Di tengah sibuknya Tokyo, dua insan asing dipertemukan secara tak sengaja, dengan cara terkonyol, dan pada waktu yang tak terduga, tetapi seolah semua sudah diatur semesta. Diikuti oleh langkah yang ragu, kalimat yang terbata, dan pesan-pesan kecil yang perlahan membentuk ruang hangat di antara mereka. Tokyo Love Letter: Hibiki adalah kisah tentang keheningan yang berbicara, tentang hari-hari biasa yang tiba-tiba terasa berarti, dan tentang seseorang yang muncul begitu saja… lalu perlahan menjadi tempat untuk kembali dan menjadi diri sendiri. Ini bukan cerita tentang jatuh cinta dengan cepat, tapi tentang merasakan cinta tumbuh tanpa disadari lewat kebetulan, lewat jarak, dan lewat hal-hal kecil yang tak pernah kita rencanakan.
View MoreJumat yang sejuk dan cerah di kota Tokyo. Dedaunan musim gugur mulai berjatuhan dan menutupi trotoar Aoyama, menciptakan suasana yang damai—setidaknya bagi sebagian orang. Tapi tidak untuk Sakura, seorang office lady (OL) berusia 24 tahun yang harus merelakan malamnya untuk lembur bersama rekan-rekan divisinya di sebuah perusahaan trading yang penuh tekanan.
Waktunya banyak dihabiskan di balik meja kerja, tenggelam dalam angka, laporan, dan tenggat waktu. Ketika akhir pekan datang, pilihan hidupnya hanya dua: mengunci diri di apartemen sambil memulihkan tenaga, atau—kalau masih ada energi—bertemu dua sahabatnya.
"Pokoknya habis ini kita minum-minum! Gue udah muak sama berkas-berkas ini!" celetuk salah satu temannya, disambut gelak tawa dan seruan setuju dari yang lain. Sakura tersenyum kecil. Dia bukan peminum handal—bau sake saja bisa membuatnya pusing. Tapi malam itu, dia terlalu lelah untuk menolak. Dia pun ikut. Mereka berangkat bersama dari kantor mereka di Kawasan Higashi-Ikebukuro.
1 jam kemudian, mereka sudah berkumpul di sebuah izakaya kecil di Hamamatsucho. Tawa, umpatan, dan lelucon berseliweran di udara. Gelas-gelas bir bersulang berkali-kali. Sakura menatap gelas berisi bir Sapporo yang dituangkan oleh temannya. Dia ragu sejenak, tapi akhirnya meneguknya juga. Satu tegukan menjadi dua. Lalu tiga.
Tak butuh waktu lama sampai kepalanya mulai ringan dan bicaranya mulai melantur.
Malam pun larut. Satu per satu rekan kerjanya pamit. Sakura berdiri dengan langkah gontai, menolak tawaran temannya untuk memanggilkan taksi dari tempat itu. “Aku bisa sendiri…” katanya, meskipun suaranya nyaris tak terdengar. Dia berjalan menuju stasiun, sempoyongan di antara tiang dan lampu jalan.
Sepanjang jalan dia mengumpat. Tentang pekerjaannya, tentang hidupnya yang monoton, tentang kisah cintanya yang tak pernah berjalan mulus—ditipu, diselingkuhi, ditinggal tanpa penjelasan. Malam itu, semua emosi tumpah ruah. Dia tak peduli kalau beberapa orang memandanginya dari kejauhan.
Langkahnya goyah. Tubuhnya limbung. Sampai akhirnya dia terjatuh di sisi trotoar dan muntah. Malu, kesal, dan frustasi, Sakura menangis pelan, bahunya bergetar menahan segala beban.
Tiba-tiba, sebuah suara menghampiri. Lembut, tapi asing.
“Daijoubu desu ka ?” (apakah anda baik-baik saja ?) tanya seseorang dalam bahasa Jepang yang terdengar patah-patah. Tangan pria itu menyodorkan selembar tisu.
Sakura mendongak, menerima tisu itu, lalu mengusap wajahnya. Tanpa sadar, entah karena alkohol atau emosi yang meledak-ledak, dia meraih pria itu dan memeluknya erat.
“Jangan pergi…” bisiknya, nyaris seperti anak kecil yang kehilangan arah.
