liar menebak-nebak apa yang sedang terjadi di dalam ruangan berwarna putih itu.“Kenapa selama ini aku tidak cukup untuknya?” gumamnya lirih, setengah bertanya pada takdir yang ia sendiri tak mampu pahami.Tiba-tiba pintu klinik terbuka. Langkah kaki yang dinanti itu akhirnya terdengar. Evan segera menunduk, bersembunyi di balik kemudi sambil melirik melalui kaca spion. Napasnya tertahan ketika melihat Anya berjalan berdampingan dengan Nathan, menggenggam selembar kertas hasil pemeriksaan.Evan mengepalkan tangan. “Apa itu... hasil USG?” pikirnya, mencoba membaca ekspresi mereka. Nathan terlihat tenang, sementara Anya... senyum tipis itu membuat Evan serasa ditikam berkali-kali."Apa benar... dia sedang hamil? Dan Nathan yang menjadi ayah dar
Bab 98 - Di Balik Harapan yang RetakMalam itu, angin menerobos masuk lewat celah jendela kamar Anya yang tak sepenuhnya tertutup. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi hasil cek hormon yang masih diletakkan di atas meja. Helaan napasnya berat, seperti beban yang ditarik dari dasar dadanya.Ia mendongak, menatap langit-langit kamar. “Apa semua ini pantas aku alami?” bisiknya lirih.Kepalanya masih berat oleh kejadian tadi sore. Tatapan Evan yang penuh kecurigaan, tuduhan tanpa bukti, dan luka lama yang digali lagi tanpa ampun. Anya merasa dirinya seperti kaca yang jatuh berkali-kali—retak, pecah, dan tak pernah benar-benar utuh lagi.Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Evan."Maaf… Aku salah. Aku benar-benar minta maaf, Anya."Anya menatap layar itu lama. Tangannya sempat gemetar, tapi ia tak membalas. Hatinya terlalu lelah untuk menanggapi seseorang yang hanya datang ketika merasa bersalah, bukan karena ingin memperbaiki."Maaf tidak bisa merubah keadaan. Terkecuali kemb
Bab 99..Pagi itu, langit Jakarta sedikit mendung. Tapi tidak ada yang bisa meredam semangat Evan untuk menyelesaikan semua urusannya secepat mungkin. Di pikirannya hanya satu: menemui Anya. Namun sayang, kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Meeting penting dengan salah satu calon klien terbesar perusahaan, Pak Alex, memaksa Evan tetap tinggal di kantor. Evan mengenakan jas biru tua dengan dasi perak yang rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya kusut. Ia masuk ke ruang meeting besar di lantai sembilan, tempat semua petinggi perusahaan akan berkumpul. Roy sudah ada di sana, duduk di ujung meja dan sibuk dengan laptop serta berkas-berkas presentasi.Roy bangkit dan menghampiri Evan begitu pria itu duduk. “Kalau menurut data dan informasi yang aku terima Evan, Pak Alex ini sangat kompetitif dalam memilih perusahaan untuk proyek ini. Tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah menyusun semua proposal dan data kerja sama yang solid. Kita unggul dari sisi efisiensi biaya dan k
Bab 100 Beberapa pemimpin perusahaan yang datang di pertemuan itu satu persatu mulai pulang, tapi Evan tetap saja duduk di kursinya. Matanya menatap kosong ke arah Anya yang sedang bersiap untuk pulang. Bahkan Anya sedang menyusun berkas-berkas yang ia bawa dari perusahaan, sementara pak Rahmat pimpinan baru Anya sudah bersiap melangkah ke arah pintu. "Ayo buruan, Anya. Kita masih harus melakukan satu pertemuan lagi," ujar pak Rahmat. Anya menganggukkan kepalanya, dan bersiap ke arah pintu. Tapi Evan langsung menghalangi Anya yang hendak berjalan menyusul pak Rahmat. Hebatnya, Evan langsung memberikan isyarat ke Roy agar pak mengalihkan pandangan pak Rahmat, dengan cara Roy yang mengajak pak Rahmat mengobrol di tempat yang sedikit jauh dari Anya dan Evan. "Awas, Evan," ujar Anya dengan nada lembut, tapi Evan tidak menggubris. Dia bahkan tidak membiarkan Anya keluar dari dalam ruangan itu. Anya jadi kesal, sehingga dengan lantangnya Anya berkata, "Mau kamu apa sih, Evan? Tida
Bab 101Langkah kaki Anya terasa berat saat turun dari mobil Pak Rahmat. Dunia seakan berputar lebih cepat dari biasanya, dan bukan karena ia lelah, tetapi karena jiwanya seperti baru saja dibanting dari tempat tertinggi harapan, lalu jatuh ke jurang yang paling gelap.Anya berdiri di trotoar, menatap gedung tempat ia baru saja kehilangan pekerjaan. Angin sore membelai wajahnya yang terasa panas menahan tangis. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu luruh, jatuh satu per satu, menandai luka yang semakin dalam di dalam hatinya.Ia membalikkan badan, menatap langit yang mulai memerah, lalu melangkah pelan. Pikirannya kacau. Dulu ia punya impian untuk kembali berdiri di atas kakinya sendiri, tapi sepertinya Evan tak pernah benar-benar mengizinkan itu terjadi. "Aku benci kamu, Evan. Dan jangan harap aku akan datang ke kamu, Evan. Tidak akan,' lirihnya Anya yang sedang bersedih. Sementara itu, di ruang kerjanya, Evan menatap keluar jendela. Ada rasa puas di wajahnya karena
Bab 102 — Luka yang DipertontonkanAnya tak bisa tidur semalaman. Matanya sembab, kepalanya berat, dan dadanya sesak. Setiap kali ia memejamkan mata, video itu terus terbayang. Wajahnya yang tampak kacau, tubuhnya yang sempoyongan, tawa orang-orang di sekelilingnya — semuanya jadi luka baru yang dipertontonkan ke seluruh dunia.Di ruang tamu rumah Dewi, televisi terus menayangkan berita tentang video viral itu. Presenter membacakan berita dengan nada serius. _"Sebuah video memperlihatkan seorang wanita yang diduga Anya Wibisono, mantan karyawan Sanjaya Grup, dalam kondisi mabuk berat di sebuah klub malam. Video ini memicu perdebatan di masyarakat, terlebih setelah diketahui bahwa wanita tersebut sedang dalam proses perebutan hak asuh anak dengan Evan Sanjaya."_ Anya menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tuhan… aku benar-benar habis," gumamnya.Dewi duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Anya erat-erat. "Nya, kamu nggak boleh nyerah. Aku tahu siapa kamu. Semua orang yang sayang s
Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men
Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih
Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la
Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na
Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E