Tokyo Love Letter - Hibiki

Tokyo Love Letter - Hibiki

last updateLast Updated : 2025-05-12
By:  HaKaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
7views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di tengah sibuknya Tokyo, dua insan asing dipertemukan secara tak sengaja, dengan cara terkonyol, dan pada waktu yang tak terduga, tetapi seolah semua sudah diatur semesta. Diikuti oleh langkah yang ragu, kalimat yang terbata, dan pesan-pesan kecil yang perlahan membentuk ruang hangat di antara mereka. Tokyo Love Letter: Hibiki adalah kisah tentang keheningan yang berbicara, tentang hari-hari biasa yang tiba-tiba terasa berarti, dan tentang seseorang yang muncul begitu saja… lalu perlahan menjadi tempat untuk kembali dan menjadi diri sendiri. Ini bukan cerita tentang jatuh cinta dengan cepat, tapi tentang merasakan cinta tumbuh tanpa disadari lewat kebetulan, lewat jarak, dan lewat hal-hal kecil yang tak pernah kita rencanakan.

View More

Chapter 1

Prolog

Jumat yang sejuk dan cerah di kota Tokyo. Dedaunan musim gugur mulai berjatuhan dan menutupi trotoar Aoyama, menciptakan suasana yang damai—setidaknya bagi sebagian orang. Tapi tidak untuk Sakura, seorang office lady (OL) berusia 24 tahun yang harus merelakan malamnya untuk lembur bersama rekan-rekan divisinya di sebuah perusahaan trading yang penuh tekanan.

Waktunya banyak dihabiskan di balik meja kerja, tenggelam dalam angka, laporan, dan tenggat waktu. Ketika akhir pekan datang, pilihan hidupnya hanya dua: mengunci diri di apartemen sambil memulihkan tenaga, atau—kalau masih ada energi—bertemu dua sahabatnya.

"Pokoknya habis ini kita minum-minum! Gue udah muak sama berkas-berkas ini!" celetuk salah satu temannya, disambut gelak tawa dan seruan setuju dari yang lain. Sakura tersenyum kecil. Dia bukan peminum handal—bau sake saja bisa membuatnya pusing. Tapi malam itu, dia terlalu lelah untuk menolak. Dia pun ikut. Mereka berangkat bersama dari kantor mereka di Kawasan Higashi-Ikebukuro.

1 jam kemudian, mereka sudah berkumpul di sebuah izakaya kecil di Hamamatsucho. Tawa, umpatan, dan lelucon berseliweran di udara. Gelas-gelas bir bersulang berkali-kali. Sakura menatap gelas berisi bir Sapporo yang dituangkan oleh temannya. Dia ragu sejenak, tapi akhirnya meneguknya juga. Satu tegukan menjadi dua. Lalu tiga.

Tak butuh waktu lama sampai kepalanya mulai ringan dan bicaranya mulai melantur.

Malam pun larut. Satu per satu rekan kerjanya pamit. Sakura berdiri dengan langkah gontai, menolak tawaran temannya untuk memanggilkan taksi dari tempat itu. “Aku bisa sendiri…” katanya, meskipun suaranya nyaris tak terdengar. Dia berjalan menuju stasiun, sempoyongan di antara tiang dan lampu jalan.

Sepanjang jalan dia mengumpat. Tentang pekerjaannya, tentang hidupnya yang monoton, tentang kisah cintanya yang tak pernah berjalan mulus—ditipu, diselingkuhi, ditinggal tanpa penjelasan. Malam itu, semua emosi tumpah ruah. Dia tak peduli kalau beberapa orang memandanginya dari kejauhan.

Langkahnya goyah. Tubuhnya limbung. Sampai akhirnya dia terjatuh di sisi trotoar dan muntah. Malu, kesal, dan frustasi, Sakura menangis pelan, bahunya bergetar menahan segala beban.

Tiba-tiba, sebuah suara menghampiri. Lembut, tapi asing.

Daijoubu desu ka ?” (apakah anda baik-baik saja ?) tanya seseorang dalam bahasa Jepang yang terdengar patah-patah. Tangan pria itu menyodorkan selembar tisu.

Sakura mendongak, menerima tisu itu, lalu mengusap wajahnya. Tanpa sadar, entah karena alkohol atau emosi yang meledak-ledak, dia meraih pria itu dan memeluknya erat.

“Jangan pergi…” bisiknya, nyaris seperti anak kecil yang kehilangan arah.

Pria itu terdiam, terlihat kebingungan. Dia mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing yang tak dikenali Sakura—bukan Jepang, bukan juga Inggris. Tapi Sakura tak peduli. Ia hanya ingin seseorang menemaninya malam itu, walau hanya sebentar.

Dalam pelukan yang tak terencana itu, dia akhirnya terlelap... terbungkus kehangatan asing yang terasa lebih nyaman dari kesendirian yang biasa dia peluk tiap malam.

***

Pagi hari. Kesadaran Sakura perlahan kembali, disambut selimut hangat, bantal empuk, dan kasur yang… jauh lebih nyaman dibanding miliknya di rumah. Dia hampir menikmatinya—sampai tiba-tiba tersentak.

“Ini… di mana!?”

Dia duduk dengan panik, matanya menyapu sekeliling ruangan. Ini jelas bukan apartemennya. Ini hotel! Tapi hotel mana? Siapa yang membawanya ke sini?

Refleks, dia langsung memeriksa tubuhnya. Pakaian lengkap. Hanya sepatunya yang dilepas dan diletakkan rapi di dekat tempat tidur.

Sakura mencoba mengingat. Terakhir dia mabuk bersama rekan-rekan kerjanya di Hamamatsucho. Mungkinkah seseorang dari mereka membawanya ke sini?

Matanya menangkap ponselnya yang sedang di-charge di atas meja kecil. Di sebelahnya, ada sebungkus onigiri dan sebotol ocha dari *konbini. Waktu menunjukkan pukul 07:15 pagi. Dari balik pintu kamar mandi, terdengar suara air mengalir.

Sakura mengambil ponselnya dan menyalakan kamera depan. Wajahnya… hancur. Rambut bob-nya acak-acakan. Belum sempat ia merapikan diri, seseorang keluar dari kamar mandi.

Bukan temannya. Pria asing.

Setidaknya, pria itu sudah mengenakan pakaian dalam dan celana panjang hitam—tidak dalam keadaan mencurigakan.

"Ooh, kamu sudah bangun ya?" ucap pria itu dengan bahasa Jepang yang terdengar kaku dan patah-patah.

"Kamu ingat apa yang terjadi semalam?" lanjutnya sambil menggabungkan beberapa kata dalam bahasa Inggris.

"Kamu muntah di dekat stasiun Hamamatsucho, bau alkoholnya kuat sekali. Lalu kamu memelukku erat dan tidak mau dilepas, sekeras apapun aku mencoba. Aku tidak punya pilihan lain… jadi aku bawa kamu ke sini."

Ia bahkan menunjukkan ponselnya, dengan kalimat terjemahan yang ditulis di aplikasi translate agar Sakura benar-benar mengerti.

Sakura masih memproses semuanya. "Ini… di mana?" tanyanya akhirnya.

"The Royal Park Hotel, Shiodome," jawab pria itu.

"Aku belikan kamu onigiri dan ocha dari konbini. Ada air mineral juga, kalau kamu butuh."

Sakura mulai merasa lebih tenang, walau kepalanya masih berdenyut. Siapa pria ini?

"Siapa kamu?" tanyanya pelan.

"Hanya seseorang yang kebetulan berjalan-jalan tengah malam di Tokyo," jawabnya sambil tersenyum kecil.

"Namamu?"

"Heri," jawabnya. Sebuah nama yang asing di telinga Sakura—bukan nama Jepang, bukan juga Amerika. “Heri Prasetyo, itu nama ku, panggil saja Heri”.

"Dari mana asalmu?"

"Indonesia," kata Heri, sambil meraih sesuatu dari gantungan.

Seragam kerja. Ada epaulette dua garis di pundaknya. ID Card maskapai, dan pin berbentuk sayap.

Sakura menatapnya lekat-lekat. "Kamu… pilot?"

"Ya. Dan pagi ini aku harus kembali terbang ke Indonesia dari Haneda. Kamu pulanglah, bawa onigiri dan minumannya. Muka kamu—berantakan sekali. Cuci muka dulu, mau?" kata Heri dengan bahasa Jepang yang terbata tapi tulus.

Sakura pun berdiri, menuju kamar mandi, mencuci wajahnya. Di sana sudah tersedia sikat gigi dalam kemasan. Setelah selesai, ia kembali ke kamar dan melihat Heri sedang memukul-mukul punggungnya sendiri.

"Aku tidur di sofa tadi malam," ucap Heri.

"Nggak enak hati kalau kamu harus tidur di sana sementara aku di kasur."

Sakura terdiam. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Ia tersenyum pelan.

"Heri-san… aku ingin berterima kasih," ucapnya.

"Pulanglah," jawab Heri lembut.

"Tidak, maksudku… aku ingin benar-benar berterima kasih."

Sakura tampak bingung sendiri. Apa yang bisa diberikan kepada seseorang yang baru saja menolongnya… dan akan segera terbang jauh?

"Boleh… aku minta kontakmu? I*******m, atau apa pun? Kalau suatu hari kamu kembali ke Tokyo, aku ingin mentraktirmu makan sebagai ucapan terima kasih."

Heri sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil.

"Boleh. Aku juga punya LINE. Aku mau tambah teman orang Jepang, supaya bisa latihan bahasa juga."

Mereka pun bertukar kontak. LINE, I*******m, bahkan akun X. Entah mengapa, percakapan mereka tiba-tiba terasa lebih cair.

Sakura berpamitan.

"Terima kasih… sungguh."

"Hati-hati di jalan," balas Heri.

Sakura berjalan keluar hotel dengan hati campur aduk. Bingung, cemas, masih kacau karena semalam… tapi di balik itu semua—ada perasaan aneh yang tumbuh perlahan.

Perasaan hangat. Perasaan yang belum bisa ia definisikan.

Apapun itu, pagi itu, ia kembali menapaki jalan menuju apartemennya di Yoyogi… dengan langkah yang terasa sedikit lebih ringan.

Sesampainya di apartemennya, Sakura langsung merebahkan diri di atas kasur. Rasa lelah, bingung, dan emosi semalam masih menempel seperti embun yang belum menguap dari jendela. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya.

Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Air hangat menyapu tubuhnya, membersihkan sisa malam penuh kejutan yang tak pernah ia bayangkan.

Usai mandi, Sakura mengenakan pakaian kasual—kaos longgar dan celana pendek—lalu duduk di meja makan kecil di sudut ruangannya. Onigiri yang tadi pagi dibelikan Heri kini ada di tangannya, dingin tapi tetap terasa hangat… karena niat baik yang menyertainya.

Sembari makan, ia mengecek LINE. Beberapa pesan dari teman sekantornya masuk, menanyakan apakah ia sudah sampai rumah. Sakura hanya membalas singkat:

"Sudah. Tadi malam."

Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Dia sendiri belum siap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah itu, dia membuka ponsel dan mulai tenggelam di dunia maya. TikTok. X. I*******m. Satu demi satu aplikasi ia buka, mengisi waktu luang dengan scroll tanpa arah.

Sampai akhirnya...

Sebuah Story muncul di bagian atas I*******m.

Heri.

Tangannya ragu. Tapi rasa penasaran terlalu kuat untuk diabaikan. Ia mengetuk ikon itu.

Tampak foto selfie di dalam kokpit pesawat. Heri tersenyum ke kamera, duduk di kursi sebelah kanan. Di sampingnya, seorang pria paruh baya mengenakan seragam pilot—sang kapten. Di belakang mereka, dua orang awak kabin—pria dan wanita—ikut berpose, menambah kehangatan gambar itu.

Caption-nya terbaca:

"Merak 875 service to Jakarta ✈️

Boeing 777-300ER PK-MRM

See you again, Tokyo!"

Sakura terdiam. Tangannya sempat menyentuh kolom balasan… tapi ia urungkan.

Apa aku terlalu agresif kalau membalas?

Baru kenal satu malam…

Ia menghela napas, menutup aplikasi, dan meletakkan ponselnya.

Hening.

Angin siang menerobos masuk lewat jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipisnya. Di tengah keheningan itu, Sakura menatap langit Tokyo yang cerah.

Indonesia…

Seperti apa ya, negara itu? pikirnya.

Tak ada jawaban. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, pertanyaan itu terasa… menarik.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status