Share

3. Kebenaran

Author: INDRY
last update Last Updated: 2023-07-12 22:27:04

Melihat situasi itu, Adila menghela napas panjang.

“Maaf, Pak Bagas. Mungkin, kita bisa duduk dan berbicara masalah Zahira terlebih dahulu,” ucapnya tenang.

Adila juga meminta Bik Muti, asisten rumah tangganya untuk membawakan minuman.

Setelah keadaan mulai tenang, wanita itu kembali berbicara. "Begini, Pak. Mohon maaf sebelumnya, saya terpaksa membawa pulang Zahira karena dia tidak mau pulang ke rumah,” jelasnya, “sebelumnya, saya ingin bertanya pada Pak Bagas, apakah selama ini Zahira berperilaku nakal di rumah?"

Pria berparas tampan itu mengerutkan kening. "Tidak. Anak saya baik dan penurut. Apakah Zahira berperilaku nakal di sekolah?"

"Tidak,” ucap Adila cepat, “tapi, saya menemukan lebam biru pada tubuh Zahira, seperti bekas cubitan atau pukulan orang dewasa. Apa Bapak yang melakukannya?"

“Maksudmu?”

Bagas tampak terkejut mendengar perkataan Adila. Dia sama sekali tidak pernah mencubit atau melakukan kekerasan lainnya pada anaknya.

Sementara itu, Naila mulai kepanasan karena takut rahasianya selama ini terbongkar.

"Ah itu mah biasa, mungkin berantem sama temennya. Bukannya gitu, Zahira?" potong Naila sembari menatap tajam Zahira–seolah mengancam untuk tidak buka suara.

Gadis kecil itu sontak beringsut takut dan memeluk Adila sekencang mungkin.

Menyadari itu, Adila angkat suara, "Zahira sudah menceritakan semuanya kepada saya."

"Cepat jelaskan!” Bagas tampak bingung. “Ada apa ini sebenarnya?"

“Selama ini, wanita yang berada di sampingnya Bapak sering melakukan kekerasan verbal dan non verbal pada Zahira. Ia juga mengancam agar Zahira tidak pernah menceritakannya.”

“Puncaknya saat Zahira dititipkan di rumah wanita ini. Ia dipukul dan juga disuruh merapikan rumah. Karena tubuh Zahira tidak kuat, akhirnya ia tumbang di sekolah,” jelas Adila tenang, “tapi, wanita di samping Anda memaksanya untuk pulang secara kasar."

Tangan Bagas mengepal keras. Ditatapnya, Naila tak percaya.

“Sa–sayang, dia bohong. Kamu percaya sama aku, kan?” ucap wanita itu gelagapan lalu menatap tajam Adila. “Kamu jangan memfitnah saya, ya! Saya bisa laporkan–”

"Laporkan saja. Saya tidak takut,” balas Adila cepat, “sebenarnya, saya sendiri bisa melaporkan hal ini pada polisi dan melakukan visum. Tapi, mengingat ini urusan keluarga kalian, saya tidak mau terlibat terlalu jauh. Namun saya tegaskan, jika saya masih menemukan bekas luka itu pada tubuh Zahira, sebagai pemimpin lembaga pendidikan sekolah, saya tidak akan diam dan mengambil itu sebagai tanggung jawab saya!"

Rahang Bagas mengeras.

Ditatapnya lebam biru di sekujur tubuh anaknya.

Bagaimana bisa selama ini dia membiarkan putrinya tersiksa? Almarhumah istrinya pasti akan membenci Bagas.

"Naila, jelaskan!" bentak Bagas.

Wanita itu menggeleng. Namun, wajahnya tidak bisa berbohong.

"NAILA. Aku minta kamu jawab pertanyaanku! Apa itu perbuatan kamu?"

"I–iya, tapi itu nggak sengaja sayang. Aku kemarin pas lagi mens perut aku sakit banget nggak bisa ngapa-ngapain. Terus aku–"

"Cukup, Naila. Mulai sekarang hubungan kita selesai," potong Bagas.

“Mas!”

Pria itu menatap Naila semakin tajam.

Ia pikir wanita itu bisa menyayangi putrinya, seperti yang dia lakukan pada Bagas. Sayangnya, tidak.

Padahal, Bagas tidak hanya mencari istri untuk dirinya, namun yang paling penting ia ingin mencari ibu untuk anaknya. Apalagi kesibukan bagas sangatlah padat, ia tidak bisa lagi mengurusi Zahira.

Meskipun ada asisten rumah tangga yang bisa membantunya, tetapi seorang anak sangat membutuhkan pendidikan dini dari sekolah pertamanya di rumah, yaitu Ibu.

“Baiklah. Aku biarkan Mas berpikir terlebih dahulu,” ucap Naila kembali berpura-pura tersakiti. Wanita kejam itu lantas keluar dari rumah itu dengan hati yang menyimpan dendam.

Sebenarnya, ia tidak rela hubungannya hancur karena ulah Zahira. Namun, jika tidak menuruti Bagas untuk pergi, dirinya akan lebih sulit lagi mendekatinya. Bagas pasti akan menganggap dirinya sebagai calon istri pembangkang.

Sementara itu, Bagas perlahan mendekati putrinya kembali. Ia menatap Zahira dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Lalu, meraih anak itu dalam pelukannya.

"Maafin Papa, Nak. Andai Papa tahu dari dulu, Papa nggak akan titipin kamu sama tante Naila."

Anak kecil itu menangis. "Iya Papa. Zahira udah senang Papa pulang,” ucapnya, “tapi, Zahira nggak mau sama tante Naila lagi ya, Pa."

"Iya sayang," balas Bagas cepat. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat.

Hanya saja, duda anak satu itu tiba-tiba menyadari keberadaan Adila yang masih berada di dekat keduanya.

“Ekhem,” deham pria itu menormalkan suara, “terima kasih.”

Bagas sungguh berterima kasih pada Adila. Berkat perempuan itu, dia bisa menemukan fakta tersembunyi itu sebelum menikahi Naila.

“Sama-sama, Pak,” ucap Adila santai.

Terjadi keheningan beberapa saat sebelum Bagas tersadar bahwa ia belum memperkenalkan diri secara resmi. Selain itu, Bagas juga merasa baru kali ini dia melihat Bu Adila yang dimaksud Bu Siska. Padahal, pria itu selalu aktif di kegiatan sekolah anaknya yang melibatkan orang tua.

“Maaf, perkenalkan saya Bagas, ayah Zahira,” ucap pria itu menjulurkan tangan, “Anda Bu Adila?”

“Benar, Pak. Maaf, saya juga belum mengenalkan diri,” balas Adila menyambut tangan Bagas, “saya Adila. Kebetulan, saya memang baru datang dari Jepang. Hari ini adalah pertama kalinya saya ke sekolah."

Bagas mengangguk."Begitu rupanya. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih ya, Bu. Saya juga mohon pamit, bersama Zahira."

“Baik, Pak. Tapi, saya akan ambilkan tas dan baju seragam Zahira di kamar saya.”

Perempuan itu bergegas naik ke lantai dua untuk mengambilnya.

"Papa, Zahira suka sama Bu Adila," ucap Zahira mendadak.

Bagas hanya menanggapi perkataan putri kecilnya dengan senyum.

Ia berpikir, suka yang Zahira maksud hanyalah menyukai atau mengidolakan seorang gurunya. Ia tak menyadari maksud Zahira adalah, ia ingin Adila menjadi mamanya.

Tak lama, Adila kembali turun membawakan tas dan juga seragam milik Zahira.

Ia juga membawa sebuah boneka kuda poni pink kesukaan Zahira, yang sempat mereka beli sepulang sekolah tadi.

Semua perlengkapan Zahira sudah diberikan pada Bagas. Untuk boneka kuda poninya diberikan pada Zahira, seraya memberikan beberapa pesan untuk anak manis itu.

"Zahira yang pinter ya, tetap jadi anak baik dan suka menolong."

Zahira mengangguk dan memeluk boneka kuda poninya.

Bagas berpamitan pada Adila dan mengucapkan terimakasih sekali lagi.

Hanya saja, tiba-tiba Zahira lari datang kembali memeluk Adila. Bagas dan Adila terkejut serempak, terlebih mendengar ucapan anak itu selanjutnya.

"Mama."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   22. Happy Ending

    Bagas segera berdiri untuk menyambut ayah Adila, memberi salam. Sementara Zahira jemarinya sudah bertautan dan ayah Adila, keduanya terlihat benar-benar seperti cucu dan kakek."Duduk saja," pinta sang ayah. Bagas pun menurut, dan kembali duduk. Dia memanggil pelan Zahira untuk duduk bersamanya. Bagas merasa tidak enak jika putrinya terus menempel, Bagas takut ayah Adila akan merasa tidak nyaman."Sayang, sini duduk sama Papa."Zahira menggeleng cepat. Putri kecilnya itu justru memeluh lengan sang kakek bergelayut manja. "Tidak apa-apa. Kamu duduk disini saja sama Kakek ya," pinta Ayah Adila dengan tatapan lembut pada Zahira."Jadi kamu Bagas, teman baik anakku, Adilla?"Bagas mengangguk tanpa keraguan. "Benar, Pak. Kebetulan anak saya sekolah di yayasan yang Anda miliki, jadi saya secara tidak sengaja mengenal putri Anda, Adila."Ayah Adila terlihat mengangguk setelah mendengar penjelasan Bagas. "Kamu hebat ya, katanya sudah mengurus Zahira sejak dia lahir, karena...maaf ibunya tel

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   21. Kakek

    Ini sangat kebetulan. Saat Bagas ingin berkunjung ke rumah Adila, tuhan memberikan jalan. Justru ayahnya Adila yang langsung mengundangnya untuk datang.Sebagai pria, tentu saja ini sebuah kehormatan baginya. Dan juga bisa jadi ini merupakan pertanda lampu hijau dari ayahnya. 'Mungkinkah ini tandanya aku masih punya peluang?'"Telpon dari siapa, Pa?""Dari bu Adila, Sayang.""Mama?" Zahira mengoreksi nama panggilannya di jam luar sekolah."Oh iya, Mama. Katanya kita diundang main kerumah Mama sama ayahnya.""Ayahnya berarti kakek Zahira dong nanti."'Amin.' Bagas segera mengajak Zahira bersiap. Meskipun ini bukan undangan acara meeting besar, namun rasanya seperti acara penting level internasional. Terasa berlebihan mungkin. Tapi itulah gambaran kegugupan hati Bagas saat ini.Bagas sedang berdiri didepan cermin yang tingginya hampir satu badan. Beberapa kali Bagas mencoba kaos dan kemeja. Namun ia belum menemukan yang cocok untuk dipakai ke rumah Adila.Zahira sudah selesai berdandan

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   20. Undangan

    "Gimana hubunganmu sama Vivian? Apa kamu yakin meninggalkan dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Sayang?"Adila tersenyum tipis. Ia hanya ingin mendengar jawaban dari Nico secara langsung. "Aku sama Vivian benar-benar sudah nggak ada apa-apa sayang."Adila masih sibuk mengunyah, menikmati martabak telur kesukaannya. "Terus terang, nggak tahu apa aku masih mencintaimu, Nic. Aku udah capek nangis. Aku mau berdamai sama keadaan."Adila bergeming sekejap. Menghela nafas. "Aku pasrah kalau kamu memilih dia, belum terlambat untuk memilih, Nic.""Aku sudah memilih, Dil. Aku milih kamu."Adila mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," pinta Adila cepat."Apa itu?""Aku mau mundurin acara pernikahan, sampai aku benar-benar siap dan yakin."Nico melebarkan matanya. Ia tak menyangka, Adila akan mundur sejauh itu. "Apa keputusanmu sudah bulat?"Adila mengangguk. Nico tidak bisa memaksa. Dialah yang menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja ia bisa menjaga kepercayaan Adila, pasti tidak ak

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   19. Persaingan

    "Apa aku membuat kesalahan, sampai harus menjauhi Adila?"Nico bergeming sekejap. "Aku hanya ingin melindungi ikatan pertunangan kami. Dan aku tidak ingin, perjalanan menuju pernikahan kami mendapatkan rintangan apapun."Bagas berusaha mencerna kalimat Nico dengan kepala dingin. Bibir Bagas menyungging senyum. "Apa kamu takut kalah denganku?"Nico terkesiap. Ia tak menduga Bagas akan meng-ulti nya dengan kalimat demikian. Ya, memang Nico sudah mulai ketakutan, mungkin Bagas memang seorang duda anak satu. Namun untuk pesona dan karirnya, bisa dibilang, Nico kalah beberapa tingkatan di bawahnya.Terlebih lagi setelah kesalahan fatal yang Nico lakukan. Membayangkannya saja Nico sudah tak sanggup. Bagaimana jika Adila tiba-tiba memintanya untuk berhenti mengejar dan mencintainya. Tidak, dia benar-benar tak akan sanggup mendengarkan kalimat itu dari Adila."Huh. Kamu terlalu percaya diri, Bagas. Apa kamu sangat yakin bisa mengalahkanku?" Meskipun tampak tidak gentar, sejujurnya Nico tengah

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   18. Permintaan Maaf

    Pagi menyingsing. Suara alarm yang belum sempat dimatikan terus berulang di ponsel Adila. Wanita itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasnya.Beberapa kali ia mengoleskan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan mata sembabnya. Sisa menangis semalam.Usai puas dengan hasil riasan wajahnya, Adila bergegas keluar menuju garasi. Namun ia sangat terkejut, saat melihat Nico sudah menunggunya di halaman rumahnya. Adila mengernyitkan dahi, terpaksa ia berjalan menghampiri."Kamu ngapain, pagi-pagi udah kesini?"Pria itu sangat bersemangat kala melihat Adila menghampirinya."Sayang, aku antar berangkat kerja ya." Bujuk Nico memohon."Nggak usah repot-repot, aku bisa kok bawa mobil sendiri.""Tapi aku pengen mengantar kamu, Sayang."Adila membuang nafasnya dalam. "Tapi aku nggak pengen diantar, Nico." jawabnya tegas.Adila meninggalkan pria itu menuju mobilnya. Namun Nico meraih tangannya menahan Adila. Terpaksa wanita itu berhenti sekejap."Tolong kasih aku kesempatan untuk

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   17. Takut Kehilangan

    Deg!Dunia Nico seolah runtuh, saat mendengar kekasihnya begitu ikhlas merelakan dia untuk memilih."Maafkan aku sayang, aku mengakuinya. Aku memang bodoh," sesalnya merutuki diri sendiri di hadapan Adila.Kelopak mata wanita itu mulai membasah. Sakit sekali mendengar pengakuan Nico, meskipun itulah yang ia ingin dengar. Hubungan yang selama ini ia kira sangat sempurna, ternyata penuh dengan kubangan sebagai ujian.Adila mengangguk pelan, memberi waktu pria itu untuk menjelaskan."Sayang, aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong maafin aku sayang, please!" Nico menggenggam kedua tangan Adila memohon."Aku nggak tahu, Mas. Aku masih bisa atau tidak untuk melanjutkan." lirihnya membalas."Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Kita akan tetap menikah sesuai rencana kita. Kamu tau 'kan, aku sangat cinta sama kamu. Dan kamu juga sangat cinta sama aku."Tampak raut Nico yang ter gugup, takut Adila memutuskan hubungan dengannya. Andai kedua orang tua mereka tahu tentan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status