Pria itu terdiam, terlihat kebingungan. Dia mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing yang tak dikenali Sakura—bukan Jepang, bukan juga Inggris. Tapi Sakura tak peduli. Ia hanya ingin seseorang menemaninya malam itu, walau hanya sebentar.
Dalam pelukan yang tak terencana itu, dia akhirnya terlelap... terbungkus kehangatan asing yang terasa lebih nyaman dari kesendirian yang biasa dia peluk tiap malam.
***
Pagi hari. Kesadaran Sakura perlahan kembali, disambut selimut hangat, bantal empuk, dan kasur yang… jauh lebih nyaman dibanding miliknya di rumah. Dia hampir menikmatinya—sampai tiba-tiba tersentak.
“Ini… di mana!?”
Dia duduk dengan panik, matanya menyapu sekeliling ruangan. Ini jelas bukan apartemennya. Ini hotel! Tapi hotel mana? Siapa yang membawanya ke sini?
Refleks, dia langsung memeriksa tubuhnya. Pakaian lengkap. Hanya sepatunya yang dilepas dan diletakkan rapi di dekat tempat tidur.
Sakura mencoba mengingat. Terakhir dia mabuk bersama rekan-rekan kerjanya di Hamamatsucho. Mungkinkah seseorang dari mereka membawanya ke sini?
Matanya menangkap ponselnya yang sedang di-charge di atas meja kecil. Di sebelahnya, ada sebungkus onigiri dan sebotol ocha dari *konbini. Waktu menunjukkan pukul 07:15 pagi. Dari balik pintu kamar mandi, terdengar suara air mengalir.
Sakura mengambil ponselnya dan menyalakan kamera depan. Wajahnya… hancur. Rambut bob-nya acak-acakan. Belum sempat ia merapikan diri, seseorang keluar dari kamar mandi.
Bukan temannya. Pria asing.
Setidaknya, pria itu sudah mengenakan pakaian dalam dan celana panjang hitam—tidak dalam keadaan mencurigakan.
"Ooh, kamu sudah bangun ya?" ucap pria itu dengan bahasa Jepang yang terdengar kaku dan patah-patah.
"Kamu ingat apa yang terjadi semalam?" lanjutnya sambil menggabungkan beberapa kata dalam bahasa Inggris.
"Kamu muntah di dekat stasiun Hamamatsucho, bau alkoholnya kuat sekali. Lalu kamu memelukku erat dan tidak mau dilepas, sekeras apapun aku mencoba. Aku tidak punya pilihan lain… jadi aku bawa kamu ke sini."
Ia bahkan menunjukkan ponselnya, dengan kalimat terjemahan yang ditulis di aplikasi translate agar Sakura benar-benar mengerti.
Sakura masih memproses semuanya. "Ini… di mana?" tanyanya akhirnya.
"The Royal Park Hotel, Shiodome," jawab pria itu.
"Aku belikan kamu onigiri dan ocha dari konbini. Ada air mineral juga, kalau kamu butuh."
Sakura mulai merasa lebih tenang, walau kepalanya masih berdenyut. Siapa pria ini?
"Siapa kamu?" tanyanya pelan.
"Hanya seseorang yang kebetulan berjalan-jalan tengah malam di Tokyo," jawabnya sambil tersenyum kecil.
"Namamu?"
"Heri," jawabnya. Sebuah nama yang asing di telinga Sakura—bukan nama Jepang, bukan juga Amerika. “Heri Prasetyo, itu nama ku, panggil saja Heri”.
"Dari mana asalmu?"
"Indonesia," kata Heri, sambil meraih sesuatu dari gantungan.
Seragam kerja. Ada epaulette dua garis di pundaknya. ID Card maskapai, dan pin berbentuk sayap.
Sakura menatapnya lekat-lekat. "Kamu… pilot?"
"Ya. Dan pagi ini aku harus kembali terbang ke Indonesia dari Haneda. Kamu pulanglah, bawa onigiri dan minumannya. Muka kamu—berantakan sekali. Cuci muka dulu, mau?" kata Heri dengan bahasa Jepang yang terbata tapi tulus.
Sakura pun berdiri, menuju kamar mandi, mencuci wajahnya. Di sana sudah tersedia sikat gigi dalam kemasan. Setelah selesai, ia kembali ke kamar dan melihat Heri sedang memukul-mukul punggungnya sendiri.
"Aku tidur di sofa tadi malam," ucap Heri.
"Nggak enak hati kalau kamu harus tidur di sana sementara aku di kasur."
Sakura terdiam. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Ia tersenyum pelan.
"Heri-san… aku ingin berterima kasih," ucapnya.
"Pulanglah," jawab Heri lembut.
"Tidak, maksudku… aku ingin benar-benar berterima kasih."
Sakura tampak bingung sendiri. Apa yang bisa diberikan kepada seseorang yang baru saja menolongnya… dan akan segera terbang jauh?
"Boleh… aku minta kontakmu? I*******m, atau apa pun? Kalau suatu hari kamu kembali ke Tokyo, aku ingin mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih."
Heri sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil.
"Boleh. Aku juga punya LINE. Aku mau tambah teman orang Jepang, supaya bisa latihan bahasa juga."
Mereka pun bertukar kontak. LINE, I*******m, bahkan akun X. Entah mengapa, percakapan mereka tiba-tiba terasa lebih cair.
Sakura berpamitan.
"Terima kasih… sungguh."
"Hati-hati di jalan," balas Heri.
Sakura berjalan keluar hotel dengan hati campur aduk. Bingung, cemas, masih kacau karena semalam… tapi di balik itu semua—ada perasaan aneh yang tumbuh perlahan.
Perasaan hangat. Perasaan yang belum bisa ia definisikan.
Apapun itu, pagi itu, ia kembali menapaki jalan menuju apartemennya di Yoyogi… dengan langkah yang terasa sedikit lebih ringan.
Sesampainya di apartemennya, Sakura langsung merebahkan diri di atas kasur. Rasa lelah, bingung, dan emosi semalam masih menempel seperti embun yang belum menguap dari jendela. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya.
Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Air hangat menyapu tubuhnya, membersihkan sisa malam penuh kejutan yang tak pernah ia bayangkan.
Usai mandi, Sakura mengenakan pakaian kasual—kaos longgar dan celana pendek—lalu duduk di meja makan kecil di sudut ruangannya. Onigiri yang tadi pagi dibelikan Heri kini ada di tangannya, dingin tapi tetap terasa hangat… karena niat baik yang menyertainya.
Sembari makan, ia mengecek LINE. Beberapa pesan dari teman sekantornya masuk, menanyakan apakah ia sudah sampai rumah. Sakura hanya membalas singkat:
"Sudah. Tadi malam."
Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Dia sendiri belum siap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah itu, dia membuka ponsel dan mulai tenggelam di dunia maya. TikTok. X. I*******m. Satu demi satu aplikasi ia buka, mengisi waktu luang dengan scroll tanpa arah.
Sampai akhirnya...
Sebuah Story muncul di bagian atas I*******m.
Heri.
Tangannya ragu. Tapi rasa penasaran terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mengetuk ikon itu.
Tampak foto selfie di dalam kokpit pesawat. Heri tersenyum ke kamera, duduk di kursi sebelah kanan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya mengenakan seragam pilot—sang kapten. Di belakang mereka, dua orang awak kabin—pria dan wanita—ikut berpose, menambah kehangatan gambar itu.
Caption-nya terbaca:
"Merak 875 service to Jakarta ✈️
Boeing 777-300ER PK-MRM
See you again, Tokyo!"
Sakura terdiam. Tangannya sempat menyentuh kolom balasan… tapi ia urungkan.
Apa aku terlalu agresif kalau membalas?
Baru kenal satu malam…
Ia menghela napas, menutup aplikasi, dan meletakkan ponselnya.
Hening.
Angin siang menerobos masuk lewat jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipisnya. Di tengah keheningan itu, Sakura menatap langit Tokyo yang cerah.
Indonesia…
Seperti apa ya, negara itu? pikirnya.
Tak ada jawaban. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, pertanyaan itu terasa… menarik.
Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura mem
“Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa
Hari-hari kembali ke ritme biasa bagi keduanya.Sakura kembali ke kantornya di Ikebukuro, sementara Heri tenggelam dalam dunia kerja dan rotasi langitnya. Tapi ada satu yang berubah: kini mereka mulai saling menyapa di media sosial.Entah itu LINE, Instagram, atau X — semuanya jadi tempat berbagi.Sakura kadang menceritakan kejadian lucu saat lembur, atau menemukan kucing liar di gang belakang, bahkan sekadar mengirim foto makan malamnya.Heri pun membalas dengan foto kucing peliharaannya, makanan yang ia cicipi, atau hal-hal random yang dia temukan di timeline.Mereka tertawa. Bercerita. Mengobrol.Sebagai dua manusia biasa yang sedang belajar mengenal satu sama lain — tanpa perhitungan, tanpa embel-embel.Heri selama ini belajar bahasa Jepang dengan Sakura. Sakura, yang awalnya hanya menemani, kini mulai berpikir: “Aku belum pernah belajar bahasa Indonesia… mungkin aku juga harus mulai.”Di waktu makan siang, Sakura mendatangi beberapa toko buku lokal.“Kamus Bahasa Indonesia?” tany
“Gruuukkk…”Suara perut Sakura terdengar jelas, memecah momen hening mereka.Sakura membeku, wajahnya seketika merah padam karena malu.“Kamu belum sarapan ya, Sakura-san?” tanya Heri lembut.Sakura mengangguk pelan, tidak mampu menatap matanya.Heri tersenyum dan mengulurkan tangan.“Ayo.”Sakura menatapnya sebentar.“Kita jalan sekarang?”“Bukan,” jawab Heri sambil tersenyum.“Kita mampir ke konbini sebentar. Kamu kelihatan lemas banget. Beli onigiri atau roti dulu, biar ada tenaga. Kamu pasti haus juga, kan?”Tanpa banyak bicara, Sakura mengikuti langkah Heri. Tangannya menyentuh tangan Heri dengan santai — tanpa beban, tanpa keraguan. Entah kenapa, semua terasa sangat alami.“Eh... aku... aku nggak bau keringat kan?” gumam Sakura, mendekatkan hidung ke arah bahunya dengan ragu.“Hah?” Heri tertawa pelan.“Enggak kok, aman. Serius.”Sakura tersipu. Dia sadar, dari tadi dia berlari tanpa henti sejak keluar apartemen.Di dalam konbini, ia sempat ragu memilih.“Aku biasanya suka onigi
“Tanggal 17…” gumam Sakura sambil menatap kalender kecil yang tergantung di dinding kamarnya.Jumat.Dia berharap sepenuh hati: “Tolong… jangan ada lembur.”Baginya, tak ada yang lebih menyebalkan dari lembur mendadak. Dan kalau harus terjadi di hari Jumat — apalagi tanggal itu — rasanya seperti semesta sedang mengejeknya.“Mikirin aja udah bikin kepala mau meledak…” katanya sambil menepuk pipinya pelan, mencoba menenangkan diri.Dia mulai memikirkan banyak hal:Pakai baju apa? Makan di mana? Gaya rambut gimana?Ia membuka LINE dan mengirim pesan ke Heri:“Heri-san, apakah ada makanan yang tidak bisa kamu makan?”Tak lama, balasan datang:“Aku nggak minum alkohol atau sake, dan tidak makan daging babi.”Sakura menatap pesan itu.“Ooh ? Unik ya…” pikirnya. Tapi justru dari situ, ia jadi lebih mudah memilih restoran.Karena Heri baru bisa bertemu sekitar jam 8 malam, Sakura mulai mencari tempat makan yang buka sampai larut. Ia menemukan satu restoran menarik dekat stasiun Shinbashi, tid
Hari-hari berlalu seperti lembar kalender yang dicabut tanpa arti.Sakura menjalani rutinitasnya bak robot. Pagi hari ia naik Tokyo Metro Chiyoda Line, berdesakan dengan orang-orang yang juga memendam kantuk dan beban masing-masing. Bekerja hingga malam, lalu ketika pulang dia makan di restoran terdekat atau membeli makanan instan dari konbini, lalu pulang ke apartemen mungilnya di Yoyogi. Istirahat sebentar. Tidur. Ulangi lagi keesokan harinya.Dunia terasa datar.Namun di sela-sela rutinitas itu, ada satu hal kecil yang diam-diam menjadi rutinitas baru: Story Instagram Heri.Isi story-nya biasa saja. Kadang foto kucing, kadang suasana ngopi dengan teman-teman, kadang langit senja dari atas pesawat. Tapi entah kenapa, Sakura selalu menyempatkan diri untuk melihatnya.Satu malam yang sepi, saat pekerjaan tidak menumpuk, rasa penasaran itu membuncah. Sakura membuka profil Heri dan mulai menyusuri linimasa digitalnya.Ia mencari… tanpa sadar tahu apa yang sedang ia cari.Apakah ada foto
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments