Malam itu Syaila membawa dua bungkus mi kuah panas tanpa mengeluarkan sepeser uang pun dari kantongnya. Tuhan memang selalu punya rencana atas semua kesulitan yang Syaila hadapi.Wanita itu berjalan menaiki tangga, melewati pintu-pintu yang sama. Ia tidak tahu kini jam berapa, karena terakhir ia lihat jam tadi pada saat di kedai. Dusun lantai dua sudah sepi sepenuhnya."Udah malem banget apa, ya?" gumamnya seraya mengeratkan kantong plastik yang ia genggam.Sampainya di rumah, ia perlahan membuka pintu. Di rumah , ruang tengah berserakan mangkok dan piring kotor. Syaila mengernyit."Geino abis makan? Enggak mungkin masak sendiri kan?" Ia berdiri melihat piring juga mangkok kotor itu beberapa saat. Lalu memeriksa sang putra yang ternyata sudah tidur di kamarnya.Matanya melongok pada jam dinding. "Jam 11 malem. Pantesan udah tidur. Dia makan dari siapa?" Karena pertanyaannya pun tidak akan mendapat jawaban, Syaila bergegas membereskan ruang tengah itu. Lalu lanjut makan mi yang ia baw
Selama Syaila bekerja ia belum menemukan teman mengobrol, atau teman satu nasib. Ia akan makan sendiri ketika istirahat dan pulang jika waktunya sudah tiba.Tidak ada Nadira versi lainnya di tempat baru Syaila. Ia hidup seolah benar-benar sendiri.Ia menghela napas panjang. Duduk di kursi kantin sembari memandang cuaca yang begitu panas di luar."Nyebelin banget enggak si atasan kita sekarang. Mana mukanya judes banget. Ganteng si, tapi kalau kalakuannya begitu mah mana ada yang mau.""Pantes aja udah hampir kepala tiga enggak nikah-nikah. Aku kalau ditawarin jadi calon istrinya juga enggak mau. Bisa kurus kerontang aku punya suami kaya macan gitu."Beberapa perempuan baru saja berjalan melewatinya. Membicarakan atasan yang entah yang mana Syaila pun tidak peduli.Ia melongok jam dinding yang ada di dekat meja prasmanan. 15 menit lagi waktu istirahat selesai. Syaila kemudian beranjak dari kantin. Berjalan melewati lorong yang ramai dengan pegawai pabrik berseragam. Berbincang, tertawa
"Syaila dipanggil pak Batara. Suruh masuk ruangannya." Kepala bagian berbicara pada Syaila. Sementara Syaila mengernyit heran. "Memangnya ada apa ya, Bu?" Syaila merasa tidak memiliki masalah apapun. Dan siapa Batara yang kepala bagian itu maksud."Saya enggak tahu. Samperin aja deh sendiri. Biasanya si kalau enggak dikasih peringatan ya di keluarin." Entah mengapa wanita itu selalu sinis jika berbicara dengan Syaila."Oh, yaudah." Syaila berdiri dari duduknya. Merasa tidak memiliki salah ia pun menuruti apa yang dibilang kepala bagian.Ia sempat kebingungan mencari dimana letak ruangan Pak Batara. Ia beberapa kali bertanya ke sesama karyawan.Tok tok tokSyaila mengetuk pintu setelah akhirnya menemukan ruangan Batara."Masuk." Suara dari dalam mengintrupsi. Wanita satu orang anak itu lantas mendorong pintu itu.Syaila awalnya belum menyadari orang yang pernah hampir menabrak dengan orang di hadapannya ini adalah orang yang sama, bahkan ia sering bertemu di kedai pak Sujadi. Sebab o
Syaila sekarang sudah resmi menjadi pelayan di kedai pak Sujadi. Sepulang kerja ia langsung ke kedai, menyempatkan berganti pakaian yang ia bawa dari rumah.Hari ini ia tidak lagi khawatir tentang makan Geino. Sebab ia sudah menyiapkan makanan di kulkas dan Geino bisa menghangatkannya dengan microwave yang ia beli di toko barang bekas. Ia harus lebih bekerja lebih keras lagi. Tiga bulan lagi Geino akan masuk smp. Biayanya pasti tidak akan murah. "Selamat datang. Mau langsung pesan?" Kedai sedari sore sudah ramai. Mungkin karena menjelang akhir pekan. Syaila saja hampir kewalahan.Beberapa pengunjung bahkan harus menunggu meja kosong untuk bisa makan langsung di kedai. "Jangan suruh pelanggan yang baru selesai makan untuk segera meninggalkan mejanya, ya? Kalau mereka memang mau diam dulu di meja tidak apa-apa," pesan Sujadi pada Syaila. Prinsipnya dari dulu sama, kenyamanan pelanggan adalah hal yang utama. Tidak peduli ia akan sedikit rugi."Tapi kan pelanggan lain mau masuk, Pak?"
