Fajar mulai merangkak di ufuk timur. Cahaya keemasan menembus celah-celah pepohonan di Hutan Penjaga, tempat pertemuan terakhir antara Lyra, Kaelen, dan Orion. Kaelen duduk di atas batu besar, menatap kosong ke langit yang kini kembali cerah. Wajahnya keras, tapi matanya basah oleh duka yang tak terucap. Di sisinya, Jax dan Eira berdiri diam. Mereka tahu bahwa sesuatu telah hilang malam itu — bukan hanya Lyra, tapi juga harapan yang ia wariskan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan. “Kaelen.” Semua menoleh. Di depan mereka berdiri sosok yang tak terduga — Orion. Wajahnya lelah, tapi ada ketenangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. “Kau kembali,” ujar Kaelen dengan suara parau. Orion mengangguk. “Aku datang bukan sebagai musuh. Malam itu, saat Lyra menyatu dengan bulan, aku mengerti... kekuatan bukan tentang menguasai, tapi tentang merangkul.” Kaelen memandang Orion, lalu menatap ke arah hutan yang mulai hidup oleh sinar matahari pagi. “Kau benar
Langit terbelah oleh cahaya bulan purnama. Cahayanya tak lagi lembut, tapi tajam—menyobek bayangan, menyingkap luka. Di atas puncak Bukit Takdir, Lyra berdiri sendirian, mengenakan jubah putih bersulam simbol leluhurnya. Rambutnya dibiarkan terurai, membingkai wajah yang tak lagi gadis, tapi bukan pula seorang ratu. Di bawah sana, dua pasukan telah berkumpul. Di sisi kiri: Klan Serigala, dipimpin Kaelen, berbaris dalam diam. Mata-mata mereka menyala perak. Di sisi kanan: Umbra, menyatu dengan kegelapan, menunggu aba-aba dari Orion. Dan di antara mereka—adalah Lyra. Bukan sebagai pihak, tapi sebagai jembatan. Atau mungkin... pengorbanan. Suara langkah mendekat. Kaelen. “Kau yakin ingin melakukannya seperti ini?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris pecah. “Tanpa perlindungan, tanpa kekuatan?” Lyra menatapnya. “Justru karena aku ingin mereka melihatku... sebagai manusia.” Kaelen menghela napas. “Jika sesuatu terjadi padamu—” “Aku tahu,” potong Lyra lembut. “Tapi ini pilihanku. Sama s
Malam itu, Lyra tak tidur.Ia duduk di atas menara batu tua tempat para Penjaga pernah menulis sejarah dalam cahaya bulan. Angin dari utara membawa bau kabut dan abu. Dunia mulai retak, dan retakan itu terasa di dalam dirinya.Kaelen berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar batu yang patah.“Kau tahu,” katanya pelan, “aku pernah berharap ramalan itu hanya mitos tua. Cerita untuk menakut-nakuti anak muda agar tetap di jalur.”Lyra tak menoleh. “Tapi kita adalah ramalan itu sekarang.”Kaelen berjalan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara.“Tidak. Kau adalah harapan yang mereka sembunyikan dalam ramalan. Aku hanya... bayangannya.”Lyra menatapnya. Mata itu—mata seorang raja yang pernah menolak cinta—kini tampak lelah. Namun jujur. Dan itu lebih berbahaya daripada kemarahan.“Apa kau takut?” tanyanya.Kaelen diam sejenak. “Pada dunia? Tidak. Pada takdir? Selalu.”Lalu ia menatap Lyra. “Tapi pada kemungkinan mencintaimu... aku benar-benar takut.”Kata-kata itu menggantung di udara s
Malam telah berakhir, tapi langit tak benar-benar menjadi terang. Kabut yang seharusnya pergi setelah fajar tetap menggantung, seolah enggan melepaskan dunia dari cengkeramannya. Lyra berdiri di tepi danau, tempat bayangan bulan masih membekas di permukaan air. Ia baru saja kembali dari dunia bayangan, tapi bagian dari dirinya terasa tertinggal di sana—di tempat Orion memilih untuk tetap tinggal. “Tak ada yang benar-benar kembali utuh dari sana,” kata Eira pelan, menghampirinya. “Tapi kau lebih kuat dari yang kukira.” Lyra tersenyum kecil. “Kuat bukan karena tidak takut… tapi karena tetap melangkah meski takut, kan?” Eira mengangguk. “Dan karena kau tidak sendirian.” Dari kejauhan, Kaelen mendekat, membawa selembar gulungan kulit kayu yang baru saja diterima dari penjaga perbatasan. “Ada pergerakan di utara,” katanya sambil menyodorkan gulungan itu. “Pasukan Umbra mulai bergerak. Orion mungkin masih menahan serangannya, tapi bayangan di bawahnya tidak akan menunggu lebih lama.”
Langit mulai memudar ke abu-abu saat rombongan kecil itu kembali dari reruntuhan. Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Tapi dalam diam itu, suara-suara lain berbicara—keraguan, pertanyaan, dan ketakutan yang tak terucap. Lyra duduk di atas akar pohon tua, menatap ke danau kecil yang memantulkan sisa cahaya pagi. Ia memutar-mutar kristal merah tua di tangannya, kilauannya kini terasa lebih redup. Seolah tahu, sesuatu telah bergeser dalam dirinya. “Jadi... dia tak sepenuhnya memilih Umbra,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Kaelen berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh pada batang pohon. “Tapi dia juga belum memilih kita.” Lyra mengangguk pelan. “Mungkin karena dia belum pernah diberi alasan untuk percaya.” “Dan kau ingin jadi alasan itu?” Lyra menoleh. Tatapannya tajam, tapi bukan marah—lebih seperti terluka. “Dia saudaraku, Kaelen. Setengah darahku mengalir dalam dirinya. Kalau aku menyerah pada dia sekarang, berarti aku juga menyerah pada kemungkinan bahwa kebaika
Angin di reruntuhan kuil seperti tak berani menyentuh mereka. Diam. Tegang. Waktu seolah menunggu keputusan. Lyra menatap Orion tanpa berkedip. Jarak di antara mereka hanya beberapa langkah, namun terasa seperti dunia yang terbentang luas. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya. “Bahwa kau tak bisa mencintai terang?” Orion menurunkan pandangannya sejenak, lalu berjalan pelan mengitari tiang batu yang hampir runtuh. Suaranya tenang, tapi berlapis—seperti sungai gelap di bawah permukaan es. “Cinta butuh ruang. Aku tak punya itu. Aku dibesarkan dalam kegelapan, dengan bisikan dendam dan janji yang tak pernah ditepati.” Ia berhenti. Menatap Lyra lurus-lurus. “Sedangkan kau… kau adalah cahaya yang tak pernah dijanjikan padaku.” Lyra merasakan sesuatu menghantam dadanya. Bukan kemarahan. Tapi iba. Dan ketakutan yang samar. “Lalu kenapa kau menunggu aku?” bisiknya. “Kalau kau membenciku… kenapa tak membunuhku sejak tadi?” Orion mengangkat tangan. Kabut di sekitar mereka berputar,