Jeanet dan Jenzo saling bertatapan, keduanya masih tampak ragu.Farnley bisa melihatnya, dan dia pun mengerti alasan keraguan mereka.Dia dan Jeanet sebelumnya memiliki banyak keterikatan emosional. Dengan susah payah, Jeanet akhirnya berhasil melepaskan diri darinya dan siap memulai hidup yang baru. Jadi wajar saja jika mereka tidak ingin lagi ada hubungan dengan dirinya."Jeanet," panggil Farnley, perasaannya pahit, namun ucapannya justru berusaha menenangkan."Sekalipun hari ini yang datang adalah Zenith, dia juga tetap akan meminta tolong padaku. Dia hanya menjadi perantara saja."Maksud tersiratnya, meskipun mereka tidak bertemu dengannya, budi ini tetap akan menjadi hutang sekeluarga Gaby."Aku datang justru untuk menghemat satu langkah proses, juga agar bisa memahami situasinya lebih detail. Bukankah itu lebih baik?" tanya Farnley ketika melihat Jeanet tetap diam."Masak kamu akan mengabaikan masalah Jenzo hanya karena kamu benci padaku?""Bukan, bukan itu!" Jeanet buru-buru men
Yang mengejutkan, ternyata Farnley juga ada di sana."Jeanet."Farnley keluar dari dalam, menyambut mereka. "Di dalam cukup besar, aku takut kalian tersesat. Ayo masuk.""Baik.""Terima kasih."Setelah masuk, seorang petugas datang membawa Jenzo untuk membuat laporan, melakukan identifikasi, dan serangkaian prosedur lainnya. Karena Jeanet bukan pihak yang terlibat langsung, dia hanya bisa menunggu di luar."Duduklah."Farnley membawanya ke ruang teh staf dan menuangkan segelas air untuknya."Terima kasih." Jeanet terlihat agak gugup. "Aku duduk di sini, apa tidak apa-apa ya?"Ini kan tempat istirahat para pegawai."Hm?"Farnley mengangkat alis dan tersenyum, "Kalau kamu merasa tidak nyaman, aku bisa ajak kamu ke kantor kakakku. Di sana lebih luas, memang lebih nyaman.""Tidak, tidak usah!"Jeanet buru-buru menggeleng, "Di sini saja sudah cukup …"Tatapan mereka bertemu. Farnley tersenyum duluan. "Kamu gugup kenapa?""Kamu masih tanya?" Jeanet memelototinya, "Menggodaku ya?""Mana ada."
Wajah Jeanet tampak tidak senang, sementara Farnley yang berdiri di sana juga merasa canggung.Ia memaksakan senyum, "Kalau begitu, makan malam ini ... kita batalin aja?""Kenapa?"Jeanet cemberut, pipinya mengembung karena kesal."Mereka nggak datang, terus kita jadi nggak makan? Emangnya kita nggak bisa makan sendiri? Tempat ini susah dapetnya, tahu nggak? Belum lagi bahan makanannya yang diimpor, semuanya butuh waktu nunggu!"Sambil ngomel, dia menarik kursi dan duduk.Lalu dia melotot ke arah Farnley. Emosinya sudah terlanjur naik, jadi bicaranya juga nggak lagi sopan."Duduk! Tunggu makan! Mereka nggak makan, pas banget, kita jadi bisa makan lebih banyak!""Hmm, baik."Farnley mengatupkan bibir, lalu duduk dengan senyum kecil."Mas!" Jeanet mengangkat tangan dan menekan bel layanan, memanggil pelayan. "Makanannya bisa dihidangkan.""Baik, mohon tunggu sebentar."Tak lama kemudian, makanan mulai dihidangkan.Jeanet mengisyaratkan Farnley, "Makan yuk, jangan sungkan."Sambil itu dia
"Hamil, ya?""Ah …" Jeanet terkejut."Wah, bagus dong."Belum sempat Jeanet menyangkal, Snow sudah tertawa, "Kalian cepat juga, ya? Jeanet juga baru sadar belum lama ini kan? Tapi, Farnley memang sudah menunggumu cukup lama. Usianya juga sudah tidak muda lagi, memang harus cepat-cepat."Lalu ia menoleh ke arah pacarnya."Setelah kami menikah nanti, kami juga berencana segera punya anak. Mumpung masih muda, tubuh juga cepat pulih, dan masih punya tenaga buat mengasuh. Betul, kan?"Pacarnya menatapnya sambil tersenyum, "Betul."Snow sedikit malu, lalu mengangguk pada Farnley dan Jeanet, "Kalau begitu, kami pamit duluan, ya.""Baik.""Oh, iya."Seolah teringat sesuatu, Snow menambahkan, "Waktu pernikahan kami nanti, Farnley, Jeanet, kalian berdua harus datang, ya.""Ya ...""Duluan ya."Snow menggandeng pacarnya, berjalan pergi sambil tersenyum manis.Di belakang mereka, Farnley dan Jeanet tiba-tiba terdiam dalam suasana yang agak janggal."Uhm …"Setelah cukup lama, Jeanet sendawa pelan
Di Hajin, tempat ini sudah pernah dikunjungi oleh Kayshila, tapi bagi Jeanet yang asli Jakarta, ini adalah kunjungan pertamanya.Masih pagi buta ketika Kayshila menjemput Jeanet dari rumah Keluarga Gaby. Saat mereka tiba di Hajin, waktu baru menunjukkan sekitar pukul tujuh lebih, belum juga jam delapan.Di kursi belakang, Jannice masih terlelap manis di kursi anak.Zenith turun dari mobil dan menggendong Jannice, "Aku bawa dia duluan ke kamar."Meskipun pengasuh ikut dalam perjalanan kali ini, Jannice sekarang sedang sangat lengket dengan ayahnya. Kalau bangun dan tak melihat sang ayah, dia pasti akan menangis dan rewel."Baik," jawab Kayshila, mengaitkan lengannya di lengan Jeanet. "Aku dan Jeanet pergi sarapan dulu."Barang-barang bawaan tentu saja akan diantarkan oleh staf resort ke kamar mereka."Oke," kata Zenith sambil membawa Jannice pergi.Melihat punggung ayah dan anak itu, Kayshila tak tahan untuk mengeluh, "Anak itu benar-benar dimanjakan habis-habisan olehnya. Menurutku sih
Kelihatan usianya tidak terlalu tua."Aku juga kurang tahu," jawab Kayshila sambil menggeleng. "Mungkin saja."Tapi Jeanet merasa, itu sepertinya bukan rekan kerja. Lebih mirip pacarnya. Cara mereka bicara sangat alami dan akrab. Kalau hanya hubungan kerja, tidak akan sedekat itu.Jangan-jangan … Farnley akhirnya punya pacar?Bisa saja.Meski selama lebih dari setahun ini dia selalu sendiri. Tapi sekarang situasinya berbeda. Dia sudah secara jelas menolaknya.Kalau dia ingin memulai hubungan baru, itu hal yang wajar."Jeanet?"Kayshila melambaikan tangan di depan wajahnya. "Kamu lagi mikirin apa? Sampai melamun begitu.""Hmm?" Jeanet langsung sadar dan tersenyum. "Nggak, cuma ... sandwich di sini enak banget.""Cobain kopinya juga, aromanya kuat banget."Setelah sarapan, Kayshila mengajak Jeanet memilih pakaian berkuda.Kayshila bukan pertama kali ke sini, Zenith sudah dua kali membawanya. Dia sudah punya pakaian berkuda khusus, jadi tinggal pilihkan untuk Jeanet."Jeanet, yang ini saj
Setelah selesai menelepon, Kayshila kembali masuk dan melihat Jeanet kembali melamun."Jeanet? Lagi lihat apa tuh?""Hmm?" Jeanet tersadar, lalu melirik kesal, "Kamu ke mana sih? Baru aja balik badan, tiba-tiba ngilang.""Maaf, maaf."Kayshila tersenyum sambil mengangkat ponselnya, "Jannice sudah bangun, terus nangis karena nggak lihat aku. Semua gara-gara dimanjain sama ayahnya."Sambil bicara, dia memperhatikan tubuh Jeanet."Pinggangmu ini …"Nggak tahan, dia pun menjitaknya pelan."Udah kurus banget. Ini ukuran paling kecil aja masih longgar.""Iri ya?""Iri doang? Cemburu berat aku!"Keduanya pun tertawa dan keluar bersama."Kamu mau jemput Jannice?""Enggak perlu." Kayshila menggeleng, "Ayahnya yang bakal bawa dia ke bawah. Aku antar kamu dulu pilih kuda dan cari pelatih, ya.""Gak apa-apa nih? Nanti Jannice marah, mikirnya aku rebut mamanya?""Kalau gitu, kamu aja yang ribut sama dia.""Hahaha …"Mereka pun pergi memilih kuda terlebih dahulu.Di sana, mereka kembali bertemu deng
