"Bu Guru! Ada salam dari Papa!" Seringkali Zania mendengar Gio berbicara seperti itu. Mulanya semua tampak biasa tetapi setelah Zania bertemu papanya ternyata papa Gio adalah Dewa. Kekasih yang dulu pernah meninggalkan Zania demi menikahi sahabatnya sendiri. Lantas, kenapa Dewa sekarang mendekatinya?
Lihat lebih banyakHari Senin.
"Bu Guru! Ada salam, dari Papah!"
Aku hanya tersenyum lalu mengelus pipi bakpau anak itu, kemudian berlalu setelah memeluknya.
Hari Selasa.
"Bu Guru, Papah titip salam!"
Aku bengong menatap mata bening Gio yang enggak berdosa.
Lagi, anak itu melakukannya.
"Dan ini buat Bu Guru dari Gio, ini permen kesukaan Gio, Papah yang membelikannya, sekarang jadi milik Bu Guru!"
"Eh, Gio tapi kan ini milik Gio, masa buat Ibu?"
"Gak apa-apa, pokoknya ini buat Ibu ayo terima Bu!"
Gio kali ini memaksaku untuk menerima permennya, dengan ragu aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih pada Gio, bukan pada papanya.
Hari itu jujur aku berdoa agar ucapan salam dari orang tua muridku itu berhenti, karena guru-guru di SD tempatku mengajar sudah mulai menggodaku. Namun, ternyata sayang, doaku belum terkabul.
Hari-hari berikutnya, Gio selalu datang menemuiku, baik di ruang kelas maupun di ruang guru hanya untuk sekedar menyampaikan salam dari papanya yang duda tersebut secara terus-menerus.
Hingga aku lelah dan bingung bagaimana menjelaskan pada Gio, kalau aku tidak mau menerima salam dari papanya yang telah mengkhianatiku di masa lalu.
Semua ini terjadi karena beberapa waktu yang lalu aku, Gio dan papanya yang ternyata Dewa yang juga mantan kekasihku, tanpa sengaja bertemu di supermarket tempat biasa aku berbelanja kebutuhan sehari-hari.
*****
"Bu Guru, ada salam dari Papah, katanya makasih udah jadi guru Gio!"
Seperti biasanya, Gio menghampiriku saat aku sudah selesai memberikan PR dan hendak beranjak meninggalkan ruangan kelas.
"Salam balik Gio, tapi bilangin sama Papah ya? Kalau Bu Guru sudah cukup nerima salamnya," ujarku lembut. Aku membungkuk untuk menyamakan tinggi dengan tubuhnya yang mungil.
"Kenapa Bu?" tanya Gio sambil mengerucutkan bibirnya yang menggemaskan. Kedua pipi bakpaunya mengembung lucu.
"Karena kalau kebanyakan salam nanti bingung jawabnya," ujarku asal. Kucubit hidungnya gemas, padahal ini salah satu cara untuk menetralkan hati yang kian berdenyut.
Anak itu tertawa geli sampai pipinya yang putih memerah.
"Iya, sama-sama Bu Guru, kalau gitu Gio mau istirahat dulu, ya? Nanti Gio bilangin ke Papah, biar dia gak hanya kirim salam!" ujar Gio iseng lalu berlari keluar kelas.
Aku menghela nafas sambil berdiri memandang tubuh Gio yang perlahan menghilang di balik pintu.
Jika dipikir-pikir Gio itu memang jail, niatnya untuk menjadikanku Ibu kedua setelah Ibunya meninggal karena melahirkannya belum surut juga, walaupun aku sudah coba menelaskan secara perlahan dengan menggunakan bahasanya.
Gio masih anak kelas satu SD, dia salah satu anak yang baik dan penurut di kelas yang aku ampu, sayang dia memiliki seorang Ayah yang mendengar namanya saja aku benci dialah Dewangga Prasetya.
Kehadiran Gio sebagai anak Dewa dan Yuli membuatku teringat lagi akan kejadian masa lalu yang kelam.
Tidak heran, ketika pertama kali melihat Gio aku sudah terpaku pada sosok anak itu, karena dari segi manapun Gio tampan seperti Dewa. Hidungnya mancung dengan mata hazel yang bening mirip dengan Dewa.
Sejujurnya, aku ingin menyesalkan kala aku sadar, bahwa kini aku sedang terjebak dalam situasi tak mengenakan ini.
Setelah susah payah, aku keluar dari zona kesakitan karena Dewa bahkan akhirnya aku bisa keluar dari situ dan memutuskan akan menikah dengan Dimas, dengan serta-merta aku merasa kini pertahanan hatiku kembali diuji. Semua hanya karena kehadiran orang yang aku benci di dunia ini.
