Share

4. Next Godfather

Chapter 4

***

Apa yang kalian harapkan ketika baru saja sampai di rumah setelah sekian tahun lamanya tak kembali?

Penyambutan? Grassiela tersenyum kecut saat melihat seorang pelayan wanita membukakan pintu lalu bersama sopir turut membawakan barang-barangnya dari dalam mobil.

"Selamat datang, Nona," ujar wanita muda berseragam hitam dan putih itu seraya mengantarkan ke kamarnya di lantai atas.

Grassiela mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru rumah yang sepi. Tidakkah ini keterlaluan? Ketika dirinya baru saja pulang, kedua orangtuanya masih saja sibuk dengan urusan masing-masing.

Akhirnya dia menghela napas setelah sampai dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda. Kamarnya. Dan semuanya masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan tempat itu.

Ranjang kayu berkanopi dengan tirai berenda putih. Seprei tempat tidurnya masih bermotif bunga-bunga kecil yang ia sukai. Beberapa boneka pun masih duduk berjejer rapi di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur. Grassiela tak tahu bagaimana para pelayan merawat kamarnya hingga ruangan itu tak pernah terlihat berubah setiap kali ia pulang untuk berlibur.

Benar. Ibunya tidak menyukai perubahan. Helena mungkin tak mau repot-repot mengurus hal sepele seperti itu. Baginya, tidak ada yang berubah, seperti wanita itu memperlakulan putrinya. Meski usia Grassiela telah dewasa, keluarganya akan tetap menganggapnya seperti anak-anak, terkungkung dalam aturan.

Selepas pelayan wanita itu pergi, pandangan Grassiela kemudian beralih pada jendela yang menampakkan pemandangan sekitar halaman belakang rumah. Ia berjalan melintasi ruangan lalu membuka jendela tersebut hingga angin segar menyapu lembut wajahnya.

Grassiela termenung. Bayangan seorang anak lelaki dan seorang gadis kecil berlarian di halaman belakang memerangkapnya dalam kenangan. Tanpa sadar air mata menggenang di kedua lensa matanya. Oh, betapa Grassiela merindukan masa-masa itu.

Tak lama, suara ketukan di pintu membuatnya terkesiap. Grassiela segera menyeka kedua matanya yang terasa basah lalu mengijinkan siapa pun itu untuk masuk.

Pelayan muda tadi kembali muncul di sana. Dia berkata, "Nyonya baru saja kembali dan beliau menunggu anda di ruangannya."

"Apa kau pelayan baru di rumah ini?" tanya Grassiela membuat wanita muda di hadapannya mendadak tergagap.

"Be-benar. Maafkan saya karena belum memperkenalkan diri. Nama saya Gretta. Saya ditugaskan untuk melayani segala kebutuhan anda."

Grassiela mengangguk sekali, lalu memalingkan pandangannya kembali ke arah jendela. Ada perasaan enggan di hati wanita muda itu untuk bertemu ibunya kembali.

Untuk apa? Grassiela berpikir bahwa Helena sudah tidak peduli lagi pada putrinya. Tapi kini ia tidak punya pilihan. Maka dengan berat hati, Grassiela memutuskan untuk kekuar dari kamarnya dan turun ke lantai dasar.

Langkah kaki yang diayun dengan terpaksa itu akhirnya sampai di depan pintu salah satu ruang duduk. Gretta membukakan pintu untuknya. Kemudian pandangan Grassiela langsung tertuju pada seorang wanita yang tampak sibuk di sana.

Helena baru saja pulang berbelanja. Tas-tas kertas dengan merk ternama mengelilinginya. Wanita itu tengah repot-repot memeriksanya satu-persatu untuk memastikan bahwa dia telah membeli barang-barang terbaik.

"Apa kau akan berdiri saja di sana? Kemarilah," ucap Helena menyadari kehadiran putrinya.

Grassiela berjalan memasuki ruangan. Entah karena canggung atau memang tak ada hal yang menarik baginya, ia memilih untuk tetap terdiam. Menunggu ibunya untuk memulai pembicaraan.

"Mendekatlah," ujar Helena.

Grassiela kembali melangkah maju. Kemudian spontan ia terkejut ketika tiba-tiba Helena menempelkan sebuah gaun di tubuhnya.

"Aku rasa ukurannya sesuai dengan tubuhmu," gumam wanita itu lebih pada dirinya sendiri. Lalu Helena melakukannya lagi pada gaun-gaun lain yang baru saja ia beli.

Kening Grassiela berkerut. Ia memandang ibunya tidak mengerti. Bukannya menanyakan kabar atau memberi putrinya sebuah pelukan hangat, Helena justru sibuk dengan belanjaannya.

Lihat? Wanita itu tidak seperti seorang ibu. Dan lagi-lagi hal itu membuat Grassiela kecewa.

"Mom." Grassiela mencoba menyapa ibunya.

Helena memejamkan mata sejenak dan tampak berpikir. Ia kemudian kembali bergumam pada dirinya sendiri, "Sepertinya aku melupakan sesuatu ... ah, aku belum menghubungi Clara untuk memesan sebuah gaun pesta."

"Mom," ulang Grassiela. Tapi lagi-lagi Helena tampak sibuk memilah-milih pakaian dari setiap tas kertas yang berjejer di sofa.

"Ini cocok denganmu," ujar Helena.

"Mom."

"Kau pasti pulang tanpa membawa pakaian yang layak."

"Mom!" Kali ini suara Grassiela meninggi hingga sukses menarik perhatian sang ibu.

Sontak Helena menatap putrinya dengan tajam. "Seorang wanita terpelajar tidak berteriak seperti itu."

"Kau tidak mendengarku," kilah Grassiela.

"Apa yang mau kau katakan?"

"Untuk apa aku dipanggil kemari?"

Sesaat Helena terdiam dan hening itu menjalarkan gugup pada diri Grassiela. Apakah dirinya baru saja bertanya dengan lancang? Entahlah, Grassiela hanya meminta sebuah kejelasan.

Akhirnya Helena berkata dengan nada dingin, "Sudah saatnya kau pulang."

"Untuk apa?"

"Kau terlalu lama tinggal di Kanada," jawab wanita itu singkat dan tanpa memandang putrinya.

Grassiela menatap Helena lamat-lamat. Ia tidak percaya pada jawaban sang ibu. Tidak mungkin kedua orangtuanya memanggil Grassiela untuk pulang tanpa ada alasan yang berarti.

"Jadi hanya karena itu kalian sampai menghancurkan sebuah panti asuhan?" Tanpa sadar capan itu lolos dari mulut wanita muda itu.

Helena kembali menatap putrinya tajam. Ia berkata dengan berdesis, "Ayahmu sudah memperingatkan hal ini sejak lama. Maka ledakan itu adalah salahmu sendiri."

Mendadak udara terasa menipis. Hanya ada sesak di rongga dada Grassiela saat ibunya malah menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi di Toronto.

Dengan penuh kekecewaan, Grassiela menatap ibunya nanar. "Mengapa Mom membiarkan ayah melakukannya?"

"Lalu apa yang harus kami lakukan untuk membawamu kembali?" balas Helena menohok.

Sekuat mungkin Grassiela menahan dirinya untuk tidak menangis. Ibunya benar, tak ada yang bisa membawanya kembali. Kekecewaan itu telah lama terpendam dan tumbuh di hati Grassiela. Semenjak terakhir kali ia pulang ke Inggris, dirinya bersumpah untuk tidak kembali lagi. Meski neneknya yang penyayang memintanya untuk pulang, Grassiela tetap enggan. Maka mengancamnya dengan sebuah bom untuk menyakiti banyak orang adalah ide yang cemerlang. Dengan begitu Grassiela menyadari bahwa kali ini keluarganya tidak main-main. Akan ada yang terluka jika dirinya tak mau menurut.

"Sudahlah. Sebaiknya kau menjadikan jejak dari kebodohanmu itu sebagai pelajaran," tukas Helena kembali sibuk dengan barang-barang belanjaannya. "Aku sudah menyumbangkan sejumlah uang melalui yayasan untuk biaya perbaikan serta pengobatan para korban yang terluka. Lagipula tak ada seorang pun yang menjadi korban jiwa di sana. Kau tak perlu terlalu memikirkannya."

Seketika Grassiela melebarkan kedua matanya. Ia tak percaya bahwa tanpa rasa bersalah, ibunya sanggup berkata demikian. Gedung panti asuhan yang hancur, anak-anak yang terluka, teman-teman relawan, termasuk Isabele dan Thom, sesungguhnya mereka telah menjadi korban dari kekejaman keluaga Stamford.

Lantas apakah semunya dapat selesai dengan uang? Apakah Helena dan Alfonso dapat menjamin bahwa semua korban yang telah terluka akan kembali seperti semula? Apakah mereka menyadari bahwa apa yang terjadi bisa merusak lebih dari apa yang mereka lihat?

Tidak semua hal dapat dibayar dengan uang. Sayangnya kedua orangtua Grassiela tutup mata dan tak peduli akan hal tersebut.

"Luar biasa. Aku tidak tahu bahwa keluarga kita bisa sekotor ini," gumam Grassiela dengan tatapan dingin.

Sontak Helena menatapnya nyalang. "Hati-hati dengan ucapanmu!"

"Lalu aku harus menyebutnya apa? Menjijikan?"

"Grassiela! Dari mana kau mempelajari bahasa kasar seperti itu? Rupanya Kanada telah membuatmu menjadi seorang pembangkang," bentak Helena tersulut emosi.

Tapi saat ini, Grassiela lah yang tengah berperang melawan amarahnya sendiri. "Dan kalianlah yang membuangku ke sana saat aku masih kecil."

Helena bangkit dari sofa bersama sorot tajam pada putrinya. "Cukup. Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi."

"Apa sekarang Mom menyesalinya?"

"Kembali ke kamarmu!" usir Helena geram.

Grassiela tidak berhenti sampai di sana. Kebencian yang menjalar membuatnya muak dengan keluarganya sendiri. "Jika tidak ada sesuatu yang berarti, kalian tidak akan memaksaku kembali sampai harus menyakiti banyak orang."

"Apa lagi yang kau inginkan? Apa kau tidak mendengar perintahku?"

"Apa yang terjadi? Jelaskan padaku!" hardik Grassiela dengan suara meninggi.

Helena menatap putrinya tak percaya. Meski terjebak amarah, saat ini ia tak ingin berdebat dengan putrinya sendiri.

"Ayahmu yang akan menjelaskannya nanti. Sekarang kembali ke kamarmu," tuntas wanita itu mengakhiri.

---

Pria bermata kelabu itu duduk dengan kedua kaki bertumpu di atas meja kerjanya. Ia hanya mengangguk-anggukan kepala menyimak pemaparan dari kedua orang kepercayaannya yang tengah memberi laporan bagaimana geriliya kelompok mereka bekerja di berbagai wilayah, termasuk Amerika.

"Seorang dari mereka mendatangi Alexei dan menegaskan bahwa mereka tidak memerlukan perlindungan kita," ungkap Fausto Michalov, seorang yang bertugas sebagai Brigadir, atau Kapten yang bertanggung jawab atas beberapa kelompok dalam organisasi mereka.

Sebagai seorang pimpinan, James mendengarkan dengan saksama dan lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bergumam pelan dengan tatapan lurus ke depan, "Berani sekali."

"Anggota mereka cukup banyak, James. Kita tidak bisa meremehkannya," lanjut Fausto menyembunyikan kecemasannya.

Sementara James tetap terlihat tenang. Tatapannya tampak kosong, namun pikirannya menerawang jauh segala kemungkinan dan menyusun strategi. Ambisinya untuk menguasi wilayah Amerika tak akan lenyap begitu saja hanya karena sedikit hambatan. Semuanya butuh proses, tentu saja.

Sicarovskaya, kelompok mafia terbesar di Rusia yang dia kendalikan selama beberapa tahun terakhir telah mengalami peningkatan yang signifikan. Keberhasilannya menguasai sebagian besar wilayah Eropa dan menempatkan kelompok-kelompoknya hampir di setiap penjuru dunia mendapat pengakuan tersendiri dari para mafia kelas kakap lainnya. James memang mendapat tahta sebagai penerus urama kartel tersebut dari Fyodor Draxler, ayahnya. Tapi kini Sicarovskaya berada di puncak kekuasaan berkat ambisi pemimpinnya, James Draxler.

"Aku dengar jumlah mereka terus bertambah. Hal itu memudahkan mereka untuk menguasai wilayah barat sepenuhnya," tambah Benicio Mirzoyev, pria tengah baya mantan tangan kanan Fyodor yang kini menjadi kapten kelompok inti.

James mengangkat kedua alisnya. "Menurutmu apa yang bisa kita lakukan?"

Banicio dan Fausto saling berpandangan. Keduanya mendadak terdiam dan menyesali karena mereka tak mempersiapkan strategi lain untuk melancarkan rencana sang bos.

"Lakukan negosiasi," tukas James sambil beranjak dari kursinya. Pria itu bersiap untuk pergi dan mengakhiri pembicaraan mereka. "Besok aku akan bertolak ke Inggris selama tiga hari. Setelah kembali, aku ingin mendengar kabar keberhasilan dari kalian."

Sontak kedua bawahannya terkejut.

"Tapi, James, mereka juga mendapat dukungan dari Borsellino," potong Fausto menghentikan langkah bos'nya.

Sejenak James tampak berpikir. Tak hanya menjadi orang nomor satu dalam organisasi kriminal di Italia, rupanya Borsellino juga memiliki kekuasaan di wilayah Amerika. Mafia Italia memang kuat, tapi bukankah James juga memiliki dukungan serta hubungan baik dengan mereka? "Menarik," gumam pria bermata kelabu itu.

"Kita tidak bisa sembarangan," ucap Benicio mengingatkan.

"Kau benar." James mengangguk. "Baiklah. Jika cara itu tidak berhasil, maka buatlah rencana penyerangan."

Sontak Benicio dan Fausto melebarkan kedua matanya.

"Apa kau gila?!"

"Jumlah anggota mereka bahkan lebih banyak dari klan kita. Jika Borsellino sampai turun tangan maka-"

"Maka apa?" potong James seraya menyorotkan tatapan tajam pada Fausto.

Mendapat intimidasi dari atasannya, pria itu tergagap. "Ki-kita tidak mungkin menang."

"Apa kau bilang?!" bentak James. Pesimis adalah salah satu hal yang ia benci. Maka dengan geram dia berjalan menuju Fausto dan menarik kerah kemejanya.

"Tak ada sesuatu yang tidak mungkin," desis James di sela rahangnya yang mengetat. Fausto tak berani membalas tatapan tajam sang pimpinan. Dengan menahan gugup ia menyadari kesalahannya.

"Sekarang katakan padaku siapa yang akan menjadi Godfather selanjutnya?" ucapan pelan James membuat Fausto perlahan kembali menatapnya.

Ya. Godfather, bos dari semua bos mafia. Itulah obsesi James Draxler. Dan hal itu juga yang membuat seluruh anggota Sicarovskaya berjuang untuk menjadi yang terkuat.

"Kau. Kau lah orangnya," tegas Fausto penuh keyakinan.

"Kalau begitu jalankan perintahku. Suruh Alexei untuk bersiap. Jika kalian tidak mampu, aku yang akan memenggal kepala bos mereka dengan tanganku sendiri."

Fausto masih tercekat di tempatnya saat James melangkah pergi. Setelah itu Benicio mendekatinya. Pria paruh baya itu menepuk pundaknya dengan tatapan penuh arti.

Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, itulah yang selalu James katakan semenjak dirinya diangkat menjadi pimpinan kelompok.

Sicario atau pembunuh bayaran adalah nama yang Fyodor Draxler ambil saat ia membentuk sebuah kelompok mafia kecil. Tanpa diduga, kini putranya membawa kelompok itu menjadi kartel mafia yang disegani. Anggota mereka selalu bertambah. Kekuasaan mereka semakin meluas. Nama mereka ditakuti dan diperhitungkan. Semua itu tak lain, berkat ambisi seorang James. Hasratnya untuk mencapai posisi tertinggi tak bisa dihalangi oleh apapun.

Benicio dan Fausto telah bersumpah, mereka akan menjadi tiang demi kejayaan kelompoknya. Sicarovskaya akan tercatat sebagai mafia terkuat. Dan James Draxler, akan menjadi seorang Godfather, bos dari semua bos yang pernah ada.

---

Setengah berlari Grassiela kembali menuju ke kamarnya dengan menahan tangis. Ia tak menyangka bahwa kedua orangtuanya dapat bertindak sekejam itu. Sungguh, Grassiela benci terlahir di keluarga Stamford.

Ketika baru saja akan masuk ke kamarnya, perhatian wanita muda itu teralihkan pada pintu yang berseberangan dengan kamarnya. Bersama berbagai perasaan yang berkecamuk, Grassiela memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut.

Setelah pintu berwatna putih itu dibukanya, hati Grassiela terasa mencelos melihat sebuah kamar yang tak berubah sama sekali. Sebuah ruangan bernuansa biru muda khas anak laki-laki dengan pernak-pernik pesawat tak tampak seperti telah ditinggalkan oleh pemiliknya.

Jika Helena sama sekali tidak merubah kamar Grassiela, itu mungkin saja karena dia tak mau mendapat protes saat putrinya kembali mengisi kamar tersebut. Tapi jika wanita itu juga tidak merubah kamar putranya yang telah tiada, Grassiela menyimpulkan bahwa diam-diam, ibunya masih terpenjara dalam masa lalu.

Lantas tangis itu pecah. Tubuh Grassiela yang terasa lemas merosot ke lantai seiring kedua tangannya yang menutupi wajah. Grassiela menangis di sana.

Tak hanya Helena, dirinya pun sesungguhnya masih sangat merindukan Nicholas, kakanya yang sudah tiada. Grassiela teramat merindukan masa-masa saat mereka masih kecil dan tinggal bersama dalam keluarga yang utuh. Namun tragedi memilukan itu telah merenggut segalanya.

Seorang anak lelaki berusia delapan tahun harus tewas oleh bidikan seorang penembak jitu. Mereka telah membunuhnya! Para mafia Italia itu menjadikan Nicholas sebagai sasaran demi melumpuhkan kekuasaan Alfonso, ayahnya yang saat itu memegang kekuasan sebagian wilayah di dunia hitam.

Ketika itu Grassiela kecil tak mengerti apa-apa. Setelah dirinya menemukan tubuh Nick yang bersimbah darah, semuanya berubah. Keluarga mereka hancur begitu saja. Tak ada lagi tawa, kebahagiaan serta kasih sayang. Kedua orangtuanya tenggelam dalam duka.

Tiga nyawa telah melayang dalam waktu yang dekat. Hingga semua hati keluarga besar Stamford membeku.

Seusai pemakaman terakhir, Alfonso memerintahkan anak buahnya untuk membawa Grassiela pergi jauh dari Newcastle. Memenjarakannya di sebuah sekolah asrama dan tak pernah mengunjunginya lagi.

Grassiela diusir. Diasingkan. Dibuang. Hanya karena dirinya seorang anak perempuan yang tak dapat memegang tongkat estafet kekuasaan keluarga, maka hidupnya sudah tak berarti.

Lantas untuk apa kini Grassiela dipanggil kembali? Takdir macam apa yang menantinya di depan? Di sela tangisnya, Grassiela bertanya-tanya dalam hati.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status