Sedangkan di Kota Malang, di kantornya siang itu, Arum ikut menangis juga. Beruntung dia masih sempat mengirimkan presentainya pada Pak Yos. Beliau sedang sibuk dengan dunianya sekarang. Dia tidak akan menyadari kalau salah satu anak buahnya sedang menangis sangat keras di salah satu sudut ruangan. Suara tangisan yang sebenarnya sampai juga di telinga Asti dan Lili yang berada di sisi lain ruangan.
Arum sama sekali tidak menyangka rumah tangganya akan berakhir seperti ini. Tentu selama ini dia juga merasa pernikahannya tidak baik-baik saja, tapi bukan begini perpisahan yang dia inginkan. Bukan karena ada laki-laki lain seperti yang Mas Pras pikirkan. Bukan karena gosip perselingkuhan yang entah dia dengar dari siapa. Apapun yang dimulai dengan niat baik, Arum ingin mengakhirinya secara baik, begitu juga pernikahan ini.
Darimana dia bisa tahu tentang Viki? Apa ada yang cerita sama dia? Siapa yang cerita sama dia?
Arum tiba-tiba penasaran. Tentu saja bukan ingin menyalahkannya siapapun itu sumbernya. Dia hanya ingin bicara padanya siapa tahu dia bisa ikut menjelaskan pada sang suami bahwa ini semua hanya salah paham. Ada keinginan dalam diri Arum untuk memperbaiki kondisi ini. Arum akhirnya mencoba bicara pada Asti dan Lili. Tentu saja dua rekannya ini mendadak bingung karena melihat muka Arum yang sudah bengkak dan merah karena tangisan. Saling menoleh satu sama lain untuk menemukan jawaban tapi tak ketemu.
"Ada apa Arum?" Asti coba bertanya sambil mendudukkan dirinya di sana bersama Lili.
Arum coba menenangkan perasaannya dulu sebelum bicara. Tisu it uterus digenggamnya dan tidak henti-hentinya diusapkan ke wajahnya, "jadi, Mas Pras habis telpon aku. Dia marah besar sama aku. Dia salah paham tentang Viki. Ada orang yang sepertinya kasih tau dia tentang Viki. Aku cuman mau tanya apa kalian ngerti sesuatu?"
"Hah? Maksudnya kamu kira kita gitu yang kasih info tentang Viki ke Mas Pras?" tanya Lili yang selalu blak-blakan.
"Ya bukan gitu. Ya maksudku seandainya kalian ada info. Mungkin kalian tahu siapa yang ngomong ke Mas Pras tentang itu. Aku udah gak ngerti lagi harus tanya ke siapa," Arum sangat terpukul masih sesekali mengusap air matanya.
"Hm, kalau boleh tau… emangnya info apa sih yang Mas Pras dapet?" Asti tanya perlahan.
"Ya foto aja sih. Info tentang medsosnya Viki. Terus ya kayanya beberapa info kaya aku suka pulang sama dia. Kayanya dia salah paham sama hubungan aku dan Viki," jawab Arum sambil mengambil selembar lagi tisu.
"Kita enggak tau Arum," ucap Lili berterus terang segera diangguki juga oleh Asti.
"Beneran kalian enggak tau apa-apa?" tanya Arum memastikan.
"Iya, sorry, tapi kita beneran enggak ngerti," sambung Asti.
“Aku bingung banget. Mas Pras bahkan udah enggak bales W* aku lagi. Aku enggak bisa jelasin apa-apa. Mas Pras juga kayanya udah terlanjur percaya sama semuanya. Dia pasti udah enggak mau denger apa-apa lagi,” ucap Arum lagi dengan suara masih bergetar.
“Hm, aku juga bingung mau ngomong apa. Ya ditunggu aja dulu sampe Mas Pras nya juga tenang. Kalo udah kalian sama-sama tenang, nanti coba diobrolin lagi,” saran Asti akhirnya.
Keheningan melanda mereka bertiga setelahnya. Tentu saja Lili dan Asti tampak kikuk dan sesekali menatap satu sama lain. Tidak tahu harus bersikap bagaimana kecuali berulang kali mengucap sabar dan sesekali mengusap lengan Arum yang masih menangis. Akhirnya kembali ke ruangan kerja masing-masing membiarkan Arum sendiri.
Arum menangis lagi setelah Lili dan Asti pergi meninggalkan ruangan itu. Saat ini dia merasa dihadapkan dengan jalan buntu. Siapapun yang memberi info pada Pras, mungkin juga sangat berhati-hati dan tidak mungkin akan menunjukkan jati dirinya. Siapapun itu pasti tahu kalau dia pasti akan marah besar padanya. Arum memang sangat kesal saat ini, walau sebenarnya dia lebih kesal pada dirinya sendiri.
Dua bulan berselang setelah pertengkaran hebat melalui ponsel waktu itu, Arum memang berubah menjadi sosok yang pendiam. Di kantor, tentu saja teman-temannya ini menyadari perubahan sikapnya tapi tak pernah mencoba untuk bertanya. Mereka tahu bahwa hubungan Pras dan Arum semakin buruk walau tidak tahu seburuk apa. Mereka bisa melihat bagaimana Arum yang biasanya aktif dan ceria terlihat lebih lemah dan lesu. Mereka hanya bisa berusaha menghiburnya dengan mengeluarkan lelucon atau sekedar berbagi makanan. Berharap bisa memperbaiki suasana hati rekan kerjanya itu.
Hubungan Pras dan Arum tetap tidak membaik, hingga mereka sepakat untuk benar-benar berpisah. Tidak ada tuntutan apapun karena mereka ingin mengakhiri rumah tangga mereka dengan damai. Sebenarnya mereka punya satu rumah milik bersama di Malang, tapi Pras menyerahkannya begitu saja pada Arum. Toh selama ini memang Arum yang banyak menghabiskan uang untuk rumah itu. Alasan utama yang mereka ajukan dalam perceraian adalah ketidakcocokan dan perbedaan visi misi. Komunikasi pun sudah sama sekali tidak mereka lakukan. Ya hanya beberapa kali membicarakan tentang perceraian.
Proses perceraian diikuti keduanya dengan patuh. Bahkan saat mediasi pun Arum masih mencoba menoleh pada sang suami. Berharap suaminya ini mungkin mempertimbangkan untuk rujuk, tapi memang sepertinya Pras sudah yakin dengan keputusannya. Bahkan lusa adalah sidang putusan perceraian keduanya. Itu kenapa dia sedang berada di ruangan Pak Yos siang itu untuk meminta ijin cuti.
"Saya mau ijin cuti Pak untuk lusa," pamit Arum pada sang bos.
Pak Yos mendongak dan bergerak membaca surat ijin yang disodorkan.
"Jadi, kamu bener-bener cerai?" tanya Pak Yos pada anak buahnya ini.
"Iya, Pak. Lusa itu pembacaan putusan. Makanya saya mengajukan cuti, Pak," kata Arum lagi tersenyum kecut.
"Terus terang saya masih enggak nyangka Arum, tapi ya semoga ini yang terbaik buat kalian ya. Kamu yang sabar," Pak Yos akhirnya memilih untuk menandatangani surat ijin cuti dari Arum.
Pak Yos tentu sangat tahu bagaimana hubungan keduanya memang tidak begitu baik belakangan apalagi juga dia sendiri juga sudah bertanya pada Arum mengenai hubungannya dengan Viki. Beliau memang sudah beberapa kali bertemu Pras dan berdasarkan pengalaman hidupnya sedikit banyak dia bisa tahu karakter Pras dan tentu menyayangan perceraian itu terjadi. Beliau hanya bisa menatap nanar anak buahnya itu.
Arum memilih mengangguk dan meninggalkan ruangan sang manajer. Pergi ke kamar mandi dan menenangkan hatinya di sana. Jujur dia sangat letih dengan badai yang harus dia lalui belakangan. Fisik dan psikisnya sama-sama letih. Arum hampir setiap malam menangis, bahkan kadang sampai kepalanya sakit dan wajahnya bengkak. Sampai tidak tahu lagi harus menutupinya dengan cara apa untuk pergi ke kantor. Sekarang, dipikir lagi, untuk apa menangisinya? Toh nasi sudah menjadi bubur.
Asti yang langsung masuk saja ke kamar mandi. Sedikit terkejut karena ada Arum di sana tapi tak banyak bicara. Bisa dilihatnya dari sudut matanya, wanita itu pasti menangis lagi.
"Astaga Arum. Kaget aku!" kata Asti mengelus dadanya. "Bentar aku pipis dulu ya," pamit Asti cepat.
Begitu Asti selesai pun, Arum masih di sana dengan wajah dan posisi yang sama. Mengelap wajahnya yang masih basah karena sapuan air dengan tisu. Meredakan air mata yang hampir saja keluar entah ke berapa kali dari matanya.
"Kenapa sih? Kayanya akhir-akhir ini kamu lemes lesu gitu?" tanya Asti.
"Capek banget aku tuh," kata Arum sendu.
"Capek kenapa? Kerjaan?" tanya Asti tentu saja.
