Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir

Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir

last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-06-14
โดย:  Cancer Girlอัปเดตเมื่อครู่นี้
ภาษา: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
3 การให้คะแนน. 3 ความคิดเห็น
81บท
2.1Kviews
อ่าน
เพิ่มลงในห้องสมุด

แชร์:  

รายงาน
ภาพรวม
แค็ตตาล็อก
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป

Ernita kehilangan bayinya yang meninggal saat lahir akibat penyumbatan placenta. Namun duka yang ia alami justru dianggap sebagai aib oleh keluarga suaminya, Gudel. Bukannya mendapat dukungan, Ernita malah menerima perlakuan buruk dari mertuanya yang kaya raya. Mereka menganggapnya sebagai pembawa sial dan menghasut Gudel untuk menceraikannya. Ernita diusir dari rumah tanpa ada tempat untuk berlindung. Saat berada di titik terendah, takdir membawanya bertemu dengan seseorang dari keluarga Taufik Wijaya, seorang Presdir sukses yang baru saja kehilangan istrinya akibat pendarahan pasca melahirkan. Bayi kembar Taufik membutuhkan ASI. Dan Ernita yang masih menghasilkan ASI meski bayinya telah tiada, menjadi harapan terakhir mereka. Ernita menerima tawaran sebagai ibu susu bagi bayi kembar tersebut dan mulai tinggal di rumah keluarga Wijaya. Perlahan ia menemukan ketenangan di antara dua bayi yang bergantung padanya. Akan tetapi kehidupannya di sana tidak mudah. Keluarga besar Taufik yang penuh ambisi, memandangnya sebelah mata dan menganggapnya tidak lebih dari seorang pengasuh. Di tengah tekanan dari keluarga Taufik dan luka masa lalu yang masih menganga, Sang Presdir yang awalnya dingin dan tertutup perlahan mulai melihat Ernita dari sudut pandang berbeda.

ดูเพิ่มเติม

บทที่ 1

Tangisan Duka

Hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang gelap. Petir menyambar-nyambar menerangi langit sesaat sebelum kegelapan kembali menguasai malam. Suara guntur bergemuruh, mengiringi tangisan seorang wanita yang baru saja mengalami kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya.

"Anakku! Anakku!" Ernita menjerit, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur atap rumah sakit.

Tubuhnya masih lemah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa sakit akibat melahirkan secara sungsang masih terasa di setiap jengkal tubuhnya. Namun semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa hancur yang kini merobek hatinya.

Di depannya, bayi mungil yang baru saja ia lahirkan terbujur kaku. Bibirnya membiru, matanya tertutup rapat. Tak ada tangisan, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyesakkan.

"Bu, tenang dulu. Kami sudah berusaha sebisa mungkin," ucap dokter dengan suara penuh simpati.

"Tidak! Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin meninggal!" Ernita mengguncang tubuh kecil itu, berharap ada keajaiban.

Namun keajaiban tidak datang malam itu.

"Bu, bayi Ibu mengalami penyumbatan placenta sewaktu dilahirkan. Kami sudah mencoba menyelamatkannya, tapi Tuhan berkehendak lain." Dokter kembali mencoba menenangkan.

Ernita menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia ingin berteriak lebih kencang, ingin meluapkan kepedihannya, tetapi suaranya semakin lirih. Pandangannya mulai berputar.

Pintu ruangan terbuka dengan kasar. Beberapa orang masuk, suara langkah kaki mereka tergesa-gesa. Ernita mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata dan melihat wajah-wajah yang sama sekali tidak ia harapkan saat ini.

Pak Harno dan Bu Pinah mertuanya, berdiri di depan pintu dengan ekspresi kecewa. Bukannya menunjukkan simpati atau belas kasih, mereka malah memandangnya dengan tatapan tajam seolah kematian bayinya adalah kesalahan Ernita.

"Kami sudah duga! Pasti ini gara-gara kamu!" Bu Pinah menunjuk wajah Ernita dengan jari gemetar, bukan karena sedih tapi karena marah.

"Bu, saya ...."

"Jangan panggil aku Ibu! Kamu itu memang pembawa sial! Sudah aku bilang sama Gudel, jangan nikahi kamu! Lihat sekarang! Bayinya mati! Kamu istri tidak becus!"

Ernita menggeleng lemah, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.

Pak Harno, suami Bu Pinah, melipat tangan di dada. "Kami ini orang terpandang! Kamu malah bikin aib begini! Gimana tanggapan orang-orang nanti? Hah?! Kami harus menanggung malu karena menantu tidak becus sepertimu!"

Ernita ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin bayinya meninggal, bahwa ia juga berduka. Tapi tubuhnya terlalu lemah dan hatinya terlalu hancur.

Tak lama kemudian, seorang pria masuk. Gudel, suaminya, berdiri di ambang pintu. Wajahnya kusut, matanya bingung.

"Suamiku!" Ernita memandang Gudel dengan harapan.

Gudel tidak langsung mendekat. Matanya terarah ke tubuh bayi mereka yang telah tiada. Rahangnya mengeras. Namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Bu Pinah sudah lebih dulu bicara.

"Gudel! Kamu lihat ini?! Anakmu mati! Istrimu ini memang sial! Aku sudah bilang dari awal!"

Gudel menoleh ke ibunya, lalu kembali memandang Ernita. Matanya yang semula penuh kebingungan kini dipenuhi dengan keraguan dan kemarahan.

"Iya, Del! Istri macam apa dia? Tidak bisa jaga anaknya sendiri!" Pak Harno menambahkan.

Gudel mengepalkan tangannya, matanya merah.

"Kenapa, Er?! Kenapa anak kita bisa mati?! Kamu ini ngapain selama ini?! Harusnya kamu jaga dia!" Gudel akhirnya membuka suara, suaranya tajam dan penuh amarah.

Ernita membeku. "Aku ... Aku sudah berusaha, Mas. Aku juga tidak ingin dia meninggal ...."

"Omong kosong! Kamu itu cuma istri pemalas! Kamu nggak becus jadi ibu!" Gudel menunjuk wajahnya dengan kasar.

Hati Ernita seakan dicabik-cabik. Air matanya semakin deras mengalir.

"Mas, tolong ... aku juga kehilangan anak kita ...."

"Tutup mulutmu!" Gudel berteriak membuat semua orang di ruangan itu terdiam. "Aku capek! Aku muak! Aku menyesal menikahi perempuan lemah seperti kamu!"

Ernita menatap suaminya dengan pandangan kosong. Dadanya terasa sesak.

Suster yang berada di ruangan itu berusaha menengahi. "Maaf, Pak, ini rumah sakit. Tolong jangan bikin gaduh di sini."

Bu Pinah mendengus dan meraih tangan Gudel. "Ayo, Del! Kita pulang! Perempuan ini nggak pantas jadi istrimu lagi!"

Pak Harno menambahkan, "Benar! Ceraikan dia! Buang dia dari keluarga kita!"

Gudel diam sesaat. Ia menatap tubuh bayinya yang tak bernyawa, lalu kembali menatap Ernita yang masih terduduk di ranjang dengan wajah penuh air mata. Seakan beban di pundaknya semakin berat.

Dan saat itu juga, Gudel mengeluarkan kata-kata yang membuat dunia Ernita runtuh sepenuhnya.

"Aku akan menceraikanmu!"

Ernita terdiam. Napasnya tercekat. Seakan jantungnya berhenti berdetak.

"Mas, jangan lakukan ini." Ernita berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

"Tidak ada alasan bagiku untuk tetap bersamamu. Kamu bukan istri yang bisa menjaga anaknya sendiri. Kamu cuma membawa kesialan dalam hidupku!"

Setelah berkata demikian, Gudel berbalik dan berjalan keluar meninggalkan Ernita yang terisak sendirian.

Bu Pinah dan Pak Harno mengikuti di belakangnya, meninggalkan sang menantu di ruangan itu.

Ernita menggenggam selimut rumah sakit dengan erat. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena duka yang tak tertahankan.

Suster yang tadi berusaha menenangkan kini menatapnya dengan iba. "Bu, saya benar-benar turut berduka. Anda butuh waktu untuk beristirahat."

Tapi bagaimana Ernita bisa beristirahat ketika hatinya sudah hancur berkeping-keping?

Ia baru saja kehilangan bayinya. Dan kini, ia kehilangan suaminya juga.

Malam itu hujan terus turun dengan derasnya, seakan langit pun turut menangisi kepergian bayinya. Dan Ernita, seorang wanita yang baru saja menjadi ibu, kini mendapati dirinya sendirian di dunia yang terasa begitu kejam.

****

Hujan semakin deras, membasahi kaca jendela rumah sakit. Petir menyambar-nyambar, seakan membelah langit menjadi dua. Di dalam kamar rawat yang dingin itu, Ernita masih terduduk dengan mata kosong.

Tangannya gemetar saat menyentuh pipi bayi mungilnya yang kini telah membeku. Dadanya terasa sesak, napasnya terasa berat.

"Apa salahku?" bisiknya pelan hampir tak terdengar.

Namun pertanyaannya tak akan pernah mendapat jawaban.

Di luar ruangan, langkah-langkah Gudel menggema di sepanjang koridor. Pria itu berjalan dengan cepat, diiringi orang tuanya yang masih terus berbicara tentang perceraian.

"Kamu jangan sampai luluh, Del! Perempuan seperti itu tidak pantas jadi bagian dari keluarga kita!" Bu Pinah menegaskan.

Pak Harno mengangguk setuju. "Jangan biarkan dia merayu atau menangis di depanmu. Itu hanya trik murahan."

Gudel hanya diam. Wajahnya masih menyiratkan kebingungan, tapi kemarahan dalam dirinya terlalu besar untuk berpikir jernih.

Sementara itu, di dalam kamar rawat, Ernita masih menatap tubuh kecil itu dengan pandangan kosong. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena kedinginan, melainkan karena kenyataan pahit yang harus ia telan.

Ia kehilangan segalanya!

Dan malam itu, Ernita berjanji dalam hati, jika dunia telah membuangnya, maka ia akan mencari jalannya sendiri untuk bertahan hidup.

'Kenapa suamiku tega sekali kepadaku,' batin Ernita sembari sesekali terisak.

แสดง
บทถัดไป
ดาวน์โหลด

บทล่าสุด

บทอื่นๆ

ถึงผู้อ่าน

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

ความคิดเห็น

user avatar
Mirielle
cerita yang bagus.... jangan lupa mampir di naskah terbaruku ya kak, Tertawan Kontrak Panas CEO Arogan...
2025-05-28 20:49:45
1
user avatar
Faisalicious
Keren banget thor ceritanya! Semangat nulisnya ya.... Jangan lupa buat tinggalin jejak juga ya di novel terbaruku, judulnya TULANG SUCI NAGA ABADI
2025-05-26 20:01:13
1
user avatar
BayS
Nice plot..! Lanjutkeun up nya..
2025-04-22 22:02:00
1
81
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status