Share

Bab Empat. Satu Persen Sifat Bos

Di antara se-abrek sifat negatif seorang Leo ternyata masih punya sifat kebaikan meski itu sebesar jarah. Tidak bisa ditampik, pemberian obat Pak Leo semalam cukup membuat aku mengakui kalau dari 100% watak yang dimiliki Pak Leo terdapat satu persen rasa empati. Wajar.

Yang nggak wajar itu satu yaitu fakta bahwa aku memukul bosku sendiri. Mau ditaruh di mana mukaku? Parahnya hari ini ada apel pagi yang mewajibkan semua orang berbaris rapi dengan name tag dan pakaian formal. Biasa mendekati weekend seperti ini saatnya evaluasi penampilan dan itu dipimpin oleh Pak Leo. 

"Kacau gue Vi, kacau!" Aku berdiri bak cacing kepanasan di samping Evi yang berdiri sejajar denganku. Bagaikan anak TK yang mau diperiksa kuku, kami baris satu-persatu. Tinggal nunggu gurunya muncul siapa lagi kalau bukan Pak Leo. 

"Emang kacau kenapa Tar? Lu bikin masalah lagi? Lu ngilangin laporan?" bisik Evi. Masih dengan mode berdiri tegap bak robot. 

"Lebih parah Vi gue mukul si Bos."

"Apa?!" Teriakan Evi yang terlalu kencang membuat semua orang melihat ke arah kami. Aku sontak melotot ke arah Evi. "Bisa diam tidak!"

"Iye sorry. Kok, bisa Tar? Gimana ceritanya?"

"Ceritanya ...."

"Tes! Tes! Tolong semua berbaris yang rapi karena pemeriksaan akan dimulai!" Karena Pak Suparjo tiba-tiba memegang mic yang ada di podium, aku terpaksa menghentikan kalimatku dan melihat ke arah depan. 

"Ceritanya nanti aja, ya? Tuh si Dementor datang!" 

Evi mengangguk nggak rela. Sementara, hatiku ketar-ketir disebabkan kedatangan seorang lelaki dengan perban di jidatnya. 

Ya Allah! Bisa minta ganti muka sehari aja, nggak? Ditukar sama muka Kim Ji Won juga nggak apa-apa. 

Pak Leo datang dengan gagah memasuki aula. Masih enggak percaya kalau lelaki yang memakai jas itu kemarin telah aku pukuli di tengah malam pula. Sejujurnya, sampai sekarang aku masih tak habis pikir kenapa dia mau pindah ke samping apartemenku? Seharusnya kan dia pindah ke apartemen lebih elit dan kejadian semalam tak akan terjadi. 

"Selamat pagi semua?" sapa Pak Leo berwibawa. Meski benjol dia tetap ganteng tanpa operasi plastik. 

"Pagi Paaak!" jawab karyawan serempak. Demi asas profesionalitas aku mencoba untuk  tetap bersikap normal dan tegar walau jantung udah jungkir balik. Takut surat peringatan melayang ke mejaku sekarang. 

"Sebagai penanggung jawab utama. Seperti yang kalian tahu, saya di sini untuk memastikan kondisi karyawan dalam segi kedisiplinan. Maka, tidak perlu banyak bicara yang merasa atributnya tidak lengkap dan penampilannya kurang silahkan maju!" 

Setelah mengatakan itu,  bala tentara Pak Leo mulai menyidak satu-persatu karyawan. Mereka berpencar ke segala penjuru mata angin untuk mencari para pelanggar dan membawanya ke depan aula. Nahasnya dari puluhan penegak kedisiplinan hanya Pak Leo yang berjalan ke arahku dan  berdiri tepat di depanku. 

AAAA! Tetiba aku merasa horor. Kenapa aku bisa satu planet sama orang ini? Kenapa dia nggak lahir di Mars saja? Dari dua ratus orang karyawan kenapa Pak Leo harus memeriksa divisiku? Why? 

"Kamu!" 

"Siap Pak!" jawabku spontan. Tanpa sengaja mata kami bertubrukan dan itu membuat sendiku serasa dipreteli. Lemas. 

"Bukan kamu Tar! Itu yang di belakang kamu!" ujar Pak Leo berhasil mempermalukanku. Dia menunjuk pada Rani tapi matanya kepadaku. Maunya apa, coba?

"Oh, iya Pak," jawab Rani dengan bibir gemetar. Rani itu bucin-nya Pak Leo jadi udah nggak aneh kalau dia lebih grogi. 

"Kamu kenapa gak pake nametag? Ayo, maju!" gertak Pak Leo membuat Rani langsung berlari dengan wajah pucat ke arah depan. 

Mau diakui atau tidak, cek kerapihan ala-ala Tentara di perusahaan kami ini emang berhasil membuat para karyawan memiliki etos kerja yang baik tapi kalau Pak Leo yang ngecek langsung, aku berasa ingin jadi Sun Go Kong meloncat ke sana- ke mari. 

"Terus ... kamu!" Lagi. Si bos memanggil entah siapa tapi matanya ke aku.  Kali ini aku diam, aku tidak ingin terpacing dibanding turun gengsi. 

"Hey, saya bicara sama kamu Mentari Senja!"

"Siap, Pak!" Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala karena merasa rapi. Sayang kesempatan ini dimanfaatkan oleh Pak Leo untuk menunjuk perbannya yang jika dilihat sekilas efek tonjokanku lumayan parah juga. 

I am end.  Tanpa perlu diingatkan juga, aku tahu itu kerjaan siapa. 

"Kamu tahu ini apa?"  tanya Pak Leo garang. 

"Ta-tahu Pak."

Ya iyalah. Kan aku sendiri yang ngasih perban tapi udahnya malah diusir. 

"Apa?"

"Perban."

"Salah! Ini jidat! Ya ampun kamu ini udah gede gak tahu anggota tubuh, belajar lagi sana!" ledek Pak Leo sambil menyeringai iblis. Dengan pongahnya dia menyunggingkan senyum mengejek sambil melintasiku yang syok hingga aku ditertawakan satu barisan. 

PAK LEO DURHAKA!

(***)

"Lu harus minta maaf Tar, harus bin wajib! Pokoknya nggak mau tempe! Elu masih muda, jangan sampai lu stress dan nganggur! Pokoknya sekarang buruaaan!" 

Aku bergidik ngeri karena terngiang ucapan Evi yang lebih mirip pemaksaan dari pada nasehat sahabat. Akibat, si Evi yang rempong akhirnya dengan sangat berat hati sampailah aku di sini di depan ruangan Pak Leo untuk meminta maaf. 

Tok. Tok. Tok. 

"Assalammu'alaikum Pak." Kuketuk pintu Pak Leo dengan hati-hati, untuk masuk ke kandang singa. Aku perlu beberapa persiapan, seperti muka yang ramah dan senyum yang lebar. Demi terciptanya kedamaian dunia, aku harus sedikit mengalah. 

"W*'alaikumsalam. Siapa?"

Tumben banget Pak Leo nanya. Perasaan sebelum-sebelumnya nggak kayak begini, dia kan tahu kalau aku langganan diceramahi. 

"Tari Pak. Mentari Senja yang cahayanya bersinar sepanjang hari," jawabku. 

"Bener?" Suara Pak Leo dari dalam ruangan terdengar menyangsikan. Aku terkekeh. 

"Enggak dong Pak kan saya manusia bukan tata surya. Oh ya, boleh saya masuk, Pak?" 

"Enggak."

Buset! Gagal. Aku kira dia akan seperti sebelumnya meski jutek tapi masih bisa diajak bercanda tapi ini beda. Dia benar-benar marah hingga tak membiarkanku bertemu dengannya. 

"Pak, beneran saya mau minta maaf Pak, kemarin saya kira Bapak begal jadi saya pukul. Lagian Bapak sih kalau mau berinteraksi sama orang tuh manggil kek apa kek, ini mah malah pegang bahu kan saya kaget."

Cklek! Bertepatan dengan permintaan maafku yang panjang dan lebih mirip curhatan akhirnya pintu ruangan Pak Leo terbuka. Sontak saja aku ceria dan menunjukan muka sok ramah. 

"Pak Leo? Bapak mau maafin saya, kan?" tanyaku antusias. 

"Kamu mau minta maaf, kan?"

Aku mengangguk-anggukkan kepala berulang kali bagaikan boneka dashbord. "Iya Pak. Mau mau. Kenapa Pak? Mau nyuruh saya bersihin kamar mandi lagi ya, Pak?"

"Bukan!"

"Lalu apa, Pak?"

Pak Leo bersedekap. Kali ini tatapan si bos tampan tapi galak ini sangat tak terbaca. Aku menelan ludah sembari membenahi diri. Waspada.

"Nanti kamu juga tahu."

(***)

Kiyaaaa! Aku melotot kaget ketika mengetahui ke mana Pak Leo mengajakku. 

Apa-apaan ini? Masa aku diajak ke taman bermain? Emang dia kira aku siapa? Atau dia sengaja mau melamarku di sini? Kali aja kan dia tiba-tiba bawa cincin terus bilang, "Will you marry me?" 

Ah, gak mungkin! Aku benci pikiranku. Emangnya ini reality show! NGIMPI!

"Tari! Ke mari!" ajaknya. Dia memintaku mendekat ke salah satu kursi yang ada di taman bermain itu. 

Meski firasatku jelek, terpaksa aku menurut. Aku sudah berjanji pada Evi untuk menjadi gadis yang lebih sopan dan patuh biar nggak dikatakan cewek yang kelakuannya persis roh halus. 

"Ada apa, Pak?" tanyaku setelah tiba di dekatnya.

"Kamu lihat dua anak kembar itu?' Dia menunjuk ke dua orang bocah yang sedang aktif bermain dengan Joni-asistennya. 

"I-iya Pak. Saya lihat."

"Nah, untuk menebus kesalahan kamu. Selama saya meeting sama Joni, kamu jaga mereka ya?"

"Apa? Jaga mereka, Pak?" 

"Iya. Jaga mereka. Hati-hati loh mereka nakal," bisik Pak Leo tersenyum penuh ancaman. Sedangkan aku bersiap berubah wujud jadi cicak biar diam-diam merayap.

Jujur. Aku tidak suka anak kecil bahkan membencinya. Bagaimana mungkin aku mengurus mereka? Aku kan karyawan bukan baby sitter.

Oh, sebentar! 

Apa dia sengaja mengerjaiku? Karena tahu aku ini alergi anak kecil?

"Pak Leo!" panggilku sambil menahan emosi.

"Apa?"

"Mau gak saya ajak ngopi sama seseorang?"

"Sama siapa?"

"Mbak Jessica, penemu kopi sianida."

"Mau, asal kamu ikut minum kopinya," jawab Pak Leo santai sambil mengerling padaku. Mengejek dengan elegan.

Dasar Bos sableng! Ngomong-ngomong bos nyebelin kayak gini bisa ditukar tambah sama sendal jepit nggak, sih?

Next

Comments (1)
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
kocak ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status