"Aku… cerai sama Mas Pras," kata Arum singkat menunjukkan surat cuti yang sudah ditandatangani oleh Pak Yos.
Akhirnya, perceraian itu terjadi tiga bulan lalu. Perceraian yang mampu memberinya rasa pahit dan menggores luka cukup dalam. Pernikahan yang dia usahakan sekuat tenaga pada akhirnya harus hancur begitu saja. Perceraian yang menyita seluruh waktu, emosi, dan tenaganya. Apa yang bisa dia lakukan kini? Arum hanya bisa terseok-seok mencoba menyambung hidup. Toh teman-temannya perlahan mulai mengetahui status barunya itu.
Lalu bagaimana dengan Viki? Semenjak bertengkar hebat dengan Pras kala itu, Arum tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Viki terus menerus telpon dan mengirim pesan, tapi Arum tidak pernah merespon. Bahkan untuk bertemu di kantor pun mereka hampir tak pernah, karena Arum selalu berhasil menghindar. Tentu saja Viki mendengar kabar bahwa Arum sudah bercerai dari gosip-gosip karyawan lain, tapi dia belum yakin selama Arum belum menceritakan semua padanya. Empat bulan lalu, saat Viki sedang merokok di jam istiharat mereka. "Aku pengen ngomong serius nih sebagai cowok sama cowok!" Agus mendekat pada Viki yang terlihat sedang asyik dengan batang rokoknya. "Apaan sih? Sok serius banget!" kata Viki tanpa tahu apa yang terjadi. "Kamu tahu enggak kalo Arum tuh lagi proses cerai sama suaminya?" Selidik Agus yang merupakan biang gosip paling tenar seantero kantor. "Hah! Serius?" Viki tentu saja terkejut. "Sok kaget segala sih! Kan kamu lagi deket sama Arum belakangan ini. Masa enggak tau
"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara."Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu."Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens."Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu."Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya."Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya."Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai."Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli."Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga."Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo
Beberapa hari kemudian, tepatnya di penghujung minggu, Viki menelpon Arum melalui panggilan video dari kamar kosnya,"Akhirnya kredit rumah aku disetujuin loh, Ay. Aku udah mulai nyicil dua bulan lagi," seru Viki malam itu."Iya tah? Syukur kalo gitu! Selamat ya!" Arum ikut senang karena Viki mendengarkan saran darinya."Rumahnya sih udah tiga perempat jadi. Nanti kalo jadi, terus bapak ibu aku dateng, aku mau adain selamatan kecil-kecilan. Ya paling dua bulanan lagi," angan Viki."Hehehe. Iya iya siiip. Bagus itu," Arum merespon singkat saja."Capek banget kayanya kamu ya? Muka kamu kok lemes banget sih?" Viki bertanya."Iya. Aku capek banget. Hari ini banyak banget yang harus dikerjain. Pak Yos juga marah-marah terus seharian. Enggak tau dah kesambet apaan. Emang kayanya enggak bisa kalo enggak marahin anak buahnya sehari aja," Arum bicara."Hehehe. Kamu tuh enggak pernah ada habisnya ya kalo nyeritain Pak Yos," goda Viki."Iya emang iya. Bisa berbusa kayanya deh mulut aku kalo ceri
Sesuai janji sebelumnya, malam ini Arum menyempatkan diri untuk makan malam bersama bapak dan ibu dari Viki. Pak Jono dan Ibu Susi namanya. Mereka pedagang di Surabaya. Mempunyai satu gerai pakaian di sebuah pasar grosir yang cukup besar di sana. Kebetulan hari ini mereka sedang ada urusan di Malang. Bertemu dengan seorang teman lama yang memang berencana memesan seragam dalam jumlah banyak. Jadi disinilah mereka, sebuah restoran dengan menu makanan khas Indonesia yang memang cukup terkenal di Malang. Lokasinya besar dan tidak terlalu ramai membuat restoran itu cocok untuk berbincang-bincang santai. Arum dan Viki tiba tepat setelah adzan maghrib. "Pak, Bu, kenalin ini Arum yang sekarang lagi pacaran sama aku," ucap Viki dengan bangga pada orangtuanya, membuat Arum kikuk juga "Arum, Pak, Bu," Arum mengenalkan diri mencium punggung tangan kedua orang tua itu. "Selamat datang, Nak Arum. Ayo silahkan duduk. Kita makan malam dulu ya. Bapak sudah laper ini," ajak Bu Susi tersenyum dengan