Pukul 11 malam Syaila baru selesai membersihkan meja-meja kedai. Seharusnya satu jam lalu kedai sudah tutup. Tapi karena pengunjung membeludak, pak Sujadi menambah jam buka satu jam lebih lama dari biasanya. Ya, pria itu bilang hitung-hitung Syaila lembur. Lagi pula besok ia libur kerja, jadi tidak masalah untuk Syaila.Setelah semuanya dirasa pekerjaannya sudah selesai, Syaila melepaskan celemeknya. Ia gantungkan di sisi wastapel. Lalu berpamitan untuk pulang kepada Sujadi."Pak saya pulang dulu, ya? Takut kemaleman."Pria itu mengangguk. Atensinya tidak lepas dari kalkulator yang menampilkan beberapa angka di sana. Syaila keluar dari kedai. Angin langsung menyambutnya dengan ganas. Ia sedikit mengeratkan blazer yang ia pakai. Berjalan melewati jalan yang sudah sepi. Langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia mendengarkan suara deru mesin mobil yang terus mengikutinya dari belakang. Yang Syaila ketahui jalanan ini cukup aman, karena itu Syaila tidak pernah merasa takut pulang malam. Ia men
Momok jelek seorang janda seperti masih melekat dikalangan masyarakat. Kebanyakan orang-orang berpikir seorang janda adalah wanita yang tidak benar. Perasangka-perasangka buruk yang hanya sesuai dengan pemikiran mereka. Hidup sebagai seorang janda ternyata tidak hanya perihal kemandirian. Tapi Syaila harus menulikan telinganya untuk hal-hal buruk agar kepalanya tetap waras. Setelah kejadian adu mulut lalu dengan tetangganya, Syaila semakin terpojokkan. Berita tidak benar tentang pekerjaannya pun sudah menyebar ke seantero dusun. Ia juga pernah mendapati Geino sedang di olok-olok oleh teman sebayanya dengan kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan oleh anak seusia mereka.Syaila benar-banar merasa sudah tidak tahan lagi. Tapi untuk pindah, uangnya masih belum terkumpul. Apalagi ia harus membayar les Geino."Syaila? Nak? Syaila!"Wanita satu orang anak itu mengerjap. "Kenapa? Lagi enggak enak badan?" Pak Sujadi bertanya.Akhir pekan, Syaila habiskan di kedai. Kedai tidak seramai bias
Pria yang sudah Syaila kenal selama tiga bulan ini berjalan mendekat. Senyum manis yang baru Syaila lihat itu terbit di bibir merah jambu nya."Kemana aja, Bang?" tanya Nizam. "Duduk dulu dong!"Batara duduk tepat berhadapan dengan Syaila. Membuat wanita itu sedikit tidak nyaman."Ada, cuman agak sibuk aja di pabrik. Mau ada pembukaan lowongan kerja besar-besaran. Jadi harus selektif banget biar dapet calon karyawan yang sesuai dengan yang perusahaan butuhin," katanya setelah punggung nya menyentuh kursi. Matanya sempat melirik Syaila namun segera ia alihkan saat tidak sengaja beradu pandang dengan Syaila."Wih semangat bang!"Batara terlihat mengedarkan pandangannya. Melihat kesetiap sudut kedai. "Tumben sepi?" tanyanya."Iya nih, mungkin pada liburan. Rencananya bapak juga mau tutup sebentar. Nanti sore buka lagi." Kali ini Sujadi yang menyahut.Batara mengangguk. "Kamu?" Matanya beralih pada Syaila."Hah?" Yang ditanya melongo. Terlalu sibuk melamun sehingga membuatnya tidak fokus
Syaila dan Batara saling adu pandang. "Bukan, Nak. Dia bukan papa baru. Ini bos mama di tempat mama kerja. Dia mau ikut ke kamar mandi," jelas Syaila. Ia sampai terkejut ketika tiba-tiba Geino berkata seperti itu."Memang kenapa kamu enggak punya papa baru?" Batara malah membahasnya."Tidak!" Geino berlalu begitu saja. Setelah itu Syaila mempersilahkan Batara masuk. Sementara dirinya menunggu di luar.Beberapa menit kemudian pria itu keluar. "Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?"Syaila tidak langsung menjawab. Ia tidak mudah bercerita kepada orang asing. "Saya hanya ingin tahu. Kalau kamu enggak jawab juga enggak apa-apa," lanjut Batara.Si wanita melirik sekilas Batara yang tengah menalikan sepatunya. "Sekitar tiga sampai empat bulan."Batara berdiri. "Saya sudah duga kamu memang bukan asli orang sini." Syaila hanya merespon dengan anggukan kecil. Melanjutkan, "Boleh antar saya ke depan gak? Saya takut nyasar.""Lho? Jalannya kan cuma lurus. Nanti tinggal turun tangga, Pak?" uca