"Lalu, apakah kamu tidak takut kalau aku terkesan menerimamu hanya sebagai pelarian?" pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Kalau begitu aku akan menjadi tempat pelarian yang nyaman untukmu. Biar kamu betah." Cengiran lebar menghiasi wajah teduhnya.
"Ha-ha bisa saja kamu! Masalah hati jangan dibuat main-main lagi, ah!" sergahku.
Namun, tidak dapat dipungkiri, hatiku memang terasa nyaman setiap kali bercerita dengan pria ini.
Itulah mengapa beberapa bulan yang lalu aku merasa ketar-ketir. Ketika mulai menyadari rasa terhadapnya lebih kuat dari pada rasa terhadap Keanu. Mata hatiku tertutup
Baru saja aku melangkahkan kaki keluar dari pintu kedatangan dan mengaktifkan ponsel, telepon dari Adrian masuk."Mei, coba lihat ke sebelah kiri," perintahnya. Serta merta aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya, mencari tau apa yang harus kulihat.Sekitar beberapa meter dari tempatku berdiri, di sebuah meja restoran siap saji, di pelataran luar terminal kedatangan, kulihat pria itu melambaikan tangan dengan wajah cerah.Aku bergegas mendekatinya, "Hei! Kamu ngapain di sini?" tanyaku ketika telah berada tepat di hadapannya."Nungguin, kamu." senyum khasnya kembali terukir, dengan satu sudut bibir yang terangkat lebih tinggi dari sudut yang lain.Seperti biasa, dia menarikkan sebuah kursi untuk kududuki."Mau makan dulu?""Enggak, masih kenyang," tolakku. Sejujurnya selera makanku sedang mengalami penurunan. Padahal biasanya, walaupun selesai makan, aku masih bisa menghabiskan dua porsi burger ukuran jumbo. "Ngapain nungguin aku?" m
Adrian pamit pulang setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Setelah mendengar ceritaku yang berulang-ulang tentang rasa sakit hatiku terhadap Keanu dan Dendra. Tentang bagaimana rasa luka ini dikhianati sahabat sendiri. Adrian mendengarkannya dengan khusuk tak menjeda kalimatku dengan nasihat apapun. Dia tau, aku sedang butuh didengarkan. "Istirahat, ya!" ucap Adrian saat kuantar ke pintu. "Beneran nggak perlu aku anter ke bawah?" tanyaku untuk memastikan kembali. "Nggak usah, kamu pasti capek." Adrian tersenyum lembut. "Makasih, Dri." Lalu entah dari mana keberanian ini datang, tiba-tiba saja aku mendekatkan diri dan melabuhkan kecupan ringan di pipinya. Well, mungkin bagi sebagian orang hal itu biasa, tetapi bagiku hal itu rasanya sangat memalukan. Adrian terpana sambil mengusap pipinya. Wajahnya pun menunjukkan rasa terkejut akibat perbuatanku tadi. Aku buru-buru mengucapkan salam dan menutup pintu, malu rasanya melihat dia menat
"Bundo, aku mau berhenti kerja." kuutarakan rencanaku pada Bundo untuk melihat bagaimana reaksi ibuku. "Apa Keanu yang meminta?"Aku menghela napas panjang. Bingung bagaimana menjelaskan pada Bundo tentang kandasnya hubunganku dengan pria itu. Saat ini aku belum siap mengatakannya pada kedua orangtuaku, karena belum menemukan alasan selain perselingkuhan yang dilakukan Keanu. Aku memilih untuk menyimpannya untuk saat ini, lalu mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya nanti. "Mei?" Panggilan Bundo menyadarkanku bahwa panggilan masih tersambung. "Bukan. Aku sudah merasa capek kerja tak tentu waktu seperti ini. "Kenapa, Bun?" Kali ini suara ayah yang terdengar di samping Bundo. "Mei mau berhenti kerja." Terdengar Bundo menyahut. "Mei, apa rencanamu setelah berhenti kerja?" Ayah mengambil alih percakapan. "Untuk saat ini mau menikmati dulu jadi pengangguran, Yah." Aku terkekeh setelah mengatakan hal itu. "Pulang
Aku baru sampai di apartemen ketika bundo menelpon. Buru-buru kuterima panggilan bundo sambil merebahkan diri di sofa. "Mei, apa benar kamu putus sama Keanu?" cecar Bundo begitu panggilan tersambung. Sontak aku menegakkan tubuh dengan memijat pelipis. Suara bundo terdengar kurang bersahabat. Tak biasanya seperti itu. "Bundo tau dari siapa?" tanyaku takut-takut. "Tadi ayah menelpon Om Danu, katanya kalian enggak jadi ngelanjutin hubungan kalian." Suara bundo kali ini terdengar agak tertekan. Aku menelan ludah. Bingung bagaimana cara memulai untuk menceritakannya. "Iya, Bun ... sebenarnya awal tahun, aku kebagian jadwal ke London ...." Lalu cerita tentang berakhirnya hubunganku dengan Keanu, kuceritakan secara jujur pada bundo. Tak ada yang kututupi. Aku tidak ingin mereka mengira nanti Adrian yang menjadi penyebab rusaknya hubunganku ketika aku mengenalkan pria itu kepada mereka. "Apa bukan salah paham saja? Kamu kadang suka memutuskan sesuatu secar
Adrian datang ke apartemenku tepat waktu. "Lagi ada masalah apa?" tanyanya begitu melihatku. Laki-laki itu terkadang seperti cenayang, ia bisa membaca pikiranku hanya dalam sekali lihat. Namun, aku tak serta merta mengutarakan apa yang mengusik pikiranku sedari tadi. "Nggak ada apa-apa," tepisku sambil lalu, ke pantry hendak menyiapkan minuman hangat untuknya. Adrian duduk di bangku pantry, menopang dagunya dengan tangan. Menatapku yang sibuk mengambil teh dan gula dari kabinet. "Tapi itu kerutan di jidat makin keliatan." Adrian terkekeh. "Ah! Kenapa selalu ketauan gini sih!" Aku ikut tertawa, menyadari bahwa aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari lelaki itu. Apa memang dia bisa membaca pikiranku? Adrian masih saja menatapku lekat. "Ada apa? Mau cerita?"Aku menghentikan kegiatanku menyeduh teh. Berbalik menatap Adrian. Lelaki itu tampak dengan sabar menungguku membuka suara. "Aku sekelas baking sama Rani." Aku menjeda, menunggu reaksi darinya.