(***)
"Jangan lupa PR-nya dikerjakan ya anak-anak? Ingat loh, habis pulang sekolah jangan kemana-mana lagi ya? Langsung Pulang oke?" Aku mengakhiri aktivitas ngajar Matematika di kelas satu hari ini.
Selayaknya anak SD, mereka membuatku kehabisan tenaga, maka tak jarang sehabis mengajar, aku sangat kelelahan namun aku tetap menyenangi mereka.
Anak-anak muridku mengangguk ceria, mereka berebut menyalamiku satu persatu, tidak jarang ada yang saling senggol karena gak sabar keluar kelas. Kecuali Gio, anak itu seperti biasanya berbaris paling belakang.
"Bu guru, ada salam dari Papah terus aku disuruh Papak kasih ini ... katanya buat Bu Guru!"
"Apa ini Gio?" Mataku membulat ketika tangan kecil Gio memberikan setangkai bunga mawar merah.
Apalagi yang diperbuat Dewa kali ini? Sungguh aku mulai tidak nyaman menerimanya. Orang itu kebangetan, dia memperalat Gio untuk mendekatiku? Dasar gak gentleman.
"Ini bunga mawar buat Bu Guru. Kata Papah kasih ke Ibu," jawab Gio polos. Aku berjongkok, kembali mensejajarkan diri dengan Gio.
"Gio, apa pesan Bu Guru udah Gio sampein ke Papah?" tanyaku lembut tanpa ada kesan menuduh anak itu.
Gio mengangguk, "Udah," jawabnya.
"Terus kenapa Papah Gio masih mengirim salam? Dan bunga ini? Kenapa bunga ini dikasih ke Bu Guru?" Aku mengambil setangkai bunga itu.
"Karena Papah bilang, Bu Guru cantik sama kaya bunga ini. Gio pingin Bu Guru jadi istri Papah!"
Degh!
"Gio?"- Aku menatap wajah Gio lamat-lamat anak sekecil itu berpikir mencarikan istri untuk papanya? Apa saja yang diceritakan Dewa pada Gio? Aku harus menemuinya.
"Bu Guru, jangan nikah sama Om itu ya!"
"Om yang mana Gio?"
"Om yang ketemu sama Gio waktu Om itu jemput Bu Guru!"
Astaghfirullah! Aku menatap Gio terkejut lalu gak berapa lama tubuhku refleks memeluk Gio. Sekarang, aku tersergap rasa bingung karena tanpa sadar aku sedih mendengar permintaannya.
Sebagai wanita yang baru merasakan kehamilan kedua yang kembar, aku melewatinya dengan susah payah, belum lagi akhir-akhir ini Gio minta perhatian lebih. Namun, meski agak memusingkan, sebagai Mamah idaman baginya aku harus bisa membagi perhatianku secara adil. Kalau kata Mamahku Gio berbuat begitu karena tahu dia mau punya adik. Jadi agak manja, tak seperti Mamah yang kian hari kian menerima keberadaan Dewa setelah aku hamil tentunya. Melihat Dewa yang begitu menyayangiku, Mamah yang semula meragukan akhirnya luruh. Namun, sebaliknya aku yang lebih suka emosian pada Dewa. Selain karena perubahan moodku juga sikap Gio, kurasa ada yang berbeda juga pada Dewa. Entah mengapa sekarang dia lebih posesif dan hal itu membuat aku pun lebih merasa dimanjakan dan dilindungi.Maklumlah sebelumnya dia kan sibuk, ada aja yang ia kerjakan saking banyaknya job yang ia ambil tapi semenjak aku hamil dia mulai mengurangi aktivitas. Dewa lebih sering bersamaku meski sesekali sibuk sama urusan klinik.
Malam itu, sepulangnya menitipkan Gio ke Rena, Dewa bukannya mengajakku pulang ke rumah untuk meeting seperti rencana. Dia malah membelokkan mobilnya ke arah bandara, seakan berada dalam penculikan aku bertanya macam-macam pada Dewa takut kalau Gio mencari kami kalau kami ke luar kota atau ke luar negeri sekarang ini. "Udah gak apa-apa, namanya juga bulan madu jangan khawatir oke?" jawab Dewa ketika aku terus bertanya akan dibawa kemana. "Tapi kan gimana kalau Gio nyariin?" cecarku tak puas. Dewa tidak menjawab, dia hanya tersenyum penuh misteri membuatku malas bertanya lagi. Takutnya, nanti aku malah diturunin di tengah jalan lagi, padahal masih pengantin baru. Sampai di Bandara, barulah Dewa menjelaskan maksudnya mengajakku ke Bandara adalah karena kami akan ke Bali. Kebetulan, ada temannya yang mengundang kami datang ke nikahan mereka sekalian katanya ini adalah moment yang pas untuk kami berbulan madu. Mendengar penjelasannya, hatiku diam-diam bersorak bahagia. Sepanjang perj
Bulan madu bagi pengantin baru itu, sebenarnya keniscayaan. Semenjak kami memiliki Beby Sitter cadangan yaitu Rena dan suaminya, kami bisa lebih sering menghabiskan waktu bersama.Saat itu, malam minggu hampir tengah malam. Setelah perjalanan jauh mengeliling kota Yogya. Dewa sudah semangat menebar senyuman bahagia, kali ini kami benar-benar berniat beribadah. Masih ada waktu sebelum subuh tiba. Aku lebih dulu masuk ke kamar mandi, bukan karena aku tidak bisa menahan diri untuk melakukan hal istimewa itu tapi rasanya sepanjang hari ini badanku lengket, sehingga aku tak sabar untuk mandi. Aku sengaja memakai sampo terbaik yang aku punya, semata-mata agar Dewa merasa bahagia apabila nanti kami bersentuhan. Senyum merekah setiap aku memulaskan sampo dan conditioner. Inilah saatnya, perjanjian langit dan bumi beradu dalam tatap dan sentuhan halal. Di antara aktivitasku yang sedang membersihkan diri, tiba-tiba aku mendengar pintu kamar mandi diketuk. Kubuka selot kamar mandi lalu me
Layaknya orang bodoh. Aku memastikan pintu kamar tertutup sempurna. Sengaja aku mendahului Dewa untuk pergi ke kamar pengantin lebih dulu.Entah kenapa sepanjang resepsi aku berasa sangat gerah dan tubuhku rasanya sangat berat. Sepertinya aku mulai merasa pikiran dan hatiku mulai tidak konsen.Aneh. Setiap melihat ke arah Dewa seolah waktu berhenti dan semua gerakan tubuhnya menjadi provokasi untukku. Ya Salam! Aku mengambil wudhu untuk menenangkan hatiku yang tak tenang. Apakah ini efek malam pertama? Jika iya, mungkin aku sedang terkena syndromnya.Cukup lama aku melakukan bersih-bersih di dalam kamar mandi. Semua tak ada yang terlewat aku bersihkan, dari mulai tubuh sampai rambut hingga akhirnya selesai Aku pun keluar setelah berganti baju dengan piyama. Karena rambutku masih basah, kuputuskan untuk mengeringkan rambut sambil menikmati suasana pemandangan malam di balkon hotel.Harus kuakui selera Dewa memang sama denganku, kami sama-sama suka hotel yang berada di ketinggian. L
"Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Zania binti Raihan Akbari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!""Bagaimana sah?""Sah!"Alhamdullilah. Aku menyusut air mata yang mengalir dari sudut pipi.Kalimat perjanjian dunia-akhirat itu akhirnya terucap lancar dari mulut Dewa. Haru, syahdu dan mendebarkan.Suara-suara doa serempak terdengar memenuhi ruangan tempat akad dilaksanakan. Perlahan aku menoleh ke arah Ibu yang tengah menatap datar dengan rona yang sulit dibaca. Aku tahu Ibu masih belum ikhlas melihat aku menikah dengan Dewa tapi dikarenakan Dewa berjanji tidak akan mengecewakanku dan memohon demi kesehatan Gio, akhirnya Mamah menyerah. Mungkin mereka tak menyangka akhirnya bisa mengantarkan anaknya ke jenjang perkawinan. Satu beban yang paling berat pun teralih sudah. "Papa! Bunda!"Gio yang kini telah sehat langsung berlari ke arahku dan Dewa. Kedua tangan mungilnya dengan bahagia memeluk kami berdua. Kurasa tiada yang lebih indah dari ini, menyaksikan Dewa dan Gio berada
Pandangan taman rumah sakit di hadapan kami sore ini sama sekali tak menolong aku dan Dewa yang terjebak dalam hening. Pria itu terus menatapku, saat aku dan dia tengah duduk dengan posisi saling menyerong di kursi panjang yang tepat berada di bawah pohon akasia nan rindang ini.Tatapan Dewa seakan ingin menghitung setiap inci wajahku, saking lamanya dia memandang tanpa berbicara. Tanpa ada suara, hanya matanya yang mengatakan satu kata, 'cemas'. Begitulah yang kutangkap, sebuah rasa yang sama dengan yang aku punya.Akhirnya aku pura-pura jengah, jika hanya saling terdiam. "Jika Mas tidak mau menjelaskan kenapa tadi tiba-tiba melamar saya? Lebih baik saya langsung ke kamar rawat Gio karena itulah tujuan saya ke sini," ucapku menekannya karena bingung mengapa dia mencegah aku menemui Gio. Aku hampir saja beranjak ketika suara Dewa terdengar."Semua karena Gio, Nia," potongnya cepat untuk menahan tubuhku beranjak dari kursi. Aku berdecak sambil membuang muka ke arah lain. Hening
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen