Share

Terpenjara

Ibu dan Bibi membawaku menuju ke tempat akad. Mereka mengamit lenganku dengan hati-hati, seakan takut aku akan terluka. Semua mata memandangku penuh takjub, satu sama lain berbisik seakan hari ini bukan hanya milikku dan akupun berdoa semoga Dewa merasakan yang sama.

Ketika tiba di masjid, pertama kali yang kulihat adalah Dimas. Calon suamiku yang sedang duduk di depan penghulu, kedua keluarga sepakat merendengkan kedua calon mempelai saat akad terucap. Harus kuakui, Dimas sungguh tampan dengan baju pengantin sunda yang tampak pas di tubuhnya. Dimas menatapku tanpa ekspresi, menelusup rasa aneh pada dadaku saat Dimas malah mengalihkan pandangan.

Memang seminggu menjelang pernikahan kemarin Dimas mulai jarang menghubungiku, bahkan malam tadi pun dia hanya menelepon sekedar basa-basi, aku berdoa ini bukan pertanda buruk. Mataku aktif mengedar ke sekeliling melihat suasana masjid, semua keluarga nampak lengkap hadir tapi sebenarnya bukan mereka yang aku cari.

Aku menghela nafas mengambil tempat di samping Dimas seraya mempersiapkan hati, berkali-kali aku memandang Ibu dan Ayah untuk menguatkan keputusan yang aku ambil.

"Ananda sudah siap mengikrarkan akad?" tanya Pak Amir yang bertugas sebagai Penghulu pernikahan kami pada Dimas yang berada di sampingku. Dimas tidak menjawab dia malah diam lalu menatapku sekilas dengan wajah yang dingin. Aku merasa ada yang aneh dengan pandangannya kali ini.

"Dimas, itu Pak Amif nanya di jawab!" perintah Ibu mertuaku melihat Dimas hanya diam.

"Bagaimana kita bisa mulai?" ulang Pak Amir lagi, dia mulai gak nyaman dengan suasana mata tuanya berkali-kali melihat jam seperti diburu waktu.

Dimas menghela nafas berat, "Sebelum saya mengucapkan akad, saya ingin bertanya sesuatu kepada calon istri saya boleh?"

Degh! Aku langsung menoleh kaget. "Maksudnya Mas apa?"

"Beri saya waktu untuk menunjukan sesuatu!" ujarnya tajam.

*****

Kali ini kami duduk saling berhadapan, gemuruh dadaku kian terasa kala aku lihat Dewa dan Gio hadir di antara kami. Terpaksa aku menelan fakta baru yang mengejutkan, ternyata Dewa dan Dimas sudah lama bersahabat jauh sebelum aku mengenal Dimas. Sudah kuduga sebelumnya, di mana aku melihat kejanggalan ternyata memang benar di situlah rahasia memang di simpan.

Tak bisa kuhindari, menelusup kebingungan dan gelisah ke dalam hatiku ketika Dimas masih saja diam, padahal semua pihak yang diminta hadir oleh Dimas di ruang tamu rumahku sudah kumpul semua.

Aku menerka-nerka drama apa yang ingin dibawakan Dimas? Terlalu bodoh jika hanya ingin mempermainkan kami, karena semua tamu dan pembantu dia minta keluar bahkan Pak penghulu pun kami tinggalkan di masjid bersama para keluarga yang lain.

"Nia, apakah kamu mencintaiku?" ucapan Dimas meluncur begitu saja membuat semua mata memandangnya syok. Setelah semua pernyataannya membuat kehebohan, dia hanya mengawali pertemuan ini dengan memberikan pertanyaan tentang perasaan.

"Dimas, jangan bercanda! Apa hal ini pantas kamu tanyakan di hadapan semuanya?" protes Ibu berang dengan sikap Dimas.

Dimas tak merespon, matanya masih menatapku tajam, seakan tak memperdulikan pertanyaan Ibu. Dewa terlihat kaget, dia langsung bereaksi mendekati sahabatnya namun tangan Dimas teracung menyuruhnya untuk tak ikut campur.

Tegang.

"Jawab Nia, jika saat ini antara aku dan Dewa sama-sama membutuhkan darahmu untuk menyelamatkan hidup kami mana yang akan kamu pilih?" Dimas memberikanku pilihan yang sulit dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Aku menatap Dimas penuh tanda tanya, gak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Aku mencoba meraba maksud dari Dimas lewat matanya, namun yang kudapat hanya luka dan amarah yang ia tunjukan padaku.

"Maksud kamu apa Dimas? Kenapa harus bawa-bawa Dewa?"

Aku menahan semua gejolak di dadaku yang mendesak untuk diluapkan, aku pandang Dewa sekilas laki-laki itu nampak diam tak bereaksi, melihat mereka aku merasa dibodohi tiba-tiba. Teka-teki busuk lelaki yang bisa jadi melemparkanku pada kesalahan.

"Dimas, apakah kamu minum semalam? Kamu sakit Nak? Apa kita harus tunda pernikahan kali ini?" Ibu Anwar, calon mertuaku menengahi karena sedari tadi keempat orang tua itu hanya di hadapkan pada drama yang tak dimengerti sama sepertiku.

"Dimas gak mabuk Mah, Dimas hanya tidak ingin menikah dengan perempuan yang hatinya milik orang lain, apakah Mamah mau memiliki pasangan yang hanya punya jasad tapi gak punya hati?"

"Dimas!"

Sebuah bentakan terdengar saat baru saja Dimas menyelesaikan kalimatnya yang menyindirku. Itu teriakan Dewa, lelaki itu beranjak dari tempatnya lalu memegang kerah Dimas memaksa Dimas berdiri. Kedua pria itu kini berdiri saling menantang, melihat Ayahnya murka Gio langsung berlari memelukku takut. Dia bersembunyi di belakang punggungku, sekalipun aku sama kagetnya namun aku harus melindungi anak kecil yang tak tahu apa-apa ini.

"Jangan berkata macam-macam tentang Nia, dia udah milih lo, paham!" ungkap Dewa penuh amarah.

"Lalu? Apakah gue harus bilang dia perempuan robot? Setelah beberapa kali gue lihat, gak ada bayangan gue dalam matanya? Bahkan saat mau akad dia masih mencari lo, pengecut!" balas Dimas sambil balik memegang kerah kemeja Dewa.

Melihat kejadian yang tak diduga ini, tentu saja kami semua bereaksi. Para orang tua sibuk melerai kedua lelaki yang dikendalikan emosi tersebut sementara aku langsung meminta Gio untuk menunggu diluar ruangan, tentu ini bukan tontonan anak seusianya. Papahnya bertengkar hanya untuk memperebutkan perempuan di depannya? Ini gila.

"Hentikan! Kalian semua berhenti!" teriakku setelah kupastikan Gio sudah tidak ada di antara kami.

"Dimas, Dewa tolong berhenti! Dengar, saya gak bersedia menjawab pertanyaan Dimas atau pertanyaan apapun yang berkenaan tentang privasi saya. Dan jika kamu seperti ini, sama saja kamu neragukan pernikahan ini kan? Jika begitu silahkan kita akhiri!"

Mendengar teriakanku semua keributan berhenti seketika, Dimas dan Dewa saling melepaskan kerah kemeja satu sama lain, keduanya menatapku terkejut. Remuk, itu yang aku rasakan terjadi pada hatiku sekarang, aku tidak bangga diperebutkan oleh dua laki-laki di hadapanku karena bagiku semua ini hanyalah penghinaan.

"Nia, tidak boleh seperti itu! Semua sudah dipersiapkan, kamu jangan pake emosi Nia!" cegah Ayah memegang bahuku yang bergetar karena syok dengan perkataanku sendiri. Aku menggigit bibirku kuat-kuat menahan hentakan jiwa yang meradang karena luka yang semakin terbuka.

"Kamu yang mau menghentikannya Nia, bukan saya! Saya hanya korban dari cinta masa lalumu yang brengsek! Maka dari itu kamu gak mau jujur, karena kamu masih mencintainya kan? Sekarang, aku mau kalian menikah di depanku sekarang, ayo!" perintah Dimas pongah.

"Dimas, saya bukan barang yang bisa kamu lempar tergantung siapa yang membelinya dan saya juga bukan anak kecil yang kamu ragukan keputusannya, jika memang kamu tidak ingin menikahi saya ... saya ikhlas, tapi bukan begini caranya!" Tangisku meledak sekarang, aku tak menyangka sehina itu aku dalam pandangan Dimas.

"Ada apa ini? Kalian jangan menyelesaikan pake emosi, kita harus tenang!" suara Bapaknya Dimas menatap kami dengan pandangan kesal secara bergantian.

"Kalian pikir mudah menghentikan pernikahan? Hah? Malu sama para keluarga dan tamu! Paham kalian?" Ibu berteriak emosi membuat kami bungkam.

Aku menunduk menyembunyikan tangis tanpa jeda sementara Dewa dan Dimas saling pandang dalam amarah. Suasana di dalam rumah yang seharusnya tenang dan suka cita kini berubah layaknya pertempuran rasa yang tak menemukan ujung.

"Dewa, apakah benar kau masih mencintai Nia? Bukannya kalian hanya masa lalu, ikhlaskanlah Nia Dewa, jangan kau seret Nia pada kisahmu yang suram itu lagipula kau sudah punya anak!"

Jleb! Ibu? Itukah yang Ibu pikirkan tentang Dewa sebenarnya? Seakan ada palu yang menghantam hatiku berulang kali, aku langsung mendongak. Ucapan Ibuku pasti menyakitkan bagi Dewa terlihat dari wajah laki-laki itu yang memucat seketika. Dewa terdiam lama, dia membeku di tempatnya.

"Ibu, sebenarnya Gio itu--"

"Maafkan saya, saya tahu saya gak berhak ada di sini. Semua omongan Dimas gak benar, sebenarnya saya yang mencintai Nia, tapi Nia tidak mencintai saya! Saya yang mengejarnya, tapi Nia menolak. Dimas gak perlu khawatir akan adanya saya, saya tahu Nia sudah tidak mencintai saya, maaf sudah membuat kekacauan!" Dewa memotong langsung ucapanku seakan menyuruhku untuk diam, sehingga rahasia sebenarnya tentang Gio dan Dewa tak terungkap.

Aku menatapnya sedih dan tak setuju, dia selalu memilih menyimpan perihnya sendiri dalam sunyi, seperti yang selama ini dia lakukan. Jujur aku sangat membenci sifatnya yang seperti itu karena hanya akan membuat orang lain bebas menghinanya.

Dia mengalihkan pandangannya padaku, "Kamu harus berbahagia Nia, maafkan saya dan Gio, saya permisi!"

Tanpa menuggu jawaban semua orang, Dewa melangkah mundur sembari tersenyum sendu sekilas matanya yang memerah menatapku lalu mengangguk untuk pamit kepada semuanya. Perlahan namun mantap kemudian dia berbalik menuju ke arah pintu, dia pergi.

Dewa benar-benar pergi.

Dia telah meninggalkan hatiku yang masih meneriakan namanya untuk berhenti. Aku hapus butiran bening yang mengalir perlahan, melihatnya pergi dengan memahat kecewa aku putuskan terpenjara bersamanya di tempat yang berbeda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status