Pertemuan kedua kelas baking, aku maupun Rani masih tak bertegur sapa. Rasanya sangat aneh, saat orang yang biasa menjadi tempatmu berbagi cerita selama ini, kini terasa bagai orang asing. Kali ini aku duduk berjauhan dengan Rani. Beruntung salah seorang teman kelas bakingku mengajak diskusi mengenai praktek kami hari ini. Sehingga pikiranku tak terlalu fokus pada masalah dengan Rani. Hari ini materi praktek kami adalah membuat adonan puff pastry. Adonan yang pengerjaannya memakan tenaga dan waktu ekstra saat melipat dan menggilas adonannya. "Lemes amat kayaknya, Mbak," ledek Daniel terkekeh-kekeh saat melihatku berkali-kali mengusap keringat dengan punggung tangan. "Hati-hati jangan terlalu dekat, udah punya orang, Nil!" celetuk Rani tiba-tiba. Kulihat sekilas Danil mengernyit. "Ya elah, cuma becanda gitu doang, Mbak," balas Danil. Sementara aku memilih diam, tak menanggapi kalimat yang dilontarkan Rani tersebut, meskipun dalam hati kesal juga. Entah bebera
Tidak pernah aku merasa setakut ini melihat Dendra. Tatapannya begitu mengintimidasi. Mengingatkanku pada sorot mata serigala yang hendak menerkam mangsa. Aku sudah pernah merasakan pengalaman antara hidup dan mati, tetapi berhadapan dengan Dendra seperti ini, membuat rasa takut saat menghadapi Nisya beberapa waktu lalu terasa tak ada apa-apanya.Kali ini tak terlihat peluang untuk melarikan diri karena Dendra memblokir jalan keluar. Aku beringsut mundur dengan tatapan terus waspada. Sialnya gerakanku tertahan karena mukena yang kupakai. Sekali lagi aku bermaksud berteriak minta tolong, tetapi lagi-lagi tak ada suara yang keluar. Bahkan suara jantungku lah yang terdengar lebih keras dari suaraku sendiri. "Kalau aku nggak bisa miliki kamu, yang lain juga nggak bisa," geram Dendra. Kali ini kemarahan terjejak di wajahnya. Sekonyong-konyong tubuh jangkungnya menerjang. Mengunci tubuhku di bawah tubuhnya. Aku memalingkan wajah saat wajahnya mendekat. "Kamu nggak ingat si
Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang terasa linu semua. Meskipun semalam aku sempat tertidur, tak lebih karena fisikku sudah terlalu lelah menjalani hari kemarin. Lalu tiba-tiba saja aku teringat Rani. Dengan emosi yang mendadak kembali muncul, aku mengambil ponsel dan mengetikkan pesan pada mantan sahabatku itu. [Makasih ya, Ran. Karena lo sukses menghancurkan hidup gue dan keluarga Dendra. Ntar gue kirimin deh lo tiket VIP ke neraka.]Nomor Rani kublokir setelahnya. Masih belum percaya, persahabatan yang sudah terjalin belasan tahun hancur begitu saja. Aku masih belum mengerti apa alasan Rani bisa berbuat setega itu padaku. Ketukan pelan di pintu, memutus nelangsa yang kurasa. "Mei, udah shalat?" Terdengar suara Adrian di luar kamar, teredam oleh pintu. Segera bangkit dari duduk, melupakan sejenak rasa sakit hati dikhianati sahabat yang begitu kupercaya semenjak dulu. "Belum," jawabku begitu membuka pintu dan mendapati lelaki itu berdiri di depan s