Newcastle, Britania Raya.
10.07 AM.Wanita muda itu menuruni satu per satu anak tangga sambil memeluk sebuah bingkai kanvas beserta peralatan lukis miliknya. Pagi-pagi sekali ia meminta Gretta membelikan semua benda itu untuk mengisi hari-harinya yang membosankan. Grassiela tidak tahu sampai kapan dirinya akan berkutat dalam kejenuhan di rumah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam.Meski ayahnya pernah mengatakan bahwa melukis adalah hal yang tak berguna, Grassiela tidak peduli. Ia menyukainya dan tetap akan melakukannya selama hal itu bukan lah sesuatu yang buruk.Lantas ia terus melangkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Tetapi sebelum sampai di sana, langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang makan. Grassiela terdiam memandang meja makan yang kosong.Pemandangan ruang makan yang sepi itu membuat benak Grassiela terbang ke masa lalu. Tepatnya ketika ia masih berusia tiga belas tahun dan baru saja menghabiskan masa libur sekolahnya selama dua hari.Jika bukan karena larangan Helena yang tidak masuk akal, Grassiela akan memilih untuk menghabiskan waktu liburannya di asrama saja. Itu memang membosankan, tapi tidak lebih buruk dari pada dirinya harus kembali ke Newcastle dan menyaksikan betapa kedua orangtuanya tidak peduli akan kehadirannya di rumah ini.Suatu pagi, Grassiela baru saja turun ke ruang makan, namun bukan kedua orangtuanya yang ia lihat di sana. Melainkan seorang lelaki muda yang tengah melahap sarapannya seorang diri dengan tenang.Grassiela menatap tajam sepupunya itu dan menebak bahwa Alfonso dan Helena sudah pergi pagi-pagi sekali untuk urusan masing-masing. Kemudian ia melenggang masuk dan duduk di kursi yang tepat berseberangan dengan David."Aku membencimu," tukas gadis itu tajam.David sama sekali tidak terpengaruh. Dia tetap memakan sarapannya dengan tenang seolah tak mendengar ataupun melihat kedatangan saudarinya.Ketika seorang pelayan datang untuk menyediakan makanan untuk sang nona muda, Grassiela masih menatap sepupunya tajam. Ia mencengkeram garpu dan pisau di kedua tangannya dan merasakan emosinya meluap saat melihat David masih saja bersikap acuh padanya.Sialan! Mereka berada di rumah orangtua Grassiela, tetapi David lah yang mengambil alih semuanya!Semenjak Nicholas tiada dan Grassiela diasingkan ke Kanada, David lah yang mengisi kekosongan di rumah ini. Alih-alih memperhatikan putri tunggalnya, Alfonso justru memilih untuk membawa David dan merawatnya seperti anak sendiri. Helena yang masih dirundung duka saat itu hanya membiarkannya saja. Kesedihan yang mendalam membuat wanita itu tidak peduli pada dirinya, suaminya, putrinya atau bahkan keponakannya yang menjadi tuan muda di rumahnya sendiri.Hal itu membuat Grassiela teramat kecewa. Ia tak mengerti mengapa ayahnya lebih memperhatikan David di banding dirinya? Mengapa Grassiela harus dibuang sementara David tinggal di rumahnya? Mengapa uncle Richard pergi ke Scotland begitu saja dan mengijinkan Alfonso untuk merawat putranya?Apakah Grassiela egois? Dia hanya merasa terluka melihat ayahnya lebih menyayangi David dibanding dirinya.Lantas bersama sorot mata tajam, ia berkata pada sepupunya, "asal kau tahu, sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Nick di rumah ini."Lantas David membalas tatapan sepupunya tak kalah tajam. Mendadak kekesalan yang tersirat di wajah lelaki itu membuat Grassiela terdiam. David bangkit dari kursi makan dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia berdesis dengan rahangnya yang mengeras, "Aku berada di sini bukan untuk menggantikan posisi kakakmu. Tapi untuk membalaskan dendam atas kematiannya!"David beranjak pergi. Meninggalkan Grassiela yang mematung di tempat duduknya.Suara klakson mobil terdengar. Grassiela terkesiap dan kesadarannya kembali ketika mendengar suara mobil baru saja sampai di pelataran.Entah siapa yang datang. Grassiela tidak mempunyai teman di Newcastle maka tidak mungkin seseorang datang untuk menemuinya. Kemudian ia memilih untuk pergi menuju halaman belakang dan melukis di sana.***"My Darl," Helena merantangkan kedua tangannya untuk memeluk seorang wanita muda yang melanggang masuk dengan membawa sebuah kotak berukuran besar."Aunty." Arabella mendapat pelukan lalu mencium kedua pipi Helena."Apa kabarmu, Sayang? Apa yang membuatmu datang kemari?" Helena membawa Arabella duduk di sofa."Semalam Aunty Clara baru saja sampai di Cestershire. Saat mengetahui bahwa aku akan ke Newcastle hari ini, dia memintaku untuk membawakan ini untukmu." Arabella meletakkan kotak berukuran besar itu di atas meja."Oh, ini pasti pesananku." Helena membukanya kemudian megangumi sebuah gaun pesta berwarna merah di dalam kotak itu. "Sangat cantik," gumam Helena merasa puas atas pesanannya."Apa itu untuk Grace? Aku dengar dia sudah kembali," ucap Arabella penasaran."Kau benar.""Di mana dia? Apa aku boleh menemuinya?"Helena tersenyum pada keponakan kesayangannya itu.***"Akhirnya sang anak buangan kembali."Grassiela yang tengah duduk di pinggiran kolam air mancur sambil melukis, menghentikan kegiatannya. Ia memutar kedua matanya dan tanpa menoleh untuk melihat, dia sudah dapat memastikan berasal dari mulut siapa ucapan menjengkelkan itu."Apa pedulimu? Pergilah," usir Grassiela merasa malas untuk berbicara dengan wanita yang baru saja datang.Bukan tanpa sebab. Sejak kecil ia memang merasa tidak pernah cocok dengan kedua sepupunya, Arabella dan kembarannya Annastasia. Mereka sama saja, senang mencari masalah dengan lidahnya yang berbisa."Aku datang kemari karena peduli padamu. Aku dengar kau akan menikah," ucap Arabella sembari turun dari teras dan menghampiri sepupunya.Holy shit! Si penggosip itu berhasil membuat Grassiela tak bisa berkonsentrasi lagi. Akhirnya ia menghela napas kesal kemudian memandangnya. "Lalu?""Apa kau tahu siapa calon suamimu?" Arabella menyeringai dan mencoba memancing rasa ingin tahu Grassiela meski dia tak menjawab."Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan Nenek dengan seseorang di telepon. Fyodor Draxler," ungkap Arabella melanjutkan. "Seorang pengusaha tua asal Rusia. Dia pemilik perusahaan minyak terbesar di Eropa."Grassiela tak memberi respon yang berarti, mungkin saja dia tidak peduli. Dan hal itu membuat Arabella sedikit kesal."Kau tahu, dia memiliki tiga orang istri. Dan sepertinya, kau akan menjadi yang keempat." Arabella terkekeh di akhir ucapannya. "Aku yakin aunty dan uncle tak mengatakan hal ini padamu."Tunggu dulu. Apa Grassiela harus mempercayainya? Si licik Arabella jelas seorang pembual. Maka Grassiela memilih untuk tidak menanggapi ocehan itu."Kau tidak percaya? Dia mempunyai seorang putra yang kini memegang posisi sebagai CEO DX-Prom. Tapi sayang sekali, yang aku tahu, pria itu sudah bertunangan dengan seorang gadis yang hampir menjadi bagian dari keluarga kita. Jadi kemungkinan besar, yang akan menikahimu adalah ayahnya." Arabella kembali tertawa.Grassiela berdecak kemudian meletakkan kanvas di pangkuannya ke pinggiran kolam lalu bangkit dari duduknya. Ia menatap tajam wanita menyebalkan di hadapannya. "Apa aku harus mengucapkan terima kasih atas informasi yang kau berikan ini?""Tidak. Tidak. Kau tidak perlu melakukannya. Aku hanya merasa kasihan padamu.""Lebih baik kasihani saja dirimu sendiri," tukas Grassiela berusaha mengendalikan emosinya yang nyaris tersulut.Sayangnya, Arabella tidak menyerah. Ia kembali menghasut dengan berkata, "Pria tua itu menyukai wanita cantik. Dan dia menginginkan keturunan. Kau boleh saja tidak mempercayaiku. Tapi bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi?"Ya, Grassiela sendiri memang tidak tahu siapa yang akan menjadi calon suaminya. Bahkan ketika rencana pernikahan itu sudah ditentukan. Lalu apakah informasi dari Arabella membantunya?Sama sekali tidak. Siapapun pria itu, Grassiela tetap tidak mempunyai hak untuk menghentikan perjodohan sialan ini. Merasa sangat marah, benci bahkan ingin berontak pun tak ada artinya. Grassiela tak bisa berbuat apa-apa selain memendam kekecewaannya sendirian. Lantas bagaimana jika dia benar-benar akan dinikahkan dengan seorang pria tua yang telah memiliki tiga orang istri?Yang jelas, Grassiela tidak akan membiarkan si licik Arabella tersenyum puas karena telah berhasil memprovokasinya.Grassiela berjalan mendekat menatap tajam sepupunya. Ia mengangkat wajahnya angkuh lalu berkata, "jika pria itu memang mempunyai banyak istri, maka aku tidak perlu repot-repot untuk merawatnya. Dan jika dia benar-benar sudah tua, maka aku cukup beruntung karena tidak akan menunggu lama untuk mendapat bagian dari perusahaan besar yang ia miliki."Seketika Arabella terperangah. Di luar dugaannya, ungkapan Grassiela yang naif dan licik justru membuat Arabella sulit berkata-kata.Benarkah Grassiela akan menghadapi pernikahannya dengan cara demikian? Siapa yang tahu."Dasar wanita licik," gumam Arabella."Apa kau sedang membicarakan dirimu sendiri?"Arabella mendengus kesal. Ia kemudian berbalik untuk melengos pergi. Tapi panggilan mendadak dari Grassiela, membuat langkah wanita itu terhenti."Bella."Arabella memutar kedua matanya lalu kembali berbalik."Apa maksudmu dengan ... seorang gadis yang hampir menjadi bagian dari keluarga kita?" tanya Grassiela penasaran."Seseorang mencampakkan calon tunangannya dan lebih memilih seorang simpanan," jawab Arabella malas."Benarkah? Zack melakukannya?""Bukan Zack. Tetapi Dave. Apa itu mengisnpirasimu?"Sejenak Grassiela terdiam. Ia mencoba mengingat dengan siapa akhirnya David menikah? Tapi ia tak hadir di pernikahan itu dan tak tahu siapa yang sepupu laki-lakinya nikahi. Terserah. Hal itu mungkin tidak begitu penting. Setidaknya, Grassiela tahu bahwa seorang Stamford dapat merubah takdirnya sendiri."Jika kau mempunyai seorang kekasih, kau bisa memberinya gagasan untuk membawamu lari lalu kalian menikah secara diam-diam. Hal itu akan menjadi daftar drama terbaru di keluarga kita," tukas Arabella kemudian tertawa mengejek."Terima kasih atas gagasannya, tapi hal itu tidak akan terjadi. Aku tetap memilih calon suamiku yang tua dan kaya raya."Tawa Arabella berhenti lalu ia menyorotkan tatapan kesal pada sepupunya. Arabella kembali berbalik untuk pergi, tapi lagi-lagi Grassiela menghentikan langkah kakinya."Bella.""Apa lagi?!""Jika suatu hari suamiku mencari istri lagi, maka aku akan merekomendasikamu. Jadi jangan marah padaku, ok?" Grassiela menahan tawa melihat permukaan wajah Arabella yang seketika memerah menahan emosi.Tanpa berkata lagi cepat-cepat wanita itu melangkah pergi menuju pintu."Aku tidak keberatan jika harus berbagi suami denganmu," teriak Grassiela sebelum ia tertawa puas sendirian.***Copthrone Hotel, Newcastle, Inggris.10.17 PM."Kau sudah sampai?""Ya.""Alexei bersamamu?""Begitulah.""Berapa kamar hotel yang kau sewa?""Sepuluh.""Berapa jumlah anggota yang kau bawa?""Tak ada.""Apa kau gila?!" Suara Fausto Michalov terdengar meninggi di seberang telepon.James menghela napas. Netra kelabunya masih memandang suasana malam sungai Tyne dari balik jendela kamar hotel. "Tenang saja. Aku yakin Zack Stamford telah mengetahui kedatanganku. Dia tak akan membiarkan kekacauan terjadi di wilayah kekuasaannya. Aku aman di sini.""Alfonso Stamford pernah berselisih dengan keponakannya. Mereka sudah tidak sejalan. Apa kau yakin dia tidak akan menjebakmu?" Kecemasan terdengar jelas dari nada suara pria baya itu. Sesekali James merasa bahwa Fausto lebih memperhatikannha dari Fyodor, ayahnya sendiri. James mulai berpikir untuk menjadikan Fausto sebagai penasihatnya."Aku datang dengan damai. Tenang saja, dia tidak akan menolak tawaran dariku," ungkap James penuh keyakinan.Fausto berdecak. Untuk kesekian kalinya ia kesal pada anak muda keras kepala yang kini menjadi pimpinan kelompok. "Mereka akan menggeledahmu di sana. Jaga dirimu."James terkekeh meremehkan. "Kau tak perlu mencemaskanku. Mereka mempunyai integritas tinggi. Aku percaya, mereka tak akan menyerang seorang tanpa senjata."Fausto tak menjawab lagi. James pasti sudah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat. Mungkin kali ini dia harus mempercayai rencananya."Urus saja Brooklyn, Vegas, Meksiko," ujar James kemudian."Baiklah. Aku menunggu kabar selanjutnya."James memutus sambungan telepon. Pandangannya masih tertuju pada sungai Tyne yang diterangi pantulan cahaya lampu kota. Namun benaknya sibuk memikirkan hari esok.Alfonso Stamford, mantan pemimpin kartel bisnis gelap yang sangat berpengaruh di Inggris. Kini kekuasaan telah berada di tangan Zack Stamford, keponakannya. Tetapi James mengetahui bahwa diam-diam pria tua itu masih memiliki bisnis besar yang justru dikelola oleh orang lain. James menginginkannya. Dan ia cukup yakin, Alfonso tak akan menolak kesepakatan yang akan ia ajukan.***Grassiela tahu bahwa suatu hari hal ini akan terjadi. Dengan tradisi kolotnya, seluruh kekuarga Stamford harus menikah dengan cara perjodohan. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi David dan Zack. Mereka menikah dengan pilihannya sendiri. Entah karena tradisi mulai berubah hanya untuk para lelaki, atau keduanya memiliki keistimewaan tersendiri karena telah memegang tongkat estafet sebagai pemimpin kelompok. Entahlah, yang jelas Grassiela merasakan ketidak adilan di sini.Dan hari itu akhirnya tiba. Saat sinar mentari menarangi seisi kamarnya, Grassiela tengah duduk di depan meja rias bersama Gretta yang sedang mengeringkan rambutnya. Helena juga berada di sana, dia mempersiapkan sebuah dress putih sederhana dengan bordiran bunga-bunga kecil berwarna-warni. Dress yang cantik, pikir Grassiela. Tidak buruk untuk pertemuan pertamanya dengan sang calon suami.Setelah Gretta selesai, Helena menyuruhnya pergi untuk mempersiapkan hal lain sementara wanita itu lanjut menyisir rambut putrinya."Jaga sikapmu dan jangan terlalu banyak berbicara," ucap Helena mengingatkan.Grassiela bergeming. Ada berbagai hal yang kini bergelut dalam pikirannya.Oh, haruskah ia berontak dengan mencoba melarikan diri saat ini juga? Ataukah ia perlu melihat dulu siapa calon suaminya? Tapi bagimana pun, Grassiela belum ingin menikah. Lalu bagaimana jika apa yang dikatakan Arabella itu benar? Grassiela akan menikahi seorang lelaki tua yang sudah memiliki tiga orang istri?Sial! Bisakah hidupnya lebih buruk lagi dari ini?Tentu saja bisa.Ketika Helena pergi meninggalkannya sendirian di dalam kamar, Grassiela mulai merasakan jantungnya berdebar. Oh, kondisi macam apa ini? Ia menghela napas panjang demi menenangkan dirinya sendiri lalu berjalan menuju standing mirror dan memandang penampilannya.Ia sudah siap. Dengan dress yang Helena pilihkan, make up tipis yang Gretta poleskan serta rambut terurai yang hanya dihiasi jepit kecil berkilauan. Seharusnya Grassiela siap untuk menemui siapa pun itu yang akan datang.Lantas diam-diam ia keluar dari kamar. Grassiela tidak tahu apakah dirinya harus turun untuk membantu mempersiapkan kedatangan tamu spesial di lantai bawah, ataukah ia cukup menunggu di kamar saja? Helena tak mengatakan apa-apa selain mengingatkannya tentang tata krama yang sudah sangat ia hafal.Kemudian kegelisahan mendera. Berkali-kali Grassiela menanamkan pada diri sendiri bahwa dirinya tak peduli pada apa pun yang akan terjadi hari ini. Tapi sia-sia. Hal ini jelas-jelas menyangkut masa depannya. Akhirnya wanita muda itu berjalan mondar-mandir di koridor depan kamarnya sambil menimang-nimang apakah dirinya harus menuju tangga dan turun atau kembali masuk ke dalam kamar.Ah, sial! Ia gelisah, cemas dan berbagai perasaan tak karuan menghantam perasaannya. Demi Tuhan, tolong katakan siapa yang akan datang untuk melamarnya hari ini? Pria macam apa dia? Berani-beraninya mengusik ketenangan seorang anak buangan Stamford!Kemudian suara deru mobil yang baru datang terdengar.Deg!Cepat-cepat Grassiela menuju jendela di ujung koridor yang menghadap ke pelataran. Rasa penasaran yang mendesak memaksanya untuk mengintip dari balik tirai.Sebuah mobil berwarna hitam terlihat berhenti di depan teras. Seorang kepercayaan Alfonso dan beberapa orang pelayan bersiap menyambut sang tamu. Kemudian pintu mobil itu terbuka. Seorang pria turun dari mobilnya dan Grassiela melebarkan kedua matanya.Ini tidak mungkin!Ketika orang kepercayaan Alfonso menyambut dengan berbicara sesuatu dan menjabat tangan tamu spesial itu, Grassiela terus memerhatikannya. Lantas mereka semua masuk ke dalam rumah dan Grassiela mematung di tempatnya berdiri. Ia mulai merasa yakin.Apakah itu benar-benar dia?***Hamparan salju membentang luas, putih, sunyi, tak terjamah. Di tengah dinginnya udara pagi yang menusuk tulang di Zermatt, dunia seakan berhenti. Di tengah lanskap itu, Grassiela berdiri mengenakan gaun panjang berwarna putih bersih yang membalut tubuhnya dengan anggun. Setiap embusan angin membuat gaunnya berayun perlahan, seperti tarian yang halus. Rambut caramelnya digerai alami, sebagian berhias jepit berkilau sederhana. Pipinya sedikit memerah karena dingin, membuat kecantikannya justru semakin nyata. Dia berdiri sendirian, menatap ke kejauhan. Di sana, seseorang terlihat berjalan mendekat. James muncul dari balik kabut salju. Pakaian hitam pekat yang dikenakannya kontras dengan putihnya dunia, seolah ia adalah bayangan yang datang untuk menghisap cahaya. Jas panjangnya jatuh rapi, dengan kemeja dan dasi hitam yang membuatnya tampak seperti figur otoritas yang tak tergoyahkan. Rambut hitamnya sedikit berantakan diterpa angin, namun sorot mata kelabunya tetap tajam, penuh tekad.
Matahari musim dingin memantul di salju yang berkilau, pemandangan Matterhorn tampak anggun dari jendela kamar suite mereka. Grassiela baru terbangun, tubuhnya masih terasa hangat di balik selimut tebal. Ia menoleh, tempat di sebelahnya kosong. Dari balik bulu mata lentiknya, ia dapat melihat James berdiri di balkon, mantel tidurnya terikat rapi, siluetnya tegap di bawah cahaya siang. Ponsel masih di tangannya, layar menyala redup—menandakan panggilan baru saja berakhir. Grassiela menggeliat, meraih selimut dan membungkus tubuhnya, lalu melangkah keluar ke balkon. Angin dingin menusuk kulitnya, namun ia lebih fokus pada ekspresi James yang serius. “Ada apa?” suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin Alpen. James menoleh padanya. “Kau sudah bangun?" Dia melirik sekilas. "Hanya soal bisnis,” ujarnya menepis pikiran yang semula rumit. Diam-diam Grassiela menelan salivanya, mengingat bahwa bisnis James kacau akibat ulahnya. Setelah ia membongkar bisnis ilegal itu, sebagian bes
Suasana pagi di dalam chalet terasa lebih ramai dari biasanya. Para pelayan berlalu-lalang menyiapkan koper, sementara perawat sibuk memakaikan mantel hangat pada bayi mungil yang tersenyum di dalam boks bayi.Di kamar utama, seorang dokter sedang memeriksa Grassiela yang duduk bersandar di ranjang, dia masih terlihat pucat namun lebih tenang daripada semalam.James berdiri di samping ranjang dengan ekspresi serius, tangannya dilipat, matanya mengawasi setiap gerakan dokter.Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan.Helena muncul terlebih dahulu, disusul Alfonso di belakangnya. Keduanya mengenakan pakaian musim dingin, siap untuk pergi.“Grace…” Helena tersenyum lembut, mendekati ranjang dan menggenggam tangan putrinya, “kami berangkat dulu, ya?”Grassiela menatap mereka, sedikit terkejut. “Kalian… jadi pergi sekarang?”Alfonso mengangguk. “Kami hanya pergi ke bawah, ke lembah. Udara di sana lebih hangat dan cuc
Salju terus jatuh perlahan―halus dan membungkam. Di bawah langit malam Zermatt yang gelap dan membeku, James hanya berdiri terpaku. Ucapan Grassiela menggema di kepalanya, menusuk lebih dalam daripada peluru manapun yang pernah ia terima.Grassiela memeluk dirinya sendiri, menggigil bukan hanya karena dingin… tapi oleh sakit di dalam dadanya.“Cukup…” suaranya pecah di udara beku. “Aku… tak tahan lagi.”James membuka mulutnya, tapi tak ada satu kata pun keluar. Tatapannya penuh syok dan penyesalan saat mencermati wajah istrinya yang berlinang air mata.Grassiela menghapus air mata dengan punggung tangannya, namun tangis itu tak henti mengalir. “Aku tidak bisa terus bersamamu," bisiknya. “Setiap kali kau melakukan kekejaman… setiap kali kau menghukum seseorang… dan terlebih karena aku... semua itu membuatku merasa bersalah.”Ia menunduk, bahunya bergetar. “Membuatku frustasi karena dosa yang tidak kulakukan sendiri.”Air mata jatu
"Aku merindukan saat kita bersama."Ucapan James yang tenang dan dalam, membuat hati Grassiela terasa mencelos.Grassiela memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan gugup yang mulai merayap di tubuhnya.“Itu hanya dugaanmu,” ujarnya, nadanya terdengar lebih seperti pembelaan. Ia meletakkan nampan di atas meja kerja yang dipenuhi berkas.James menatapnya, mengamati setiap gerakan istrinya. “Ucapan terima kasih… sambil membawa kopi hangat dan sandwich buatan sendiri?” suaranya rendah, namun mengandung nada menggoda dan percaya diri.Grassiela tak menjawab. Ia sibuk merapikan lipatan rok tidurnya, menghindari tatapan James. Suasana ruangan diselimuti keheningan yang menegangkan.Perlahan James berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di belakangnya. Napas hangatnya menyentuh tengkuk Grassiela.“Kau datang ke sini karena kau merindukanku, kan?” bisiknya, nada suaranya tenang tapi penuh keyakinan.Grassiela
Salju turun perlahan, seperti serpihan kapas yang menari di udara, menyambut kedatangan rombongan di Zermatt. Mobil hitam berlapis baja berhenti tepat di depan sebuah chalet mewah yang berdiri anggun di lereng pegunungan berselimut putih. Bangunan itu memadukan arsitektur kayu tradisional Swiss dengan sentuhan modern, sementara balkon-balkonnya dipenuhi ukiran kayu yang rumit.James turun lebih dulu, matanya menyapu sekeliling, memastikan setiap pos penjaga ada di balik pepohonan pinus yang berdiri gagah di tepi jalan. Fausto dan Benicio, yang sejak awal duduk di mobil belakang, segera bergabung. Keduanya, meski sama-sama terbiasa melihat kemewahan, tak bisa menahan komentar.“Porca miseria… ini lebih seperti istana salju daripada chalet,” gumam Fausto sambil mengangkat alis, tangannya menyentuh pagar kayu berlapis es tipis.Benicio hanya tersenyum miring. “James tidak pernah setengah-setengah. Kalau dia bilang aman dan nyaman… berarti inilah maksudnya.”