Share

Brondong Kampung Kaya Raya
Brondong Kampung Kaya Raya
Penulis: BliDek

Menikahi Wanita yang Lebih Tua

"Kamu akan menikah sore ini! Sekarang bersiap, kita akan berangkat ke kota."

Aji berdiri si tempatnya, ia masih mencerna ucapan sang nenek yang terdengar sepintas lalu karena wanita bicara sambil berjalan cepat masuk kamar.p

Nenek Aji keluar dari kamar membawa dua tas hitam kecil lalu masuk ke kamar Aji. Dengan sembarangan ia memasukkan pakaian cucu laki-lakinya itu. Tidak memilih mana pakaian yang masih pantas mana yang sudah tidak layak.

"Ni —nikah sama siapa, Uti?" tanya pria 23 tahun itu bingung. Memangnya dia harus menikah dengan siapa? Teman dekat saja dia tidak punya apalagi kekasih!

"Gak usah banyak tanya! Anggap saja ini sebagai bayaran untuk merawat anak haram seperti koe!” Wanita tua itu menjawab dengan kasar.  

Ia melemparkan tas milik Aji ke lantai. Uti Warsih mengambil baju kemeja putih yang warna sudah agak kuning di lemari pakaian lalu meminta Aji untuk memakainya setelah mandi.

Mendengar kata anak haram dan hutang budi membuat Aji tidak berkutik, Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan neneknya itu yang adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.

Aji dibesarkan di desa dan dikenal sebagai anak haram oleh seluruh warga di kampungnya. 

Itu karena ibunya yang bekerja di kota besar yang belum menikah kembali ke desa dengan membawa seorang bayi yang baru beberapa hari dilahirkan.

Seumur hidupnya, Aji hidup dengan hinaan orang dan kata-kata penyesalan dari uti Warsih. Itu sebabnya ia selalu bekerja keras agar bisa membuat neneknya itu bangga dan bahagia, sayang itu semua belum bisa terwujud.

Aji yang bertubuh kekar dengan kulit sedikit gelap karena terbakar matahari terlihat tampan dan gagah mengenakan kemeja putih pemberian uti tadi. Ditambah peci, Aji yang bekerja sebagai buruh terlihat begitu berbeda.

Sesuai kata uti Warsih tidak lama ada sebuah mobil mewah yang berhenti di depan rumah kecil mereka. 

Mobil hitam yang catnya begitu mengkilap dan licin menarik perhatian tetangga Aji. Mereka keluar dari rumah, mendekati mobil itu dan mengagumi kendaraan itu.

“Minggir! Minggir!” Uti Warsih menghalau para tetangganya agar menjauh dari mobil itu. 

“Nanti mobilnya lecet! Tangan kalian, kan kasar. Ayo, Le, ndang masuk!” Ia menarik Aji yang masih heran sekaligus terpana masuk ke dalam mobil itu.

“Ini mobil siapa, Uti? Apa kita gak salah naik mobil ini?” Aji sampai tidak berani duduk karena takut mengotori jok mobil dan dimintai ganti rugi.

“Calon bojomu! Wes gak usah cerewet! Ikutin aja apa kata uti. Bikin uti kaya raya dan pergi dari hidup selamanya. Uti wes bosen ngurusi anak haram. Bikin hidup uti sial!” Nenek itu menggerutu.

Cukup lama berkendara, akhirnya mobil masuk ke parkiran hotel yang sangat besar di kota. Aji mendongak, melihat keluar jendela mengagumi besar dan megahnya tempat yang mereka datangi.

Sopir yang menjemput Aji langsung mengarahkan Aji untuk menuju kamar presidential suite yang disewa oleh majikannya. 

Aji yang sibuk menikmati besarnya hotel kaget ketika mereka berhenti di depan kamar. “Ini kita ngapain kesini?” tanyanya pada sopir.

“Nona Radhia dan keluarga juga  sudah menunggu di dalam. Silahkan masuk.” Sopir menempelkan pass card sampai lampu di pintu berubah hijau. 

Ia mempersilahkan Aji dan uti Warsih masuk menemui Radhia – calon istri Aji yang sudah menunggu di ruang tamu.

Seorang wanita memakai kebaya putih dengan riasan wajah lengkap duduk melantai bersama keluarganya. 

Wanita itu melirik Aji dengan kesal. Ia membuang nafas kasar meratapi nasibnya yang harus menikah dengan pria yang usia lima tahun lebih muda darinya.

Jika bukan demi harta warisan papanya, Radhia yang tidak percaya dengan cinta tidak akan mau menikah apalagi dengan pria muda dari kampung.

“Bu Warsih, monggo.” Seorang wanita paruh baya mempersilahkan Warsih untuk duduk bergabung bersama mereka sedang Aji diarahkan untuk duduk di sebelah Radhia.

Aji melirik uti Warsih, melihat raut wajah serius uti, Aji segera menempati tempatnya.

Tidak menunggu lebih lama, penghulu segera menikahkan kedua orang yang baru pertama kali bertemu. Ucapan sah bergema di ruangan itu, menandakan Aji dan Radhia kini sudah sah menjadi suami istri.

“Ini cekmu! 2 miliar.” Radhia menyerahkan selembar cek kepada Warsih sebagai imbalan karena telah mencarikan calon suami untuknya.

Senyum Warsih mengembang lebar, matanya berbinar melihat angka yang tertulis di sana. “Akhirnya, aku bisa hidup tenang. Sekarang aku bebas dari rasa malu,” ujarnya sambil mengibas-ngibas cek itu.

Dada Aji terasa sesak mengetahui kalau Warsih ternyata sudah menjualnya. Tetapi ia hanya bisa diam dan menahan emosinya karena tidak mungkin ia memarahi utinya.

“Sekarang mau ikut nona Radhia. Nurut sama istrimu, jangan bikin masalah. Ngerti koe?” warsih berpesan sambil memasukkan cek-nya ke dalam tas.

Selesai dengan semua urusannya, Warsih meninggalkan Aji bersama keluarga barunya dan kembali ke desa. 

Keluarga Radhia juga kembali ke kamar mereka masing-masing meninggalkan Aji dan Radhia berdua di kamar pengantin.

“Dengar, hanya karena sekarang kita sudah menikah, bukan berarti kamu bisa menyentuh saya. Saya gak sudi disentuh oleh pria kasar sepertimu, paham?” Radhia berjalan melewati Aji begitu saja.

Wanita itu melepas satu per satu perhiasan yang menempel di tubuhnya, mendiamkan Aji seolah lelaki itu tidak ada di sana.

“Ngapain berdiri disana? Cepat ganti baju! Aku jijik melihat baju kotormu itu!” pekik Radhia sambil berlalu masuk ke dalam kamar mandi.

Aji menunduk memperhatikan penampilannya. Ia membuang nafas panjang, membongkar tas yang Warsih siapkan.

Radhia kembali berdecak ketika melihat penampilan Aji. “Kamu gak punya baju yang lain? Sopir saya aja bajunya lebih bagus dari itu. Itu lebih cocok jadi kain lap.” 

Radhia menggeleng pelan, ia yang kesal karena penampilan Aji memilih duduk di sofa dan bekerja melalui laptopnya.

Aji masih berdiri di tempatnya, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ingin ke ranjang tetapi belum dipersilahkan. Ingin makan, tapi takut tidak sopan.

“Em…. boleh saya jalan-jalan keliling hotel?” tanya aji takut-takut. Pikirnya, daripada di kamar dan tidak melakukan apa-apa, lebih baik ia keluar.

Radhia menengadah. “Kamu tahu jalan kembali ke kamar? Jangan sampai kamu hilang dan membuat saya malu.”

“Ta – tau, Mbak.” sahutnya. 

Radhia mendelik tetapi ia sedang malas meladeni Aji. Moodnya rusak gara-gara pakaian lusuh suaminya itu. Radhia mengibaskan tangan, mengijinkan Aji pergi keluar.

Aji menjelajahi setiap lantai hotel dengan lift. Ia masuk ke restoran hanya untuk melihat-lihat kemudian keluar. Pun begitu saat ia masuk ke toko souvenir yang dekat lobi. 

Ia masuk dan melihat beberapa kerajinan tangan yang dijual dengan harga fantastis. Aji tidak berani menyentuh apapun, takut meninggalkan sidik jarinya di barang mahal.

Seseorang menepuk pundak Aji yang sedang melihat lukisan. “Maaf, Apa anda Aji Hutama?” tanya orang itu begitu Aji berbalik.

_________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status