Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
"Mei?" Terdengar suara berat yang tak asing di telinga dari arah belakangku.Aku berbalik memastikan bahwa telingaku tidak sedang berhalusinasi."Oh ... Hei, Dendra?" sapaku berusaha untuk membuat nada suara terdengar biasa."Ah! Ternyata benar kamu." Ada bias rindu yang menggantung di kedua belah mata teduhnya.Satu dekade sudah aku tak melihat tatapan mata teduh itu. Senyumnya masih sama, caranya memandangku juga masih sama, bahkan rasa sakit yang kurasakan juga masih seperti terakhir kali melihatnya."Apa kabar? Ah basa-basi banget ya!" gelaknya memamerkan sederet gigi putih yang bersusun rapi di balik bibirnya."Ahaha ... Iya! Kalau sudah lihat seperti ini, tak perlu tanya kabar kan?" balasku masih berusaha menetralkan gemuruh yang berdesakkan di dada."Pah, sudah beres check-in nya?" Sesosok wanita dengan gamis ungu dan kerudung bewarna senada datang dari belakang Dendra. Pakaian yang di pakainya jelas menampilkan tampil
"Mba ... Kita sudah landing." Suara Lisa, pramugari junior yang menyapaku sebelum berangkat, menyentakkanku dari tidur."Oh, Thanks Lis." Buru-buru aku menurunkan ransel yang ada di bagasi kabin pesawat. Bergegas keluar dari garbarata, melewati beberapa penumpang yang telah lebih dahulu keluar dari pesawat.Seketika udara panas menyapu kulitku ketika keluar dari pintu kedatangan bandar udara Internasional Minangkabau. Beberapa supir taksi menawarkan jasanya berdesakan di depan pintu kedatangan bersama puluhan orang yang juga terlihat tengah menanti kedatangan kerabat mereka dari balik besi pembatas antara pintu kedatangan dengan lobi bandara."Taksi Kak?" tawar seorang pria paruh baya bertubuh gempal ketika aku celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Kemeja yang dipakainya tampak terpaksa membungkus tubuhnya yang tambun. Peluh terlihat membanjiri pelipisnya yang berkerut dalam."Tidak, Pak. Sudah ada yang jemput,"
Mengabaikan perasaan yang mendadak tidak nyaman akibat pesan singkat dari Dendra, aku memencet nomor kontak ayah untuk mengabarkan kalau aku telah mendarat di Bandar udara Soekarno-Hatta.Setelah nada sambung ke tiga, terdengar suara lembut bundo menjawab, "Assalamualaikum, Mei. Sudah sampai ya?""Iya, Bun. Ayah lagi nyetir, ya?""Iya, nih. Nanti kalau udah nyampe rumah aja ayah nelpon balik ya," sahut bundo."Siap, Bun. Aku juga mau langsung balik. Dah, Bundo." Kututup sambungan telpon setelah bundo membalas salamku.Berbagai aroma makanan dan minuman memaksa masuk indera penciumanku ketika keluar melewati beberapa kios penjual makanan dan minuman yang terdapat di area kedatangan. Para penumpang yang baru saja turun bersamaku bergegas mengambil troli untuk memuat bagasi mereka yang akan diturunkan dari pesawat. Sebagian dari mereka telah berjejer mengelilingi conveyor tempat bagasi diturunkan. Aku melenggang keluar dari area kedatangan ka
Suara nyaring alarm dari ponsel memaksaku terjaga dari tidur. Semalam aku malah bermimpi tentang Dendra. Mungkin karena efek pesan yang dia kirimkan kemarin. Seolah membuka kembali kotak kenanganku ketika bersamanya.Kupaksakan tubuh untuk bangkit dari baaring, mengumpulkan seluruh kesadaran. Mengenyahkan bayangan wajah Dendra dari pikiran. Dendra adalah masalalu yang telah kukubur dalam. Tak seharusnya ia kembali meminta tempat yang pernah ditinggalkannya dulu.Ngapain juga mikirin laki orang, kayak enggak ada laki-laki lain saja, Mei. Rutukku dalam hati.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah empat, aku harus bersiap karena ada jadwal penerbangan pagi ini. Tak mau terlambat, bergegas kuseret langkah ke kamar mandi.Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mandi dan bersiap. Seorang pramugari memang dilatih untuk bergerak cepat. Mulai dari dandan, sampai mengerjakan hal-hal lain. Karena pekerjaan kami juga dituntut untuk melakuk
"Kamu tinggal di sini?" Wajah Dendra tampak begitu antusias ketika bertanya.Tak langsung menjawab pertanyaannya, aku membungkuk mengambil ponsel yang terjatuh. Meredam perasaan berkecamuk yang mendadak hadir.Ah! Kenapa hati ini masih saja belum mampu untuk benar-benar melepaskannya. Padahal rasa sakit yang dulu kurasakan, cukup menjadi alasan untuk tak lagi memberinya sepetak ruang dalam hatiku."Untuk saat ini, iya," sahutku sekenanya. Aku tak ingin Dendra tau kalau aku memang tinggal di sini."Aku juga baru pindah ke sini, kamu lantai berapa?" Nada suara itu masih saja mampu menggetarkan seutas senar yang membentang dalam hati. Namun aku tak mau terpedaya akan pesona nya, yang masih saja membuatku mabuk. Dia sudah dimiliki perempuan lain.Heran, dia masih mampu terlihat bersikap biasa setelah apa yang pernah terjadi diantara kami. Setelah meninggalkan luka yang begitu mendalam di hatiku. Entah karena aku hanya memang tak pernah ada di