Pagi yang sibuk kembali menyapa Yandi dan keluarganya. Semua anggota keluarga pun sibuk bersiap untuk pergi. “Ma, nanti Yeri ke sekolah bareng sama mama, ya,” pinta Yeri dengan suara imut.
“Yeri, mama gak bisa antarin kamu ke sekolah. Nanti kamu minta diantarin sama kak Yani atau kak Yandi aja, ya” ucap sang Mama menolak permintaannya.
Namun Yeri tak menyerah dan terus mencoba. “Kalau gitu papa aja, ya.” Kali ini, ia beralih ke papanya.
“Papa gak bisa. Minta kakak-kakak kamu aja yang antarin.” Hati anak itu langsung hancur saat mendapat penolakan dari kedua orang tuanya.
Wajah Yeri menjadi kusut setelah mendapat penolakan. Ia segera meninggalkan ruang tamu dan bergegas menuju kamarnya sambil menahan air matanya.
Setelah semua orang pergi, kini Yandi bersiap untuk berangkat ke sekolah. Saat sedang bersiap, Yandi mengkhawatirkan adik kecilnya. “Yeri udah ke sekolah belum, ya?” tanya Yandi pada dirinya sambil mengenakan seragam.
“Apa gue cek aja ke kamarnya. Siapa tahu dia masih ngambek kayak kemarin-kemarin.” Yandi yang telah selesai bersiap, segera menuju kamar Yeri yang berjarak beberapa langkah dari kamarnya.
“Yer... Yeriii” ucap Yandi sambil mengetuk pintu kamar Yeri, namun tak ada jawab darinya.
“Yerrr, lo mau ke sekolah gak sih?” Amarah Yandi mulai tak tertahankan saat adiknya tak menjawab panggilannya.
“Gak mau!!” teriak Yeri dari kamarnya.
Amarah Yandi langsung meledak setelah mendengar jawaban adiknya. Pasalnya Yeri terlalu sering bertingkah seperti hari ini jika keinginannya tak terwujud.“Kenapa lagi, sih?” tanya Yandi kesal.
“Mama sama papa tuh jahat! Mereka semua gak pernah mau dengarin Yeri! Pokoknya Yeri gak mau sekolah lagi!” teriak Yeri dalam tangisnya.
“Apa-apaan, sih! Gak usah kayak anak kecil bisa, gak! Lo itu udah SMP (Sekolah Menengah Pertama), gak usah kayak anak SD (Sekolah Dasar), deh!” Yandi tak habis pikir mendengar alasan adiknya, karena baginya masalah itu tak ada arti dimatanya.
“Biarin! Pokoknya gak mau sekolah!” teriak Yeri dengan suara seraknya.
“Ya udah, terserah lo!” ucap Yandi lalu bergegas ke sekolah meninggalkan adiknya.
Setibanya di sekolah, Yandi segera menuju ruang kelasnya. Seperti biasanya, ia dan kelima temannya selalu saja membuat keributan di kelas sebelum pelajaran dimulai.
Kelakuan Yandi dan teman-temannya tentu saja membuat mereka tidak di sukai oleh teman kelas lainnya. “Issss...” ucap seorang siswi saat melihat Yandi dan teman-temannya dari depan pintu kelas.
“Kenapa sih, Rit?” tanya seorang siswi.
“Lo tanya kenapa? Lo gak lihat Din, kelas masih pagi gini udah rusuh banget. Mereka tuh sebenarnya mau ngapain sih ke sini?” Siswi itu menjelaskan dengan penuh amarah kepada temannya-Dinda.
“Ya udahlah Rit, sabar aja. Kayak lo gak tahu aja kebiasaan mereka,” ujar Dinda. Siswi itu merasa Yandi dan kelima temannya adalah kumpulan orang yang tidak penting, sehingga tak perlu memedulikan apa pun yang mereka lakukan.
“Dinda, teman gue yang paling pintar. Gue tuh bukannya gak tahu, tapi gue tuh emosi banget tiap kali lihat mereka. Emangnya lo gak ngerasa ke ganggu atau apa gitu?” ucap Rita kesal dengan tanggapan temannya.
“Ritaaaa teman gue yang paling cantik, bukannya gue gak ke ganggu tapi gue udah malas tegur mereka. Buang-buang tenaga tahu, gak. Lagian, entar lagi juga kita enggak bakalan lihat muka mereka lagi. Jadi sabar aja,” ucap Dinda lalu mereka pun memutuskan untuk masuk ke ruang kelas.
“Pagiiiii...” teriak Doni menyapa kedua siswi itu.
“Pagi,” balas Rita ketus.
Amarah Yandi langsung timbul saat Rita membalas sapaan temannya. “Lo kenapa? Teman gue nyapa lo baik-baik, loh?” tanya Yandi kesal.
Amarah gadis itu pun ikut terpancing, saat Yandi menanyakan perihal sapa-menyapa. “Pake nanya lagi? Lo pada sadar gak, kalau lo semua itu rusuh banget. Sadar dong, kalian udah mau lulus,” ujar Rita meninggikan nada bicaranya.
Ucapan Rita pun langsung menyulut amarah Yandi, dan memulai pertengkaran. “Terus?” tanya Yandi bangkit dari duduknya.
“Eh, Yan. Gue kasih tahu sama lo ya, alasan orang tua lo gak pernah mau datang ke sekolah kalau ada urusan orang tua murid. Lo tahu kenapa? Karena orang tua lo tuh malu punya anak rusuh kayak lo.” ucap Rita menjatuhkan Yandi.
Ucapan Rita benar-benar membuat darah Yandi mendidih. Ia yang tak terima dengan perkataan Rita pun memukul meja dan menunjuk Rita sambil membalas ucapannya. “Tahu apa lo? Lo siapa gue? Mama gue? Lo tuh bukan siapa-siapa gue, jadi gak usah bacot bisa gak! Untung aja lo cewek, kalau bukan udah gue banting lo di sini!” ucap Yandi dengan tegangan tinggi.
“Lo itu gak tahu apa-apa, jadi gak usah sok tahu dan ngomong yang gak jelas. Sekalipun orang tua gue gak suka sama gue, emangnya apa urusannya sama lo! Lo siapa gue? Gue tanya. Jawab! Lo siapa gue? Jawab!” Ucap Yandi mendesak Rita. Ucapannya langsung saja membuat siswi itu membisu dan menundukkan kepalanya.
Tangan Yandi kini mulai bergetar, menandakan emosinya akan segera meledak. Kelima temannya yang menyadari hal itu pun segera mengajaknya keluar dan menenangkannya. “Yan, lo kok emosi banget. Gak kayak biasanya?” tanya Doni.
“Iya, padahal biasanya juga lo gak marah-marah kayak gini,” tambah Rino.
“Gue lagi emosi ni, mendingan lo semua diam dulu.” ucap Yandi yang masih panas.
“Ok,” ucap kelima temannya menyetujui permintaan Yandi.
Setelah menenangkan dirinya, Yandi dan kelima temannya kembali ke ruang kelas dan mengikuti pelajaran. Pelajaran hari ini adalah pelajaran yang dipenuhi dengan rumus-rumus, yaitu pelajaran matematika dan Kimia.
Saat jam pelajaran sedang berlangsung, Yandi terus menatap ke arah papan tulis dengan tatapan kosong. “Yandi, ulangi pernyataan ibu barusan.” ujar guru yang sedang mengajar saat itu.
“Yandi, kamu dengar nggak?” ucap guru itu mengulangi pertanyaannya, karena Yandi tetap memandangi papan tulis itu tanpa memberi jawab atas pertanyaannya..
“Ya... bu?” Bukannya melakukan permintaan guru itu, Yandi malah balik bertanya.
Hal ini pun memicu amarah guru tersebut “Kamu nggak dengar?” tanya wanita itu kesal.
“Dengar bu.” Dengan santai Yandi menjawab pertanyaan wanita itu. Pernyataan Yandi memanglah tidak salah, karena ia memang mengikuti penjelasannya dari awal. Namun, tatapnya menandakan seperti tak mengikuti penjelasan guru itu.
Amarah wanita itu memuncak saat Yandi menjawab pertanyaannya. “Kenapa nggak jawab?” tanya wanita itu masih mencoba bersabar.
“Jawab apa ibu? Kan tadi saya sudah jawab pertanyaan ibu. Terus saya harus jawab apalagi?” jawab Yandi dengan wajah tanpa dosa.
“Ibu mau kamu ulangi penjelasan ibu dari awal,” ucap guru itu sambil menatap tajam siswanya dengan penuh amarah.
“Gak mau! Saya gak mau ngulang!” balas Yandi tegas.
Para sisiwa di kelas hanya menonton saat perbantahan antara Yandi dan guru itu berlangsung. Tak ada satu siswa pun yang ingin menghentikan perdebatan kedua orang itu, karena mereka tak ingin ikut terseret dalam masalah.
Kesabaran guru itu kini sudah mencapai batasannya. “Kamu keluar dari kelas sekarang!” Wanita itu mengusir Yandi dari kelas dengan sangat kesal. Mengusir siswa seperti Yandi dari ruang kelas adalah hal yang biasa dilakukan para guru yang tak ingin berbantahan dengannya. Menurut mereka menasihati siswa sepertinya hanyalah membuang waktu, sehingga mereka lebih memilih untuk mengeluarkannya dari kelas. Namun Yandi bukanlah siswa yang akan mematuhi perkataan mereka.
“Kenapa bu? Kan saya mau belajar, bu. Saya bayar uang sekolah buat belajar, bukan buat keluar kelas,” ujar Yandi percaya diri.
Inilah yang harus dihadapi para guru jika ingin mengeluarkan Yandi dari ruang kelas. Berbantahan dengan Yandi memang membutuhkan kesabaran ekstra. “Memangnya kamu dengar semua penjelasan saya?” tanya wanita itu geram.
“Dengar kok bu.” jawab Yandi santai. Yandi memang mengikuti semua penjelasan terkait materi yang diberikan. Namun ia langsung memblokir pendengarannya, saat guru itu mulai menyelipkan beberapa nasihat dalam penjelasannya.
“Kalau gitu, kamu ulangi semua penjelasan saya dari awal,” ucap guru itu menantang Yandi.
Bukannya menuruti perkataan guru itu, Yandi malah membantahnya dengan wajah tanpa dosa. “Kok gitu, bu? Ibu keterlaluan. Masa aku harus ngulangin lagi?”
Perkataan Yandi benar-benar membuat kesabarannya habis. “Kamu ikut saya ke ruang kepala sekolah sekarang!” Wanita itu langsung berjalan mendekati Yandi yang duduk di pojok kelas.
“Ngapain bu?!” tanya Yandi kesal.
“Ikut ibu sekarang,” ucap wanita itu sambil menarik Yandi keluar bersamanya
Happy readers🤗
Kehidupan adalah suatu anugerah dari Tuhan. Kehidupan juga merupakan rahasia. Dalam kehidupan ini tentunya banyak hal-hal yang terjadi di luar dugaan, yang terkadang menghasilkan tawa tetapi dapat juga menghasilkan air mata.Setiap detik, setiap menit dan setiap jam dalam kehidupan ini selalu dipenuhi rahasia. Sebagai manusia kita pastinya tak akan tahu apa yang bisa terjadi beberapa waktu ke depan. Terkadang apa yang kita duga memang terjadi, tetapi sering juga terjadi hal yang tak pernah kita duga.Setelah menjalani kehidupan tanpa kedua orang tuanya, kini Yandi bersama dua saudaranya tak pernah kehilangan senyum lagi. Mereka pun selalu menikmati waktu berkumpul di meja makan.Yani, Yandi dan Yeri selalu memiliki waktu untuk satu sama lain, meski mereka pun sibuk dengan pekerjaan atau pun pendidikan mereka. Suasana rumah Yandi yang dulunya terasa suram, kini terasa lebih cerah. Selalu ada tawa dan kebahagiaan. Tak hanya ada tangis melulu, atau tekanan melulu. Ketiga bersaudara itu
Kehidupan memang selalu diisi oleh berbagai hal. Kadang yang mengisi kehidupan adalah hal-hal yang sudah kita duga. Tapi terkadang juga diisi dengan hal-hal yang tak pernah diduga. Hari-hari Ami dan Vian kini dijalani dengan penuh air mata. Keduanya kini resmi memilih untuk tak berjalan bersama lagi. Ami dan Vian telah sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing. Namun mereka masih tetap mengurus Reina sebagai anak bersama-sama. Hanya saja, baik Vian maupun Ami saling membatasi diri. Setelah berhenti menjadi asisten rumah tangga Yandi dan keluarganya, kini Ami mulai membuka usaha kecil-kecil dari uang yang kerja kerasnya selama ini. Yani sendiri memberikan uang dalam jumlah yang cukup fantastis kepada Ami. Gasia itu memberikan Ami uang sebagai gaji terakhirnya dan juga sebagai ganti rugi atas perbuatan Yena. Uang yang diberikan Yani pada wanita itu adalah uang milik kedua orang tuanya. Ami kini telah membeli sebuah gerobak yang akan digunakannya untuk berjualan. Ia membeli gerob
Keputusan Ami untuk membiarkan Reina tetap berhubungan dengan Ayahnya adalah sebuah keputusan besar. Namun ia sadar, bahwa putrinya tak akan pernah bahagia jika ia terus melarangnya. Ia pun sadar bahwa Reina tak akan tinggal diam saja, jika ia terus melarangnya. Sehingga ia merasa apa pun larangan yang ia beri, itu tak akan membuat putrinya berhenti menemui ayahnya.Keputusan Ami untuk tetap membiarkan Vian berhubungan dengan putrinya lagi, membuat Vian merasa senang. Namun, di sisi lain ia pun merasa sedih. Saat memeluk Reina, Vian menyadari bahwa ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia sebenarnya tak hanya ingin membuat Ami menghilangkan larangannya itu. Sebenarnya Vian dan Ami menginginkan hal yang sama. Jauh di dalam lubuk hati mereka, ada suatu keinginan yang tertahan sejak lama dan kini harus dikubur mereka sedalam-dalam.Tak hanya Ami, Vian pun sangat ingin rumah tangga mereka telah hancur dulu, bisa kembali lagi. Namun, itu semua susah tak mungkin lagi. Sejak Vian
“Reina! Keluar lo, gue belum selesai ngomong!” teriak Rein gigih. Meski Reina sudah meninggalkan, namun ia tak menyerah. Reina pun kembali menemuinya. “Ada apaan lagi?” tanya Reina.“Gue mau tahu, ya. Lo harus jauh-jauh dati papi gue!” ujar Rein sembari menunjuk Reina.Reina memutar bola matanya dan menggeleng pelan kepalanya. “Lo paham kata-kata gue tadi?!” tanya Reina geram. “Gue rasa udah jelas, ya. Jadi gak perlu ulangin lagi.”“Gak! Gue gak terima, gue gak mau dan gak sudi lo ngerrbut semua milik gue!” balas Reina.“Gue gak pernah rebut milik lo, ya! Mau Yandi atau pun papi, lo gue kan udah bilang, gue udah bilang kalau gue gak ngerebut mereka,” jelas Reina. “Lagian om Vian bukan cuma papi lo, doang! Jadi lo gak bisa ngelarang gue!” tegas Reina.“Gue gak mau hidup gue hancur karena lo!” teriak Rein.“Gue gak pernah ngehancurin hidup lo, ya! Harusnya gue yang marah-marah ke lo dan lo, karena mami itu udah hancurin hidup gue!” balas Reina. “Asal lo tahu, gara-gara mami lo, gue jad
Hidup Rein sebagai anak tunggal dan satu-satunya anak kesayangan Vian hancur begitu saja dalam waktu singkat. Hidupnya terasa begitu gelap semenjak mengetahui semua kebenaran tentang kedua orang tuanya.Sejak saat itu, Rein hanya mengurung dirinya di kamar. Ia bahkan tak makan maupun minum sama sekali. Kondisi tubuhnya pun semakin melemah.Suasana rumah itu pun menjadi sangat gelap. Semenjak semuanya terbongkar, tak ada lagi percakapan yang terjadi, selain pertengkaran Nia dan Vian.Nia terus saja meminta Vian untuk tak kembali kepada Ami. Sesekali ia juga memaksa Vian untuk tak menemui Reina. Namun Vian tetap menolak semua permintaan sang istri.Semua pertengkaran itu selalu saja didengar oleh Rein. Pertengkaran itu membuatnya tak ingin menginjakkan kakinya di tempat lain, selain kamarnya. Ia yang selalu berada di dalam kamarnya pun membuat Vian khawatir. Vian selalu mendatangi kamarnya, namun gadis itu selalu mengusir Vian. Hal yang sama pun terjadi pada Nia. Rein sangat marah besa
Suasana yang canggung kini telah pergi dan diganti dengan suasana sedih. Air mata Reina banjir malam itu. Gadis itu hanya bersandar pada Yandi dan terus meneteskan air matanya.Yandi tak tahan melihat Reina terus-terusan meneteskan air matanya. Ia berusaha memikirkan sebuah cara. Namun, ia pun tak bisa menemukan cara yang tepat.Permasalahan dalam keluarga adalah permasalahan yang sering dialaminya. Namun, ia bukanlah orang yang suka mencari jalan keluar. Ia adalah orang yang sering membantah dan melawan. Sehingga sulit baginya untuk membantu Reina menemukan jalan keluar untuk masalahnya.“Eh... sorry, sorry. Gue malah nangis gak jelas lagi,” ucap Reina segera menghapus air matanya. “Gak papa kali. Gak perlu minta. Gue malah senang kalau lo mau cerita,” ucap Yandi lembut.“Eh... tapi kayaknya lo gak bisa di sini lama-lama, deh. Soalnya ini udah mau jam sepuluh,” ucap Yandi merasa tak enak hati. Tanpa sadar mereka menghabiskan cukup banyak waktu dan kini waktu hampir menunjukkan pukul
Kaki Reina terus melangkah menjauhi rumahnya. Semakin lama, semakin jauh ia melangkah. Namun, gadis itu bahkan tak tahu ia harus terus melangkahkan kakinya ke mana. Reina terus berjalan tanpa henti. Tubuh serasa lesu. Tenaganya habis terkuras setelah banyak meneteskan air mata. Pikirannya pun menjadi sangat kacau.Tit.... Tit....“Ha?” Reina terkejut dengan suara klakson mobil yang begitu dekat dengannya. “Reina, lo—lo habis kenapa?” tanya Andi khawatir setelah melihat mata Reina yang sembab. “Gak papa, kok,” jawab Reina dengan suaranya yang serak.“Tuh... tuh... suara lo serak kayak gitu, masih aja bilang gak papa.” Perkataan Reina tak mencerminkan keadaannya yang terlihat jelas tak baik-baik saja. “Lagian lo mau ke mana, sih?” tanya Andi.“Gak tahu,” jawab Reina. Andi pun merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun satu hal yang biasa ia pastikan, bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. “Ya udah. Kalau gitu, mendingan lo naik, deh. Entar gue antarin lo ke mana, aja,” ujar And
“Reina...” teriak Ami, namun putrinya tak menghiraukannyaHari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Ami, karena hari ini ia bisa segara menjemput putrinya. Ia pun bisa kembali berkumpul bersama putrinya tanpa harus berpisah lagi. Hari ini, Ami sengaja berhenti dari pekerjaannya. Ia memilih berhenti agar ia bisa mengurus putrinya yang sedang sakit. Meski Yani dan Yeri tak setuju, namun mereka tak bisa menahan Ami. Mereka pun harus melepaskan Ami, agar ia bisa merawat putrinya. Selain itu, mereka saat ini mulai mengalami masalah keuangan. Melepaskan Ami di kondisi sekarang adalah salah satu pilihan untuk mengurangi pengeluaran. Semenjak kedua orang tua mereka berada di tahanan, pekerjaan mereka pun tak ada yang mengurusnya. Baik Yani maupun Yandi, keduanya sama-sama tak berminat melanjutkan pekerjaan orang tua mereka. Belum lagi, mereka harus membayar tagihan rumah sakit Yandi.Yani adalah satu-satunya anggota keluarga yang susah bekerja selain kedua orang tuanya. Yand
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem