LOGINNadira, gadis berusia 23 tahun. Hidupnya hancur seketika, saat bapaknya terlilit hutang dengan rentenir tua bangka yang ingin menjadikannya istri. Tidak ingin terikat pernikahan tanpa cinta, Nadira melarikan diri di malam sebelum hari pernikahannya. Pertemuan tidak terduga dengan teman lamanya membuka babak baru perjalan hidup Nadira. Apakah Nadira bisa benar-benar bebas dan menata hidupnya kembali?
View MoreSenja itu menyisakan cahaya jingga. Nadira duduk di teras rumah, meratapi nasibnya. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
Setelah kematian ibunya, Nadira seperti tidak ada tempat bersandar. Beban berat di pundaknya kini di pikulnya sendiri. Sakit yang diderita sang ibu akhirnya merenggut nyawanya. Bukan ingin menyalahkan takdir, tetapi andai saja biaya untuk pengobatan ibu tidak dipakai ayahnya bermain judi dan mabuk-mabukan, mungkin ibunya bisa di bawa ke rumah sakit besar di kota untuk di obati. Dengan uang yang sudah di kumpulkan ibunya dengan susah payah dari hasil menjahit yang tidak seberapa itu. Kini, Nadira hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Suara langkah membuatnya tersadar, ayahnya nya berjalan dengan terhuyung-huyung. Saat ayahnya sudah dekat tercium bau menyengat yang sangat dikenali Nadira. Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk lagi. Dia duduk menghempaskan diri di samping Nadira, dengan mata yang merah dan badan sempoyongan. Nadira sebenarnya sudah lelah menghadapi ayahnya yang setiap hari datang dalam keadaan seperti ini. Ayah yang seharusnya menjadi tulang punggung dan pelindung keluarga, tapi menjadi ayah yang tidak bertanggung jawab. "Dira," suara berat dan sesak itu memanggilnya. "Yah," Dira berusaha menahan tubuh ayahnya yang hampir terjerembab ke tanah. "Kenapa ayah minum lagi, ayah kan sudah janji untuk ti-" "Diam!" bentaknya, membuat Dira terkejut dan menunduk. Dira menyandarkan tubuh ayahnya ke dinding rumah agar tidak terjatuh. Hening sesaat setelah membentak Nadira, ayahnya berusaha menegakkan diri dan berkata dengan suara yang seperti putus asa. "Dira, hutang Ayah pada Brama sudah terlalu besar. Ayah tidak sanggup untuk membayarnya..." Hutang yang dipakai ayahnya untuk mabuk-mabukan dan bermain judi, setiap hari hanya itu yang dilakukan ayah. Bahkan kalau kalah dan ingin main judi lagi tapi uangnya sudah tidak ada, dia akan mengamuk pada anak satu-satunya itu. Nadira menatap ayahnya dengan perasaan takut. Nama Brama sudah tidak asing lagi ditelinganya. Semua orang di kampungnya tahu siapa dia. Dia adalah rentenir yang menjerat nasabahnya dengan bunga yang sangat besar. "Yah, kita pasti bisa cari jalan keluarnya. Aku bisa kerja apa saja asalkan-" "TIDAK ADA JALAN LAIN!" teriak Surya tiba-tiba, menghantam lantai yang di dudukinya dengan kepalan tangannya. "Brama... Dia bilang kalau kamu mau jadi istrinya, maka hutang Ayah akan lunas." Nadira terdiam, rasanya dunianya runtuh seketika. Apa yang dikatakan ayahnya langsung menusuk jantungnya, bahkan lebih dalam dari pisau. Itu benar-benar menyakitkan. "Hanya itu cara agar Ayah selamat..." Surya menarik napas sejenak. "Besok kamu ikut Ayah menemui Brama, awas saja kalau kamu menolak," lanjut Surya. Air mata Nadira mengalir tanpa bisa ditahan. Tangisnya pecah. Dia menatap ayahnya dengan iba, seolah memohon agar semua itu tidak terjadi. Di balik mabuknya, Surya melihat tatapan iba anaknya sebenarnya tidak tega. Tapi hanya ini yang bisa Surya lakukan agar bisa selamat dari jeratan rentenir itu. Brama terkenal dengan kebengisannya, kalau ada nasabah yang tidak bisa membayar dia tidak akan segan-segan melukainya. Nadira memeluk dirinya sendiri. Dalam hati dia berjanji tidak akan menyerahkan dirinya pada Brama, apapun akan dia lakukan agar tidak menikah dengannya. Menikah dengan lelaki yang lebih pantas di sebutnya "Ayah" itu. Tapi... apa yang bisa Dira lakukan? Dia tidak bisa berpikir jernih, sementara besok dia harus bertemu dengan Brama. "Apa aku pergi saja dari kampung ini?" gumamnya. "Tapi bagaimana dengan Ayah?" Hatinya galau memikirkan nasib ayahnya jika dia kabur. Sudah pasti Brama akan mengamuk habis-habisan. Sebenarnya, pergi meninggalkan kampung adalah satu-satunya cara agar Nadira terlepas dari pernikahan. Karena Nadira sadar, bertahan di sini tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Dia juga tidak bisa membayar hutang ayahnya yang sangat banyak itu dalam waktu dekat. "Tuhan, apa yang harus aku lakukan...?"Satu tahun sudah pernikahan kontrak berjalan.Sebuah ikatan yang dibangun di atas alasan menenangkan keluarga, kesepakatan, dan peran yang harus dimainkan di depan orang-orang terdekat. Setahun yang dipenuhi jadwal padat, rutinitas, dan jarak yang perlahan membentuk pola baru dalam kehidupan keduanya.Setelah acara tahunan perusahaan itu, kesibukan Vino semakin padat. Pabrik-pabrik milik Putra Corporation sedang memperluas kerja sama dengan klien besar, dan sebagai CEO, dia memilih turun langsung mengawasi perkembangannya. Beberapa kali dia pulang ke rumah hanya untuk mengambil berkas, hanya untuk berganti pakaian, lalu berangkat lagi bersama Rama.Sementara itu, rumah keluarga Vino tetap menjadi tempat tinggal Nadira, tempat di mana dia menjalankan akting sebagai pasangan suami istri.Ibu Vino sesekali menanyakan kabar putranya, dan Nadira harus menjelaskan dengan kalimat lembut yang dia rangkai dengan hati-hati. "Mas Vino lagi di luar kota, Bu. Katanya akan menemui klien yang nanti
Acara tahunan perusahaan akhirnya selesai, menjelang tengah malam. Musik perlahan berhenti, lampu ballroom mulai diredupkan, dan para karyawan satu per satu meninggalkan ruangan dengan wajah puas. Suasana yang sebelumnya ramai kini mulai lengang, hanya tersisa suara sepatu dan percakapan ringan di lorong hotel.Nadira keluar bersama teman-temannya, masih dengan senyum namun bercampur lelah di wajah. Mereka sempat berfoto-foto di lobby, tertawa sesaat melihat hasil jepretan yang kadang miring dan buram."Capek banget, tapi seru ya," ujar Melani sambil meregangkan tangan. "Makanannya enak, dekorasinya juga keren.""Dan CEO kita... duh, makin keren saja malam ini," sahut Sinta.Nadira hanya tersenyum kecil, pura-pura ikut mengiyakan. "Iya." Padahal dalam hatinya, dia masih teringat tatapan singkat Vino saat pria itu masuk ke ballroom."Yuk, kita pulang. Besok masih harus kerja lagi," ajak Wulan kemudian.Nadira pun akhirnya berpisah dengan teman-temannya, dia pulang menggunakan taksi on
Nadira duduk di meja divisinya bersama Wulan, Melani dan Sinta. Rudi dan Doni entah duduk di mana. Meja mereka cukup jauh dari panggung utama, tapi dari posisi itu dia masih bisa melihat Vino yang kini tengah berbicara di depan mikrofon."Selamat malam semuanya," suaranya terdengar tegas namun tenang. "Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalanan Putra Corporation. Tanpa kalian, perusahaan ini tidak akan sampai sejauh ini."Ruang ballroom langsung hening, semua mata tertuju pada sosok CEO itu. Nadira menatapnya diam-diam, tanpa sadar senyum kecil muncul di bibirnya. Dia tahu Vino tidak hanya tampan, pria itu juga cerdas, bertanggung jawab, dan pekerja keras.Sinta menyenggol lengannya pelan. "Dira, lihat deh, kalau dia senyum gitu kayaknya semua perempuan langsung terpesona.Nadira hanya terkekeh kecil. "Iya," jawabnya singkat, menahan diri agar tidak terlihat gugup.Setelah sambutan selesai, musik kembali mengalun. Para karyawan mulai berdiri, ada yang ke buffet, ada yang mengob
Sore itu, suasana rumah keluarga Vino tampak sibuk. Nadira berdiri di depan cermin besar di kamar, menatap pantulan dirinya sendiri dengan perasaan campur aduk. Gaun yang kemarin dipilih oleh Vino kini terpasang sempurna di tubuhnya, sederhana tapi terlihat berkelas. Dengan rambut yang dibiarkan terurai, sedikit riasan natural di wajah yang di bantu oleh Vina.Setelah selesai bersiap, Nadira melangkah hendak keluar kamar. Namun langkahnya terhenti oleh suara seseorang yang baru keluar dari ruang kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Iya, Mas.""Ya sudah, hati-hati," ucapnya datar.Nadira mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya."Kemudian dia melanjutkan langkahnya ke luar kamar. Taksi yang dipesannya sudah menunggu di depan pagar.Sementara dari balik jendela, Vino meperhatikannya diam-diam. Entah kenapa, pemandangan Nadira yang memakai gaun itu membuat dadanya terasa sesak aneh. Hingga Nadira masuk ke dalam taksi, duduk di kursi belakang.Sekitar tiga puluh menit kemudian, taksi y
Mobil yang dikendarai Vino melaju pelan di antara jalanan kota yang padat, menjelang senja. Dari kaca jendela terlihat lampu-lampu jalanan mulai menyala, menciptakan bayangan keemasan di wajah Nadira yang duduk di sampingnya. Gaun yang tadi dicoba di butik kini tersimpan rapi dalam kotak besar di kursi belakang.Nadira menatap ke luar jendela sejenak, lalu mengalihkan pandangannya pada Vino. Suara mesin mobil menjadi satu-satunya yang terdengar sebelum akhirnya dia memecah keheningan."Tuan..." panggilnya pelan.Vino melirik sekilas, alisnya terangkat. "Kamu memanggilku apa? Tuan?"Nadira menunduk sejenak, tidak menjawab pertanyaan Vino. Dia merasa ini tidak di hadapan keluarga Vino, jadi dia memanggil Tuan, mau memanggil Vino tapi dia rasa itu tidak sopan."Kau memanggil Rama saja Kakak, kenapa memanggilku Tuan? Aku ini suamimu, Dira." Vino sedikit menekankan pada kata suami.Nadira spontan terdiam. Entah kenapa , ada rasa aneh yang muncul di dadanya. Jantungnya berdetak sedikit lebi
Sore itu, setelah jam kantor selesai. Nadira melangkah keluar dari gedung menuju lobby. Rama sudah menunggunya di lobby, bersandar santai di mobilnya."Hai, Ra," sapa Rama saat melihatnya datang dan membuka pintu mobil."Hai, Kak," jawabnya sambil tersenyum.Perjalanan terasa santai, mereka mengobrol ringan tentang kerjaan. "Bagaimana kerjaan kamu, Ra?""Lumayan sibuk akhir-akhir ini, Kak.""Aku dengar divisi kamu memang lagi padat, ya?""Iya banget. Semua meminta harus serba cepat selesai," jelas Nadira sambil tertawa kecil.Rama ikut tertawa. "Jangan sampai lupa makan ya, Ra, nanti pingsan di depan komputer."Sesampainya di butik, Nadira disuruh Rama untuk memilih gaun di temani karyawan butik.Beberapa menit setelah mereka sampai, pintu butik terbuka. Langkah tegap dan aroma parfum maskulin langsung tercium, membuat Nadira menoleh. Vino berdiri di sana, dengan kemeja putih digulung di lengan dan wajahnya tenang namun matanya memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan."Vin," sapa Ra






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments