Share

5. Wedding plans

***

Newcastle, Inggris.

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

"Kau curang!" Cetus seorang anak lelaki berusia delapan tahun. Ia menatap kesal pada adiknya yang baru saja membuka kedua tangan yang semula menutupi wajah.

"Aku tidak curang," kilah gadis kecil itu tanpa rasa bersalah.

"Kau mengintip barusan."

"Aku tidak melakukannya."

Nicholas mendesah. Ia melihat bagaimana gadis itu diam-diam mengintip dari jemari mungilnya. Tapi Grassiela tidak mau mengakuinya.

"Sudahlah. Bermain saja dengan Anna dan Bella," pungkas Nicholas sambil melengos pergi.

"Mereka dan Zack sedang berada di keluarga aunty Eveline dan baru akan kembali besok pagi," tutur Grassiela menghentikan langkah kakaknya.

"Kalau begitu carilah Bianca."

"Kau tidak mau bermain denganku?"

Nicholas kembali berbalik. "Bermainlah dengan anak perempuan."

"Kau mau ke mana?" tanya Grassiel dengan nada memprotes. "Aku melihat Arthur bersama guru privatnya di perpustakaan. Sementara Dave masih mengurung diri di kamarnya," ungkap gadis itu. Grassiela jelas tak ingin kakaknya pergi meninggalkannya. Maka ia mengumpulkan berbagai informasi mengenai semua sepupunya agar Nicholas mau menemaninya bermain.

Sejenak Nicholas terdiam. Semenjak kepergian aunty Antonia, semuanya berubah. Ia beserta seluruh keluarganya harus berkumpul dan tinggal di kediaman neneknya di Cestershire. Saat itu Nicholas tak mengerti apa yang terjadi melihat ayahnya mendadak sangat sibuk hingga ia berpikir bahwa ini adalah pekan liburan yang sangat buruk.

Seluruh anggota keluarga Stamford dirundung duka. Semuanya merasa kehilangan atas kepergian aunty Antonia. Terlebih lagi David. Nicholas merasa turut prihatin melihat sepupunya berlarut-larut dalam kesedihan.

"Kalau begitu aku akan menemui Dave," ujar Nicholas mengingat bahwa sudah berhari-hari sepupunya itu mengurung diri di kamarnya.

"Dave tidak akan mau menemui siapa-siapa," Grassiela berpendapat.

"Aku akan mencoba berbicara dengannya." Namun sebelum ia beranjak pergi, raut wajah Grassiela yang cemberut dan menunjukkan kecewa membuat Nicholas mengurungkan niatnya.

Nicholas mendesah. "Baiklah, Grace. Satu putaran lagi."

Lantas sebuah senyuman merekah di wajah gadis kecil itu. "Hanya satu?" ujarnya mencoba menawar.

"Iya dan ini yang terakhir."

Grassiela mengangguk. Tak apa, meski satu putaran, itu leboh baik di banding Nicholas tidak menemaninya bermain sama sekali.

"Pergilah bersembunyi. Kali ini aku yang jaga."

"Kenapa?" tanya Grassiela penasaran. "Aku tidak akan mengintip lagi."

"Pergi sana!" Nicholas tak ingin berdebat. Ia berjalan mendekati sebuah pohon lalu menempelkan lengannya dan menunduk di sana. Ia mulai bernitung, "Satu ... dua...."

Cepat-cepat Grassiela mencari tempat persembunyian. Ia berlari menuju pohon lain dan bersembunyi di baliknya. Tapi Nicholas mungkin akan menemukannya dengan cepat. Grassiela berubah pikiran. Ia kemudian berlari menuju area taman di sisi halaman lalu berguling di rerumputan.

"Lima."

"Enam."

"Tujuh."

Dengan lincah gadis kecil itu merayap menuju semak mawar lalu memutuskan untuk bersembunyi di sana. Ia yakin, Nicholas tidak akan menemukannya.

"Delapan."

Grassiela mengawasi kakaknya dari balik semak dan menutup mulutnya agar tidak terkikik geli.

"Sembilan."

"Sepuluh. Bersiaplah, Grace. Aku akan menemukanmu." Nicholas berbalik lalu mulai mencari.

Awalnya Grassiela merasa yakin bahwa kakaknya tidak akan dapat menemukannya. Namun pandangan Nicholas yang kemudian tertarik pada rumpun mawar di area taman, membuat Grassiela mendadak panik. Degup jantung gadis itu berdebar sampai Nicholas tersenyum miring saat pandangan mereka bertemu. Oh, bagaimana mungkin dia dapat menemukan Grassiela begitu saja?

Gadis kecil itu mendesah kesal dan menunggu kakaknya datang menghampiri. Namun sebuah suara dari arah hutan, membuat keduanya seketika menoleh ke sumber suara. Grassiela tidak dapat melihat apa-apa karena pandangannya terhalang oleh semak belukar. Namun Nicholas terpaku di tempatnya.

Pandangan Grassiela beralih pada kakaknya yang menegang. Ia dapat melihat sinar laser berwarna merah mengitari tubuh anak lelaki itu.

"Aku tidak dapat menemukanmu, Grace," ucap Nicholas dengan tatapan lurus ke arah hutan.

Kening Grassiela berkerut tak mengerti. Kenapa kakaknya berkata demikian? Bukankah barusan pandangan mereka bertemu? Jelas-jelas Nicholas sudah menemukannya. Tanpa aba-aba, sepersekian detik kemudian suara tembakan terdengar menggetarkan langit sore itu.

DORR!!

Para pelayan berdatangan sambil menjerit. Para penjaga berlarian memburu pelaku yang kembali berlari ke arah hutan. Sementara Grassiela masih di tempat persembunyiannya. Tak bergerak menatap kakaknya terkapar di atas rerumputan.

Secara tiba-tiba kedua mata seorang wanita muda terbuka nyalang. Grassiela beringsut duduk bersama dada dan bahu yang naik-turun seiring napasnya menderu berat. Ia menyeka pelipisnya yang berkeringat dingin. Sementara jantungnya berdegup dengan kencang.

Apa itu tadi? Mimpi barusan seakan menariknya ke masa lalu. Sudah bertahun-tahun semenjak tragedi itu terjadi. Tapi mengapa kini Grassiela memimpikannya lagi? Apakah ini sebuah firasat buruk? Semoga saja tidak. Grassiela terlalu takut untuk berada di posisi itu lagi.

Kemudian kedua netra biru itu memandang ke sekitar. Grassiela baru menyadari bahwa dirinya masih berada di kamar Nicholas. Sepertinya lelah membuatnya tanpa sadar tertidur hingga langit menunjukkan senja.

Grassiela turun dari ranjang milik mendiang kakaknya. Berusaha melupakan mimpi barusan lalu bergegas untuk mandi.

---

Entah sudah berapa tahun lamanya sejak terakhir kali Grassiela makan malam bersama kedua orangtuanya. Sudah ia duga, atmosfer di ruang makan itu terasa kaku. Para pelayan baru saja menghidangkan berbagai makanan lezat di hadapan mereka dan kedua pasangan suami istri itu bersiap untuk makan. Hanya ada suara garpu dan sendok yang terdengar di keheningan. Alfonso duduk di kepala meja makan dan memakan hidangan yang ada dengan tenang. Sementara Helena yang duduk di dekat kursi suaminya terlihat tak berselera. Entah apa yang berada di pikiran wanita itu. Tapi yang merasa lebih buruk di sini tentu saja Grassiela.

Dengan tidak nyaman ia harus duduk bersama kedua orangtuanya yang formal. Seperti ibunya, ia juga tidak berselera untuk makan malam. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berkeliaran di benaknya dan hal itu membuatnya kesulitan untuk bersikap tenang.

Diam-diam ia melirik sang ibu yang duduk berseberangan dengannya. Entah kenapa Helena tampak menyambunyikan cemas. Kemudian pandangan Grassiela beralih pada sang ayah yang telah lama tak ia jumpai. Pria itu masih sama, terlihat kaku, dingin dan tegas. Grassiela berpikir bahwa selama ini ayahnya tidak pernah merindukannya. Tentu saja, ada banyak hal yang harus Alfonso kerjakan dan nama Grassiela telah lama hilang dari daftar pentingnya.

Setelah mendesah, Grassiela kembali menundukkan pandangannya ke piring dan pura-pura makan.

Hell, keluarga macam apa ini? Grassiela tahu, tak akan ada pembicaraa hangat untuk sekadar menyambung kembali hubungan baik antar keluarga. Kedua orangtuanya sama-sama acuh. Dan hal itu lebih dari cukup untuk membuat Grassiela muak.

Suara garpu dan sendok yang diletakkan dengan keras terdengar. Secara refleks pandangan Alfonso dan Helena beralih pada putri tunggal mereka.

"Aku tahu, Ayah tidak akan mengatakan apa-apa jika aku tidak bertanya lebih dulu," ujar Grassiela memulai pembicaraan.

"Kita bisa menyimpannya nanti. Sekarang lanjutkan saja makan malammu," potong Helena berusaha menghentikan kekacauan yang akan diperbuat putrinya.

"Kita tidak akan saling berkata satu sama lain untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting sampai kalian melakukan sesuatu. Dan di sini, aku lah yang tidak bisa berbuat apa-apa," lanjut Grassiela tanpa mempedulikan sorot tajam ibunya.

"Sekarang jelaskan padaku, untuk apa aku dipanggil kembali ke rumah ini sampai ayah harus meledakkan sebuah panti asuhan?"

Helena hampir saja menegur putrinya dengan keras sebelum suara deheman terdengar. Alfonso melatakkan peralatan makannya lalu menatap putrinya dengan tajam. "Apa yang sesungguhnya ingin kau dengar?"

"Sebuah jawaban. Atau mungkin ... sebuah rencana." Grassiela membalas tatapan tajam sang ayah dan ia mencoba menebak-nebak apa yang akan pria tua itu katakan selanjutnya.

"Sebuah pernikahan," tegas Alfonso membuat tubuh Grassiela membeku seketika.

"Aku dan nenekmu sedang mengatur rencana pernikahan untukmu," lanjut pria itu tak menyadari wajah putrinya yang berubah memucat.

Apakah ini adalah hal yang buruk? Entahlah, Grassiela mencoba mengendalikan dirinya kembali dari rasa terkejut. Kemudian ia mengirup napas panjang sebelum berkata, "Baiklah. Kalau begitu, siapa pria itu?"

"Dia akan datang kemari dan kau akan mengetahuinya nanti," jawab sang ayah.

"Dan bagaimana jika aku tidak setuju?"

"Tidak ada yang meminta persetujuanmu."

Grassiela meneguk salivanya dengan kesulitan. Perkataan Alfonso seakan menamparnya dan mengingatkan bahwa dirinya tak pernah mempunyai hak apapun sebagai bagian dari keluarga ini. Hal itu jelas menyakitinya, menjatuhkan Grassiela pada jurang kekecewaan yang dalam.

"Aku pikir kalian lupa jika aku sudah dewasa dan berhak menentukan arah hidupku sendiri," tukas Grassiela berusaha mempertahankan diri.

Alfonso menautkan semua jemarinya di depan dan ia masih mengintimidasi putrinya dengan tatapan tajam. "Lalu?"

"Aku akan menentukan siapa yang akan menjadi calon suamiku sendiri."

Helena terperangah mendengar ungkapan putrinya yang terlalu berani. Ia hendak memperingatkan, tetapi Alfonso lebih dulu berkata, "Tak ada Stamford yang menikah tanpa persetujuan keluarganya."

"Bagaimana dengan David?"

Wajah Alfonso berubah mengeras. Ingatan mengenai perselisihan dengan keponakannya beberapa tahun silam membuat pria itu murka. Lantas bersama sorot tajam dan dengan suara beratnya, pria setengah baya itu berkata tajam, "Jika kau mencoba bermain-main dengan mengatas namakan cinta, maka pria mana pun tidak akan selamat."

Peringatan sang ayah yang menusuk hatinya membuat Grassiela hampir menangis. Alfonso bersungguh-sungguh atas ancamannya. Dan Grassiela tak bisa berkata apa-apa lagi.

Percuma. Akhirnya wanita muda itu memutuskan beranjak dari kursinya. "Aku sudah selesai."

"Kita belum selesai," tukas Helena. "Kembali duduk di tempatmu."

"Biarkan saja dia pergi. Kita berada di sini untuk makan malam, bukan untuk berdebat," ujar Alfonso yang kembali mengambil garpu serta sendoknya.

Grassiela menatap ayahnya dengan nanar. Ucapan ayahnya seolah menegaskan bahwa dia tidak menerima bantahan atau argumen apapun mengenai pembicaraan ini.

Tak ada penolakan. Perintahnya mutlak.

"Selamat malam." Grassiela melangkah pergi dari ruang makan. Meninggalkan kedua orangtuanya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk.

Setelah sampai di kamarnya, Grassiela menutup pintu. Kemudian air mata jatuh begitu saja. Dia berusaha menguatkan diri sendiri. Menanamkan bahwa semuanya mungkin tidak seburuk yang ia pikirkan. Tetapi kenyataan yang ada membuat hal itu terlalu sulit.

Grassiela menghela napas panjang. Menyeka air matanya yang mengaliar dengan sia-sia lalu melintasi ruangan untuk membuka jendela. Dengan berusaha mengatur napasnya kembali, ia memejamkan mata. Menghirup desir angin malam demi menenangkan diri sendiri. Lantas ucapan sang ayah kembali menggema di benaknya.

"Jika kau mencoba bermain-main dengan mengatas namakan cinta, maka pria mana pun tidak akan selamat."

Grassiela membuka kedua matanya. Mengingat bahwa selama ini ia tak pernah menjalin hubungan dengan pria mana pun. Sejak dulu ia menyadari bahwa hal itu terlarang bagi dirinya. Mungkin itu bukanlah masalah yang berarti karena Grassiela memang tak pernah tertarik pada setiap pria yang mencoba mendekatinya. Dan kalaupun ada seseorang yang sempat mencuri hatinya, Grassiela tidak pernah tahu apakah orang itu masih hidup atau tidak.

Lantas embusan angin malam yang dingin seolah menerbangkan benaknya pada suatu malam yang sunyi.

"Si-siapa kau?"

Sorot tajam dari sepasang mata kelabu berkelebat dalam ingatan Grassiela.

Ia terkesiap. Mengedarkan pandangannya ke area halaman belakang dan meyakini bahwa tak ada siapapun di sana. Grassiela menutup jendelanya lalu berjalan untuk duduk di tepi tempat tidur. Ia menghela napas dan termenung.

Seharusnya kini Grassiela memikirkan siapa yang akan menjadi calon suaminya. Tapi benaknya justru berkelana pada seorang lelaki asing yang tak pernah ia temui lagi.

Siapa lelaki itu? Di mana dia berada sekarang?

---

Moscow, Rusia.

08. 16 AM.

Drrrt.. drrrt.. drrrt..

Suara getar ponsel di atas nakas membuat sepasang netra kelabu milik seorang pria terbuka. Dengan malas dia bangun dari tempat tidurnya untuk menjawab panggilan telepon tersebut.

"Humm," James hanya bergumam.

"Selamat pagi, Sir. Saya ingin mengingatkan bahwa pagi ini anda mempunyai jadwal pertemuan dengan Mr. Novalov serta rapat internal bersama beberapa dewan direksi," ucap seseorang di seberang telepon.

"Lalu?"

"Tak ada, Sir. Saya sudah membatalkan tiga agenda lainnya dan menjadwalkan keberangkatan anda ke Newcastle pukul tiga sore."

"Bagus. Persiapkan yang lainnya."

"Baik, Sir."

James menutup panggilan telepon itu lalu meletakkannya kembali di atas nakas. Dengan tubuh polosnya ia beranjak dari tempat tidur dan baru menyadari bahwa ada seorang wanita yang masih terlelap di atas tempat tidurnya.

Ah, James baru ingat bahwa semalam salah seorang kliennya mengirimkan sejumlah uang serta seorang perawan sebagai upeti.

Tidak buruk. Wanita itu cantik dan cukup untuk memuaskannya untuk satu malam saja. Tidak lebih. Lantas James melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi dan membersihkan dirinya di sana. Saat itu, sepasang mata sayu milik seorang wanita terbuka.

Ada hati yang hancur di sana. Kemarahan serta rasa putus asa memerangkap wanita muda itu hingga diam-diam air matanya mengalir. Dia mengingat bagaimana seringai licik sang ayah yang tega menjual putrinya demi sejumlah uang sampai dirinya harus mengalami penganiayaan semalam.

Dengan meremas seprai hitam di atas tempat tidur, wanita itu terisak. Ia tak tahu lagi bagaimana dirinya harus menjalani hidup setelah ini.

Ketika suara dari arah walk-in closet terdengar, cepat-cepat wanita itu berbalik lalu memejamkan mata dan berpura-pura tidur kembali. James dapat melihat jejak luka serta memar di punggung polos wanita itu akibat dari perbuatanya semalam. Tapi ia tak peduli.

Setelah berpakaian rapi, James mengambil ponselnya di atas nakas dan menggantinya dengan sejumlah uang. Bayaran yang lebih dari cukup untuk pelayanan saru malam. Meskipun wanita itu adalah sebuah hadiah, tapi James tidak tertarik untuk menjadikannya budak.

Meninggalkan kamarnya untuk menuju sebuah Supercar Aston Martin Superleggera yang sudah terparkir di pelataran mansion, James bergegas menuju ke perusahaan.

DX-Prom merupakan salah saru produsen gas terbesar di dunia. Dengan kapasitas produksi yang sedemikian besar, DX-Prom menjadi pemain utama dari industri gas di Rusia. Tercatat, dua per tiga dari seluruh produksi gas di Rusia berasal dari perusahaan ini. Semua itu tak lepas dari kemampuan seorang James Draxler sebagai seorang Chairman.

Memiliki gurita bisnis ilegal di dunia hitam, tentu saja membuat James membutuhkan peran lain untuk menutupi segala aksi kejahatannya. Beruntung, mendiang Yulia Dzanayev yang merupakan ibu kandungnya adalah seorang ahli waris perusahaan gas besar tersebut. Sepeninggal Yulia, suaminya, Fyodor Draxler sempat mengambil alih kepemimpinan selama beberapa tahun sampai James yang mengendalikan semuanya.

Supercar berwarna hitam itu akhirnya menepi di depan pintu utama sebuah gedung perusahaan. Seorang penjaga membukakan pintu mobil untuk James dan seorang pria berusia akhir tiga puluhan sudah berdiri untuk menyambutnya di sana.

Marlo Sobolev sudah mengabdikan dirinya selama lebih dari dua belas tahun di DX-Prom hingga ia lupa untuk menikah. Loyalitas serta kesabarannya menghadapi seorang James Draxler mendapat perhatian khusus dari Fyodor hingga mengangkatnya sebagai asisten pribadi sang Chairman.

"Selamat datang, Sir," sapa Marlo.

James mengangguk lalu berjalan memasuki gedung diikuti sang asisten. Mereka melintasi sebuah loby yang besar, di mana para pegawai berbaris dengan menunduk penuh hormat. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, mengingat perangai buruk sang pimpinan perusahaan. Mereka tentu tak mau mengambil risiko karena bersinggungan dengan pria itu.

Mereka memasuki sebuah lift khusus kemudian Marlo menekan tombol kombinasi yang akan mengantarkan keduanya menuju ke lantai teratas di gedung ini.

"Mr. Novalov akan tiba sekitar dua puluh satu menit lagi," ujar Marlo mengingatkan.

"Lalu dokumen apa saja yang harus kutanda tangani hari?"

"Perpanjangan kontrak kerja sama dengan Novoil, laporan keuangan selama tiga bilan terakhir serta persetujuan audit yang dijadwalkan pekan depan."

James menganganguk sebagai tanda bahwa ia setuju dengan semua jadwalnya hari ini.

Suara denting terdengar kemudian pintu lift terbuka menampilkan sebuah ruangan luas dengan nuansa hitam dan abu yang elegan. Saat melangkah masuk, pandangan James langsung tertuju pada seorang pria yang dengan lancang duduk di kursi kerjanya.

"Apa kau bosan hidup?" geram James sambil berjalan melintasi ruangan.

Piero Dzanayev terkekeh. Ia beranjak dari kursi itu lalu mempersilakan James untuk duduk. "Aku sudah menunggumu selama dua puluh menit dan kursi yang nyaman ini menggodaku."

James duduk di kursi kebesarannya kemudian Marlo menaruh beberapa dokumen penting di hadapannya. Sang asisten meninggalkan kedua pria itu untuk kembali ke meja kerjanya sementara pandangan James menyorot pada sepupunya yang ia percayai sebagai CEO DX-Prom.

"Apa yang kau inginkan?"

Piero memposisikan dirinya tepat di hadapan meja kerja James. Dia melipat kedua tangannya bersama pandangan menyelidik. "Untuk urusan apa kau merencanakan terbang ke Newcastle sore ini?"

James mengangkat kedua alisnya acuh. "Apa kau penasaran? Untuk apa aku memberitahukannya kepadamu?"

"Ayolah, James!" Piero berdecak. "Jika ini mengenai DX-Prom, maka aku yang akan menanganinya lebih dulu. Tapi jika ini ada hubungannya dengan Sicarovskaya, maka Alexei lah yang akan menyelesaikannya sebelum kau turun tangan."

Mendengar penuturan Piero yang mendesak keingin tahuannya, James tersenyum menyeringai. Melihat sepupunya kesal menjadi hiburan tersendiri baginya. "Lalu apa pendapatmu?"

"Ini sesuatu yang penting."

James mengangguk setuju.

"Siapa yang akan kau temui di sana?"

"Kau bisa menebaknya."

"Sialan!" Piero berjalan menjauh sambil menyugar rambut gelapnya frustasi. Si berengsek itu malah mempermainkan rasa penasarannya.

"Marlo baru saja membatalkan rapat penting kita dengan seorang investor secara mendadak. Apa kau pikir ini main-main?" tukas Piero terpancing amarah.

Namun si berengsek James masih saja duduk dengan tenang. Pria itu merangkum semua jemarinya di depan bersama tatapan tajam. "Tak ada yang lebih penting dari urusanku saat ini."

Seketika Piero membalas tatapan tajam pria di depannya. "Apa yang kau rencanakan?"

"Coba pikirkan."

"Newcastle," Piero bergumam seraya mengingat hal-hal penting di kota itu. "Soccer? Tidak tidak." Ia kembali berpikir dengan keningnya berkerut. "Stamcorp?"

James tersenyum penuh arti.

"Tunggu, Stamford?"

Akhirnya James mengangguk dan Piero menunjukkan ekspresi terkejut. "Kau akan menemui keluarga Stamford?"

Pria bermata kelabu itu terkekeh.

"Sial! Jadi wanita itu benar-benar nyata?" tanya Piero hampir tidak percaya. "Apa uncle sudah mengetahuinya?"

"Tentu saja. Alfonso Stamford menghubungi papa."

Piero terperangah. Berita tersebut membuatnya nyaris tak percaya. Bagaimana tidak? Bertahun-tahun James mencari seorang gadis yang ia yakini telah disembunyikan oleh keluarga Stamford sendiri. Tak ada yang mengetahui identitas setra keberadaan gadis itu. Piero dan Fyodor bahkan menganggapnya omong kosong karena keluarga Stamford sendiri tak pernah memperkenalkannya ke publik. Sejauh yang mereka tahu, tak ada putri lain dari keluarga besar tersebut selain si kembar Annastasia dan Arabella. Tetapi James bersih keras. Gadis misterius itu ada. Dan sangat berharga.

"Segera pergi ke Newcastle," tukas Piero berubah antusias. "Aku yang akan mengatur kontrak dengan para investor di sini. Dan setelah kau kembali, aku akan menggelar pesta besar di mansionmu."

James terbahak mendengar ungkapan sepupunya yang mendadak bersemangat. "Aku suka ide itu," ucapnya di sela tawa.

"Kumpulkan semua anggotamu. Aku akan meminta uncle untuk mengirimkan wine dan mengundang beberapa relasi serta orang-orang tertentu di perusahaan. Minuman, musik dan para gadis tak boleh sampai terlewat," ungkap Piero tak sabar.

James mengangkat kakinya ke atas meja dan masih terkekeh. Ia menatap sepupunya dengan tajam lalu berkata, "siapakan juga hadiah pernikahan untukku."

"Sialan. Kau akan menikah, berengsek!" Tawa keduanya terdengar memenuhi seisi ruangan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status