Keesokan harinya, sudah dari pagi Viki pamit pergi ke pantai. Arum membalas pesan Viki seadanya karena dia sendiri ingin mencoba fokus pada pernikahan tetangganya yang memang dia hadiri bersama sang mama, mencoba bersikap senatural mungkin agar Viki tak curiga. Entah apa yang dirinya tunggu. Makin banyak bukti? Atau menunggu Viki akhirnya berhenti dan mengakui? Di dalam gedung resepsi pernikahan, setelah turun menyalami pengantin. Menemani sang ibu mencari makanan dan membawanya ke tempat duduk. Giliran Arum yang berkeliling mencari camilan. Dia bukan tipe perempuan yang banyak makan, tapi entah kenapa badannya tak juga kurus. Dia memilih mengambil seporsi salad buah yang nampak menggoda. Saat matanya menyisir ke penjuru gedung, mendadak ada sosok yang lebih menarik perhatiannya daripada jajaran makanan didepannya. "Lah itu kan Alex? Bukannya dia harusnya pergi ke pantai sama Viki?" Arum coba menghampiri sosok Alex yang nampak sedang makan bersama seorang wanita di sampingnya. Arum
Hari-hari Arum memang sedang suram belakangan. Dia sudah memutuskan untuk pisah dari Viki. Tidak menyangka hubungan yang berjalan sudah satu tahun itu berhenti. Memang dia mencintainya, tapi dipikir-pikir lagi Retta memang lebih cocok bersama Viki daripada dirinya dan dia cukup sadar diri. Arum akhirnya mengetahui ternyata memang Retta sudah lama memendam rasa pada Viki. Dia selama ini berusaha mati-matian berusaha membuat Viki membalas perasaannya. Sepertinya berhasil pada akhirnya walau di saat yang salah karena kebetulan saat itu Viki masih bersama Arum. Sedangkan Viki? Dia terus berusaha menemuinya di rumah, mengiriminya pesan, juga menelponnya tiap malam. Masih meminta kesempatan terus untuk memperbaiki hubungan. Dia mengaku masih mencintai Arum dan hanya dia. Sedangkan pada Retta tidak lain hanya simpati dan perhatian sebagai teman. Tentu Arum sulit untuk percaya walau sudah memaafkan. Sebenarnya semakin lama Viki semakin mengganggu karena semakin lama dia tidak lagi mengucap ma
Bisa dibilang sebagai bentuk permintaan maaf dan supaya hubungan mereka membaik, Viki berjanji akan membawa Arum untuk jalan-jalan penuh dua hari ini. Jadilah hari Sabtu, Arum yang meminta bantuan untuk diantar bertemu dengan salah seorang agen penjualan tanah. Sedangkan hari Minggu, Viki yang berinisiatif membawa Arum juga sang mama dan Tante Tini untuk makan siang. Tentu saja niat terselubungnya ingin mendapat restu dari keduanya yang bisa dibilang adalah keluarga terdekat Arum saat ini."Mau kemana aja sih kita hari ini?" tanya Viki pagi itu saat bersantai di teras rumah Arum."Kalo hari ini sih aku pengen liat tanah. Di kabupaten, tapi perbatasan kota. Harganya sih murah, DP-nya murah, terus bisa dicicil lagi. Penasaran pengen liat lokasinya!" jelas Arum bersemangat."Ya udah, mau berangkat sekarang?” tawar Viki dan Arum mengangguk."Iya langsung aja yuk. Keburu siang," Arum sudah siap memasang kaos kakinya."Aku belum pamit mama kamu loh?" tanya Viki."Udah aku pamitin," Arum sud
Sudah beberapa bulan hubungan Arum dan Viki kembali berjalan mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Walau hingga detik ini masih belum pernah mau mengungkapkan hubungan mereka secara terbuka, tapi Arum tidak lagi menumpang mobil Viki dengan sembunyi-sembunyi. Biasanya harus berjalan dulu beberapa meter di luar kantor ke dekat perempatan jalan agar tidak ada yang melihat, tapi sekarang mereka akan naik bersama dari lahan parkir dengan mobil Viki. Dia sudah tak lagi memikirkan pandangan karyawan mengenai hubungan mereka. Sudah tidak naik motor lagi memang sejak Viki membeli mobil itu. Sebuah sedan merah kini yang selalu menjadi tunggangannya. Tentu bukan masalah sama sekali bagi Arum entah naik motor atau mobil, tapi bagi Viki tentu menjadi kebanggan tersendiri juga selain itu dia ingin memberi yang terbaik untuk Arum. Supaya Arum tidak perlu kehujanan, kepanasan, atau apapun itu saat mengendarai motor bersamanya. Tentu saja sebagian lain adalah untuk memenuhi gengsinya sendiri mengingat h