”…"Jannice memandang ibunya, lalu menoleh ke arah ayahnya. Tak sampai dua detik, dengan lengan kecilnya, ia menumpu ke tanah dan bangkit.Ia langsung memeluk Kayshila, “Mama!"“Anak baik!"Kayshila tersenyum dan memeluk putrinya, mencium pipinya. Zenith pun berjalan mendekat, mengangkat Jannice, lalu menggandeng tangan Kayshila …Keluarga kecil itu, berdiri bersama, seperti lukisan yang indah.Jeanet menatap mereka, merasa iri sekaligus terharu …“Nona Gaby. Saya pelatihmu. Kita bisa mulai sekarang?"Pelatihnya sudah datang.Jeanet tersenyum dan mengangguk, “Baik, ayo mulai."“Nona Gaby pernah menunggang kuda sebelumnya?"“Belum pernah."“Kalau begitu, saya akan ajarkan cara naik dan turun kuda dulu, lalu kita berjalan perlahan."“Baik."Di sisi lain lapangan kuda, Farnley membantu gadis yang bersamanya turun dari kuda.“Aduh …" Gadis itu terengah-engah, melambaikan tangan, “Nggak kuat, capek banget, aku harus istirahat sebentar."Farnley tertawa kecil, “Awalnya memang begitu, jangan
Setelah keluar dari rumah sakit, sikap Zenith terhadap Kayshila jadi jauh lebih hati-hati.Awalnya hari ini dia berniat pergi ke kantor, tapi sekarang malah tidak ingin pergi sama sekali."Kayshila, hari ini kamu mau ngapain? Aku temani semuanya, boleh ya?""Boleh." Kayshila paham maksudnya dan tidak menolak.Keduanya berjalan melewati lobi poliklinik, menuju ke luar.Tiba-tiba, Kayshila berhenti melangkah, pandangannya terpaku pada satu arah."Kayshila?" Zenith mengira dia merasa tidak enak badan, "Kenapa?""Oh …" Kayshila melirik padanya, "Lihat seseorang yang aku kenal. Kamu juga kenal.""Oh ya?"Zenith mengikuti arah pandangannya. Di loket pendaftaran mandiri, yang paling akhir dalam antrean adalah seorang perempuan."Siapa?" Zenith menyipitkan mata, berusaha mengingat."Hmm?" Kayshila menatapnya sambil tertawa, "Nggak ingat? Aktingnya sih meyakinkan.""Bukan begitu … aku beneran nggak inget. Siapa sih?""Udah deh, cukup ya."Kayshila melotot manja, "Orang itu pernah ada hubungan s
Dua bulan kemudian.Pagi-pagi sekali, Zenith sudah bangun.Dengan langkah ringan dan hati-hati, ia turun ke bawah, masuk ke ruang makan, dan mulai menyiapkan sarapan untuk Kayshila.Sejak sebulan yang lalu, Kayshila mulai mengalami gejala mual karena kehamilan.Apa pun yang dimakan pasti dimuntahkan, bahkan kadang-kadang hanya minum air pun bisa membuatnya mual.Nafsu makannya menurun drastis. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu, “nggak lapar”.Padahal di rumah ada chef masakan barat dan Indo, ditambah lagi ada Bibi Maya yang ahli masak.Kalau saja dia sedikit saja bilang ingin makan sesuatu, langsung bisa disajikan di depan matanya.Tapi mulutnya sangat pilih-pilih dan hanya mau makan masakan buatan Zenith.Jadinya, setiap kali ada waktu, Zenith pasti turun tangan sendiri.Apalagi soal sarapan, sudah pasti jadi tanggung jawab dia sepenuhnya.Di dapur, Bibi Maya melihat dia masuk, langsung menyapa sambil tersenyum, "Tuan Muda Zenith sudah bangun? Semua bahan sudah saya siapkan.""Ya
Perjalanan ke Toronto kali ini benar-benar penuh dengan kebahagiaan. …Delapan bulan kemudian, Jeanet melahirkan seorang bayi laki-laki di Rumah Sakit Santa.Bayi besar dengan berat 3,9 kg.Cucu pertama di Keluarga Gaby, dan cucu bungsu di Keluarga Wint. Sejak lahir, ia sudah bagaikan terlahir dengan sendok emas di mulutnya.Karena kondisi tubuhnya, Jeanet tidak memilih melahirkan secara normal, melainkan melalui operasi caesar.Farnley ikut masuk ke ruang operasi. Awalnya dia menunggu di ruang persiapan, lalu setelah bayinya lahir, barulah ia masuk ke ruang operasi.Ia mengganti pakaian isolasi, mengenakan sarung tangan, lalu menerima gunting dari dokter untuk memotong tali pusar yang menghubungkan anak dan ibunya.Setelah itu, ia menggendong bayinya dan menghampiri Jeanet, memeluk ibu dan anak sekaligus."Jeanet, kamu sudah sangat berjuang."Jeanet tersenyum, "Hmm."Begitu keluar dari ruang operasi, Jeanet dipindahkan ke kamar rawat. Farnley menjaganya sepanjang malam tanpa beranjak
"Apa maksudnya?" Jeanet sempat tertegun.Adriena cemas, "Aku tanya, kamu jawab saja!""Sepertinya ... bulan lalu?" Jeanet mencoba menghitung."Aduh!" Adriena tertawa sambil menangis, "Anak ini! Hubungan kalian begini, sudah sekian lama nggak haid, kamu nggak ada rasa curiga sedikit pun?""Aku ..." Jeanet menggeleng polos, "Sejak sembuh dari sakit, datang bulanku memang nggak teratur.""Tapi nggak sampai se-nggak teratur ini juga!"Adriena melirik Farnley, "Kamu percaya nggak, dia muntah-muntah kayak gitu gara-gara kamu!""Hah?" Jeanet kaget, "Masa sih?""Kenapa nggak?"Adriena tertawa geli, "Kalian anak muda memang kurang pengalaman! Kalau pasangan itu hubungannya dekat banget, ceweknya hamil, cowoknya bisa ikut-ikutan muntah!"Sambil mendorong mereka, dia berkata, "Masih bengong aja? Cepat ke rumah sakit, periksa dulu!""Oh ..."Begitu sampai rumah sakit dan hasilnya keluar, semua pun terdiam."Apa aku bilang?" Adriena membaca laporan medis sambil tersenyum lebar, "Benar kan, kamu ham
Azka yang bertubuh tinggi dengan mudah mengangkat Jannice di atas bahunya, ke mana pun pergi, Jannice tak perlu berjalan sedikit pun.Jannice pun girang dan berteriak, "Aku milik tempat ini! Tempat ini bagaikan surga!"Ucapan itu terdengar oleh para orang dewasa, membuat mereka tak bisa menahan tawa.Seiring berjalannya waktu, para tamu pun datang satu per satu.Pernikahan pun tiba sesuai jadwal.Di taman tua yang klasik, hamparan karpet merah digelar. Azka kembali menggendong Kayshila, mengantarnya menuju pernikahan.Ia menyerahkan sang kakak kepada Zenith, "Kakak ipar, kakakku kuserahkan padamu."Pemuda itu kini berbicara jauh lebih lancar daripada dulu."Tenang saja." Zenith menerima mempelainya, di belakangnya ada Jannice dan Kevin sebagai flower boy dan flower girl, menaburkan kelopak bunga ke udara.Saat sesi lempar bunga, dengan teriakan Kayshila, "Aku lempar ya! Satu, dua, tiga!"Dia melemparkan buket bunga ke belakang.Buket itu terbang di udara, dan di tengah riuh para tamu,
Awalnya, niat Kayshila adalah untuk tidak menggelar pernikahan lagi.Namun, saat urusan ini jatuh ke tangan Adriena, ditambah lagi dengan Ron, pasangan suami istri ini memang merasa sangat bersalah kepada putri mereka. Dengan adanya kesempatan seperti ini, bagaimana mungkin mereka tidak memanfaatkannya sebaik mungkin?Dan juga, Ron dan Calista telah resmi bercerai setengah tahun lalu, dan keesokan harinya, Ron langsung mendaftarkan pernikahan dengan Adriena, menjadikan mereka pasangan sah secara hukum.Pertikaian yang telah berlangsung selama lebih dari dua puluh tahun itu akhirnya mencapai sebuah akhir.Setidaknya, bagi mereka, ini adalah akhir yang baik.Pernikahan mereka digelar dengan sangat megah. Para tokoh kalangan elite dari seluruh Kanada yang bisa hadir, datang semua.Ron akhirnya bisa menegakkan kepala, menikahi perempuan yang telah dicintainya sejak muda, dan kini akhirnya ia bisa berdiri di sisinya secara sah.Dalam pernikahan itu, Kayshila dan Zenith mengambil cuti dan da
"Baik, aku mengerti."Setelah menutup telepon, Kayshila berdiri di hadapan Zenith. Mata Zenith sedikit memerah, suaranya tenang namun terdengar datar."Dia sudah pergi."Kayshila memejamkan mata sejenak, tak mengatakan apa pun. Dia hanya melangkah maju dan memeluknya.Dia bisa merasakan tubuh Zenith sedikit gemetar.Di saat seperti ini, hatinya pasti sangat terluka, ya?Kini, tampak jelas bahwa yang paling patut dibenci adalah Gordon dan Morica. Hidup Jeromi bisa dibilang penuh dengan ketidakberuntungan.Akhir hidupnya yang seperti itu seolah-olah membuat seluruh perjalanan hidupnya di dunia ini menjadi sia-sia.Kayshila menepuk-nepuk punggung Zenith dengan lembut. "Adakan pemakaman yang layak untuknya. Iringi dia ke peristirahatan terakhirnya dengan baik.""Mm." Zenith mengangguk dengan suara serak.Meski berniat menggelar pemakaman yang layak, pada kenyataannya tak banyak orang yang hadir.Selama beberapa tahun terakhir, Jeromi tinggal di Toronto dan tak memiliki banyak teman. Dia me
Jeromi perlahan membuka mulut, menatap langit-langit, "Aku ini hidupnya pendek. Tapi sejujurnya, aku sudah lama merasa cukup dengan hidup ini.""Bagiku, sejak meninggalkan Jakarta, meninggalkan kamu, ibu, dan kakek … setiap hari setelahnya terasa lebih menyiksa daripada mati."Suasana dalam ruangan sunyi senyap.Kayshila diam-diam menggenggam tangan Zenith.Orang bilang, ketika seseorang menjelang ajal, kata-katanya menjadi tulus.Kalau dulu Jeromi mengucapkan kalimat seperti ini, orang mungkin akan curiga, apakah dia hanya sedang berpura-pura.Tapi melihat kondisinya sekarang … apa gunanya berpura-pura lagi?Sudah terlihat jelas, dia benar-benar sedang sangat menderita.Jeromi melanjutkan, "Satu-satunya keinginanku dalam hidup ini adalah kembali ke Jakarta, kembali ke sisi Ibu …"Ia perlahan menoleh ke arah Zenith, "Zenith, kumohon padamu, bawalah aku pulang, bolehkah?"Bibir Zenith menegang, hatinya terasa perih dan sesak.Pria di hadapannya ini dulu adalah saudara kandungnya, tapi j
Mereka tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, bahkan untuk mengurus Jannice pun sudah tidak diperlukan lagi.Paman Kevin sangat menyayangi keponakan perempuannya, dan ia sering mengajaknya bermain keliling seluruh area perkebunan.Tahun itu, saat mereka datang, Toronto sedang berada dalam musim dingin. Namun kini, musim semi telah tiba, bunga-bunga bermekaran, taman terlihat sangat indah, sangat cocok untuk anak-anak bermain.Memasuki bulan April, Toronto akan berganti ke musim panas, yang akan berlangsung hingga Oktober. Pada saat itu, perkebunan akan terlihat secantik lukisan cat minyak.Adriena pun mengusulkan, "Kayshila, bagaimana kalau nanti acara reuni kalian diadakan di sini saja?"Semakin dipikir, ia merasa ide itu sangat masuk akal."Tempatnya luas, kalian juga hanya mengundang kerabat dan teman dekat saja, pasti cukup untuk menampung semua. Kota Azka juga dekat dari sini, jadi kalau mau menjemput orang juga mudah. Momen ini langka, kalian kakak-beradik bisa berkumpul kembali."